Oleh:
MELKIOR SALNO
22320153
KUPANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
yang telahmemberikan segala cinta dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun
dapatmenyelesaikan makalah ini.Makalah ini di ajukan untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliahPendidikan Agama Kristen, dengan materi ‘Kerukunan
Antar Umat Beragama’.
Makalah ini disusun berdasarkan beberapa sumber.Penyelesaian makalah
ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang penyusun rasakan sangat
membantu, baik moril maupun spiritual dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu d
engan segala kerendahan hati penyusunmengucapkan terimakasih atas kerja sama
dan do’a yang telah diberikan kepada penyusun selama pembuatan makalah
sehingga dapat terselesaikan.Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaandan masih banyak kesalahan serta kekurangannya. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penyusun harapkan.Akhir
kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan khususnya bagi penyusun.
Kupang , 22 November 2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya
merupakan asetdalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dalam perjalanansejarah bangsa pancasila telah teruji sebagai alternatif
yang paling tepat untukmempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk di bawah suatutatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya
wacana mengenai Pancasilaseolah lenyap seiring dengan berlangsungnya
reformasi.
Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam
mensukseskankerukunan antar umat beragama, dari luar maupun dalam
negerikita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia
selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia, ma
ka banyak pula solusi untukmenghadapi kendala-kendala tersebut. Dari
berbagai pihak telah sepakat untukmencapai tujuan kerukunan antar umat
beragama di Indonesia seperti masyarakatdari berbagai golongan,
pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif
dalam masyarakat.
Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama
adalahtujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang
bebas dariancaman, kekerasan hingga konflik agama.
B. Rumusan Masalah
a) Apa Definisi Kerukunan?
b) Bagaimana kerukunan antar umat beragama?
c) Apa saja kendala-kendalanya?
d) Bagaimana solusinya?
e) Apa saja manfaat kerukunan antar umat beragama?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
Pendidikan Agama Kristen dan untuk menambah wawasan para pembaca
tentang kerukunan antar umat beragama serta permasalahan yang di hadapi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kerukunan
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik”
dan“damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati”
dan“bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran
(Depdikbud,1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka
“kerukunan”adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat
manusia. Kerukunan artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang
rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada
penghuninya] secaraluas bermakna adanya suasana persaudaraan dan
kebersamaan antar semua orangwalaupun mereka berbeda secara suku, agama,
ras, dan golongan.
Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun
karenasebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk
hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-
langkah untukmencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta
dialog, salingterbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Kerukunanantarumat beragama bermakna rukun dan damainya dinamika
kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek
ibadah, toleransi, dan kerjasama antarumat beragama.
Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang
membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia.
Sebagai makhluk social,manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain
dalam memenuhi kebutuhanhidupnya, baik kebutuhan material maupun
spiritual.Ajaran kristen menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong
menolongdengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa
batasanras, bangsa, dan agama.
D. Solusi
a. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka
politiksecara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik
dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam b
eberapadasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang
kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan
mencakup bidang-bidangkehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga
memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history).
Sejarah model mutakhir ini lazim disebutsebagai “sejarah sosial” (social
history) sebagai bandingan dari “sejarah politik”(political history).
Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islamdi Indonesia
akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisilain
hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang
sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yan
g padagilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful
co-existence)di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga
agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan
dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan
transportasi, kita akanmenyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama
dalam skala intensitas yangtidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan
begitu, hampir tidak ada lagi suatukomunitas umat beragama yang bisa
hidup eksklusif, terpisah dari lingkungankomunitas umat-umat beragama
lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: sepertidengan meyakinkan
dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin olehsebagian
orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi
negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira,
Indonesia,dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang
sama.
Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-
agama itu,khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam waktu-waktutertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik
dan sosial yang cepat, yangmemunculkan krisis pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkatintensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak
mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi
feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak
bersumber dari pertukaran (exchanges) dalamlapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non agama.”
Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut
gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan
kemanusiaan pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat
internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut.
Melalui berbagai pertukaransemacam ini terjadi penguatan saling
pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
b. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju
sikapterbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya
kira kita tidak perlu bersikap primis . sebaliknya kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa
depan dialog.Paling tidakada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap
optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama,
termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di be
rbagaiuniversitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai
perguruantinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum
sepertiUniversitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-
agama danLintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa
menjadi pertanda dansekaligus harapan bagi pengembangan paham
keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi.
Juga bermunculan lembaga-lembaga kajianagama, seperti Interfidei dan
FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam
menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antar
penganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar
akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama.
Mereka seringkalimengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun
insidentil untuk menjalinhubungan yang lebih erat dan memecahkan
berbagai problem keagamaan yangtengah dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Kesadaran semacam ini seharusnya tidakhanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agamasampai ke akar
rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpinagama dan
umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunanfisik
peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang
menekankankedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami danmengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam
menanggapiisu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah
disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun
kelompok demi target dantujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali
masjid dan gereja diledakkan, tetapisemakin teruji bahwa masyarakat kita
sudah bisa membedakan mana wilayahagama dan mana wilayah politik.
Ini merupakan ujian bagi agama autentik(authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama,
yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk menginga
tkan paraaktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai
instrumen politikdan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba
antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan
kepadagenerasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama
masihmempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan
pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra
daripada sebagai lawan.