Albert Einstein
Apakah pantas bagi seseorang yang bukan merupakan pakar di bidang persoalan
sosial dan ekonomi mengemukakan pandangannya berkaitan dengan sosialisme?
Karena berbagai alasan, saya yakin hal itu pantas saja dilakukan.
Tetapi apakah dalam sejarah kita benar-benar telah dapat mengatasi apa yang
Thorstein Veblen katakan sebagai “fase pemangsa” dalam perkembangan manusia.
Fakta ekonomi yang dapat diamati dan juga merupakan bagian dari fase tersebut,
bahkan hukum-hukum yang diperoleh dari fase itu tidak dapat diterapkan untuk
fase-fase lain. Karena tujuan utama dari sosialisme tepatnya adalah untuk mengatasi
dan jauh melampaui “fase pemangsa” dalam perkembangan manusia, ilmu ekonomi
1
dalam perkembangannya kini dapat memberikan sedikit penerangan bagi masyarakat
sosialis di masa mendatang.
Dengan alasan tersebut, kita harus tetap waspada untuk tidak terlalu berharap
lebih pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah manakala pertanyaan tersebut
berkaitan dengan persoalan manusia: dan kitapun seharusnya tidak menganggap para
pakar sebagai satu-satunya yang berhak untuk mengemukakan tentang pertanyaan
seputar organisasi sosial dalam masyarakat.
Banyak suara yang menyatakan beberapa saat ini bahwa masyarakat sedang
melalui krisis, dimana stabilitasnya secara serius telah terganggu. Ini merupakan
karakteristik dari suatu situasi dimana seseorang merasa tidak peduli atau bahkan
menjadi tidak ramah apabila berada di dalam grup, besar atau kecil, dimana mereka
bergabung. Dalam rangka untuk menggambarkan maksud saya, maka saya berikan
pengalam pribadi saya. Baru-baru ini saya berdiskusi dengan seorang pria yang
sangat pandai dan ramah, tentang ancaman adanya perang, yang menurut saya akan
sangat membahayakan keberadaan umat manusia, juga saya tegaskan bahwa hanya
sebuah organisasi supra-nasional yang dapat memberikan perlindungan dari bahaya
tersebut. Kemudian rekan saya itu menjawab dengan santai dan tenang, bahwa:
“mengapa kamu begitu menentang pemusnahan umat manusia?” Saya yakin bahwa
berabad-abad yang lampau tidak ada seorangpun yang akan membuat pernyataan
semacam ini. Ini merupakan pernyataan dari seseorang yang telah berjuang keras
namun sia-sia untuk memperoleh keseimbangan dalam dirinya sendiri dan kurang
lebih menjadi putus asa. Ini mrupakan ekspresi dari kesendirian yang menyedihkan
dan terasing dari masyarakat banyak yang saat ini sedang menderita. Apa sebabnya?
Adakah jalan keluarnya?
Memang mudah untuk memunculkan pertanyaan semacam itu, tetapi sulit untuk
menjawabnya dengan jaminan apapun. Saya harus mencoba, biar bagaimanapun,
semampu saya, walaupun saya sadar akan fakta bahwa perasaan dan kemampuan kita
2
kadangkala bertentang dan tidak mudah dipahami, hal tersebut tidak dapat
diungkapkan dengan cara yang singkat dan mudah.
Manusia, pada satu keadaan dan waktu yang sama, adalah seorang mahluk
penyendiri dan mahluk sosial. Sebagai mahluk penyendiri ia berusaha untuk
melindungi keberadaannya dan yang terpenting untuknya adalah memuaskan
keinginan pribadinya, dan untuk mengembangkan bakatnya. Sebagai mahluk sosial, ia
berusaha untuk memperoleh pengakuan dan dicintai oleh sesama manusia, untuk
membagi kebahagiaan, untuk membuat nyaman mereka di kala sedih, dan untuk
meningkatkan taraf hidup. Hanya saja eksistensi dari hal-hal tersebut sangat
bergantung, kadang bertentangan, bergantung pada karakter pribadi manusia
tersebut dan kombinasi khusus tersebut menentukan sampai sejauh mana seseorang
dapat mencapai keseimbangan pribadi dan dapat memberikan sumbangan bagi
kehidupan masyarakat. Sangat dimungkinkan bahwa kedua kekuatan ini, terutama
digabungkan karena memang melekat padanya. Akan tetapi kepribadian yang pada
akhirnya muncul sebagian besar terbentuk: oleh pengaruh lingkungan dimana manusia
tersebut mengalaminya sendiri selama proses perkembangannya, oleh struktur
masyarakat dimana ia dibesarkan, oleh budaya dari masyarakat, dan oleh
penghargaan yang diperolehnya atas tingkah laku tertentunya. Konsepsi abstrak
“masyarakat” bagi manusia perseorangan adalah keseluruhan hubungan langsung
maupun tidak langsung atas masyarakat yang hidup pada masa yang sama atau pada
masa sebelumnya. Individu tertentu dapat berpikir, merasakan, berjuang dan
bekerja bagi dirinya sendiri, akan tetapi ia sebenarnya bergantung pula pada
masyarakat –baik secara fisik, intelektual, dan emosional– sehingga sangat mustahil
memikirkannya atau memahaminya di luar kerangka masyarakat. Adalah masyarakat
yang menyediakan manusia dengan makanan, pakaian, rumah, perkakas, bahasa, pola
pikir dan hampir sebagian isi dari pemikirannya: hidupnya menjadi nyata setelah
bekerja dan berhasil sukses sejak jutaan tahun lampau dan hingga kini dimana semua
hal tersebut tersembunyi di balik sebuah kata “masyarakat”.
Manusia sejak lahir memiliki, melalui keturunan, suatu struktur biologis yang
mana harus kita pandang sebagai hak yang melekat dan tidak dapat dicabut,
termasuk kebutuhan alamiah sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Selain
itu, selama hidupnya, ia memiliki suatu struktur kebudayaan yang ia peroleh dari
masyarakat melalui komunikasi dan melalui pengaruh-pengaruh dalam bentuk-bentuk
lain. Struktur kebudayaan ini, seiring dengan perjalanan waktu, dapat berubah dan
sangat ditentukan oleh hubungan antara seseorang dengan masyarakatnya.
Antropologi modern, mengajarkan kita, melalui penelitian perbandingan atas
kebudayaan primitif, bahwa tingkah laku sosial manusia dapat dibedakan, tergantung
pada pola-pola budaya yang berlaku pada umumnya dan bentuk-bentuk organisasi
yang mendominasi di masyarakat. Berdasarkan hal ini maka mereka berupaya untuk
membantu bahwa banyak manusia yang mendasarkan harapannya: bahwa karena
struktur biologisnya, manusia tidaklah bersalah, untuk membinasakan sesamanya
atau berada di bawah kekejaman kekuasaan, adalah merupakan keyakinan pribadinya.
Bila kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana struktur masyarakat dan
tingkah laku budaya manusia seharusnya diubah untuk membuat kehidupan manusia
lebih memuaskan, kita harus selalu sadar bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu
yang tidak dapat kita ubah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sifat
alamiah manusia adalah, untuk kepentingan praktis, tidak dapat dirubah. Selain itu,
teknologi dan perkembangan demografi pada beberapa abad terakhir telah
menciptakan kondisi-kondisi yang saat ini telah ada. Pada dasarnya perbandingan
kepadatan populasi yang menetap dengan jumlah barang yang tidak dapat digantikan
guna kelangsungan hidupnya, jumlah pembagian distribusi tenaga kerja dan tingginya
jumlah aparat yang produktif adalah suatu keharusan. Saat –dimana pada masa lalu
tampaknya begitu damai– telah hilang untuk selamanya ketika individu atau
kelompok-kelompok kecil dapat sepenuhnya mandiri. Ini hanya sedikit
membesar-besarkan bahwa umat manusia membentuk suatu komunitas kehidupan
dari produksi dan konsumsi.
Saat ini saya telah mencapai suatu titik dimana dapat saya indikasikan secara
jelas bagi saya apa yang menjadi esensi dari krisis saat ini. Hal itu berkaitan dengan
hubungan antara indivisu dengan masyarakat. Individu menjadi lebih sadar daripada
sebelumnya akan ketergantungan kepada masyarakat. Tetapi ia tidak menyadari
4
bahwa ketergantungan ini sebagai suatu aset berharga, suatu ikatan organik, suatu
tenaga pelindung, tetapi lebih cenderung sebagai ancaman terhadap hal-hal
alamiahnya, atau bahkan atas kondisi ekonominya. Lebih jauh, posisinya dalam
masyarakat lebih ditekankan terus-menerus dalam bentuknya dimana lebih
ditentukan oleh sifat egoisnya, ketimbang ditentukan oleh alur sosialnya, yang mana
secara alamiah memang lebih lemah, yang terus menerus mengalami pembusukan.
Seluruh umat manusia, apapun posisinya di masyarakat, mengalami penderitaan dalam
proses pembusukan. Tanpa disadari mereka terpenjara dalam egoismenya sendiri,
perasaan takut, kesendirian dan secara naif takut kehilangan, sederhana dan tidak
rumit menjalani hidup. Menusia dapat menemukan arti dalam kehidupan, pendek dan
berisiko sebagaimana layaknya, hanya melalui pengabdian dirinya dalam masyarakat.
Anarki ekonomi dari masyarakat kapitalis sebagaimana yang terjadi saat ini,
menurut pendapat saya adalah sumber utama dari kejahatan. Kita lihat sebelumnya
terdapat komunitas besar dari suatu produsen suatu anggota yang terus berupaya
agar dapat memperoleh buah dari hasil kerja samanya, tanpa adanya paksaan, tetapi
secara keseluruhan berada dalam jaminan hukum yang berlaku. Dalam kaitan ini,
penting untuk disadari bahwa tujuan produksi -sebagaimana disebut, seluruh
kemampuan produktif yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang kebutuhan
utama sebagaimana pentingnya pula membuat barang-barang penting lainnya-
menurut pendapat saya adalah kepemilikan pribadi dari para individu.
Situasi yang terjadi dalam dunia ekonomi yang berbasiskan kepemilikan modal
swasta memiliki karakteristik yang terdiri dari dua prinsip utama: Pertama,
tujuan-tujuan produksi (modal) yang dimiliki oleh swasta dan pemiliknya
menempatkannya sejauh ia memandang hal itu pantas. Kedua, kontrak kerja itu
bebas. Tentu saja, tidak ada sesuatu yang merupakan masyarakat kapitalis murni
dalam hal ini. Dalam hal tertentu, patut pula diperhatikan bahwa pekerja, melalui
perjuangan politik yang panjang dan pahit, telah sukses dalam mengamankan apa yang
disebut perbaikan bentuk atas “kontrak kerja bebas” bagi kategori pekerja tertentu.
Tetapi secara keseluruhan, saat ini ekonomi tidak ada bedanya dengan kapitalis
“murni”.
6
penyia-nyiaan pekerjaan dan menyebabkan kepincangan kesadaran sosial individu
sebagaimana telah saya uraikan sebelumnya.
Walau demikian, ada suatu hal penting untuk diingat bahwa ekonomi yang
terencana belumlah langsung menjadi sosialisme. Suatu ekonomi terencana dapat
disertai dengan perbudakan individu secara lengkap. Pencapaian sosialisme
membutuhkan solusi yang sangat sulit atas beberapa problem sosial politik:
Bagaimana mungkin, dalam pandangan kekuatan politik dan ekonomi terpusat yang
sangat berpengaruh, untuk mencegah para birokrat menjadi terlalu berkuasa dan
terlalu percaya diri? Bagaimana hak-hak individu dapat dilindungi dan dengan
demikian keseimbangan demokratis dengan kekuasaan birokrasi dapat dijamin?