Anda di halaman 1dari 2

LEMBAR REFLEKSI

KULIAH TAMU HAK ASASI MANUSIA


“PENULISAN SEJARAH KAMPUNG SEBAGAI REKONSILIASI
KEKERASAN 1965”

Pemateri : Galuh Ambar Sasi, M.A.


Nama : Allessandro Yosafat Massie
NIM : 172020003
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Studi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

PERSPEKTIF MASA KINI TERHADAP DILEMA MASA LALU DALAM SUDUT


PANDANG HAK ASASI MANUSIA

Pemikiran tentang HAM yang perlu ditegakan oleh negara mulai popular
kembali pasca reformasi. Hal tersebut tentunya merupakan antithesis sekaligus
sintesis dari maraknya pelanggaran-pelanggaran HAM di era sebelum reformasi.
Namun masalah yang sangat krusial disini adalah aktor yang bertindak sebagai
pelanggar HAM justru adalah negara (state) itu sendiri. Hal tersebut menjadi sutu
kondisi kontradiktif, dimana negara yang mutlak menjamin HAM justru disaat yang
sama menjadi pelanggar HAM terbesar. Kemudian timbul pertanyaan, jika suatu
komunitas terbesar/sistem terbesar yang menjadi pelanggar HAM dapat masyarakat
minoritas atau korban-korban pelanggaran HAM itu menyuarakan keadilan ? Tentu
saja bisa jika hanya sekadar “bersuara”. Namun, apakah suaranya didengar,
diperhatikan, dan lukanya disembuhkan ? itu masih menjadi tanda tanya besar.
Mungkin pemerintah akan bertindak, namun sudah adil dan benarkah, itu menjadi
refleksi dan tugas kita bersama. Di tengah ketidakterjangkauan pemerintah terhadap
korban-korban pelanggaran HAM khususnya masyarakat minoritas, kelompok
marginal, subaltern, dan tak terdidik, para akademisi, peneliti, voluntir, dan Human
Rights Defender lainnya masih dapat menjangkau kelompok masyarakat-
masyarakat tersebut. Namun timbul sebuah tantangan baru yaitu apakah kelompok
masyarakat tersebut masih mau terbuka diatas trauma. Maka dari itu pendekatan-
pendekatan terhadap korban atau kelompok masyarakat harus menjangkau
paradigma dan persepktif masa kini.
Paradigma dan perspektif masa kini adalah pendekatan-pendakatan yang tak
langsung mengarah kepada yuridis normative, melainkan pendekatan sosial budaya
yang lebih mengarah kepada kesenian-kesenian, kebiasaan-kebiasaan, dan pola
komunikasi suatu masyarakat. Melalui pendekatan-pendekatan tersebut dapat
menumbuhkan kepercayaan dan keterbukaan masyarakat. Salah satu pendekatan
tersebut misalnya penulisan sejarah kampung. Merupakan upaya “menggali”
masyarakat dan menemukan sebuah peristiwa yang tak terekspos ke dunia luar
namun menjadi suatu catatan sejarah akan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM.
Melalui pendekatan seperti ini, mencegah timbulnya percikan trauma masa lalu di
tengah masyarakat. Pendekatan sosio-historis ini dapat dirumuskan sebagai berikut
:
1. Perencanaan yang jelas, memahami kondisi secara komprehensif, dan
mengetahui asset yang dimiliki.
2. Memanfaatkan kesenian, kebudayaan, dan pola interaksi suatu masyarakat
untuk dapat bersatu dengan kelompok masyarakat tersebut.
3. Menjadi good listener sekaligus active listener serta menggali informasi
penting berdasarkan nurani intelektual
4. Berdiskusi dengan muda-mudi di kelompok masyarakat tersebut
5. Mendokumentasikan dalam bentuk seni, musik, tari, video dokumenter, buku,
dan karya-karya ilmiah lainnya.
Perspektif masa kini merupakan pendekatan yang lebih mengedepankan kepada
studi dan edukasi sehingga mudah diterima oleh kondisi masyarakat Indonesia yang
multikultural. Artinya walaupun kelompok-kelompok masyarakat tersebut mungkin
tidak mendapat bantuan atau rekonsiliasi atau jaminan dari pemerintah, namun
catatan historis sebagai bukti sejarah di masyarakat tersebut abadi dan terpetakan
secara menyeluruh bahkan dapat dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan
seluruh dunia.
Kemudian perspektif yang unik sebagai bahan refleksi saya adalah “sing uwis
yo uwis”. Kalimat itu cukup sederhana namun mangandung juta makna. Entah itu
merupakan suatu bentuk penerimaan atas sebuah realitas, ujung yang buntu dari
segala kebencian masa lalu yang tak terselesaikan, atau maaf dan damai yang tak
terucap. Mungkin semua perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan sehingga kalimat
“sing uwis yo uwis” menjadi satu kalimat ampuh yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Terlepas dari makna sesungguhnya kalimat tersebut, kita belajar bahwa
perspektif masa kini adalah melihat dan memahami sesuatu dengan sudut pandang
masa kini. Dimana masa kini yang damai (bukan perang seperti dahulu) maka harus
disikapi dengan kemauan dan kemapuan untuk berdamai dengan diri sendiri dan
masa lalu. Memang luka seperti itu sulit untuk hilang dan sembuh, disitulah Human
Rights Defender khususnya akademisi hadir sebagai teman dan pendamping bagi
kelompok masyarakat tersebut. Masa lalu akan selalu menjadi dilemma, apakah
keputusan-keputusan yang diambil di masa lalu sudah tepat atu belum akan
membayangi pikiran seseorang. Namun perspektif baru masa kini yang berorientasi
pada kedamaian hidup, pengetahuan tertinggi, ketulusan hati, dan nurani intelektual
menjadi pedoman bersama tanpa mengkerdilkan HAM.

“Karena renjana mengakui perjumpaan manusia yang tidak membiarkan stigma dan
kebencian diwariskan” –Fred Keith Hutubessy

Anda mungkin juga menyukai