Anda di halaman 1dari 17

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam


agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai
kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi konfik.
Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural
masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga
dalam hal agama. Adapun agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia saat Era Reformasi
sekarang ini adalah agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Huchu. Agama
yang terakhir inilah merupakan hasil Era Reformasi pada pemerintahan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masyarakat
Indonesia. Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa
menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu
sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong
menolong. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan kehidupanantarumat beragama
yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegarayang mengikat semua anggota
kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari “ledakan konflik antarumat beragama
yang terjadi tiba-tiba” yang masih terjadi di Era Reformasi saat ini.Maka dari itu, tulisan ini
akan mengupas tentang pentingnya menciptakan kerukunan antar umat beragama di
lingkungan masyarakat Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya
sangat majemuk, demikian pula agamanya. Indonesia sangat potensial untuk terpecah-belah.
Pancasila sebagai ideologi negara dan sekaligus sebagai “payung” mengabsahkan bahwa
benarlah bangsa ini sebuah keluarga besar. Permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam
masyarakat mestinya merupakan persoalan bersama. Demikian juga, segala sesuatu yang telah
dicapai haruslah dilihat sebagai hasil bersama. Tidak ada satu golongan agama pun yang
merasa dirinya lebih berjasa dalam membangun bangsa Indonesia. Ketegangan akan terjadi
apabila satu golongan agama mementingkan kepentingan golongannya sendiri dan
mengabaikan golongan-golongan lainnya. Pancasila telah menyediakan ruangan bagi
terciptanya kerukunan di antara bangsa Indonesia. Agaknya istilah “kerukunan” jauh lebih
positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang statis (Yewangoe 2002, 4). Toleransi
lebih mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak untuk memberikan hak hidup kepada
pihak lain. Artinya, keberadaan satu pihak hanya dapat terjadi lantaran pihak lain
menghendakinya. Andaikata pihak itu tidak berkenan, pihak lain dengan mudah ditiadakan.
Sebuah kutil yang terdapat di kulit Anda pada hakikatnya bukan merupakan bagian normal
dari kulit tersebut. Ia adalah unsur asing yang mengganggu. Anda tetap membiarkannya di situ,
bukan karena Anda suka, melainkan karena Anda “berkenan.” Itulah makna toleransi.
Sedangkan “kerukunan” mengandung pengertian bahwa walaupun kita berbeda, kita
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak hidup Anda tidak tergantung pada izin pihak
lain. Kita justru secara bersama-sama tergantung pada sesuatu yang lebih luhur, yaitu cita-cita
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur,

Page 1
damai sejahtera berdasarkan Pancasila, yang akhirnya tergantung pada Tuhan. Oleh sebab itu,
istilah “kerukunan” lebih dipopulerkan daripada toleransi. Kerukunan tidak mengharuskan
kita seragam dalam segala sesuatu. Kerukunan memang memungkinkan kita supaya “sepakat”
justru dalam persoalan yang kelihatannya sulit disepakati.

B. Rumusan Masalah
 Apa Pengertian Kerukunan Anatar Umat Beragama dan Konsep Kerukunan?
 Bagaimna cara untuk mengapai kerukunan antar umat beragama?
 Bagaimana Bentuk-Bentuk Kerukunan antar umat beragama?
 Bagaimana Konflik Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia khususnya
provinsi Sulawesi Utara? Dan Bagaimana peran para elite agama?
 Bagimana Kunci keberhasilan kerukunan antar umat beragama di Manado?
 Pandangan Alkitab Tentang Kerukunan Antar Umat Beragama

C. Manfaat
 Untuk mengetahui apa Kerukunan Antarumat Beragama
 Cara Untuk Mengapai Kerukunan Antarumat Beragama
 Mengetahui Bentuk-Bentuk Kerukunan Antarumat beragama
 Mengetahui Konflik Kerukunan Antarumat Beragama Di Indonesia khususnya
provinsi Sulawesi Utara dan Mengetahui peran para elite agama
 Mengetahui kunci keberhasilan kerukunan Antarumat beragama
 Mengetahui Pandangan Alkitab Tentang Kerukunan Antarumat Beragama

Page 2
Bab II
Pembahasan
Pengertian Kerukunan dan Konsep Kerukunan
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makana “baik” dan “damai”.
Hakikatya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan bersepakat” untuk
tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850). Bila pemaknaan
tersebutdijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan
oleh masyarakat manusia. Kerukunan (dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang
yang menopangrumah; penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan kepada
penghuninya) secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar
semua orangwalaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.
Maftuh Basuni(2008:79), bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan pilar
kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu haus dipelihara terus dari waktu
ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam
pengmalan ajaran agmanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pada bagian lain, mengenai istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk
hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tentram. Adapun langkahlangkah untuk
mencapai seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan
menghargai sesama, serta cinta-kasih. Kerukunan antarumat beragama bermakna rukun dan
damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek
ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama.
Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis
(Darmaputera 2011, 105). Kerukunan yang autentik adalah kerukunan yang lahir dari
penghayatan iman masing-masing. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang secara
aktif dan kreatif berjalan bersama mengupayakan kesepakatan-kesepakatan baru. Selain itu,
kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang berada dalam interaksi yang seimbang
dengan kebebasan. Kerukunan dan kebebasan saling menghidupi. Hanya bila ada kerukunan,
kebebasan terpelihara. Hanya dalam kebebasan, ada kerukunan yang sejati. Kerukunan
beragama dan kebebasan beragama dalam arti kebebasan untuk memeluk, menyiarkan, dan
berpindah agama perlu diperjuangkan bersama-sama. Ukuran bagi kedewasaan kita beragama
dan kesiapan kita untuk menyambut positif kepelbagaian agama-agama adalah kemampuan
untuk menciptakan kerukunan di samping penghormatan terhadap kebebasan agama (Ngelow
1993, 73). Kerukunan tidak dikorbankan untuk kebebasan, dan sebaliknya kebebasan tidak
dikorbankan untuk kerukunan. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang tidak
mengurangi atau membatasi, melainkan malah justru mengembangkan kebebasan beragama di
tanah air kita. Artinya harus dalam keseimbangan yang dinamis, kebebasan tidak merusak
kerukunan dan sebaliknya kerukunan tidak mematikan kebebasan.
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah kerukunan hanya dipahami sebagai
keadaan tanpa konflik. Konflik tidak dengan sendirinya buruk. Misalnya konflik antara Yesus
dan Orang Farisi, Paulus dan Petrus, Elia dan Ahab dan lain- lain. Tentu saja benar yang
dinasihatkan Paulus, “sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantungpadamu, hiduplah dalam
perdamaian dengan semua orang” (Rm.12:8). Kerukunan harus dilandaskan pada kebenaran,
dan tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menindas kebenaran. Kerukunan sejati terjadi
ketika semua pihak dalam interaksi intens terus mencari pemahaman kebenaran yang lebih

Page 3
tinggi. Dalam proses itu, bisa terjadi perbedaan yang tajam, bahkan ketegangan, namun tidak
perlu merusak kerukunan selama segala sesuatu bisa dan boleh dibicarakan dengan terbuka,
bukan basi-basi dalam semangat, terus- menerus berusaha mencapai kesepakatan yang lebih
maju.
Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan dipahami sebagai tujuan pada
dirinya. Kerukunan penting dan dikehendaki Allah sejak awal karya penciptaan-Nya, bukan
yang terpenting. Kerukunan bukan satu-satunya dan segala-galanya dan tidak boleh dijadikan
tujuan akhir dan satu-satunya pada dirinya. Nilai-nilai kehidupan yang lain tidak boleh
dikorbankan demi kerukunan. Yang benar adalah yang sebaliknya: ketika kebenaran dijunjung
tinggi, ketika keadilan diperjuangkan dan diwujudkan secara tulus dan murni dan ketika
kebebasan asasi dialami, di situlah kerukunan yang sejati dengan sendirinya akan terjadi.
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan hendak dipaksakan dari
luar. Kerukunan yang sejati harus tumbuh secara bebas dan sadar dalam diri masing-masing.
Tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah. Tidak bisa diwujudkan dengan undang-undang.
Kerukunan harus menjadi urusan masing- masing agama. Kekuatan-kekuatan eksternal dapat
menciptakan kondisi yang kondusif bagi terangsangnya kesadaran dari dalam. Sebaliknya,
kekuatan eksternal juga bisa merusak kemungkinan itu. Sikap berpihak dan pilih kasih,
misalnya, amat merusak. Kerukunan dapat didorong dari luar, namun harus tumbuh dari
dalam. Kerukunan yang dipaksakan atau disebabkan oleh faktor- faktor eksternal, biasanya
akan tipis dan sementara saja, tidak mendalam dan tidak awet.
Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan
hilangnya perbedaan dan kebebasan. Usaha untuk menghilangkan perbedaan dan kebebasan
itulah yang justru merusak kerukunan. Menekan ketegangan dan menyembunyikan konflik ke
bawah permukaan.

Mengapai Kerukunan antar umat beragama


Istilah ini sesungguhnya tidak baru, dan telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1960-
an. Frase kerukunan umat beragama diperkenalkan oleh KH. Moh. Dahlan saat membuka
musyawarah antarumat beragama pada 30 November 1967. Mukti Ali, Menteri Agama RI
(1971-1978) yang dikenal sebagai peletak dasar dialog antaragama, menjelaskan kerukunan
sebagai berikut:
“Kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi sosial di mana semua golongan
agama bisa hidup bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk
melaksanakan kewajiban agamanya.”
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah hidup bersama-sama, dan tanpa mengurangi
hak dasar masing-masing. Ada beberapa implikasi dari pemahaman ini. Pertama, pandangan
yang mempertentangkan istilah “kerukunan beragama” dengan “kebebasan beragama”
sesungguhnya telah mengelirukan kedua konsep tersebut. Kebebasan beragama, sebagaimana
akan dibahas di bawah, berbicara mengenai hak-hak dasar setiap orang beragama, yang harus
dipenuhi; kerukunan beragama adalah kondisi dimana semua orang bisa menjalankan haknya,
dan hidup bersama-sama.
Sebagai contoh, setiap orang beragama memiliki hak untuk beribadah, dan karenanya
memerlukan tempat ibadah. Biasanya tempat ibadah berada di ruang publik dimana ada umat-
umat beragama lain, sehingga umat beragama harus berbagi satu ruang publik yang sama
dengan umat-umat lain. Situasi kerukunan yang baik adalah jika setiap umat beragama
memperoleh haknya, dan bisa hidup bersama-sama dengan umat agama lain. Karena itu,
kebebasan beragama selayaknya tidak dibatasi atas nama menjaga kerukunan. Keduanya
berjalan bersama-sama. Kerukunan tanpa kebebasan bukanlah kerukunan yang sejati.

Page 4
Kedua, perlu dicatat pula bahwa karena kerukunan menyangkut kemampuan hidup
bersama, maka ia mensyaratkan adanya toleransi. Namun toleransi barulah merupakan syarat
minimal. Toleransi adalah perwujudan dari pengakuan dan penghargaan akan keberadaan
umat lain. Situasi kerukunan yang ideal mengandung juga unsur kerja sama antarumat
beragama.
Ada beberapa turunan lain dari pengertian kerukunan di atas, yaitu menyangkut
bagaimana kerukunan itu dicapai dalam hubungannya dengan regulasi formal, dan hubungan
“mayoritas-minoritas”. Keduanya akan dibahas di bawah. Dasar Legislatif untuk Kerukunan:
Kesetaraan dan Non-Diskriminasi
Dasar terpenting dan pertama yang menyatakan komitmen Indonesia pada terciptanya
kehidupan keagamaan yang menghargai setiap warga negara, sebagai dasar dari masyarakat
yang baik, rukun, dan damai adalah UUD 1945, yang menyatakan:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk un¬tuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 29,
Ayat (2))
Ketika UUD 1945 diamandemen pada tahun 2000-2002, pasal ini tidak diubah. Ia
bahkan diperkuat dengan beberapa pasal lain di bawah bab mengenai hak-hak asasi manusia,
yang tercakup dalam Pasal 28A-J.
Selain itu, setidaknya ada dua UU lain yang menegaskan kemerdekaan beragama setiap
warga negara, yaitu UU Hak-hak Asasi Manusia (No. 39/1999) dan UU tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Hak-Hak Spil dan Politik (International Covenant On Civil And Political
Rights /ICCPR) (No. 12/2005).
Selain mengenai kemerdekaan beragama, prinsip penting lain yang muncul dalam UU
tersebut adalah prinsip non-diskriminasi atas dasar agama. Prinsip ini muncul dalam banyak
UU, seperti misalnya UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU tentang Penanganan Bencana,
dan UU tentang Penanganan Konflik Sosial. Artinya, dalam menjalankan pendidikan,
menangani bencana, atau menangani konflik sosial, tidak boleh ada pembedaan yang
merugikan atas orang atau sekelompok orang tertentu atas dasar agama yang dianutnya.
Diskriminasi adalah perlakuan yang berbeda dan merugikan (tidak adil) karena adanya
prasangka atas dasar identitas tertentu (agama, jenis kelamin, usia, suku-bangsa, ras, dan
sebagainya)
Untuk itu, perlu diingat bahwa kerukunan adalah konsep yang lebih besar daripada
peraturan-peraturan tertentu. Sikap yang terlalu kaku-legalistik (misalnya terkait hitung-
hitungan jumlah tanda tangan sebagai syarat pendirian rumah ibadah) bisa jadi justru tidak
membantu dalam mengelola perselisihan dan mencapai kerukunan.3 Dalam kasus seperti itu,
jika peraturan tertentu sulit dipenuhi atau justru mempersulit pemenuhan hak sebagian orang,
FKUB diharapkan membantu pemenuhannya karena, seperti dibahas di atas, kerukunan
mensyaratkan terpenuhinya hak atau kebutuhan setiap orang. Hal ini dibahas lebih jauh di
bawah, dan juga di Bab 3 yang membahas beberapa pendekatan penanganan konflik.
Prinsip-prinsip Kerukunan: Dialog dan Resiprokalitas
Djohan Effendi, pembantu dekat Mukti Ali yang pernah mencetuskan “Teologi
Kerukunan”, pernah mengungkapkan bahwa kerukunan dapat dicapai melalui dialog atau
peraturan. Di masa Mukti Ali, dialog lebih diutamakan, sementara di masa-masa berikutnya,
kerukunan diupayakan terutama melalui pembuatan regulasi-regulasi.4 Effendi beranggapan
bahwa dialog lebih mungkin mencapai kerukunan.
Dalam kehidupan sosial, adanya peraturan dalam beberapa hal memang merupakan
keniscayaan. Namun khususnya dalam isu-isu keagamaan, peraturan pasti tidak dapat
mencakup keseluruhan hubungan antarumat beragama. Peraturan dapat dipahami sebagai
semacam batas minimal, namun semangat hidup bersama (sebagai bagian dari definisi

Page 5
kerukunan) menuntut adanya kemauan dan kemampuan yang lebih besar untuk
mengupayakan hidup bersama yang damai. Di sinilah kiranya FKUB dapat memainkan peran
strategis, yaitu menginisiasi dialog.
Melampaui legislasi dan regulasi, ada nilai-nilai lain yang lebih mendasar dalam
mencapai kerukunan, yaitu apa yang dianggap sebagai nilai universal “Kaidah Emas”, atau
resiprokalitas. Yang dimaksud resiprokal adalah menempatkan diri kita dalam posisi orang
lain. Secara umum, Kaidah Emas biasa diungkapkan seperti ini:
Lakukan pada orang lain apa yang kau ingin orang lain lakukan kepadamu. Jangan
lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak ingin orang lain melakukannya padamu.
Kaidah emas ini ada dalam sebagian besar agama dan kearifan-kearifan lokal, meskipun
diungkapkan secara berbeda.
Buddha : Jangan sakiti orang sebagaimana itu akan menyakiti dirimu. Buddha, Udana-
Varga 5.18
Kristen & Katolik :Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka; demikianlah hukum Taurat dan kitab
para nabi. Yesus, Matius 7:12
Konghucu : Satu kata yang bisa merangkum prinsip perbuatan baik manusia … cinta-
kebajikan. Jangan perlakukan orang lain apa yang kau sendiri tidak suka. Analek Konfusius
15.23
Hindu : Inilah inti Dharma: Jangan perlakukan orang lain dengan yang menyakitkanmu
jika itu dilakukan padamu. Mahabharata 5:1517
Islam : Tidak beriman seseorang sebelum ia menginginkan bagi saudaranya apa yang
diinginkan bagi dirinya. Hadis Nabi Muhammad
Kaidah ini bisa juga disebut sebagai sikap welas-asih, dan dasarnya adalah sikap
resiprokal (upaya menempatkan diri kita dalam posisi orang lain). Dalam konteks Indonesia,
sikap resiprokal ini sebetulnya 10
sudah menjadi keniscayaan, karena keragaman Indonesia yang luar biasa. Meskipun
Muslim adalah mayoritas secara nasional, namun ia merupakan minoritas di tempat-tempat
tertentu. Kristen, Hindu, dan agama-agama lain juga merupakan mayoritas di tempat-tempat
tertentu.
Umat Islam yang mengalami kesulitan membangun rumah ibadah di tempat-tempat
dimana mereka adalah minoritas, mestinya memiliki kesadaran bahwa di tempat-tempat di
mana mereka adalah mayoritas, seharusnya mereka membantu kelompok minoritas untuk
mendirikan rumah ibadahnya. Tentu demikian juga untuk umat-umat beragama lain. Jika
prinsip resiprokal ini dianut semua orang, kerukunan lebih mungkin tercapai, meskipun
peraturan yang ada mungkin tidak ideal.
Terakhir, penting diperhatikan bahwa meskipun di atas digunakan istilah “mayoritas”
dan minoritas”, kedua istilah ini sebaiknya tidak digunakan kecuali untuk mengatakan jumlah
suatu umat beragama. Ada konotasi yang negatif jika istilah itu mengimplikasikan diterimanya
suatu relasi kuasa yang tidak seimbang di antara keduanya.
Jika kita kembali pada definisi mengenai kerukunan di atas, seharusnya tidak ada lagi
istilah mayoritas dan minoritas. Semua warganegara dituntut untuk bisa hidup bersama,
terlepas dari apakah ia merupakan bagian dari agama yang dipeluk oleh sedikit atau banyak
orang di daerahnya. Bahkan ketika diungkapkan dalam bahasa yang tampak baik, seperti
“mayoritas melindungi, minoritas menghargai”, istilah tersebut telah mengisyaratkan adanya
pembedaan hak, yang tidak dikehendaki dalam mengupayakan kerukunan yang sejati.
Kelompok yang jumlahnya besar atau kecil mau tidak mau dituntut untuk hidup secara
bersama-sama, di wilayah yang sama, dan karenanya harus saling berbagi. Masyarakat yang
anggota-anggotanya memiliki sikap welas asih yang menerima bahwa setiap kelompok harus

Page 6
berbagi dan memberikan hak semuanya tanpa diskriminasi, adalah masyarakat yang telah
berhasil mencapai kerukunan.

Bentuk- Bentuk Kerukunan antar umat beragama


Dalam Galatia 5:13-15 merupakan firman Tuhan yang berupa perintah untuk melayani
sesama manusia dengan kasih seperti dirimu sendiri dan jika kita saling menggigit dan saling
menelan awaslah supaya jangan kamu binasa dari firman ini kita dapat mengerti bahwa dalam
hidup kita manusia kita harus saling mengasihi seorang akan yang lain dan janganlah kita
salinng membinasakan.

Untuk mencapai kerukunan antarumat beragama, pemerintah telah melakukan


berbagai program antara lain program “Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang
dalam Pelita I-V mengambil bentuk dalam kegiatan- kegiatan Dialog, Studi Kasus, Kerja Sama
Sosial, Kunjungan Silaturahmi dan lain-lain. Pembentukan Wadah Musyawarah Antarumat
Beragama tanggal 30 Juni 1980 dilihat sebagai usaha yang sangat penting dalam hubungan
dengan pembinaan kerukunan antarumat beragama (Sairin 1996, 187).

Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kerukunan antarumat


beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal dilaksanakan dengan prakarsa
pemerintah dan telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dialog adalah suatu percakapan
yang bertolak pada upaya untuk mengerti mitra percakapan dengan baik, saling
mendengarkan pendapat mitra percakapan. Dialog menunjuk pada adanya percakapan antara
dua orang atau lebih mengenai berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan
bersama. Dialog antarumat beragama adalah pertemuan yang disengaja untuk bertukar
pikiran, informasi dan pengalaman tentang keyakinan masing-masing tanpa pretensi
menganggap diri lebih benar. Yang berdialog adalah manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks
kepelbagaian agama yang ada di Indonesia, bukanlah dialog agama, tetapi dialog antarorang
beragama. Banyak pemikiran keagamaan yang dapat disumbangkan oleh umat beragama
seandainya ada wadah dialog. Banyak kecurigaan yang tidak wajar dalam hubungan antarumat
akan lenyap, akan berganti dengan pergaulan yang akrab. Dialog antarumat beragama di
Indonesia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1960-an, khususnya setelah berdirinya Orde
Baru. Musyawarah kerukunan beragama yang diprakarsai oleh Departemen Agama telah
berlangsung pada tahun 1967. Kemudian berbagai pertemuan di tingkat pemuka agama
berlangsung di banyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan toleransi beragama. Mukti Ali,
semasa menjabat Menteri Agama, paling gencar mengupayakan terciptanya dialog antarumat
beragama (Sitompul 2006, 8). Semboyannya yang terkenal ialah “dialog dan bukan apolog”.
Dari sifatnya dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal. Dialog formal adalah
suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan yang
pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing. Dialog informal adalah suatu dialog
yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerja sama, dan hubungan social antarumat yang
berbeda agama. Melalui kesempatan itu mereka saling mengenal satu sama lain. Dalam dialog
informal inilah warga gereja banyak terlibat karena mereka sehari-hari bertemu serta bergaul
dengan umat dari berbagai agama. Untuk melakukan dialog, ada empat hal yang harus

Page 7
diperhatikan. Pertama, kita memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan/agama kita
sendiri. Kita mesti mampu menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi gereja kita
dan lain-lain yang berkaitan dengan agama kita sendiri. Kedua, kita memerlukan pemahaman
tentang agama mereka. Ketiga, kita harus bersikap saling menghormati tanpa memandang
latar belakang “mayoritas dan minoritas” dan lain-lain. Keempat, dialog tidak berarti
merelatifkan kebenaran Injil atau menuju ke sinkretisme. Pada umumnya kita membedakan
antara dialog verbal dan dialog karya. Dialog verbal sudah sangat populer, bukan saja di
Indonesia melainkan juga di bagian lain di dunia. Dialog dengan segala kesulitannya memang
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Interaksi antara penganut agama-agama
sudah sedemikian rupa sehingga berbagai kesulitan dapat saja muncul jika tidak tercapai
pengertian yang mendalam. Sesungguhnya, dialog bisa terjadi karena berbagai faktor. Pertama,
pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama makin lama makin luas dan menyeluruh,
terutama akibat makin canggihnya alat- alat komunikasi. Kedua, muncul masyarakat majemuk
di seluruh dunia. Homogenitas yang merupakan ciri masyarakat tradisional sudah mulai
ditinggalkan. Dialog juga bisa menimbulkan berbagai ketegangan. Misalnya, apakah kita boleh
mempercakapkan dogma-dogma dalam dialog? Bukankan dogma- dogma agama selalu bersifat
kaku sehingga tidak mungkin dipercakapkan dengan penganut agama lain? Di kalangan Kristen
misalnya, timbul pertanyaan apakah dialog bisa menggantikan Pekabaran Injil? Dengan kata
lain, setelah mengadakan dialog, apakah kita masih membutuhkan Pekabaran Injil? Tidak
jarang pula dialog dicurigai sebagai upaya terselubung untuk menobatkan mereka yang
beragama lain. Tuduhan yang lebih fatal lagi adalah bahwa dialog merupakan upaya
mencampuradukkan agama-agama (sinkretisme). Kekhawatiran bahwa dialog akan
menyinggung perasaan orang lain membuat kita enggan untuk berdialog. Kekhawatiran lain
secara tidak disadari ialah kita takut seandainya yang kita percayai itu tidak benar, kita
khawatir jangan-jangan kepercayaan kita menjadi goyah. Humanitas dan keprihatinan sosial
sebagai dasar dialog (Singgih 1999, 101). Yang dimaksud dengan “humanitas” adalah apa yang
mewujudkan keberadaan manusia. Oleh sebab itu, humanitas meliputi segala komponen yang
menyebabkan kita menamakan diri kita manusia. Tentu, hal ini terdengar aneh. Sebab,
bukankah dengan sendirinya kita tahu bahwa kita adalah manusia, yang berbeda dari binatang
misalnya? Tentu, pada satu pihak kesadaran bahwa kita adalah manusia bersifat prareflektif.
Artinya tidak perlu dipikir dalam-dalam, sudah jelas bahwa kita adalah manusia. Namun, pada
pihak lain, ada masalah apakah kesadaran bahwa kita adalah manusia juga menyebabkan kita
mau mengakui bahwa orang lain juga manusia? Dalam sejarah dunia, kita melihat betapa
sulitnya bagi manusia untuk mengakui bahwa mereka yang lain dari dia adalah juga sesama
manusia, misalnya yang berwarna kulit lain, berambut dan bermata lain, yang berkeyakinan
lain, yang berideologi lain, yang beragama lain, yang termasuk suku atau bangsa lain, pada
pokoknya, kelompok lain. Pokok humanitas berhubungan dengan persoalan bagaimana
mengakui kemanusiaan orang lain juga, dan dari sana bertolak untuk menggumuli
permasalahan bersama manusia dan aspirasi bersama manusia. Keprihatinan sosial
bersangkut-paut dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi bersama oleh umat beragama:
kemiskinan yang parah dan penderitaan yang disebabkannya. Di samping itu, penderitaan oleh
karena keterasingan manusia yang disebabkan tekanan dari struktur masyarakat modern yang
memperlakukan manusia sebagai sekadar “mur” atau “baut” dari mesin produksi. Oleh banyak

Page 8
orang, keprihatinan sosial ini dimasukkan ke dalam dialog karya. Kelihatannya, tahap dialog di
Indonesia baru bersifat tukar pikiran terutama di kalangan pejabat dan intelektual. Dari situ,
baru ada ajakan agar melakukan dialog karya sebagai sesuatu yang lebih konkret daripada
dialog yang bersifat tukar pikiran. Dalam perjalanan pemikiran mengenai dialog, orang tidak
terlalu puas dengan istilah “dialog karya”. Seakan-akan orang-orang dari agama yang berbeda-
beda hanya berkumpul pada satu saat tertentu untuk “bekerja bakti”, lalu pulang kembali ke
rumahnya masing-masing. Dalam rangka kehidupan yang memungkinkan kerukunan
beragama dalam arti kata yang sebenarnya, orang dari agama yang berbeda-beda perlu
berkumpul dan bergaul bersama. Bukan hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita
bersama, melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, ada yang mengusulkan
supaya istilah dialog karya diperluas menjadi “dialog kehidupan”. Dalam pengertian ini orang
dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan secara damai dalam rangka
meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh yang meliputi baik aspek rohani maupun
jasmani. Akan tetapi, segera jelas bahwa dialog karya atau dialog kehidupan, kerja sama di
bidang penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan
yang biasanya dianggap sebagai “aras horizontal” dan tidak berhubungan dengan masalah
ajaran, tidak bisa begitu saja dilepaskan dari “aras vertikal”, yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan masalah ajaran. Mau tidak mau orang akan menghubungkan kedua aras itu. Bagi
banyak orang beragama, keterlibatan dalam aras horizontal tidak akan dilakukan kalau tidak
ada amanat dari aras vertikal. Alasan untuk menjamin mulusnya kerukunan pada akhirnya
tidak dapat dicari di luar tubuh agama saja, tetapi seharusnya juga dari dalam tubuh agama.
Meskipun segala wujud dialog yang disebutkan di atas merupakan hal yang baik dan harus
dilakukan oleh kalangan umat beragama sehingga tidak terasing satu dengan yang lain,
tampaknya belum cukup kalau setiap agama tidak melakukan upaya teologis untuk
melegitimasikan upaya-upaya kerukunan beragama. Halangan terbesar dari upaya teologis ini
adalah asumsi bahwa suatu agama dalam segi ajaran pasti tidak akan sesuai atau cocok dengan
agama lain. Tidak ada agama yangsama ajarannya. Bahkan, bisa saja orang berpendapat bahwa
ajaran agama yang satu pasti bertentangan dengan ajaran agama yang lain. Di pihak lain,
percuma saja apabila asumsi ini dilawan dengan asumsi lain, yaitu yang menganggap bahwa
semua agama sama saja. Jalan keluar yang paling baik adalah memulai dari asumsi bahwa
banyak hal yang tidak sama dalam agama- agama, tetapi ada juga hal-hal yang sama, yang
dapat menjadi titik temu dalam kepelbagaian yang ada. Dalam setiap agama ada hal-hal yang
khas, yang partikular, tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum, yang universal. Dialog perlu
terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan internasional dan nasional, melainkan
juga karena komitmen sebagai umat beragama mendorong kita melakukannya. Pertama, upaya
membangun kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan mengabaikan eksistensi orang lain.
Masalah-masalah kehidupan di sekitar kita yang semakin kompleks adalah masalah bersama.
Kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus membuat kita mengakui dengan rendah
hati bahwa pluralitas masyarakat adalah karunia Tuhan untuk dikembangkan dengan
maksimal melalui dialog. Dialog akan membuka perspektif baru dalam menjalankan komitmen
keagamaan. Kedua, adalah tepat untuk mengupayakannya di kalangan pemuda. Sebab pemuda
memiliki potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih dinamis, terbuka
dan penuh kemungkinan. Ketiga, kalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam arah

Page 9
pembangunan bangsa, dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi. Jika tidak ada
dialog, kehidupan akan semakin terfragmentasi dan pada gilirannya akan diabaikan oleh
masyarakat. Keempat, dialog bukan saja sarana untuk makin saling mengenal, melainkan
membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri.

Contoh konflik Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia


khususnya provinsi Sulawesi Utara dan Peran Elite Agama
Seperti yang kita ketahui kerukunan antar umat beragama di kota manado sangatlah
erat. Contoh konflik yang terjadi di kota manado pada saat ajang penampungan para pengungsi
dari, antara lain Poso, Ternate, dan Ambon, kerukunan antar umat beragama disana terlihat,
ketika para pengungsi berbondong-bondong masuk wilayah ini, dan penduduk berjaga-jaga
atas keamanan wilayahnya, gereja misalnya dijaga oleh para pemuda Islam, begitupun
sebaliknya, keselamatan bangunan masjid dijaga oleh para pemuda Kristen. Sikap saling
menjaga tempat ibadah antara pemeluk agama ini merupakan tolak ukur bahwa kerukunan
hidup beragama mereka kuat.

Contoh lain yang terjadi dalam kehidupan keseharian, misalnya, yang menunjukkan
pula kerukunan hidup antara umat beragama adalah sebagai berikut. Pada saat tiba hari raya
Islam, Idul Fitri misalnya, para pemeluk Islam tidak segan-segan mengundang makan bersama
pemeluk agama lain, bahkan meraka dengan ringan hati dan ringan tangan mengirimkan buah
tangan kepada tetangga, kerabat, family, dan siapa saja tanpa memandang perbedaan agama.
Demikian pula sebaliknya, bila tiba saatnya datang hari raya natal, pemeluk kristen dengan
keramahtamhannya bersikap seperti pemeluk Islam untuk saling mengirimkan hadia,makanan,
minuman, bingkisan, atau apa saja yang merupakan simbol kerukunan hidup mereka.

Peran elite agama penting dalam perwujudan kerukunan itu. Elite agama disebuah
instansi pemerintah dan swasta, misalnya, dengan keterbukaannya menggalang kerukunan
hidup antar umat beragama disana. Penggalangan itu direalisasikan melalui acara-acra formal
instansi. Misalnya, ketika tiba hari raya natal, secara resmi, tidak pandang bulu agama yang
dipeluk, tamu-tamu undangan yang berbeda-beda itu berdatangan bersma untuk
merayakannya. Bukan hanya orang perorang yang diundang, tetapai pegawai instansi berserta
anggota keluarganyapun datang. Bahkan, terjadi pula, ketua panitia hari natal adalah seorang
pemeluk Islam. Sebaliknya, ketika dilangsung secara resmi acara halal bihalal di instansi
pemerintah dan swasta, acara ini pun dihadiri oleh para tamu undangan yang berlatar
belakang agama berbeda, tidak sebatas hanya pemeluk Islam. Realitas ini merupakan salah
satu contoh hubungan horizontal kerukunan antar umat beragama disana, baik yang terlihat
secara formal maupun informal. Hubungan informal antar umat beragama dikota manado dpat
dilihat, misalnya, dalam aktivitas mereka yang salig mengunjungi dan saling bersalaman pada
hari-hari raya keagamaan. Hubungan formal antar umat beragama dapat dilihat, antara lain
dari kehadiran mereka secara besma-sama didalam upacra keagmaan dan kemasyarakatan
misalnya, dalam perayaan hari-hari rayagerejawi dan sebaginnya.

Page 10
Kunci keberhasilan kerukunan antar umat beragama di Manado
1. Adanya penghayatan agama yang baik dan benar
2. Adanya kekompakan antara elite agama
3. Adanya hubungan baik dengan pemerintah, ada kerja sma serta kebersamaan
4. Adanya pergaulan yang akrab dalam kehidupan sehari-hari antar umat beragama
5. Adanya sikap saling menghargai, menghormati antar sesama

Pandangan Alkitab Tentang Kerukunan Antar Umat Beragama


Umat manusia sebagai keluarga besar Allah harus hidup rukun. Salah satu penyebab
mengapa orang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan baik dengan yang berbeda
agama adalah karena kecenderungan manusia untuk mempertuhankan agama dan kebenaran
agama masing-masing. Bahwa hanya agama kita saja yang benar dan oleh karena itu, semua
agama yang lain itu salah. Hanya kita saja yang akan masuk ke surga dan oleh karena itu,
semua orang yang beragama lain pasti akan masuk ke neraka. Kalau sudah begini pemahaman
kita, tentu sulit kita menghargai orang yang beragama lain. Kalau kita tidak dapat menghargai
orang yang beragama lain, mustahil kita dapat menjalin hubungan yang baik dengan mereka.
Allah memang mutlak, tetapi agama tidak mutlak! Kita menyembah Allah, bukan menyembah
agama. Agama tidak sama dengan Allah dan Allah tidak sama dengan agama. Tentu saja agama
adalah “jalan” untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu, agama penting, tetapi “jalan” itu
bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan tujuan. Kita tidak boleh mengidentifikasi jalan
dengan tujuan.
Akibat dari sikap melihat agama sebagai tujuan itu tragis. Ada keluarga yang pecah
karena agama. Orang saling membenci, bahkan saling membunuh karena agama. Tragis dan
ironis karena semua agama mengajarkan belas kasih dan kasih sayang. Karena penganut-
penganutnya memutlakkan agama sendiri sebagai tujuan, agama lalu berwajah seram.
Anda tidak percaya bahwa agama itu relatif, tidak mutlak? Dalam percakapan dengan
perempuan Samaria, Yesus berkata, ”Percayalah kepada- Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba,
bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (Yoh.
4:21). Lalu ayat 24, “Allah itu roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya
dalam roh dan kebenaran.” Orang cenderung memutlakkan agamanya masing-masing. Kalau
mau menyembah Tuhan, mesti di sini, mesti begini, lain dari itu salah, sesat dan dosa. Tentang
agama, Yesus mengatakan bukan di mana orang itu menyembah itu yang penting, bukan pula
dengan cara apa orang menyembah itu yang paling menentukan, tetapi apakah ia menyembah
Allah.
Dalam Kisah Para Rasul 10, ada sebuah kisah yang amat menarik tentang bagaimana
Tuhan mendidik Petrus agar ia lebih terbuka terhadap orang yang berbeda agama dan kritis
terhadap ajaran agamanya sendiri. Petrus diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi bahkan
bermalam di rumah Kornelius, seorang perwira tentara Roma, yang baik tetapi menurut ajaran
agama dikategorikan sebagai kafir. Petrus tentu saja amat ragu-ragu untuk melaksanakan
perintah ini. Berkunjung, apalagi bermalam di rumah dan kemudian makan bersama-sama
dengan orang kafir adalah haram. Sampai tiga kali, Tuhan harus mempersiapkan Petrus,
supaya hatinya lebih terbuka. Tiga kali Tuhan menurunkan dari langit, benda berbentuk kain
lebar yang isinya adalah binatang-binatang yang halal dan haram. Dua kali Petrus disuruh
makan, Petrus menolak. “Tidak Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang
haram dan yang tidak tahir” (ay. 14). Tetapi apa kata Tuhan? “Apa yang dinyatakan halal oleh
Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15). Menurut aturan agama, Kornelius itu kafir,
haram dan najis. Pada ayat 28, Petrus mengatakan begitu kepada Kornelius, “Kamu tahu,

Page 11
betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan
Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak
boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.”
Agama itu dapat mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-nyekat manusia, memisah-
misahkan manusia. Agama dapat membuat seseorang saling menajiskan satu dengan yang lain,
penuh prasangka., tidak dapat saling menerima seperti apa adanya. Padahal Tuhan tidak
begitu. Tuhan menerima orang seperti apa adanya, yang baik Ia katakan baik, yang buruk Ia
katakan buruk. Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35, ketika Petrus
akhirnya berkata, ”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.
Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepada-Nya” (Galatia 3:26-27). Begitulah kita harus memandang sesama kita yang
beragama lain.
Dalam Yohanes 3:16 tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga
Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Pada kutipan tersebut dikatakan, bahwa
yang dikasihi oleh Allah adalah dunia ini, semua orang, seluruh umat manusia. Allah tidak
membedakan orang. Artinya, Allah tidak pilih kasih. Allah tidak hanya mengasihi sekelompok
orang. Allah tidak hanya mengasihi orang Kristen. Lebih dari itu, Allah menerima semua orang
tanpa memandang bangsa atau agama.
Jangan memusuhi orang lain, atau menganggap siapa pun sebagai musuh. Surat Paulus
kepada jemaat di Roma (12:18) mengajarkan sebuah perilaku kristiani yang amat penting,
“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan
semua orang!” Bahkan bila ada orang bermaksud jahat kepada kita pada ayat 19, dikatakan
bahwa,” janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka
Allah” Berusahalah hidup damai dengan semua orang, oleh karena Yesus sendiri mengatakan,
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”
(Mat. 5:9).
Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah antara Salomo, Raja Israel,
dengan Hiram, Raja Tirus. Kerja sama antara dua bangsa yang beragama lain. Yang satu biasa
disebut sebagai “umat Allah,” yang lain disebut “bangsa kafir.” Yang mungkin mengejutkan, ini
bukan saja kerja sama yang bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau gotong royong
membangun jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama untuk membangun Bait
Allah.
Bagi orang-orang Kristen yang ekstrem hal ini sulit sekali diterima. Kita sering ditanya,
“Boleh tidak orang Kristen bekerja di sebuah percetakan yang mencetak kitab-kitab agama
lain? Apa dengan begitu, orang Kristen tersebut tidak membantu menyebarkan ajaran-ajaran
yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen?” Begitu pertanyaan mereka.
Menurut 1 Raja-raja 5:1-12 orang kafir, dalam hal ini Hiram, Raja Tirus, malah diundang
oleh Salomo untuk ikut membangun Bait Allah. Kerja sama yang indah sekali menandakan
adanya kerukunan antarumat beragama. Hiram memasok bahan dan tukang untuk Salomo,
sedangkan Salomo memasok bahan pangan untuk Hiram. Kalau orang kafir boleh ikut
membangun Bait Allah, tentu saja adil kalau orang Kristen juga boleh membantu membangun
rumah ibadah orang lain. Tidak adil namanya, kalau orang itu hanya mau dibantu, tetapi tidak
mau membantu.
Apakah di percetakan LAI, tempat Alkitab kita itu dicetak, ada orang- orang beragama
lain yang ikut bekerja? Pasti ada! Kalau ada, baru adil, jika orang Kristen boleh bekerja di
percetakan yang mencetak kitab-kitab agama lain. Sekadar untuk cari nafkah kan boleh? Tentu
boleh! Kecuali kalau ada yang begitu ekstremnya sampai ada yang berpendapat, kalau mau
membangun gedung gereja, tukang-tukangnya harus Kristen semua. Kalau tidak, haram!

Page 12
Mungkin ini biasa. Bila mau konsisten betul, semennya juga mesti semen yang dibuat oleh
orang Kristen, kayunya mesti berasal dari orang Kristen, juga genteng, paku, dan sebagainya.
Mungkinkah?
Alkitab tidak menghendaki kita berpikiran serta bersikap eksklusif seperti itu. Seolah-
olah semuanya mesti dari Kristen, oleh Kristen dan untuk Kristen. Dalam masyarakat majemuk
seperti masyarakat Indonesia, kerja sama antara pemeluk berbagai agama bukan hanya
mungkin, tetapi bahkan tak terelakkan. Oleh sebab itu, umat beragama harus mengembangkan
kerukunan antarumat beragama.
Dalam kehidupan masyarakat, kerja sama itu juga merupakan hal yang tak terhindarkan
sebab dalam banyak hal kita menghadapi masalah yang sama. Masalah keamanan kampung,
misalnya, bukan hanya dihadapi oleh orang-orang Kristen, tetapi juga orang-orang Islam,
Buddha, Hindu dan Khonghucu. Karena itulah, orang-orang dari berbagai agama harus
bersama-sama ikut siskamling. Dalam mengurus kepentingan-kepentingan kita sendiri, kita
mau tidak mau melibatkan orang-orang beragama lain. Waktu penahbisan pendeta, kita minta
bantuan beberapa hansip dan polisi yang bukan beragama Kristen. Dari contoh- contoh
tersebut, jelaslah bahwa kerja sama kita dengan orang-orang yang beragama lain merupakan
hal yang bukan hanya mungkin tetapi bahkan, mau tidak mau harus. Masalahnya sekarang
adalah sejauh mana kita boleh dan dapat bekerja sama dengan para penganut agama lain?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita belajar dari kisah Salomo yang
terdapat dalam 1 Raja-raja 11:1-13. Dalam kitab 1 Raja-raja 11:1-13 kita diperingatkan bahwa
kita harus mau bekerja sama seerat-eratnya, sebanyak- banyaknya dan setulus-tulusnya
dengan siapa saja tetapi ada batasnya. Salomo tidak salah bekerja sama dengan Hiram, Raja
Tirus, atau bekerja sama dengan siapa saja. Dalam 1 Raja-raja 11 kita membaca bahwa Salomo
akhirnya jatuh, tidak diperkenankan Allah dan dihukum oleh Allah. Karena apa? Karena ia
melanggar batas itu! Dikatakan dalam ayat 1, “Adapun raja Salomo mencintai banyak
perempuan asing.” Ayat 3, “Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga
ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya dari pada TUHAN.” Ayat 4, “Sehingga ia tidak
dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN.”
Kerja sama baik dan harus, tetapi jangan kita mengkhianati keyakinan dan kepercayaan
kita sendiri. Jangan kita kalah pengaruh, jangan sampai kepercayaan kita hilang. Menghormati
kepercayaan orang lain, ya, tetapi juga menghormati dan menjaga kepercayaan serta
keyakinan kita sendiri adalah harus! Kita harus ingat bahwa di samping sebagai mitra dari
orang-orang yang beragama lain, pertama-tama kita adalah mitra Allah. Oleh karena itu, kerja
sama kita dengan manusia harus kita tempatkan di bawah kerja sama kita dengan Allah.
Bahkan kerja sama kita dengan orang lain seharusnya kita lakukan dalam rangka menjadi
rekan sekerja Allah. Kesetiaan kita terhadap Allah tidak boleh menghalangi kita dalam bersikap
terbuka dan mau bekerja sama dengan orang-orang yang beragama lain. Kesetiaan kita dalam
kerja sama dengan orang-orang yang beragama lain tidak boleh mengurangi sedikit pun
kesetiaan kita terhadap Allah.
Berdasarkan uraian tentang dasar Alkitab mengenai kerukunan antarumat beragama di
atas, kita dapat mengatakan bahwa Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun
dengan penganut agama yang lain. Selain itu, Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah
sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan
toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam
pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada penganut lain, tetapi kepada
umat Allah sendiri.
Dua buah dasar teologis bagi kerukunan antarumat beragama, yakni sebagai berikut:
1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Page 13
Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian pasal 1-
11, tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman bahwa
Allah adalah Pencipta alam semesta dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan-Nya. Bagi
banyak orang, pokok pengakuan ini akan terdengar sangat biasa saja. Kesan “biasa” ini
didapatkan karena kita selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan masalah adanya
Allah dan bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allah, bukan dengan masalah kerukunan
antarumat beragama dan kebersamaan manusia sebagai sesama ciptaan Allah. Dalam konteks
percakapan mengenai kerukunan antarumat beragama, kita memerlukan perspektif baru yang
khas Indonesia, yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam kerangka ini,
penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa “Adam” bukanlah sekadar nama dari manusia
pertama. Memang dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama orang, akan tetapi sebelum itu
“Adam” selalu berarti “Manusia.”
Dalam Kejadian 1:26-28 manusia disebut “gambar Allah.” Biasanya, orang memulai
pendekatan terhadap “gambar Allah” secara keliru, yaitu mulai mempertanyakan apakah yang
dimaksud bahwa manusia adalah gambar Allah?
Padahal, kisah Kejadian mau memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia.
Hanya manusia dari seluruh ciptaan Allah yang lain yang disebut gambar Allah. Itu berarti,
pada satu pihak manusia adalah ciptaan sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap ada
keunikannya. Di mana letak keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada kemanusiaan
manusia. Dalam situasi mana pun manusia berada, dia tetap gambar Allah, dia tetap manusia.
Tidak dapat dibinatangkan oleh siapa pun.
Dalam teologi tradisional calvinisme, gambar Allah yang ada pada manusia sudah rusak
oleh karena kejatuhannya dalam dosa. Baru oleh karya Yesus Kristus yang adalah gambar Allah
yang sejati, hakikat manusia sebagai gambar Allah dipulihkan kembali. Tanpa bermaksud
menentang teologi yang tradisional ini, ada baiknya kita menyadari bahwa dalam Kejadian 1-
11 secara eksplisit tidak dikemukakan bahwa gambar Allah sudah rusak. Penentangan atau
pemberontakan manusia terhadap Allah pun tidak merusak kemanusiaan manusia. Bila kita
menghubungkan Kejadian 1-11 dengan ayat-ayat mengenai Imago Dei dalam Perjanjian Baru,
penafsiran mengenai gambar Allah yang sudah rusak dapat dikonstruksikan. Bila kita tetap
mau mengikuti teologi tradisional, jalan ke luar yang dapat diambil adalah mengakui bahwa,
pada satu pihak, dosa menyebabkan manusia kehilangan gambar Allah, tetapi oleh Yesus
Kristus, gambar Allah ini dipulihkan kembali. Dipulihkannya ini tidak mesti sesudah manusia
menerima Kristus. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, ”Allah menunjukkan kasih-
Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm.
5:8).
Masih ada satu segi dari pokok penciptaan yang perlu menjadi perhatian kita, yakni
manusia sering disebut sebagai “daging” (basar). Maksudnya, bukan pertama-tama mau
mengungkapkan aspek kejasmanian manusia, melainkan aspek kerapuhannya sebagai
makhluk fana yang dapat mati. Tradisi Hikmat yang berada di belakang Kitab-kitab Kejadian,
Ayub, Amsal, Pengkhotbah dan juga sebagian Mazmur memuat pelbagai macam himbauan
mengenai apa yang harus dibuat oleh manusia untuk menerima kefanaannya. Namun, itu
sekaligus juga membuat hidup manusia yang singkat ini menjadi berharga. Dalam tradisi ini,
pergumulan universal manusia sebagai makhluk dari darah dan daging, yang meliputi harapan
dan sukacita, tetapi juga amat menonjolkan kekecewaan dan keputusasaannya. Kefanaan
manusia dan kerinduan manusia untuk imortalitas merupakan masalah fundamental bagi
agama-agama. Oleh karena itu, pokok mengenai manusia sebagai “daging” dapat menjadi dasar
untuk pemahaman yang membantu memotivasi kerukunan antarumat beragama.
2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia

Page 14
Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Abraham dipanggil keluar dari Ur supaya menjadi cikal
bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil keluar (Exodus) supaya menjadi umat
kesayangan Tuhan. Demikian kita baca di dalam Ulangan 7:6. Pemahaman mengenai Israel
sebagai umat kesayangan Tuhan, umat yang dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa yang lain
memang amat menonjol di dalam Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru yang sudah
berwawasan universal, ide ini tetap kuat juga. Keselamatan datang dari orang Yahudi (Yoh.
4:22). Dalam Surat Paulus kepada jemaat di Roma pasal 11, Paulus tetap mempertahankan
bahwa Israel adalah umat Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan” saja
(Rm. 11:17). Ide umat Allah kemudian diteruskan dalam Surat-surat Petrus. Orang Kristen
menjadi bagian dari “imamat yang rajani” (1 Ptr. 2:9). Berbeda dengan Israel yang mempunyai
golongan imam dan awam, Israel baru, jemaat Tuhan, semuanya adalah imam. Dalam
Perjanjian Baru tidak banyak ayat yang mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos).
Yang banyak dipakai adalah “persekutuan” (koinonia). Dalam teologi tradisional, Gereja
biasanya digambarkan menggantikan tempat Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah Israel
baru, yang menjadi kesayangan Tuhan.
Yang jarang disadari adalah, bahwa di dalam Alkitab juga ada pemahaman mengenai
umat Allah yang tidak menekankan status sebagai “kesayangan Tuhan.” Hal ini terutama
terdapatn pada ayat-ayat yang dekat sekali dengan masa pembuangan dan yang berasal dari
zaman pembuangan. Dalam Zefanya 3:12 umat Israel yang luput dari hukuman Tuhan akan
dibiarkan, menjadi “suatu umat yang rendah hati dan lemah.” Maksudnya, umat yang tidak bisa
membanggakan status mereka sebagai umat terpilih, sedangkan dalam Kitab Yesaya terdapat 4
buah syair yang oleh para penafsir disebut “syair-syair Hamba Tuhan” (ebed Yahweh), yaitu
Yesaya 42:1-4, 49:1-6, 50:4-11 dan 52:13-53:12. Pada pokoknya, dalam keempat syair ini
direfleksikan bagaimana Israel harus memandang penderitaan masa lalunya berupa kehinaan
pembuangan yang telah memalukan mereka, bagaimana mereka harus bersikap sekarang dan
bagaimana Israel di masa depan sesudah pembuangan berakhir, dapat menjadi bangsa-bangsa,
bagaimana harus hidup. Model ini bukanlah model yang triumfalistik, eksklusif ataupun
intoleran, melainkan model yang rendah hati, inklusif dan toleran. Biasanya seorang tokoh
tertentu disebut sebagai hamba. Israel secara keseluruhan sebagai umat disebut Hamba.
Tekanan tidak lagi pada umat kesayangan, sebab pembuangan telah diinterpretasikan sebagai
hukuman yang layak bagi umat yang berdosa dan tidak bisa mempertanggung- jawabkan
keberadaan mereka sebagai umat terpilih.
Dalam syair terakhir (Yesaya 52:13-53:12) yang sangat padat makna dan karena itu
juga bersifat multitafsir, penderitaan Israel dilihat sebagai sesuatu yang bermakna, bukan
hanya bagi Israel sendiri, melainkan juga bagi yang lain. Israel tidak dilihat sebagai model
penampilannya menarik dan mengagumkan, tetapi model yang sebetulnya pantas
dipertanyakan, apakah layak menjadi model. Penggambaran yang menjijikkan bermakna
sebagai metafor dari Israel dalam pembuangan yang menderita malu yang amat sangat. “Kita”
dalam syair terakhir ini adalah dunia (bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan Israel.
Meskipun menderita malu yang amat sangat, penderitaan ini tidak berdampak traumatik, yang
menyebabkan Israel nantinya membangun konsep umat terpilih yang triumfalis, eksklusif dan
intoleran sebagai kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak mau menderita lagi atas
alasan apa pun sehingga daripada menderita lebih baik menderitakan orang lain, tetapi
penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel menderita untuk dunia dalam
rangka melayani dunia.
Di dalam narasi Matius kita mencatat ada Khotbah di Bukit (pasal 5-7) yang ditujukan
baik kepada para murid dan siapa pun yang mau mendengar dan yang isinya berkaitan dengan
bagaimana manusia yang satu berelasi dengan manusia yang lain. Dalam Matius 7:13 Yesus

Page 15
meringkaskan isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi sebagai berikut: “Segala sesuatu
yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka.” Ratusan tahun sebelumnya Khong Hu Cu sudah berkata demikian, tetapi dengan
perumusan yang berbentuk negatif, “yang tidak kamu kehendaki.” Mereka yang berpola pikir
partikular akan mengatakan bahwa ucapan Yesus tetap unik oleh karena dirumuskan secara
positif, sedangkan ucapan Khong Hu Cu kurang dibandingkan ucapan Yesus oleh karena
dirumuskan secara negatif. Di sini terjadi kerancuan berpikir yang menganggap sebuah
rumusan yang berbentuk negatif sebagai bermakna negatif! Mengapa tidak menerima saja
bahwa baik Yesus maupun Khong Hu Cu mengambil inspirasi dari kebenaran universal yang
laku sepanjang masa?
Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai penghakiman
terakhir (Mat. 25:31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus mengidentikkan pelayanan
kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka yang tersisih dalam masyarakat. Pada
penghakiman terakhir “semua bangsa” harus mempertanggungjawabkan tindak-tanduk
mereka. Perikop ini tidak berbicara mengenai penghakiman orang yang tidak percaya, tetapi
penghakiman orang yang tidak menolong sesama yang membutuhkan pertolongan konkret. Itu
makna dari perikop ini. Dalam sejarah makna ini sering diselubungi dengan makna partikular
yang sangat berat sebelah. Pada ayat 32 dan 33 disebutkan mengenai “domba” dan “kambing.”
Domba ditempatkan di sebelah kanan sedangkan kambing di sebelah kiri. Yang di sebelah
kanan masuk ke hidup yang kekal, tetapi yang di sebelah kiri masuk ke siksaan yang kekal
(ayat 46). Otomatis “domba” diidentikkan dengan partikularitas umat.
Dalam rangka mencari dasar Alkitab bagi kerukunan umat antarumat beragama, sudah
mendesak adanya upaya menafsirkan kembali ayat- ayat yang universal sifatnya, tetapi yang
terang universalnya lama terselubung oleh penafsiran tradisional yang tidak sesuai dengan
makna harfiahnya. Uraian di dalam Alkitab mengenai kekhasan umat tidak pernah dapat
dilepaskan dari keuniversalan manusia. Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.
Orang terpanggil untuk menyadari jati dirinya, supaya dapat berkembang bersama yang lain
menuju keuniversalan manusia. Oleh karena itu, pembinaan keumatan tidak dapat
dilaksanakan terlepas dari pembinaan kemanusiaan.

Kesimpulan

Istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi” yang
statis. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis.
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar dengan hilangnya
perbedaan dan kebebasan. Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan
kerukunan antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal dilaksanakan
dengan prakarsa pemerintah dan telah dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Dari sifatnya,
dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal. Selain itu, pada umumnya kita
membedakan antara dialog verbal dan dialog karya. Alkitab mendorong umat Kristen untuk
hidup rukun dengan penganut agama yang lain. Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah
sikap eksklusif. Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan
toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam
pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada penganut lain, tetapi kepada
umat Allah sendiri. Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini
harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih besar pada yang

Page 16
lebih besar. Kedua, kerukunan harus diupayakan terus- menerus. Ketiga, tugas mewujudkan
kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan,
umat beragama serta pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan tembok
prasangka religius. Kunci keberhasilan kerukunan antar umat beragama di Manado Adanya
penghayatan agama yang baik dan benar, Adanya kekompakan antara elite agama, Adanya
hubungan baik dengan pemerintah, ada kerja sma serta kebersamaan , Adanya pergaulan yang
akrab dalam kehidupan sehari-hari antar umat beragama, Adanya sikap saling menghargai,
menghormati antar sesama.

Daftar Pustaka

1. Buku Kristen.Pdf
2. Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama dalam Membangun
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pdf
3. Menggapai KerukunanUmat Beragama:Buku Saku FKUB
4. Buku Kebebasan, Toleransi dan Terorisme
5. Peranan elite agama dalam membina kerukunan hidup antarumat
beragama
6. ALKITAB

Page 17

Anda mungkin juga menyukai