Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Muhammad Asrinal Fahmi

NIM : 07021382025127

MK : Sistem Sosial Budaya Indonesia

Konflik Perbedaan Agama di Indonesia

Pluralisme adalah sebuah aliran filsafat yang mengakui adanya eksistensi perbedaan.
Perbedaan bukanlah hal negatif yang perlu dinegasikan. Perbedaan adalah keindahan dan
kekayaan sosial yang dapat dijadikan fondasi dan modal sosial dalam kehidupan bersama di
masyarakat. Karena itu, semua upaya untuk penyeragaman dan menghilangkan perbedaan
adalah bertentangan dengan realitas sosial dan sia-sia belaka. Pluralitas adalah sunatullah,
suka atau tidak, pluralitas atau keberagaman akan selalu ada dalam kehidupan kita. Dalam
pluralisme terkandung unsur toleran; kesediaan berbagi dengan yang lain; solidaritas sosial,
menghargai dan menerima orang lain dalam kehidupan bersama; serta keinginan kuat
membangun damai dan harmoni dalam masyarakat. Hanya dengan mengakui pluralisme,
masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia yang sangat heterogen dapat terwujud
secara pasti. Dalam konteks agama, pluralisme berarti setiap pemeluk agama harus berani
mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan
dalam keharmonisan. Dengan ungkapan lain, filsafat pluralisme mengakui bahwa semua
agama dengan para pemeluknya mempunyai hak yang sama untuk eksis. Pluralisme agama,
sebagai satu dari bangunan penting demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita
semua, termasuk para pemuka agama dan penyelenggara negara. Apalagi, di masa lalu,
pluralisme agama telah dipromosikan sedemikian cerdas menjadi instrumen kontrol, yakni
sebagai instrumen hegemoni kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya
yang sungguh-sungguh untuk mengubah pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol
menjadi suatu kekuatan politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian
dan anti demokrasi.

Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama ini setidaknya ditawarkan dua strategi
mendasar bagi upaya membangun pluralisme agama di Indonesia. Pertama, dialog yang tulus
dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah dilakukan, melainkan sudah
terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di
kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama tingkat nasional, dan itupun hanya berlangsung di
ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di kalangan elite, melainkan lebih
penting di tingkat "akar rumput". Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai
kelompok yang terpinggirkan di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain
itu, materi dialog pun harus difokuskan pada proses transformasi dan humanisasi masyarakat.
Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan untuk saling mengenal antara mitra dialog
dan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan
yang dapat dijadikan landasan hidup bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan
pernah efektif tanpa kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi
ajaran masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama
sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak setengah-
setengah. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa mayoritas penganut agama tidak
memahami ajaran agamanya secara benar dan komprehensif, dan lebih sedih lagi bahwa
kondisi seperti itu juga menyelimuti sebagian para pemuka agama. Tujuan utama dialog
antaragama adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggungjawab bersama,
sikap toleransi, saling menghormati, dan memberikan kebebasan bagi masing-masing
pemeluk agama. Dialog yang dilakukan itu harus mampu memaparkan berbagai karakteristik
agama masig-masing sehingga setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu dapat saling
memahami dan menghargai eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu, dialog harus
dilakukan atas dasar dan komitmen pada keterbukaan, toleransi, dan pluralisme. Bukan untuk
tujuan mengajak kepada konversi agama atau tujuan-tujuan yang serupa lainnya.

Kedua, aktivitas partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan menyusul kegiatan


dialog. Melalui kegiatan ini, para penganut agama yang berbeda-beda itu dimungkinkan
untuk memperoleh pengalaman hidup bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya
dalam bentuk kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau bantuan
medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami musibah. Pengalaman hidup
bersama atau bekerja bersama di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar
bahwa apa yang mereka anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda.
Sejumlah pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama
-yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan diri
mereka- mampu menyimpulkan bahwa “mereka itu juga seperti saya”. Apa yang selama ini
mereka persepsikan berbeda itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang
dialami dan dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.
Akhirnya, dalam rangka mewujudkan masyarakat damai yang menghargai pluralisme
ada dua hal yang patut dilakukan. Yang pertama dan utama adalah bahwa setiap komunitas
agama hendaknya membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kendala internal
dalam komunitas mereka masing-masing. Setidaknya ada tiga kendala utama yang dihadapi.
Pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral. Setiap agama hendaknya menyadari bahwa
tujuan beragama yang hakiki, yaitu menjadikan manusia sebagai makhluk bermoral,
sebagaimana tercantum dalam teks-teks suci agama, ternyata masih sangat jauh dari harapan.
Kedua, soal ketidakadilan. Seringkali para pemuka agama hanya gencar menyuarakan
ketidakadilan manakala ketidakadilan itu menimpa diri atau kelompok mereka. Akan tetapi,
mereka akan diam membisu, manakala yang mengalami ketidakadilan itu adalah penganut
agama lain. Ketiga, soal eksklusivisme. Hampir semua komunitas agama mengalami kendala
dalam mengikis berbagai bentuk eksklusivisme ini. Berikutnya, adalah mengatur kembali
pola hubungan antara agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya
modernisasi di masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi cara-cara yang
represif, otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari aspek kuantitasnya daripada
kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang sangat sentralistis, dan didominasi oleh
birokrasi dan militer. Ke depan diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik
untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan
sebagai alat kontrol, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Sudah selayaknya kita
semua mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya
sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai