Anda di halaman 1dari 10

KELOMPOK 6

RINGKASAN MATERI

BAB 6 : “Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama”

A. Menelusuri Konsep Kerukunan Antar Umat Beragama

Menurut KBBI, kerukunan diartikan sebagai hidup bersama dalam masyarakat


dengan "kesatuan hati" dan "bersepakat" untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran". Kerukunan juga mengandung pengertian bahwa, walaupun kita berbeda, kita
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kerukunan memang memungkinkan kita supaya
“sepakat” justru dalam persoalan yang kelihatannya sulit disepakati. Kerukunan itu tidak
mengharuskan kita seragam dalam segala sesuatu.

Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis
(Darmaputera 2011, 105). Kerukunan yang autentik adalah kerukunan yang lahir dari
penghayatan iman masing-masing. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang secara
aktif dan kreatif berjalan bersama mengupayakan kesepakatan-kesepakatan baru. Selain itu,
kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang berada dalam interaksi yang
seimbang dengan kebebasan. Kerukunan dan kebebasan saling menghidupi. Hanya bila ada
kerukunan, kebebasan terpelihara. Hanya dalam kebebasan, ada kerukunan yang sejati.
Kerukunan beragama dan kebebasan beragama dalam arti kebebasan untuk memeluk,
menyiarkan, dan berpindah agama perlu diperjuangkan bersama-sama.

Kerukunan yang tidak kita kehendaki :

kerukunan hanya dipahami sebagai keadaan tanpa konflik.


kerukunan dipahami sebagai tujuan pada dirinya.
kerukunan harus dibayar dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan.
B. Menanya Bentuk-Bentuk Kerukunan Antar Umat Beragama

Untuk melakukan dialog, ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita
memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan/agama kita sendiri. Kita mesti mampu
menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi gereja kita dan lain-lain yang
berkaitan dengan agama kita sendiri. Kedua, kita memerlukan pemahaman tentang agama
mereka. Ketiga, kita harus bersikap saling menghormati tanpa memandang latar belakang
“mayoritas dan minoritas” dan lain-lain. Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan
kebenaran Injil atau menuju ke sinkretisme.

Di Indonesia terdapat 3 bentuk kerukunan umat beragama yang dinamakan “Tri


Kerukunan Umat Beragama” sebagai berikut:

1. Kerukunan Intern Umat Beragama


Tidak melakukan disharmonisasi meskipun berasal dari kelompok yang berbeda. Seperti
yang kita tahu Indonesia selain memiliki ragam agama juga terdapat ragam kelompok di
agama itu sendiri. Meskipun begitu setiap kelompok harus menjaga harmonisasi dan
sama-sama melindungi peribadahan masing-masing kelompok.

2. Kerukunan Antar Umat Beragama


Konsep ini bertujuan agar terjadi ketenteraman dan kerukunan antar masyarakat
walaupun berbeda agama, serta menghormati setiap agama yang diakui dan dianut oleh
masyarakat lain tanpa ada rasa mencurigai. Hal yang paling penting untuk mencegah
konflik antar agama yaitu dengan adanya peran aktif dari seluruh masyarakat dalam
menghormati pemeluk agama lain, agar tercipta kerukunan dan ketenteraman dalam
kehidupan masyarakat.

3. Kerukunan Antar Umat Beragama dan Pemerintah


Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana yang damai dan tentram, termasuk
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Semua umat beragama yang
diwakili para pemuka dari tiap-tiap agama bisa bekerjasama dengan pemerintah dalam
menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Tujuan pemerintah mencanangkan Tri Kerukunan Umat Beragama adalah untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan umat beragama kepada Tuhannya, menjamin
kebebasan beragama di atas perbedaan pemahaman atau tafsir ajaran agama, mewujudkan
kebersamaan dalam ketertiban nasional yang stabil, menjaga dan meningkatkan persaudaraan
antar individu, dan menunjang dan menyukseskan pembangungan bangsa.

Dengan adanya Tri Kerukunan Umat Beragama, diharapkan agar kehidupan yang
damai, saling menghormati, penuh toleransi dan kebersamaan bisa terwujud di antara umat
beragama dalam hubungannya dengan sesama pemeluk agama, dengan mereka yang
menganut kepercayaan berbeda dan juga dalam hubungannya dengan pemerintah.

C. Menggali Sumber Alkitab tentang Kerukunan Antar Umat


Beragama

Umat manusia sebagai keluarga besar Allah harus hidup rukun. Salah satu penyebab
mengapa orang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan baik dengan yang berbeda
agama adalah karena kecenderungan manusia untuk mempertuhankan agama dan kebenaran
agama masing-masing.

Allah memang mutlak, tetapi agama tidak mutlak! Kita menyembah Allah, bukan
menyembah agama. Agama tidak sama dengan Allah dan Allah tidak sama dengan agama.
Tentu saja agama adalah “jalan” untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu, agama
penting, tetapi “jalan” itu bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan tujuan. Kita tidak
boleh mengidentifikasi jalan dengan tujuan.

Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35, ketika Petrus akhirnya
berkata,”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap
orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan
kepada-Nya”. Begitulah kita harus memandang sesama kita yang beragama lain.
Surat Paulus kepada jemaat di Roma (12:18) mengajarkan sebuah perilaku kristiani
yang amat penting, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam
perdamaian dengan semua orang!” Bahkan bila ada orang bermaksud jahat kepada kita pada
ayat 19, dikatakan bahwa,” janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah
tempat kepada murka Allah” Berusahalah hidup damai dengan semua orang, oleh karena
Yesus sendiri mengatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9).

Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah antara Salomo, Raja
Israel, dengan Hiram, Raja Tirus. Kerja sama antara dua bangsa yang beragama lain. Yang
satu biasa disebut sebagai “umat Allah,” yang lain disebut “bangsa kafir.” Yang mungkin
mengejutkan, ini bukan saja kerja sama yang bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau
gotong royong membangun jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama untuk
membangun Bait Allah. Kesetiaan kita dalam kerja sama dengan orang-orang yang beragama
lain tidak boleh mengurangi sedikit pun kesetiaan kita terhadap Allah.

Ada dua buah dasar teologis bagi kerukunan antarumat beragama, yakni sebagai berikut:

1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian pasal
1-11, tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman
bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan-Nya.
Dalam konteks percakapan mengenai kerukunan antarumat beragama, kita memerlukan
perspektif baru yang khas Indonesia, yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula.
Dalam kerangka ini, penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa “Adam” bukanlah
sekadar nama dari manusia pertama. Memang dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama
orang, akan tetapi sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia”

Dalam Kejadian 1:26-28 manusia disebut “gambar Allah.” Biasanya, orang memulai
pendekatan terhadap “gambar Allah” secara keliru, yaitu mulai mempertanyakan apakah
yang dimaksud bahwa manusia adalah gambar Allah? Padahal, kisah Kejadian mau
memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia. Hanya manusia dari seluruh ciptaan
Allah yang lain yang disebut gambar Allah. Itu berarti, pada satu pihak manusia adalah
ciptaan sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap ada keunikannya. Di mana letak
keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada kemanusiaan manusia. Dalam situasi mana pun
manusia berada, dia tetap gambar Allah, dia tetap manusia. Tidak dapat dibinatangkan oleh
siapa pun.

Kefanaan manusia dan kerinduan manusia untuk imortalitas merupakan masalah


fundamental bagi agama-agama. Oleh karena itu, pokok mengenai manusia sebagai “daging”
dapat menjadi dasar untuk pemahaman yang membantu memotivasi kerukunan antarumat
beragama.

2. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering
dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Dalam Perjanjian Baru tidak banyak ayat
yang mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos). Yang banyak dipakai adalah
“persekutuan” (koinonia). Dalam teologi tradisional, Gereja biasanya digambarkan
menggantikan tempat Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah Israel baru, yang menjadi
kesayangan Tuhan.

Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai penghakiman
terakhir (Mat. 25:31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus mengidentikkan pelayanan
kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam masyarakat. Pada
penghakiman terakhir “semua bangsa” harus mempertanggungjawabkan tindak-tanduk
mereka.

Perikop ini tidak berbicara mengenai penghakiman orang yang tidak percaya, tetapi
penghakiman orang yang tidak menolong sesama yang membutuhkan pertolongan konkret.
Itu makna dari perikop ini. Dalam sejarah makna ini sering diselubungi dengan makna
partikular yang sangat berat sebelah. Pada ayat 32 dan 33 disebutkan mengenai “domba” dan
“kambing.” Domba ditempatkan di sebelah kanan sedangkan kambing di sebelah kiri. Yang
di sebelah kanan masuk ke hidup yang kekal, tetapi yang di sebelah kiri masuk ke siksaan
yang kekal (ayat 46). Otomatis “domba” diidentikkan dengan partikularitas umat.
D. Membangun Argumen tentang Pluralisme Agama sebagai
Persoalan Teologis

Setiap umat beragama, tentu saja, akan menganggap agama yang dianutnya sebagai
agama yang benar. Agama adalah soal kepercayaan sehingga orang itu tidak layak ragu-ragu
terhadap agama yang dianutnya.

Ada sekian banyak agama yang kita kenal. Hebatnya lagi, agama-agama itu selalu
mengajarkan hal-hal luhur, walaupun kenyataannya para penganut agama sering
membelokkan ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Hal inilah yang
menyebabkan agama agama dicemarkan, bahkan tidak jarang mendapat cap yang tidak
mengenakkan. Contoh; Karl Marx memandang agama sebagai candu bagi masyarakat.

Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah ada selama
berabad-abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis. Dengan kata lain, harus dapat
meyakinkan dengan bukti yang masuk akal, mengapa Anda memilih agama ini, bukan
agama itu.

Dapatkah kebenaran sebuah agama direduksi hanya lantaran agama itu bermanfaat,
menolong, dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan? Pertanyaan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari persoalan-persoalan teologis. Kita ditempatkan pada posisi yang terus
menerus mencari, walaupun tidak berarti bahwa kita harus mengisolasi diri dari sesama yang
berbeda agama dari kita

Hans Kung, seorang teolog Katolik kondang, yang menggambarkan empat posisi
dasar relasi antaragama ; Posisi pertama adalah tidak ada agama yang benar atau semua
agama samasama tidak benar. Posisi kedua ; hanya ada satu agama yang benar atau semua
agama lain tidak benar. Posisi ketiga ; setiap agama adalah benar atau semua agama sama-
sama benar (menyamaratakan semua agama). Posisi keempat ; hanya satu agama yang benar
dan semua agama mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini.
Pendirian semacam ini, terutama kita temukan pada agama yang berasal dari India.
Semua agama adalah empiris.Artinya, pengalaman sehari-hari hanya menampilkan satu segi
tertentu dari sebuah kebenaran universal. (hanya bersifat sementara). Kemajemukan agama
bukanlah masalah teoretis atau akademis belaka, melainkan ia berkaitan dengan kebutuhan
manusia yang sering tidak berjalan mulus

Ada orang yang tidak mau bersusah payah mempertanyakan secara teologis persoalan
ini dan hanya mendorongnya ke arah praktis belaka. Ada banyak agama, tetapi semuanya
berakar pada satu Tuhan saja. Tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran
sebagai miliknya sendiri. Demikian juga Allah tidak mungkin diklaim sebagai milik dari satu
agama tertentu.

Kata Wesley Ariarajah, seorang Pendeta Metodis di Sri Lanka, Tuhan telah didorong
begitu rupa supaya menjadi Tuhan dari “suku” tertentu, padahal Ia adalah Tuhan dari segala
suku, bangsa dan umat. “Kebenaran” harus ditempatkan pada pusat, sedangkan agama
Kristen bersama agama-agama lain beredar di sekitar “Kebenaran” itu. Ia adalah Allah yang
tidak menghendaki kebinasaan manusia. Allah senantiasa memberi kesempatan kepada
manusia supaya bertobat. Kita harus tetap mempunyai pemikiran bahwa Allah pun dapat
memakai kemungkinan lain untuk menyatakan kehendak-Nya kepada manusia.

Ada tiga model hubungan antarumat berbeda agama, yakni konfrontasi, koeksistensi
damai dan pluralisme. Pada pola yang pertama, yang dahulu lazim dianut agama-agama besar
dunia, pendekatannya adalah konfrontatif: berupaya dengan segala cara mengenyahkan yang
lain. Tidak ada tempat bagi agama- agama lain, agama-agama lain adalah kafir.

Pola yang kedua adalah koeksistensi (kebersamaan statis). Di dalam pola ini mereka
hidup bersama tanpa kebersamaan, mereka sering bekerja bersama-sama namun tidak terjadi
interaksi, mereka bercakap-cakap tetapi tidak ada dialog sejati. Apa yang terjadi adalah
“Kuhidupi hidupku dan kau hidupilah hidupmu,” atau “Jangan ganggu aku dan tak akan
kuganggu kau.” Orang hidup bersama secara sosial dan praktis, tetapi tidak secara teologis.

Pola yang ketiga adalah prinsip dan sikap pluralisme, yakni kebersamaan kreatif.
Dengan prinsip ini perbedaan agama tidak dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang secara
praktis tidak terhindarkan, melainkan sesuatu yang bermakna dan teologis. Dalam wawasan
pluralisme ini, yakni yang menerima serta menghayati kepelbagaian secara positif, misi
masing-masing agama tidak dihapuskan, melainkan dikembangkan dari monolog (dengarlah
aku) ke dialog (marilah kita saling mendengarkan).

Ada tiga posisi dasar beragama dewasa ini. Pertama, eksklusivisme agama. Sikap ini
bertolak dari keyakinannya akan wahyu yang diterima dari Allah dan karena itu yakin bahwa
agamanya sendiri adalah agama yang benar. Agama-agama lain tidak benar dan bahwa
keselamatan kekal hanya terbuka bagi mereka yang menyembah Allah menurut wahyu Allah
itu. Menurut eksklusivisme, di luar agamanya sendiri tidak ada keselamatan. Pendek kata,
menurut eksklusivisme hanya ada satu agama yang benar, ialah agamaku sendiri dan hanya
penganut agamaku itu dapat masuk surga.

Kedua, inklusivisme agama. Inklusivisme agama tidak melepaskan keyakinan bahwa


yang benar adalah agamanya sendiri. Jadi, bagi orang Kristen, bahwa hanyalah karena Yesus
dari Nazaret semua orang dapat selamat. Inklusivisme tidak mengakui semua agama lain
sebagai sama-sama benar. Akan tetapi, disebut inklusivisme karena mereka menerima bahwa
orang dari agamaagama lain juga dapat selamat.

Ketiga, pluralisme agama. Pluralisme agama diperjuangkan di kalangan Kristen oleh


teolog-teolog seperti John H. Hick, Paul F. Knitter dari Protestan dan Raimundo Pannikar
dari Katolik. Mereka menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya
pertama-tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap diri lebih benar daripada
yang lain-lain.
E. Mendeskripsikan Peran Umat Beragama dalam
Mengembangkan Kerukunan Antar Umat Beragama

Di dalam keluarga besar Bangsa Indonesia yang pluralistik, cara-cara kita menghayati
dan mengungkapkan iman memainkan peranan penting agar kita terhindar dari konflik-
konflik yang tidak perlu dan tidak produktif.

Kerukunan yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “rukun- rukunan,”
melainkan kerukunan yang benar-benar autentik dan dinamis. Kerukunan yang autentik
bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan
situasional, tetapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan
murni.

Kerukunan yang dinamis bukan sekadar kerukunan yang berdasarkan kesediaan


untuk menerima eksistensi yang lain dalam suasana hidup bersama tetapi tanpa saling
menyapa. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran bahwa
meskipun berbeda, semua umat beragama mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama
yang satu, yaitu mengusahakan kesejahteraan lahir batin yang sebesar-besarnya bagi semua
orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh karena itu mesti bekerja sama dan bukan
hanya sama- sama bekerja.

Fundamental berbeda dari Fundamentalisme. Fundamentalisme tidak hanya

terdapat dalam satu agama. Fundamentalisme adalah gejala yang dapat terjadi dalam setiap
agama. Untuk mengatasi kesulitan, muncullah fundamentalisme yang bertujuan membangun
benteng yang kokoh demi mempertahankan diri dari serangan dunia luar yang dianggap
membahayakan gereja Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan segala
sesuatu dalam terminologi-terminologi yang serba mutlak. Kemutlakan itu dipaksakan kepada
setiap orang. Dengan demikian, fundamentalisme menuntut komitmen orang atas kebenaran
yang absolut, kalau perlu mempertaruhkan segala sesuatu Tentu saja fundamentalisme sangat
berbahaya, apalagi dalam suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Gejala
fundamentalisme dapat bermacam-macam. Secara umum dapat dikatakan bahwa sikap
agresivitas sangat menonjol dalam cara penyebaran ajaran mereka. Bahkan muncul
kecenderungan bahwa fundamentalisme keagamaan ini terpisah sama sekali dari asas-asas
kemanusiaan, spiritual dan etika yang justru bagi kebanyakan agama merupakan unsur yang
terpenting. Terdapat juga kecenderungan fanatisme yang berlebih-lebihan yang akhirnya
merupakan ancaman bagi keserasian sosial, keadilan dan hak-hak asasi manusia.

Ada 4 hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama:

1. Tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar


2. Kerukunan harus diupayakan terus – menerus
3. Mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas bersama
4. Menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius.

Anda mungkin juga menyukai