Anda di halaman 1dari 7

Pluralitas agama sebagai tantangan masa depan agama dan

demokrasi

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik
etnis, bahasa, budaya maupun agama. Menurut Heldred Geertz,[1] di Indonesia terdapat lebih
dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus
lima puluh bahasa digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain
dari ragam agama asli itu sendiri. Sementara Coward menegaskan, bahwa "pluralisme"
merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam "pluralisme"
dan merupakan bagian dari "pluralisme" itu sendiri.[2] 

Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’[4] mengakui, bahwa Islam telah menjadi
kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos ”pluralisme” keagamaan sejak Indonesia merdeka.
Namun, menurutnya, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan
sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran
keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam
berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-
keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial
Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan demokrasi, dan ini
merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan
pasca-modern.

Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut telah
dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta yang
positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang  bersumber pada
agama.[5] Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini
justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk
agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark,
[6] claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif [7] --bahwa agama yang
dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan
Sejati (One True God)-- banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk
agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain.

Melalui penelitiannya ia berkesimpulan, bahwa perbedaan agama dalam seluruh


masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling
berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan.[8] Menurut Stark, pluralitas agama
merupakan keniscayaan dan pluralistas agama tersebut dalam orde sosial dapat menjadi stabil
selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu
kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang
intens. Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika
beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.[9] 

Agama dituntut mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara


menyeluruh yang menyangkut keadilan, pemenuhan kesejahteraan, pelestarian alam dan
sebagainya. Jika tidak, maka agama akan kehilangan pengaruhnya. Ajaran agama harus dipahami
secara benar dan digali makna subtansialnya. Isu-isu kontemporer mengenai: keadilan, HAM,
demokratisasi dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator
keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan
juga sarat dengan dimensi antroposentris. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia,
sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia lain atau alam makro
secara keseluruhan. Memang dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita saksikan, bahwa
antara iman dan amal saleh sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, pengahyatan
dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosialnya. Ini disebabkan dalam
merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mengkaitkan realitas empiriknya. Sementara di
pihak lain antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak
mengalami kontradiksi dan gap. Akibatnya, dari ketidakseimbangan (gap) antara amal dan iman
tadi memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya, yang dilukiskan sebagai: agama yang
egois, individualis, agama yang hanya sarat dengan doktrin sakral, praktik ritual, sabda mimbar,
tidak memihak kaum lemah dan seterusnya.

Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyalamat umat, dan secara
normatif, agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, edukatif, dan pemersatu umat. Dom H.
Camara[10], seorang aktivis dan uskup agung, dalam karyanya, Spiral Kekerasan menyerukan
agar semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab sucinya masing-masing untuk
menemukan ajaran kemanusiaan universal  dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan.

Jika kita perhatikan secara serius baik secara normatif  maupun historis dalam sejarah kerasulan,

sesungguhnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Kalau masih
ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi ini maka menjadi tanggung jawab
semua umat beragama. Karena pada dasarnya semua agama tidak menghendaki segala macam
bentuk kezaliman. Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama
menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman. Dalam
konteks Islam misalnya, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama.
Nilai-nilai Islam pada dasarnya --meminjam istilah Kuntowijoyo--[12]bersifat all
embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial,  politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu,
tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya sesuai
dengan nilai-nilai Islam yang humanis, rahmah.

Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli orang
miskin, anak yatim dan orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta  dan
penghianat agama (baca: QS. Al-Ma’un). Termasuk musuh agama adalah orang yang
mengakumulasi kekayaan yang tak ada kemanfaatan bagi orang lain (lihat: QS. Al-Humazah).
Oleh sebab itu bisa dipahami ketika nabi Muhammad pertama kali menyiarkan agama yang
ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy saat itu adalah karena beliau dianggap menghalang-
halangi praktik akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab saat itu. Agar agama
tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang
semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat.

Tantangan-tantangan itu antara lain menyangkut: pemahaman ajaran agama dan politisasi
agama. Sementara pluralitas agama bisa menjadi  bagian khazanah bangsa, jika dipahami sebagai
anugerah Tuhan, dengan cara menjalin kerjasama untuk membangun persatuan dan kesatuan
antarumat beragama demi terwujudnya  kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan
satu wadah visi maupun misi teologis yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai
tantangan yang akan dihadapai baik sekarang maupun mendatang.  Namun fenomena yang
nampak selama ini adalah, agama lebih berorientasi pada status quo, ketimbang misi
kemanusiaannya. Agama lebih cenderung berlindung di balik kepentingan para pejabat atau
pemimipin formal agama. Oleh sebab itu, pengertian agama samawi-ardhi harus didudukkan
secara benar. Agama yang benar  adalah agama samawat wa-’l-ardh dalam arti ideal-
real, terpadunya cita-cita dan realita, ibarat air yang turun dari gunung ke telaga, sejuk dan
menyejukkan. Dengan begitu  agama tidak berada di langit nun jauh di sana, tetapi ia membumi.
Bersamaan dengan ini pula maka reorientasi pendidikan agama di sekolah bagi terciptanya
kesadaran sosial adalah sangat mendesak dilakukan.

Sepintas letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan
oleh Departemen Agama selama ini perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang
tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan elementer kemanusiaan. Persoalan ini
mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin
bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain, agama yang dipentingkan bukan yang normatif-verbalistik, namun yang lebih
penting dari itu semua adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, yaitu tegaknya moralitas dan
kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini, diharapkan anak didik akan menjadi
manusia yang memiliki kepribadian ideal, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari
kekerasan dan konflik sosial.

Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara jelas ketika dihadapkan pada
kompleksitas dan pluralitas agama. Di sini pluralitas agama yang ada di Indonesia harus menjadi
kekuatan konstruktif-transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi konstruktif-
transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan
menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan
sikap seorang guru. Reorientasi pendidikan agama sudah saatnya dimulai dari SD hingga
perguruan tinggi dengan mngevaluasi kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang
memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Islam identitas harus tunduk pada Islam sebagai kebenaran, karena Islam sebagai
kebenaran bisa berdampingan dengan kebenaran-kebenaran lain, sedangkan Islam identitas
cenderung berseteru. Islam identitas menurut Soroush adalah Islam perang, bukan Islam
damai. [18] Persoalan di atas memang tidak lepas dari perdebatan klasik mengenai: “apakah
Islam sebagai sebuah ajaran dalam al-Qur’an", atau sekaligus "sebagai ideologi politik”. Di satu
sisi, sebagian kelompok Islam memahami, bahwa Islam tidak bisa lepas dari urusan politik,
Islam adalah agama dan sekaligus juga politik (al-Islam Din wa Daulah). Sementara pada sisi
lain, sebagian kelompok memahami Islam hanyalah sebuah agama, yang terpisah dari usrusan
politik. Kelompok Islam politik (al-Islam al-siyasy) ini misalnya diwakili oleh Ayatullah
Khumaini dan kawan-kawan dengan revolusinya yang menggegerkan dunia serta karya
populernya,  Kasyf al-Gayb. Sementara Islam a politik (al-lasiyasy) diwakili oleh Ali Abd. Al-
Raziq  dengan karya populernya, al-Islam wa Ushul al-Hukm dan kawan-kawan.[19] Dua
pandangan di atas juga mewarnai kehidupan keberagamaan di bebagai belahan dunia, termasuk
di Indonesia. Di Indonesia, Islam identitas direpresentasikan oleh kelompok-kelompok
organisasi Islam seperti FPI, HTI dan PKS, sementara kelompok Islam non-politik seperti yang
terlihat pada ormas Islam NU dan Muhammadiyah. Agama dan Demokrasi 

Bagaimana relasi agama dan demokrasi? Jika dilihat dari basis normatifnya, memang
agama dan demokrasi berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri.
Namun begitu menurut Aswab Mahasin, [20] tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Dalam konteks Islam, elemen-elemen pokok demokrasi
meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Secara
normatif memang cukup banyak ayat al-Qur’an yang menyebutkan prinsip-prinsip utama
demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang
musyawarah); al-Maidah: 8; dan al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang
persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik); al-
Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat) dst.[21] 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam? Masalah ini


dijawab oleh Huntington dan Fukuyama,[22] dengan menegaskan, “bahwa realitas empirik
masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi”. Dalam realitas sejarah Islam, memang
ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang
dilakukan oleh sebagian penguasa Bani Umayyah dan Bani ‘Abbasiyyah.  Dan memang harus
diakui, bahwa pasca Nabi dan khulafaurrasyidin --karena kepentingan  dan untuk
melanggengkan status quo raja-raja Islam-- demokrasi sering dijadikan tumbal. Di beberapa
bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang
korup dan otoriter. Demikian pula realitas yang dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik
misalnya, bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut,
kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami
oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther,
Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak
mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.

Oleh sebab itu statement Islam tidak compatible dengan demokrasi sebetulnya tidak


hanya terjadi pada masyarakat Islam saja, tetapi juga agama lain. Dengan demikian, betapa
sulitnya menegakkan demokrasi, yang  di  dalamnya menyangkut soal: persamaan hak,
kebebasan berpendapat, penegakan keadilan, musyawarah, amanah dan tanggung jawab.
Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring
dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah
menyangkut komitmen dan moralitas penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikan
relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah  komunitas sosial menyangkut  banyak
variabel, termasuk variabel  independen non-agama.

Selain itu, persoalan besar yang dihadapi manusia multi-kultural sekarang ini juga tidak
lepas dari tema tersebut. Agama-agama di dunia saat ini dihadapkan pada tantangan
kemanusiaan universal. Mampukah agama menjawab problem kemanusiaan universal ini?
Termasuk Islam? Agama sendiri memiliki peran sebagai pembimbing manusia ke jalan yang
benar, ia berisikan aturan-aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan
sesama manusia dan dengan alam sekitar. Dengan aturan-aturan itu diharapkan terpelihara
ketenteraman dunia, dan manusia akan memperoleh kebahagiaan tidak hanya di dunia, tetapi
juga di akhirat kelak.

Logikanya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini seharusnya


terjamin kedamaian dan tertib sosial kita, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama
dan Negara kita adalah Negara yang bukan sekuler. Tetapi mengapa kenyataannya berbalik? Di
mana peran agama sebagai motivator dan penggerak pembangunan? Inilah tantangan yang kita
hadapi bersama. Oleh sebab itu menurut hemat saya, agama mampu menjadi kekuatan riil dan
positif di dunia sekarang ini, jika ajaran-ajarannya diimplementasikan dalam masyarakat dengan
mengedepankan nilai-nilai etik dan sosialnya, misalnya mengembangkan nilai-nilai demokrasi,
HAM, kemanusiaan universal dan seterusnya

Anda mungkin juga menyukai