Anda di halaman 1dari 6

Bab 2

A. INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK

Sejak memproklamasikan kemerdekaannya dan kemudian menyatakan keberadaannya sebagai sati


bangsa, sudah sangat jelas bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan tersebut tidak saja terlihat pada banyaknya suku dan etnis, tetapi juga pada
keanekaragamannya agama. Dalam bidang agama misalnya, kemajuemukan itu akan sangat potensial
menjadi penyebab perpecahan apabila setiap agama menonjolkan “kebenaran” agamanya masing-masing di
luar proporsi yang wajar.

Apakah yang dapat kita pelajari dari lain? Yang paling menonjol adalah keberadaan agama-agama itu
dalam dirinya memang bersfat universal. Artinya agama-agama tidak mungkin dibatasi hanya pada satu
suku atau bangsa tertentu. Agama-agama ada bagi seluruh umat manusia. Itu berati menyatakan bahwa suatu
daerah atau wilayah, bahkan negara bebas dari agama tertentu, tidak cocok dengan hakikat agama-agama
yang universal itu. Aspek yang paling penting untuk membahas masalah ini adalah pekabaran. Tidak ada
larangan untuk melakukan pekabaran/dakwah asal hal itu dilakukan dengan memperhatikan etika dan sopan
santun. Hendaknya jangn pernak memaksakan suatu pekabarab yang tidakdisukai orang. Menurut keyakinan
Kristen, “injil” adalah kabar baik. kalau kabar baik ini berubah menjadi kabar buruk, maka pekabaran itu
sendiri akan menjadi kutukan bagi yang mendengarnya.

B. TRI KERUKUNAN

Tri kerukunan, yaitu kerukunan Antar-Umat beragama, kerukukan Inter-Umat beragama dan kerukunan
antara umat beragama dengan Pemerintah.

Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa masih banyak rumah-rumah ibadah yang dirusak? Padahal
persoalan interm agama itu sendiri atau konflik antar warga. Pola pembinaan umat pun dipertanyakan, sebab
mereka begitu mudah mengarahkan “kemarahan” kepada umat lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
persoalan interm mereka. Dalam kaitan dengan hal ini agama sering dipergunakan secara keliru. Aloysius
Pieres misalnya berpandangan bahwa agama dapat membebaskan sekaligus memperbudak. Sikap
memperbudak agama ini dengan gampang “ditangkap” oleh karena mereka berkepentingan, misalnya agam
diperalat demi kekuasaan. Dengan memanfaatkan emosi-emosi keagamaan misalnya, seseorang yang
mempunyai ambisi kekuasaan berupaya memperhadapkan umat beragama yang satu dengan umat beragama
lainnya. Agama diturunkan derajatnya hanya sebagai salah satu alat yang pada akhirnya akan merusak
keluhuran agama itu sendiri.

C. BAGAIMANA KITA MENGHINDARI KONFLIK AGAMA?

Kemajukan masyarakat kita yang besar ini tampaknya rawan konflik. Tidak ada jalan lain yang akan
dilakukan selain memajukan hidup yang rukun. Kerukunan umat beragama, yang terus-menerus
disampaikan para pemimpin bangsa kita pada berbagai kesempatan, maupun oleh mereka yang berkehendak
baik merupakan prasayat bagi pembangunan bangsa ini.

Kerukunan adalah nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur sejak pertengahan milenium pertama.
Apakah perasaan kerukunan itu hanya teori belaka? Tampaknya tidak! Dalam pergaulan sehari-hari
masyarakat “akar-rumput”, sebenarnya adalah hubungan antar umat itu sangat wajar. Bahkan dalam satu
desa, penduduk yang berbeda agama itu masih satu keluarga .

Dalam survei pengumpulan pendapat umum yang dilakukan di tiga kota besar, Jakarta, Surabaya dan
Medan, ditemukan hal-hal berikut:

1. Tingkat kerukunan ditiga kota besar tersebut memiliki kerukunan yang tinggi, sebagian responden
menyatakan bahwa agama tidak menjadi pertimbangan dalam bertetangga (64,4 %) dan tidak
terganggu kalau tetangganya yang beragama... (88,8%). Sementara itu, 97% menyatakan akan
membantu atau prihatin jika tetangganya yang beragama lain ditimpa musibah 70,6% berpendapat
bahwa agama tidak menjadi pertimbangan dalam memilih teman, dan 86,4% tidak terganggu dalam
hubungan dengan rekan sekerja yang tidak seagama. Lebih jauh mereka berpendapat bahwa dalam
memilih karyawan karyawan seyogianya keahlian lebih dipertimbangkan daripada agama, atau
agama tidak dijadikan pertimbangan (66,7%)
2. Saling mengucapkan selamat pada hari raya kepada penganut agama lain seperti idul fitri, natal,
waisak galungan, baik secara langsung maupun dengan kartu ucapan, disetujui 63,2% masyarakat di
tiga kota besar itu. Bahkan 95,5 % merasa senang atau biasa saja menerima ucapan selamat dari
mereka yang beragama lain. Sikap yang lebih toleran juga diungkapkan dengan sikap menyetujui ke
hadiran dalam perayaan-perayaan ibadah umat beragama lain (38,86). Yang juga menarik adalah
bahwa cukup banyak masyarakat di tiga
3. Kota besar itu yang bersedia memberikan bantuan berupa sum- bangan bagi pembangunan rumah
ibadah agama lain (28,296) atau bersedia menerima sumbangan dari agama lain (50,69%). Tingginya
tingkat kerukunan antar-umat beragama tersebut diakui sendiri oleh mereka, yaitu 86,8%
menyatakan bahwa kehidupan beragama di Indonesia dewasa.ini rukun atau sangat rukun. Hanya
9.896 yang menyatakan kehidupan beragama dewasa ini kurang atau tidak rukun. Faktor yang
mendorong adanya kerukunan ini adalah karena kesadaran masyarakat sendiri (48,5 %) , ajaran
agama (35,296) dan anjuran pemerintah (12,596). Masyarakat di tiga kota besar itu uga optimis
bahwa kerukunan antar-umat beragama tersebut dapat dipertahankan dan dapat lebih baik lagi
(71,99%) paling tidak dalan masa lima tahun mendatang.

Demikianlah gambaran hasil survei tersebut. Survei itu, meskipun mem punyai kelemahan-
kelemahan, namun paling tidak telah memberikan gambaran yang barangkali mendekati objektif
mengenai apa yang se- benarnya hidup dalam masyarakat kita dewasa ini. Kalau kita setuin melihat
hasil survei ini sebagai gambaran yang setidak-tidaknya objektif mengenai masyarakat kita, maka
sudah tentu kita heran apabila kita menemukan fakta-fakta bahwa ada desa atau wilayah tertentu
dalam Republik ini yang "diproklamirkan" sebagai "bebas dari agama tertentu" atau ada induk
semang yang tidak menerima anak kos dengan alasan agama tertentu. Mungkin saja kenyataan ini
masih belum seimbang de- ngan hasil-hasil survei yang dikemukakan di atas. Namun harus diwas-
padai, sebab mungkin saja ada unsur-unsur lain yang ikut mempenga- ruhi mereka sehingga bersikap
seperti itu.

D. KERUKUNAN BUKAN SEKADAR MASALAH PRAKSIS

Kerukunan tentu saja bukan masalah praksis semata-mata. Ia juga me- rupakan ungkapan dari
keyakinan dan iman seseorang. Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama) menganjurkan agar setiap
agama di Indonesia merumuskan, apa yang disebutnya sebagai "Bingkai Teologis Kerukunan Umat
Beragama" Unsur-unsur dari kalangan gereja-gereja Protestan telah berupaya merumuskan bingkai
teologis tersebut dalam Pertemuar Kinasih yang diselenggarakan pada tanggal 20 sampai dengan 24
Januari 1997 atas prakarsa Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Depag RI. Hasil akhir- nya telah diterbitkan
oleh Departemen Agama Republik Indonesia bebe- rapa waktu lalu. Dari beberapa bahan yang diajukan
pada pertemuan itu kita memperoleh kesan bahwa bagaimanapun kerukunan itu, baik yang terialin antar-
sesama sendiri (sesama agama) maupun dengan orang orang beragama lain, mempunyal dasar-dasar
teologis yang dapat diper tanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, barangkali baik jika kita menyimak lagi
ulasan Victor I. Tanja tentang pengertian "rukun" yang penjelasan lengkapnya sudah ada dalam uraian
terdahulu. Bagi umat Kristen, kerukunan merupakan panggilan iman. Eka Darmaputera mengingatkan
agar kerukunan jangan dipahami secara sim- pel saja. atau memandang kerukunan sebagai suatu tuntutan
situasi. Menurutnya, ada sekian banyak jenis kerukunan yang tidak dikehendaki, yaitu:

1. Kerukunan yang dipahami sebagai sekadar keadaan tanpa konflik sebab kadang-kadang konflik pun
tidak selamanya buruk. Yesus misalnya tidak segan-segan konflik dengan orang-orang Farisi demi
kebenaran (Mat. 23:1-36), Namun itu tidak berarti bahwa orang harus konflik terus-menerus demi
membuktikan kebenaran, karena sesungguhnya berbahagialah mereka yang membawa damai (Mat.
5:9) Yang dimaksudkan di sini adalah, bahwa kadang-kadang konflik ditolerir demi kebenaran
Tuhan. Kerukunan tidak boleh dijadikan alasan untuk menindas atau menyembunyikan kebenaran.
Kerukunan juga tidak terwujud ketika masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri.
Kerukunan sejati terwujud ketika semua pihak secara bersama-sama secara interaktif mencari
kebenaran bersama yang lebih tinggi - kebenaran Allah.. Oleh karenanya, kerukunan sejati
merupakan proses yang dinamis. Ia tidak sekali jadi.
2. Kerukunan yang dipahami sebagai tujuan pada dirinya. Artinya, ke- rukunan tidak boleh dijadikan
tujuan satu-satunya. Tuhan tidak menghendaki nilai-nilai kehidupan lain ditindas atau dikorbankan
demi atau atas nama kerukunan. Yang benar adalah sebaliknya. Di mana kebenaran dijunjung tinggi,
di mana keadilan diwujudnyatakan dan di mana kebebasan asasi dialami, di situlah kerukunan sejati
dengan sendirinya akan terjadi.
3. Kerukunan yang dipaksakan dari luar, seperti melalui ancaman- ancaman atau larangan-larangan
dari tangan yang kuat, hanya efektif untuk menekan konflik, namun tidak pernah dapat mewujudkan
kerukunan. Kerukunan yang dihasilkan adalah kerukunan semu. Kerukunan mestilah pertama-tama
merupakan kesadaran internal yang didorong oleh kasih
4. Kerukunan yang menghilangkan perbedaan dan kebebasan. Upaya menghilangkan perbedaan
dengan memaksakan keseragaman justru akan merusakkan kerukunan itu sendiri. Menurut Rasul
Paulus, ekspresi kerukunan sejati adalah "jika satu anggota menderita, semua anggota turut
menderita; jika satu anggota dihormati, smu anggota turut bersukacita" (1 Kor. 12:26).
Lalu kerakunan macam apakah yang kita kehendaki? Eka mencatat hal hal berikut:
a. Kerukunan yang autentik dan dinamis. "Autentik" artinya kerukunan itu sungguh-sungguh
keluar dari hati yang tulus dan muml "Dinamis" artinya, kerukunan di mana orang hidup tidak
sekadar hidup berdampingan (ko-eksisten) secara damai. Kerukunan yang dinamis berarti,
kerukunan di mana di dalamnya kelompok- kelompok yang berbeda secara proaktif, dinamis
serta kreatif terlibat dalam interaksi yang intens dan terus-menerus untuk mencari kebenaran
yang lebih tinggi, untuk merumuskan kesepakatan- kesepakatan bersama yang lebih berkualitas.
Dasar teologis hal ini adalah bahwa Allah mengamanatkan kepada semua orang (bukan hanya
orang Kristen saja) untuk mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2:15). Selanjutnya
"Ketuhanan" Kristus atas seluruh kosmos memperlihatkan kedinamisan kerukunan itu (Kol.
2:15-17) Oleh karena itu, orang-orang Kristen bersama dengan semua orang yang berkemauan
baik dipanggil Tuhan untuk secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama memberlakukan
kehendak dan ke-raja-an Kingship) Kristus itu di semua sektor kehidupan. Tentu saja perbedaan
agama ada. Namun ada hal yang mengikat kita bersama yaitu bahwa kita diciptakan dan dikasihi
oleh Allah yang satu itu (Rm. 11:36). "Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang kaya
bagi semua orang yang berseru kepada-Nya" (Rm. 10:12).
b. Kerukunan dan kebebasan, artinya keseimbangan yang dinamis antara kerukunan dan
kebebasan. Maksudnya: kerukunan itu harus- lah terpancar dari kebebasan, dan bukan
sebaliknya justru memati kan atau melumpuhkannya. Hanya dari kebebasan sejati bisa terlahir
kerukunan sejati. Berbicara tentang kebebasan, tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang
ketaatan, atau sebaliknya. Dalam pandangan teologi Kristen, kebebasan Kristen adalah
kebebasan vang dilaksanakan dalam ketaatan. Sebaliknya, ketaatan Kristen adalah ketaatan yang
dijalani dalan kebebasan (Ef. 6:5-6). Perpaduan antara keduanya itulah yang disebut "langgung
jawab". Dalam diri Yesus Kristus.
E. KERUKUNAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Bagaimanakah caranya kita mewujudkan kerukunan itu dalam kehi- dupan sehari-hari?
Tampaknya ada banyak hal yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan ini. Beberapa
hal di antaranya diuraikan berikut ini.
1. Kita perlu memimhuhkan iklim saling menghormati dan menghar- gai. Dalam rangka
itulah beberapa waktu lalu dialog-dialog antar- umat beragama pernah digiatkan di negeri
ini. Dialog-dialog seperti itu perlu diperbanyak. Di kalangan Kristen sekarang ini, orang
malah gencar berbicara tentang kemitraan (partnership). Kemitraan lebih mengacu pada
kerja sama antara berbagai kelompok yang berbeda, namun dalam kedudukan yang
setara. Dalam sebuah Seminar Pemuda Kristen yang diselenggarakan di Kuala Lumpur
pada tahun 1980 dengan tema: Partnership with People of Other Faiths, diungkapkan
beberapa butir penting, antara lain:
a. Tujuan utama kemitraan dengan penganut kepercayaan lain adalah agar secara
bersama berusaha menciptakan sebuah komunitas baru yang didasari keadilan dan
keprihatinan berlan daskan kasih terhadap sesama, sehingga secara bersama pula
berjuang untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi bagi semua orang
b. Secara bersama-sama berfungsi sebagai agen perubahan di tengah masyarakat yang
kita layani bersama, demi terciptanya suatu visi baru tentang suatu tata masyarakat
baru yang sedang muncul
c. Ketarpaduan antara realitas ekonomi, politik dan budaya baik secara lokal, nasional,
maupun internasional, sangat menentukan langgam hidup rakyat. Dengan demikian
perlu adanya kesadaran bersama tentang keterpaduan kekuatan-kekuatan tersebut,
sehingga secara bersama pula dapat menemukan jalan keluar yang memadai bagi
terciptanya kesejahteraan bersama.
2. Kita perlu menghindarkan kesalahpahaman di antara pemeluk-pemeluk agama baik
mengenai istilah-istilah yang dipakai maupun mengenai perilaku. Istilah "pekabaran Injil"
misalnya, tidak sama dengan "kristenisasi", dan istilah "dakwah" tidak identik dengan
"islamisasi". Di sini sangat dibutuhkan kejujuran dari berbagal pihak. Di kalangan
Kristen, pekabaran Injil dipersempit maknanya menjadi menambah anggota sebanyak-
banyaknya. Pemahaman ini berasal dari segolongan kecil orang yang "militan", karena itu
tidak heran jika mereka mengunjungi orang dari rumah ke rumah, me- maksakan
selebaran-selebaran yang tentu saja isinya dapat disalah pahami pula. Bahkan ada yang
memaksakan diri untuk berdoa de ngan si tuan rumah yang dikunjungi itu. Menurut
survei yang telah diuraikan di atas, mayoritas-penduduk di-tiga kota-besar (95,6%) tidak
dapat atau kurang dapat menerima adanya kunjungan ke rumah-rumah dengan maksud
mempengaruhi mereka untuk ber- pindah agama. Sebenarnya cara pekabaran yang seperti
itu tidak disenangi bukan saja oleh orang-orang yang beragama lain, tetapi fuga oleh
orang-orang Kristen sendiri.
F. PERANAN KHAS MAHASISWA
Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah: "Apakah mahasisw mempunyai peranan
khas di sini?" Tentu saja ada. Mahasiswa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat
Indonesia, sehingga per soalan-persoalan yang dikemukakan di atas, juga merupakan keprihatin- an
mereka. Mahasiswa sebagai orang-orang intelektual dan masih muda tentu diharapkan akan sanggup
memilah-milah persoalan dengan kritis dan objektif. Pergaulan mereka yang cenderung tidak
membedasbedakan suku agama, ras dan golongan kiranya dapat membantu untuk mang ambil jarak
dari persoalan-persoalan dan sanggup pula memberikan solusi-solusi yang dapat menolong semua
orang.

Anda mungkin juga menyukai