Anda di halaman 1dari 3

LEMBAR REFLEKSI

KULIAH TAMU HAK ASASI MANUSIA


“KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN (KBB)”

Pemateri : Siti Robikah, M. Ag.


Nama : Allessandro Yosafat Massie
NIM : 172020003
Fakultas : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Studi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

MENERKA IDENTITAS DI BALIK WAJAH-WAJAH AGAMA

Agama sebagai sistem sosial yang mengakar dalam masyarakat sejak lama
menampilkan sebuah realitas bahwa agama dan kepercayaan tidak dapat
dipisahkan dari manusia sekaligus membentuk manusia itu. Individu-individu yang
tumbuh dibentuk oleh sebuah nilai agama bersatu menjadi sebuah kelompok besar
yang menampilkan identitas-identitas yang merujuk pada nilai-nilai agama tertentu.
Identitas-identitas tersebut mengalami dinamika pemaknaan sekaligus melahirkan
dinamika konflik yang semakin panas hari-hari ini. Wajah agama yang diyakini
sebagai kebaikan, memelihara kedamaian, dan penuntun hidup justru memiliki
identitas lain di balik wajah manis tersebut. Agama bisa menjadi penyulut sumbu
konflik yang jika dibiarkan terus menerus maka bukannya perdamaian yang tercipta
justru perpecahan yang muncul. Di tengah-tengah keresahan tersebut, sebuah
konsep yang dikenal dengan “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)”.
Konsep tersebut didukung secara konstitutif di Indonesia yaitu dalam Pasal 29 UUD
1945. Hal ini sejalan dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 18 ICCPR yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain. Baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan dan pengajaran;”. Di Indoensia terdapat enam agama besar yang
diakui yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen katholik, Kong Hu C u,
dan aliran-aliran atau penghayat kepercayaan. Dengan demikian sangat beragam
dan majemuk wajah-wajah agama yang ada di Indonesia. Hal itu menjadi tantangan
sekaligus kekayaan yang harus dikelola dengan baik. Apalagi di era modern ini,
gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama masih marak terjadi dan
mengancam keutuhan serta kesatuan bangsa.

Konsep KBB yang digaungkan terus menerus memiliki dua dimensi utama
yaitu Forum Internum dan Forum Eksternum. Forum Internum berkaitan daengan
apa yang ada dalam internal manusia atau individu itu sendiri yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan keinginan/hasrat, pilihan batin, ketertarikan jiwa dan nurani. Forum
internum menegaskan bahwa agama adalah pilihan manusia yang tidak bisa
diganggu gugat oleh siapapun. Setiap orang berhak memilih dan mengikuti agama
atau kepercayaan manapun yang hendak diyakininya. Kemudian dimensi yang
kedua adalah forum eksternum yaitu yang ditimbulkan atau hasil dari forum
internum. Secara sederhana adalah ketika masing-masing individu dengan
internumnya menjalankan nilai-nilai agama, merayakan hari-hari besar agamanya,
atau menunjukkan identitas agamanya di ruang publik. Sebagai akibat dari
eksistensi agama yang eksternum maka diperlukan pihak ketiga untuk mengatur
agar agama-agama oti dapat merajut interaksi yang harmonis dalam ruang publik
atau masyarakat sosial. Pihak ketiga yang dimaksud adalah pemerintah dan
konstitusi. Keberadaan pihak ketiga ini sangat diperlukan dalam mengatur
kehidupan masyarakat sekligus unsur-unsur di dalamnya termasuk agama.
Tujuannya adalah agar kebebasan agama terjamin dan terlindungi serta tindakan
yang menyimpang atas nama agama mendapat sanksi yang tegas. Yang paling
jelas nampak adalah terkait pernikahan atau perkawinan yang diatur dalam UU No.
1 Tahun 1974. Namun yang kerap kali menjadi problematika adalah pernikahan
beda agama yang telah memasuki ranah eksternum. Namun di era modern ini,
pernkahan beda agama bukan lagi menjadi masalah yang sangat serius. Hal
tersebut didukung oleh konsep KBB, tafsiran-tafsiran UU yang berlaku, persetujuan
oleh masing-masing agama, dan lembaga –lembaga yang mendukung serta
memfasilitasi pernikahan beda agama tersebut.

KBB ini sebenarnya merupakan konsep standar moral universal atau nilai-
nilai kosmopolitanisme yang harus dikaji lebih lanjut. Pengkajian lebih lanjut ini
sebagai upaya mencegah terbentuknya paham-paham radikalisme, “religius-
sentrisme” yang dapat mengacaubalaukan tatanan global. Karena pada
kenyataannya agama akan terus berkembang, bertambah jumlahnya, bertambah
jenisnya, dan bertambah bentuknya. Hal tersebut tidak terlepas dari realitas manusia
yang memiliki cipta, rasa, dan karsa yang ada di dalam diri mereka yang
mengaktualisasikan pemahaman tentang ketuhanan atau kepercayaannya sesuai
dengan pengalaman hidupnya. Bahkan nampaknya sudah ada ribuan bahkan jutaan
agama dan aliran kepercayaan di seluruh dunia dan akan terus bertambah seiring
perkembangan zaman, perubahan sosial budaya, dan kemajuan intelektual. Maka
dari itu pengkajian KBB berskala global bukan hanya menjamin kebebasan
beragama dan memeluk keyakinan bagi setiap manusia namun segala upaya agar
agama atau kepercayaan yang ada tidak mematikan alam logika rasional umat
manusia. Kenyataan bahwa agama adalah “opium” di tengah masyarakat memang
tidak bisa dipungkiri. Namun Konsep KBB ini harus selaras dan relevan tanpa
membelokkan ajaran agama yang baik dan benar. Maka dari itu, agar agama tidak
benar-benar menjadi candu di tengah masyarakat, maka manusia dan kemanusiaan
sebagai subjek dari Konsep KBB ini harus menyadari dengan sungguh orientasi dan
quo vadis konsep ini adalah perdamaian dunia. Bahkan jika suatu saat terjadi
sebaliknya dan ramalan Karl Marx terbukti benar bahwa agama akan hilang dan
lenyap maka kebebasan yang bertanggung jawab, perdamaian dunia, serta nilai-nilai
keadilan dan kebenaran harus tetap menjadi tujuan utama suatu peradaban.

Anda mungkin juga menyukai