Anda di halaman 1dari 11

REVITALISASI MODERASI BERAGAMA DALAM

MENANGKAL RADIKALISME AGAMA

Nama : Irmawatiningsih
Nim : 21030297
Jurusan : Manajemen

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MANDALA


JEMBER
2022
Abstrak

Penelitian ini muncul dikarenakan maraknya kasus-kasus yang ramai mengenai radikalisme
agama yang berkembang dan menjadi fenomena tersendiri di kalangan masyarakat. Salah satu
yang terkena dampaknya adalah dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. Dimana
mahasiswa menjadi sasaran utama dan sangat mudah terhadap paham radikalisme ini.
Kebijakan perguruan tinggi merupakan sumber utama untuk membentuk karakter mahasiswa
agar berada pada ajaran Islam yang moderat (tidak faham kanan ataupun faham kiri). Islam
yang moderat adalah salah satu cara untuk meredam aliran radikal yang semakin berkembang
di lingkungan perguruan tinggi. Sehingga hal ini menjadi perhatian, khususnya dari
Pemerintah dan Kementerian Agama. Kemudian yang perlu direspon adalah pendidikan di
perguruan tinggi. Adapun hasilnya yaitu digagaslah dengan membentuk gerakan moderasi
beragama. Dalam hal ini, gunanya untuk menjadikan strategi penguatan dalam pencegahan
aliran radikal di kalangan mahasiswa. Maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah
“Revitalisasi Moderasi Beragama Dalam Menangkal radikalisasi agama”

Kata Kunci: Moderasi Beragama, Radikalisme


Pendahuluan

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki


keragaman, mencakup beraneka ragam etnis, bahasa, agama, budaya,dan status sosial.
Keragaman dapat menjadi ”integrating force” yang mengikat kemasyarakatan namun
dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan
antar nilai-nilai hidup. Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami
karena bertemunya berbagai budaya, berinteraksinya beragama individu dan kelompok
dengan membawa perilaku budaya, memiliki cara hidup berlainan dan spesifik.
Keragaman seperti keragaman budaya, latar belakang keluarga, agama, dan etnis
tersebut saling berinteraksi dalam komunitas masyarakat Indonesia.
Dalam masyarakat yang dari beragam agama di Indonesia, interaksi sesama manusia
cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam
berinteraksi antar manusia perlu dimiliki setiap anggota masyarakat. Kemampuan
tersebut menurut Curtis, mencakup tiga wilayah, yaitu : affiliation (kerja sama),
cooperation and resolution conflict (kerjasama dan penyelesaian konflik), kindness,
care and affection/ emphatic skill (keramahan, perhatian, dan kasih sayang). (Curtis,
1988).
Keragaman suku, ras, agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di
Indonesia sering berbuntut berbagai konflik. Konflik di masyarakat yang bersumber
pada kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di
Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam
Negara-Bangsa Indonesia, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa
rendahnya saling pengertian antar kelompok.
Konflik berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi bencana
kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari jenis maupun
pelakunya. Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu
lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Berdasarkan
masalah-masalah yang datang silih berganti ini, Indonesia bisa masuk dalam situasi
darurat kompleks.
Bagi para penyuluh agama sebagai pelayan publik, maka fenomena keragaman budaya
mengharuskan para penyuluh memahami pengetahuan dan kesadaran multikultural,
sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi perbedaan, sekecil apapun
perbedaan kelompok binaannya. Penyuluh perlu meningkatkan persepsi mereka,
mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang keragaman budaya, memahami
adanyabentuk-bentuk diskriminasi, stereotip dan rasisme yang sering terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, para penyuluh diharapkan
dapat menjadi fasilitator perubahan dan ahli dalam mengatasi konflik dan melakukan
konsultasi kepada pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan keharmonisan
kelompok binaannya. Dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan publik terhadap
beragam kelompok masyarakat, maka penyuluh dihadapkan dengan jangkauan layanan
yang lebih luas, sehingga perlu memahami multikultural sehingga dapat lebih efektif
dalam pelayanan publik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka fokus kajian
makalah ini adalah Revitalisasi Moderasi Beragama dalam Menangkal Radikalisme
Agama.
B. Permasalahan
Fokus kajian makalah ini adalah tentang Pengertian dan bentuk moderasi beragama,
pengertian dan bentuk radikalisme agama, dan bentuk moderasi beragama dalam
lingkungan akademis.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah memahami moderasi beragama, radikalisme
agama, dan bentuk moderasi beragama dalam lingkungan akademis. Serta memahami
Revitalisasi Moderasi Beragama dalam Menangkal Radikalisme Agama.
Kajian Teori
A. Pengertian dan Bentuk Moderasi Beragama

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa


Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap
tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting),
pelerai, penengah (of dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio,
yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau
penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti
sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan
kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang
bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat,
diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah,
alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber
tenaga.  

Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”,  menjadi


“moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi
kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua
kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan
prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem
(radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan
semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan yang
sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk
ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas nama agama, adalah kekanak-
kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak
perlu.  
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan suatu sikap
keberagamaan di tengah berbagai desakan ketegangan (constrains), seperti antara
klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan
yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen
utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara terbaik untuk
menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan,
pada gilirannya, mengimbasi kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

B. Pengertian dan Bentuk Radikalisme Agama

Radikal adalah kata sifat yang berarti aksi mencolok untuk menyerukan paham
ekstrem agar diikuti oleh banyak orang. Sementara radikalisme adalah ideologi yang
memercayai perubahan menyeluruh hanya bisa dilakukan dengan cara radikal, bukan
dengan cara evolusioner dan damai.

Radikalisme secara historis berawal di ranah politik oleh sayap kiri pada masa
Revolusi Perancis (1787-1789). Pengertian ini terus berkembang sehingga mencakup
tidak sayap kiri atau sayap kanan dalam politik, tetapi juga hingga ke bidang
keagamaan (religious radical). Meski tidak baru, bahkan muncul lebih dulu daripada
Revolusi Perancis, radikalisme keagamaan menemukan kembali momentum sejak
pertengahan 1980-an ketika berbagai agama mengalami kebangkitan (religious
revivalism) menantang modernitas dan sekularisme.

Gerakan radikalisme agama bagaikan musuh dalam selimut. Hal itu dikarenakan dapat
membahayakan kehidupan berbangsa dan umat Islam sendiri. Dalam kehidupan
berbangsa kekayaan budaya dan tradisi akan tereduksi dengan hadirnya formalisasi
agama. Bagi Islam sendiri, hal tersebut berarti penyempitan pemahaman agama Islam
yang Lilahitaa’la.

Hadirnya semangat menjadikan Islam sebagai agama sekaligus negara kembali


merisaukan belakangan ini. Gerakan yang lebih dikenal dengan gerakan radikalisme
agama mulai menemukan caranya dalam menyebarkan ajarannya. Gerakan ini
dikatakan radikal karena lebih mengedepankan pemahaman literal terhadap teks dan
cenderung mudah menggunakan kekerasan dalam memaksakan pemahaman mereka.
Bila dahulu gerakan radikalisme agama dalam menyampaikan ajarannya hanya melalui
jalan revolusioner, seperti Jamaah Islamiyah dengan bom bunuh dirinya, dan terbukti
gagal maka sekarang turut menggunakan cara baru yaitu jalan evolusioner.

Boleh jadi munculnya gagasan mengubah Islam kedalam negara disebabkan oleh
semangat berlebihan tanpa dibarengi pengetahuan agama yang memadai. Berawal dari
situ maka munculah klaim kebenaran tunggal untuk menghindari pemahaman lain
yang berseberangan. Pandangan yang berbeda atau bersebrangan harus diberangus dan
dianggap sesat. Selanjutnya agama dijadikan dalih terhadap pemahaman literal mereka
sehingga tanpa mereka sadari apa yang mereka perjuangkan adalah ideologi mereka
dan bukan islam itu sendiri.

Karena itu alasan utama menolak radikalisme agama ialah untuk mengembalikan
wajah Islam yang penuh rahmat sekaligus menyelamatkan NKRI dari keterpecah
belahan. Seluruh masyarakat Indonesia perlu bersama mewujudkan islam yang lebih
moderat dan akomodatif terhadap kekayaan budaya nusantara. Islam yang terbuka dan
tidak meneriakkan kekerasan adalah kunci perdamaian di Indonesia sehingga gerakan
radikalisme agama yang sekedar menekankan sisi luar dari Islam tidak akan pernah
menemukan relevansinya di negeri ini.

C. Bentuk Moderasi Agama dalam Lingkungan Akademis

Merespon ramainya isu radikalisme dan hate speech bernuansa Suku, Agama,
Ras dan Antargolongan (SARA) di tanah air bahkan perguruan tinggi, pihak kampus
sudah semestinya mengambil langkah-langkah antisipatif agar kampus bernuansa
inklusif jauh dari isu radikalisme agama serta turut menjadi benteng penjaga Pancasila.
Selain itu, jauh dari provokasi-provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan, apalagi
mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmi Ekonomi Mandala Jember (STIE Mandala) yang
mempunyai kuantitas mahasiswa yang cukup besar dan dari berbagai macam latar
belakang agama, termasuk corak pemahaman keagamaan mahasiswa yang beragam.
ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi keberagamaan mahasiswa, yaitu dapat
dilihat dari asal sekolahnya, dari lingkungan dimana ia bergaul, media sosial dan dari
pengajian-pengajian yang pernah diikuti. Kemudian ketika mereka bersinkronisasi dan
bersosialisasi dengan temantemannya di kampus yang juga ragam, maka akan
membentuk warnanya sendiri, tergantung siapa yang mengisi.

Agama adalah pedoman hidup bagi umat manusia agar mempunyai ketenangan
jiwa. Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam
semesta. Di Indonesia sendiri terdapat keragaman agama termasuk keragaman aliran-
aliran Islam yang berkembang baik yang moderat, fundamental bahkan radikal, tentu
hal tersebut memberikan sumbangsih pengaruh yang cukup besar terhadap lingkungan
di perguruan tinggi. Dalam hal ini di perguruan tinggi maupun pada institusi
pendidikan secara umum diharapkan mampu mengembangkan paradigma keilmuan
yang inklusif sebagai ruh akademik sehingga tercipta suasana saling menghargai dan
menunjukkan Islam yang rahmatan lil’alamin di tengah keragaman yang ada.

Islam mengajarkan cinta damai, menebar keselamatan, keberkahan dan


kemaslahatan, bukan hanya pada umat Islam saja namun juga kepada umat yang lain.
Setidaknya terdapat empat hal pokok yang diajarkan dalam Islam yaitu: Islam
mengajarkan kesatuan penciptaan yakni Allah Swt., Islam mengajarkan kesatuan
humanitas (kemanusiaan), Islam mengajarkan kesatuan petunjuk yakni al-Qur’an dan
Hadis Nabi saw., dan konsekuensi logis dari ketiga hal tersebut, umat manusia hanya
memiliki satu tujuan dan makna hidup yaitu kebahagiaan fii dunnya wal akhirat. Maka
dari itu, harus dipahami bahwa hal tersebut bukan karena agamanya, namun
pemahaman orang-orang tertentu atas Islam yang marah dan tidak ramah yang perlu
direkosntruksi.

Perguruan Tinggi dalam hal ini mempunyai peran penting, berkaitan dengan
upaya diseminasi nilai-nilai moderasi beragama yang berimplikasi pada pemahaman
yang moderat, inklusif, dan mempunyai sikap toleransi, menghargai perbedaan dan
menebar kedamaian dan kebermanfaatan bagi sesama, bukan saling membenci,
menaruh curiga, bahkan memberi stigma takfiri, dan bertindak anarkis dengan
berlindung dibawah payung agama sebagai legitimasi tindakannya. Maka diseminasi
nilai moderasi beragama terutama generasi muda, salah satunya melalui ruang
akademik, seperti sekolah dan perguruan tinggi sangat perlu diupayakan guna
menangkal penyebaran radikalisme yang juga berjalan cukup masif dan sistematis.
Simpulan

Dalam kehidupan yang beragam agama ataupun multicultural diperlukan pemahaman


dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan sekaligus
kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Menghadapi keragaman, maka diperlukan
sikap moderasi, bentuk moderasi ini bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran,
penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara
kekerasan. Diperlukan Revitalisasi Moderasi Beragama dalam Menangkal Radikalisme
Agama peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para penyuluh di berbagai lingkungan
termasuk juga lingkungan kampus agama untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan
wawasan moderasi beragama terhadap masyarakat Indonesia untuk terwujudnya
keharmonisan dan kedamaian.
Daftar Pustaka
Wahyudi, Imam  (2020) Menangkal radikalisme agama di Perguruan Tinggi: studi tentang
kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dalam mencegah
perkembangan paham radikal di kalangan mahasiswa. Undergraduate thesis, UIN
Sunan Ampel Surabaya.
Pengembangan Kompetensi Penyuluh Agama pada Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama
RI dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama. Tangerang: Young Progressive
Muslim. Darlis. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat
Multikultural. Rausyan Fikr, Vol.13 No. 2 Desember, 225-255.

Abd Hamid Wahid, dkk, 2020. Anti Radicalism Education; Amplification of Islamic Thought
and Revitalization of the Higher Education in Indonesia. Michigan USA, IEOM
Society International, p. 3804

Abdul Aziz , Najmudin , 2020. Moderasi Beragama dalam Bahan Ajar Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam 9PAI) di Perguruan Tinggi Umum Swasta (Studi di STIE
Putra Perdana Indonesia Tangerang). Journal, 6(2), pp. 95-117.

Akhmadi, A. (2019) „Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious


Moderation in Indonesia‟s Diversity‟, Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), pp. 45– 55.

Ali, N. (2020) „Measuring Religious Moderation Among Muslim Students at Public Colleges
in Kalimantan Facing Disruption Era‟, INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 14(1), pp. 1–24. doi: 10.18326/infsl3.v14i1.1-24.

Anwar, R. N. (2021a) „Penanaman Nilai-Nilai Islam Moderat Pada Anak Usia Dini Dalam
Keluarga Sebagai Upaya Menangkal Radikalisme‟, Al Fitrah Journal Of Early
Childhood Islamic Education, 4(2), pp. 155–163.

Anda mungkin juga menyukai