Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk, demikian pula
agamanya. Indonesia sangat potensial untuk terpecah-belah. Pancasila sebagai ideologi negara
dan sekaligus sebagai “payung” mengabsahkan bahwa benarlah bangsa ini sebuah keluarga
besar. Pancasila telah menyediakan ruangan bagi terciptanya kerukunan di antara bangsa
Indonesia. Agaknya istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah
“toleransi” yang statis (Yewangoe 2002, 4).
Toleransi lebih mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak untuk memberikan hak hidup
kepada pihak lain. Artinya, keberadaan satu pihak hanya dapat terjadi lantaran pihak lain
menghendakinya. Andai kata pihak itu tidak berkenan, pihak lain dengan mudah ditiadakan.
Dari sifatnya dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal.
Dialog formal adalah suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan
yang pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing.
Dialog informal adalah suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerja sama,
dan hubungan social antarumat yang berbeda agama. Melalui kesempatan itu mereka saling
mengenal satu sama lain.
Dialog perlu terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan internasional dan nasional,
melainkan juga karena komitmen sebagai umat beragama mendorong kita melakukannya.
Salah satu penyebab mengapa orang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan baik
dengan yang berbeda agama adalah karena kecenderungan manusia untuk mempertahankan
agama dan kebenaran agama masing-masing.
Kita berpikir hanya kita saja yang akan masuk surga dan agama lain itu tidak akan masuk surga
karna agama mereka salah. Kalau sudah begini pemahaman kita, tentu sulit kita menghargai
orang yang beragama lain.
Kita menyembah Allah, bukan menyembah agama. Allah tidak sama dengan agama. Tentu saja
agama adalah “jalan” untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu, agama penting, tetapi
“jalan” itu bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan tujuan. Kita tidak boleh mengidentifikasi
jalan dengan tujuan.
Akibat dari sikap melihat agama sebagai tujuan itu tragis. Orang saling membenci, bahkan saling
membunuh karena agama. Tragis dan ironis karena semua agama mengajarkan belas kasih dan
kasih sayang.
Anda tidak percaya bahwa agama itu relatif, tidak mutlak? Dalam percakapan dengan
perempuan Samaria, Yesus berkata, ”Percayalah kepada- Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba,
bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (Yoh.
4:21). Lalu ayat 24, “Allah itu roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya
dalam roh dan kebenaran.” Orang cenderung memutlakkan agamanya masing-masing. Kalau
mau menyembah Tuhan, mesti di sini, mesti begini, lain dari itu salah, sesat dan dosa. Tentang
agama, Yesus mengatakan bukan di mana orang itu menyembah itu yang penting, bukan pula
dengan cara apa orang menyembah itu yang paling menentukan, tetapi apakah ia menyembah
Allah.
Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah antara Salomo, Raja Israel, dengan
Hiram, Raja Tirus. Kerja sama antara dua bangsa yang beragama lain. Yang satu biasa disebut
sebagai “umat Allah,” yang lain disebut “bangsa kafir.” Yang mungkin mengejutkan, ini bukan
saja kerja sama yang bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau gotong royong membangun
jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama untuk membangun Bait Allah.
Rangkuman
Istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang statis.
Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis. Kerukunan yang
tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan hilangnya perbedaan dan
kebebasan.
Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan penganut agama yang lain. Alkitab
tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab
menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap
pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan
bukan kepada penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri.
Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah ada selama berabad-
abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis. Kalau orang berkata-kata mengenai
persoalan teologis, yang dimaksudkan adalah persoalan tentang “kebenaran” itu sendiri.
Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini harus diperhatikan
oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar. Kedua,
kerukunan harus diupayakan terus- menerus. Ketiga, tugas mewujudkan kerukunan hidup
antarumat beragama adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama
serta pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius.