Anda di halaman 1dari 12

Kronologi Konflik Keagamaan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua

Asniyah
Asniyahbungo@gmail.com
Silfani Jastini
Jastinijastini030899@gmail.com
Norida Putri
NoridaPutri@Gmail.Com

Abstrak
Konflik yang mengarah pada kekerasan antar umat beragama, yang terjadi di
Karubaga kabupaten Tolikara, Papua pada Tahun 2015, yang telah
mengakibatkan terbakarnya satu rumah Ibadah. Insiden ini bertepatan saat
perayaan hari bahagia umat Islam yaitu hari raya Idul Fitri. Menurut penuturan
salah satu anggota FKAUB sebelum insiden Tolikara “Toleransi antar umat
beragama terjalin baik di Karubaga. Artinya hubungan Islam dan Kristen GIDI
sangat baik. Umat Kristen GIDI sering berkunjung kerumah umat Islam, pada
saat lebaran dan sebaliknya umat Islam mengunjung umat GIDI pada perayaan
Natal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kronologi insiden
Tolikara? dan apa faktor yang menyebabkan meletusnya insiden Tolikara?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian
Kepustakaan (Library Research). Sumber data dari penelitian ini adalah karya
Ridwan Al Makassary yang berkaitan dengan konflik Tolikara, jurnal, artikel,
buku dan sumber sumber lainnya.Beberapa temuan menarik dalam penelitian ini
mengungkapkan bahwasanya rumah ibadah umat Islam yang ikut terbakar dalam
insiden tolikara berdasarkan penelusuran tim FKUB papua, bahwa masjid
tersebut tidak sengaja dibakar oleh masa yang meminta sholat Id dihentikan.
Sasaran mereka awalnya, adalah membakar kios pendatang, yang dimulai dari
rumah pak Sarno, yang menjual BBM didekat pohon beringin.dengan cepat api
melahap bangunan kios. Setelah itu, api merambat kearah rumah imam Ali
Mukhtar yang bersebelahan dengan mushalla yang ikut terbakar.
Kata Kunci: Konflik, Keagamaan, Papua

A. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia merupakan wujud dari bangsa yang multikultural,


ciri yang menunjukan sifat kemajemukan bangsa Indonesia bisa dilihat dari
adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, suku bangsa
(etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya . Adanya
keberagaman budaya, bahasa, suku bangsa dan keyakinan beragama merupakan
modal besar bagi kekayaan bangsa Indonesia. Banyaknya perbedaan yang biasa
disebut sebagai kemajemukan bangsa tentunya menjadikan kekayaan yang tidak
ternilai harganaya bagi bangsa Indonesia, namun di satu sisi kemajemukan ini
memberikan konsekuensi nyata timbulnya disintregrasi bangsa Indonesia. Kondisi
masyarakat yang sangat dinamis di tengah arus globalisasi seringkali menjadikan
kemajemukan sebagai pemicu utama munculnya konflik suku, agama, ras dan
antar golongan.
Pada era Reformasi, Indonesia telah menyaksikan konflik komunal, secara
khusus yang merundung Ambon,Poso, dan Sambas/Sampit. Untuk membendung
arus konflik tersebut, Papua pada tahun 2002 telah membentuk Forum Konsultasi
Para Pimpinan Agama [FKPPA] untuk mencegah konflik komunal di Papua,
terutama terkait kedatangan sisa sisa lascar jihad yang selesai berperang di
Ambon, yang menjejakan kaki di Papua.selanjutnya pada 5 februari 2003, FKPPA
telah membuat deklarasi Papua Tanah Damai (PTD) di kota Jayapura untuk
menjaga Papua selamat dari amukan konflik komunal hingga kini, Papua cukup
aman dari ancaman konflik komunal, walaupun benih benihnya tetap berada di
sana. karena nya, apa yang merupakan akar akar masalah dan ancaman toleransi
dan perdamaian di Papua masa kini?1
Secara umum, Papua hari ini, menurut lensa teoritis dari Johan Galtung,
sedang menikmati damai negative (negative peace), yaitu ketiadaan perang atau
kesudahan konflik kekerasan . namun, Papua terus berjuang mewujudkan damai
positif ( positive peace,), yaitu bagaimana keadilan, hak asasi manusia (HAM) dan
demokrasi berdenyut dengan keras di Tanah Papua. Meskipun hari ini tidak ada
konflik manifes, namun konflik laten tetap ada, secara khusus konflik bernuansa
saparatisme. Satu di antara manifestasinya adalah anacamaan konflik komunal
(berdasarkan etnik, agama dan kombinasi keduanya). Secara khusus, hingga detik
ini tidak ada konflik agama di Papua, kecuali ketegangan skala kecil antara
Muslim dan Kristen di Monokwari dan Kaimana, Papua Barat, tahun 2006. 2
Hasil riset tim papua LIPI 2004 menyebutkan ada 4 sumber konflik Papua:
sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua;

1
Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di
Indonesia, (Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta,2006)
2
Cahyo Pamungkas, Papua Islam dan Otomi Khusus: Kontestasi Identitas di kalangan
papua. Tesis pascasarjana sosiologi FISIP UI, 2018
kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua;
inkonsistensi pemerintah menjalankan implementasi otsus serta marjinalisasi
orang asli Papua.
Terdapat empat ancaman toleransi beragama dan perdamaian di Papua;
pertama fanatisme agama yang berlebihan; kedua primordialisasi etnik brlebihan ;
tiga, marjinalisasi orang Papua; keempat, perubahan sosial akibat ledakan
transmigran yang datang ke Papua.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kronologi
insiden konflik tolikara yang sebenarnya? Dan apa faktor yang menyebabkan
terjadinya perpecahan antara dua umat beragama?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research). Sumber data dari penelitian ini adalah karya
ridwan al makassary yang berkaitan dengan konflik tolikara, jurnal, artikel dan
sumber sumber lainnya.

B. PEMBAHASAN
1. Tolikara
Tolikara awalnya adalah sebuah distrik yang di mekarkan dari Kabupaten
Jayawijaya. Kabupaten Tolikara memiliki luas wilayah 5.234 km2, yang terdiri
dari 4 distrik dengan Karubaga sebagai ibukota. Di sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Sarmi; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Jayawijaya; di sebelah Barat, Kabupaten Puncak Jaya. Penduduknya saat ini
berjumlah 140’801 (BPS, tahun 2014). Pekerjaan utama warganya adalah bertani
jenis ubi jalar dengan cara tradisional dan berternak wam (babi) terutama di distrik
Kanggime. Sementara Agama mayoritasnya adalah Kristen GIDI. Selain itu
terdapat sekitar 1000an jiwa penganut Islam,yang hampir seluruhnya adalah
pendatang dari Makassar dan Jawa. Selebihnya adalah pendatang dari Toraja,
Sulawesi Selatan, yang sebagian besar menganut agama Kristen.
Sebelum insiden terjadi, Tolikara adalah sebuah nama yang asing di telinga
sebagian besar orang Indonesia, tidak terkecuali warga yang bermukim di
Jayapura. Tidak sedikit orang yang di luar Papua yang menyangka Tolikara
berada tidak jauh dari kota Jayapura. Kenyataannya, ia terletak di wilayah
pegunungan Papua, tidak jauh dari Lembah Baliem yang masyhur itu.
Tolikara adalah sebuah wilayah yang masih sibuk membangun. Kondisi
kota masih jauh dai prediket kota yang maju. Kios dan rumah makan jumlahnya
masih terbatas, yang umumnya dalah pemilik pendatang dari Makassar dan Jawa,
yang membayar sewa tanah.

2. Gereja injili di Indonesia (GIDI)

Di atas telah di singgung bahwa agama mayoritas agama di Tolikara adalah


Kristen GIDI. Disini , akan dijelaskan, sejarah masuknya Kristen GIDI di
Tolikara. Tanpa keraguan GIDI telah membawa terang melalui Injil
di pegunungan Tengah Papua, termasuk Tolikara , dengan mana orang asli
Papua yang awalnya tidak mengenal agama kemudian disentuh hatinya dengan
agama yang belakangan popular sebagai Kristen GIDI .
Dari titikan historis Gereja GIDI pertama kali dirintis oleh tiga orang dari
badan misi UFM dan APCM yaitu Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond.
Setelah merintis pos di senggi termasuk memmbuka lapangan terbang petama
Senggi (1951-1954), pada tanggal 20 Januari 19955 ketiga misionoris beserta 7
orang pemuda dari Sengi terbang dari Sentani tiba di Lembah Baliem di Hitigima
menggunakan pesawat Ampibhi “Sealender” kemudian mereka melanjutkan misi
dengan berjalan kaki dari Lembah Baliem kearah Barat pegunungan Jayawijaya
melalui dusun Piramid. Dari Piramid bertolak menyebrangi sungai Baliem dan
menyusuri sungai Wodlo dan tiba di Ilugwa. Setelah mereka istirahat melanjutkan
perjalanan kearah muara sungai Ka’liga (Hablifura) dan akhirnya tiba di danau
Archol pada tanggal 21 Februari 1955.
Pada tanggal 5 Juni 1957, pesawat MAF pertama kali mendarat di Swart
Valley sekarang di sebut Karubaga wilayah Toli. Lalu, pada bulan Agustus 1958,
tiga orang UFM berajalan kaki dari Karubaga menuju daerah Yamo membuka
lapangan terbang di mulia.
Setelah membuka pos pos penginjilan, sebagai hasil pertama dari badan misi
UFM dan AFCM melakukan pembaptisan pertama berjumlah 9 orang di Kelila
wilayah Bogo pada tanggal 29 Juli 1962. Inilah cekal bekal jemaat mula mula
dalam sejarah Gereja Indjili di Indonesia. Waktu itu gereja pribumi ini semakin
hari semakin bertumbuh dan mengalami kemajuan yang sangat pesat maka para
pendiri bekerja sama dengan tiga badan misi APCM, UFM dan RBMU bersepakat
untuk mendirikan gereja denga nama sendiri. Akhirnya pada tanggal 12 Februari
1963 mereka bersepakat memberi nama gereja ini pertama kali disebut gereja
Injili di Irian Barat.(GIIB)-1971 dengan pusat gereja di Irian Jaya. Pada tahun
1971 nama gereja GIIB di ganti dengan gereja GIIJ (Gereja Injili Irian Jaya)-
1988, sejalan dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI dimana nama
Irian Barat diganti dengan Irian Jaya. Pada tahun 1988 nama gereja ini berubah
menjadi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sesuai dengan perkembangan dan
pertumbuhan gereja di tanah merambah hingga ke pulau pulau seluruh Nusantara
Indonesia.
Gereja ini berdiri sejak tanggal 12 Februari 1962. Terdaftar pada:
Departemen Agama RI di Jakarta Nomor:E/Ket/385-1745/76. Daftar
Ulang;F/Ket/43-642/89. Akta Nomor:15 tanggal 06 Januari 1989. Bentuk:
Otonom dan Gereja Nasional. Masa Berlaku: Tak Terbatas. Sistem Pemerintahan:
Presbiterian- Kongregasional.
3. Muslim Tolikara
Sejauh ini, data mengenai sejarah masuknya Islam dan kehidupan
sosiologis/ teologis Muslim di Tolikara sangat terbatas . menurut Imam Ali
Mukhtar dan Ustad Ali Usman , kehadiran Islam disana ditandai dengan
pengiriman (Dropping) guru Sekolah Dasar (SD) tahun 1980-ah (khusunya 1987).
Diantara mereka ada Bapak Tukiran , Bapak Nasrun, dll, yang umumnya berasal
dari pulau Jawa dan juga beragama Islam.dengan demikian kehadiran Islam di
Tolikara tidak dapat dipisahkan dari kehadiran guru tersebut. Saat itu, Tolikara
masih merupakan sebush distrik dan sekolah dasar baru di galakan. Imam Ali
Mukhtar menuturkan,”Dulu kepala sekolah kami ada yang sembahyang, badan di
tekuk tekuk dan cium lantai. Selanjtnya kepala suku disitu heran dan bertanya .
kenapa pak guru? tidak enak badan atau sakit? apakah kami panggilkan
dokterkah? Dijawab guru tersebut ”kepala suku, saya ini sembahyang . cara
sembahyang atau ibadah saya begini. Umat Islam bersatu , sholat Jemaah , ada
yang nggak hadir mereka dikunjungi “. Dengan demikian , sejarah singkat
kehadiran awal Islam demikian adanya di Tolikara.

4. Kronologi dan Akar Permasalahan Konflik Tolikara


Jumat, 17 Juli 2015 silam tepatnya di karubaga, Kabupaten tolikara, papua
Berawal dari Kegiatan Seminar Kebangkitan dan Kebangunan Rohani (KKR)
yang di helat oleh GIDI di Tolikara sebagai tuan rumah, bertepatan dengan
momentum lebaran umat Islam. Terkait pelaksanaan KKR tersebut, Badan
Pekerja Wilayah Toli (BPWT) GIDI telah mengeluarkan surat pemberitahuan
kepada umat Islam di Tolikara tertanggal 11 juli 2015 dengan no surat
90/SP/GIDIWT/VII/2015 surat tersebut di tanda tangani ; ketua BPWT GIDI Pdt
Najus Wenda, S. Th, dan sekretaris Pdt Marthen Djingga, S.Th, MA. Surat
tersebut di tembuskan kepada Bupati , DPR kab Toli dan Kapolres.
Badan pekerja di wilayah Toil Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
menyampaikan bahwa pada 13-19 juli 2015 ada kegiatan seminar KKR pemuda
GIDI tingkat internasional. Surat tersebut memberitahukan
a. Acara membuka lebaran tanggal 17 Juli 2015, tidak di ijinkan dilakukan
di wilayah Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Kaburaga.
b. Boleh melakukan hari raya di luar kabupaten Tolikara (Wamena) atau
Jayapura.
c. Dilarang kaum Muslim memakai jilbab atau sejenis jilbab.
d. GIDI wilayah Toli Melarang Agama lain dan gereja Dedominasi lain
tidak boleh mendirikan tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara
dan gereja Advent di distrik Vairu, sudah kami tutup dan jemaat gereja
Advent bergabung dengan GIDI.
Surat tersebut dinyatakan “mereferensi” peraturan daerah (perda) Tolikara, sebuah
peraturan daerah yang memberikan kekhususan bagi umat Kristen, terutama
kepada GIDIverifikasi terhadap kebenaran peraturan daerah tersebut dianggap
sebagai salah satu simpul masalah terajadinya deskriminasi , dilakukan oleh
berbagai pihak.3
Surat pemberitahuan GIDI 11 Juli tersebut baru di terima oleh kapolres
AKBP Soeroso SH. pada tanggal 13 Juli, melalui intel Polres dari pos Kapassus.
Selanjutnya surat edaran tertanggal 11 Juli di perbanyak dan di bagikan ke bupati,
Pimpinan DPRD dan Dandim. Pada saat yang sama , polres juga belum menerima
permintaan surat izin keramaian maupun surat permintaan bantuan keamanan dari
panitia pelaksana KKR. Saat apel pagi nyatanya Bupati dan ketua DPRD, tidak
berada di tempat . maka pada pukul 9;30 WIT, koordinasi kapolres di Karubaga
melalui telpon dengan Bupati, yang sedang berada di Jakarta, namun besok malam
beliau sudah berada di Karubaga dan akan di tindak lanjuti lebih jauh.
Selasa,14 Juli 2015 Bupati telah mencoba menghubungi ketua BPWT,
namun beliau tidak berada di Tolikara. Surat tersebut di konfirmasi pada ketua
BPWT, dan ternyata surat tersebut memang beliau yang menandatangani, Atas
dasar surat tersebutlah komunikasi mengenai kekhawatiran umat Islam terkait
pelaksanaan shalat idul fitri. Bupati, panitia KKR dan presiden GIDI (Pendeta
Dorman Wandikbo) melakukan Komunikasi antar unsur pimpinan daerah
menghasilkan permintaan untuk meralat surat, yang pada intinya membolehkan
pelaksanaan sholat idul fitri di Tolikara, namun bertempat di mushalla. Poin
tentang larangan pemakaina jilbab tetap di tuliskan .
Rabu,15 Juli 2015 pagi pagi, dengan pesawat Pilatus Bupati, Apolres dan
ketua DPRD, mengunjungi Distrik Panago dan Giga, dimana terjadi perang suku
yang mesti di selesaikan. Sementara sore hari telah dilaksanakan pembukaan
seminar dan KKR yang telah dihadiri Gubernur dan tidak di hadiri Bupati.
Selanjutnya pada pukul 19.00 wit, pemotongan pita peresmian Monument Gidi
dilaksanakan.
Surat revisi yang tertanggal 15 Juli 2015 di buat panitia pelaksana, dengan
mana surat tersebut di bubuhi tanda tangan Mathen Djingga dan Wenda.
Sementara itu, pihak Kristen GIDI menyatakan bahwa surat ralat telah

3 Ridwan al-makassary, Insiden Tolikara dan Ja’far Umar Thalib, kementerian agama
provinsi papua 2017
disampaikan kepada kapolres dan pak imam mushala . hal tersebut sudah
dinyatakan oleh perwakilan Kristen GIDI yang hadir dalam pertemuan antara
Menkopolhukam dan para tokoh agama di kantor Gubernur Papua. Namun,
kapolres dan imam mushala mengakui bahwa keduanya baru menerima surat ralat
tersebut pada tanggal 18 Juli 2015, sehari setelah insiden Tolikara terjadi.
surat ralat tersebut belum sempat di berikan kepada Kapolres dan imam
mushalla hingga pada saat pelaksanaan sholat id karena miskomunikasi yang
terjadi. (surat tersebut baru sampai di Kapolres Sabtu pagi sesuai dengan
pengakuan bpk Marthen Djingga didepan Kapolri pada pertemuan di Koramil
tanggal 22 juli 2015).
Kamis, 16 Juli 2015 koordinasi Kapolres melalui telpon / sms dengan pak
Bupati, dan juga koordinasi Kapolres melalui telpon dengan presiden GIDI ,yang
menyatakan rencana pelaksanaa sholat idul fitri pukul 06.30-07.30 WIT. Karena
mushalla Baitul Muttaqien memiliki kapisitas hanya 150 orang , maka di
putuskan sholat id dilaksanakan di halaman/lapangan depan Koramil.
Tanggal 17 Juli, masyarakat yang hendak melaksanakan sholat id sudah
mulai berkumpul pukul 06.00 WIT. sholat id tersebut dilaksanakan di lapangan
Koramil, yang berjarak sekitar 750 meter dari tempat pelaksanaan KKR.
Pada saat sholat sdang berlangsung, sekelompok warga datang dari ujung
kantor BPD dan meminta agar sholat di hentikan. Teriakan menggunakan
pengeras suara “Hentikan dan Bubarkan”! disertai pelemparan batu terjadi pada
saat takbir ketujuh.sholat kemudian berhenti, jamaah dievakuasi ke markas
Koramil , sementara negosiasi dilakukan oleh Kapolres yang juga merupakan
jamaah sholat, pada saat negosiasi sedang berlangsung, dilakukan penembakan
pertama untuk peringatan kepada massa yang kelihatan mulai bruntal,dan mulai
menyerang dengan melempari batu dan kerikil kearah Jemaah. Kapolres
berpendapat bahwa “ seandainya tidak ada tembakan peringatan ,kemungkinan
massa yang tak terkendali lebih hebat dan mungkin terjadi korban lebih banyak
lagi dari pihak masyarakat, terutama dari pihak ibu ibu dan anak anak, kepanikan
dan kegaduhan seperti itu akhirnya mendorong untuk melakukan tembakan
peringatan.’
Dalam situasi memanas, ternyata diketahui jatuh korban karena tertembak.
Massa yang sudah tak terkendali melampiaskan kemarahan nya dengan
melakukan penyerangan ke kios kios dan melakukan pembakaran.kios yang
pertama terbakar adalah milik pak sarno, kemudian api menjalar ke atas dan
kebawah.kemudian kios yang ketiga, kios yang berjualan bensindan solar ikut
terbakar. Termasuk juga mobil depan kios ikut terbakar. Mushalla yang
berdempetan dengan kios kios tersebut ikut terbakar.api padam setelah 2 jam
berkobar. 70 kios terbakar serta satu musholla.
Dalam peristiwa tersebut jatuh korban sebelas orang karena tertembak,
satu diantaranya kemudian meninggal dunia .

5. Solusi Penyelesaian Konflik di Tolikara

Satu tuntutan yang disuarakan oleh Muslim kebanyakan di tanah air adalah
tuntutan penegakan hukum. Presiden dan Kapolri juga telah menginstruksikan
penegakan hukum di berbagai media massa. Namun, kalau melihat suara arus
bawah baik dari kalangan umat Islam di Tolikara dan Umat GIDI mereka sama-
sama meminta insiden Tolikara diselesaikan secara adat, yang diyakini bisa
menjadi pondasi pemulihan hubungan sosial yang langgeng. Misalnya, presiden
GIDI menyatakan bahwa "pihak Muslim dan GIDI sama-sama korban dan
penyelesaian adat dapat menjadi tonggak perdamaian sejati di Papua"Sementara
itu, Imam Ali Mukhtar menyatakan, "masih was-was jika tidak ada penyelesaian
adat". Selain itu, seorang warga Muslim asli Papua dari Pegunungan Tengah
mengungkapkan "Kebersamaan dan kepentingan sebagai warga Papua untuk ke
depan perlu adanya penyelesaian adat”
Secara khusus, FKUB mengapresiasi dan mem-fasilitasi jalannya Surat
Kesepakatan Kerukunan dan Perdamaian antara GIDI dan Umat Islam. Juga, men-
dorong penyelesaian secara adat yang berangkat dari arus bawah, khususnya Umat
Islam dan GIDI di Tolikara. Akhirnya, pada 29 Juli 2015, dengan difasilitasi
FKUB terjadi perjanjian damai antara umat Islam dan umat GIDI yang berisikan
tujuh poin kesepakatan (Lihat Annex)
Pada pertemuan dalam acara "Damai Papua Damai Indonesia" yang
disiarkan oleh TVRInasional penyelesaian secara adat mengemuka, yang
disuarakan oleh narasumber yang hadir di Hotel Swissbel. "Penyelesaian adat
akan membawa perdamaian dan kerukunan umat Islam dan umat GIDI di Tolikara
sebagaimana dalam pakaian besama" Meski Sejauh ini proses hukum masih
Berjalan dan mekanisme untuk peradilan adat dan peradilan nasional mesti
dicarikan solusinya" Selain itu Lenis Kogoya dalam kesempatan itu berpandangan
bahwa penyelesaian adat akan menyelesaikan insiden Tolikara
Srcara keseluruhan, kepentingan perdamaian dan kerukunan ke depan
yang lebih relatif tersedia dengan penyelesaian adat sebagai bagian dari
restorative justice, mesti dipertimbangkan oleh pihak yang berwenang untuk
menyelesaikan kompleksitas insiden Tolikara.
C. Kesimpulan
Konflik keagamaan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua sudah
sepatutnya menjadi pembelajaran penting bagi bangsa Indonesia dalam menjaga
kemajemukan yang telah menjadi kekayaan luhur bangsa Indonesia. Ujian besar
menimpa kemajemukan bangsa ketika terjadi kerusuhan yang melibatkan jemaat
GIDI dengan umat islam di hari raya idul fitri tahun 2015 silam. Konflik yang
diawali dengan surat ederan yang di keluarkan oleh GIDI kepada umat Islam dan
gereja Dedominasi lain nya. yang juga di sampaikan kepada pihak kepolisian dan
pemerintah terkait kurang mendapat respon yang semestinya sehingga meletuslah
kerusuhan yang menyebabkan terbakarnya satu mushola, beberapa bangunan di
sekitaranya.
Kerusuhan yang terjadi pada saat umat Islam melaksanakan sholat Idul
Fitri dipicu karena pihak jamaat GIDI merasa terganggu dengan suara pengeras
suara, karena pada saat bersamaan jemaat GIDI juga sedang melaksanakan
upacara keagamaan. pihak gereja telah memberikan himbauan sebelumnya
merasa terganggu dan langsung memprotes dengan kepada umat yang sedang
melakukan shalat Idul Fitri. di luar dugaan, oknum polisi yang saat itu sedang
bertugas menjaga keaamanan umat Islam yang sedang solat Idul Fitri bertindak
sangat represif dengan memberi tembakan peringatan. Akibatnya, jamaah GIDI
marah dan langsung melampiasakan amarahnya dengan membakar kios, dan
beberapa bangunan lainnya.
Sesungguhnya keluarnya surat edaran tersebut telah direspons oleh Bupati
dan Kapolres dengan mana kapolres melakukan komuniksi via handphone
dengan Bupati yang sedang berada Jakarta. Bupati secara khusus telah
mengkonfirmasi dan mengupayakan ada ralat atau surat revisi tertanggal 15 Juli
2015.
Singkatnya, beredarnya surat edaran ini menandakan bahwa kontennya
mengandung sejumlah kelemahan dari sudut pandang kerukunan. Lebih jauh,
surat tersebut dapat di kategorikan intoleren dari sudut pandang Hak Asasi
Manusia (HAM) dan UUD 1945. Yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya
kekerasan di masyarakat.
Surat revisi, 15 Juli 2015 Penerbitan surat revisi /ralat atas surat edaran 11
Juli 2015 sesungguhnya adalah langkah yang positif. Menurut bupati, surat revisi
telah didiskusikan untuk merevisi surat edaran 11 Juli tersebut, oleh karena
dipandang bermasalah terutama untuk kerukunan beragama. Namun menurut
kami tampaknya karena kesibukan Bupati dan Kapolres, dan juga pihak pihak
terkait,terutama upaya menyelesaikan perang suku Distrik Panaga pada waktu
yang bersamaan sehingga surat revisi /ralat tidak tersosialisasi dengan baik.
Pada surat ralat dinyatakan bahwa sholat Idul Fitri bisa dilaksanakan di
Karubaga, tetapi lebih baik dilaksanakan di musholla atau halaman mushalla.
Namun, pelarangan jilbab belum direvisi. Ada yang juga melahirkan polemic
terkait telah disosialisasikan atau setidaknya surat revisi ini.
Sementara itu, pihak Kristen GIDI menyatakan bahwa surat ralat telah
disampaikan kepada kapolres dan pak imam mushala . hal tersebut sudah
dinyatakan oleh perwakilan Kristen GIDI yang hadir dalam pertemuan antara
Menkopolhukam dan para tokoh agama di kantor Gubernur Papua. Namun,
kapolres dan imam mushala mengakui bahwa keduanya baru menerima surat ralat
tersebut pada tanggal 18 Juli 2015, sehari setelah insiden Tolikara terjadi.
Terlepas dari kontroversi surat ralat yang tidak tersosialsasi secara baik,
adalah jelas bahwa komunikasi yang tidak nyambung (miskomunikasi). sekali
lagi, poinnya adalah telah terjadi komunikasi yang terputus (miskomunikasi)
antara pihak yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Laporan Klarifikasi Data dan Fakta (17 juli 2015), FKUB Papua, Barat

Dapid Martin Kondabaga, Datangnya Terang (Sejarah Injil Masuk di Wilayah


Toli), Yogyakarta, 2013.
Ridwan Al Makassary, Insiden Tolikara dan Ja’far Umar Thalib (Kontroversi
Mushalla Yang Terbakar dan Drama Jihad di Tanah Papua), Kementrian
Agama Provinsi Papua, 2017.
Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil Kekerasan Komunal dan Demokratisasi Di
Indonesia,( Yayasan Obor Indonesia dan KITLV Jakarta, 2007)

Anda mungkin juga menyukai