1
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 2-4
Artikel
Emmanuel Subangun
CRO Alocita Foundation
Abstract
The term "memory" in "memory loss" does not merely refer to a remembrance of the past, or to a
record of occurrences or events, but to an "engraving", on the body, on the "social body" called
the nation. This scratched and wounded body is ignored, causing the present to be wholly
ensconced in ignorance, as illustrated by a folk saying used to criticize an imbecilic king,
"Fighting elephants were mistaken for insects making love." The two forgotten wounds are the
erosion of consciousness, identity, history, and all forms of culture in the colonisation process, as
well as the repetition of this phenomenon via the indirect colonisation.within the ideology of
modernization. The nation has become a mere ox drawn by the nose, because this nation has "lost
its memories".
Abstrak
Ingatan dalam "lupa ingatan" bukan sekadar kilasan masa lalu, rekaman peristiwa atau kejadian,
tetapi adalah "goresan", dalam tubuh, dalam "tubuh sosial" yang disebut bangsa. Tubuh yang
tergores dan terluka itu dinafikan, sehingga masa sekarang menjadi sepenuhnya kebodohan,
seperti dilukiskan dalam kritik populer terhadap raja yang bodoh, "Gajah berkelahi disangka
kepinding bersenggama." Dua luka yang terlupakan, yakni penggerusan kesadaran, jati diri,
sejarah, dan segala rupa kebudayaan dalam proses penjajahan, dan kemudian diulang diulang
lagi dengan penjajahan tak langsung dalam ideologi modernisasi. Bangsa hanya menjadi kerbau
yang dicocok hidung karena bangsa sudah lupa ingatan.
Salah satu hasil dari perjalanan panjang diketahui. Alam diletakkan dalam
manusia adalah bertumbuhnya daya penguasaan manusia. Sedemikian cepat
penguasaan manusia atas alam dalam kaidah pertumbuhan penguasaan dan kekuasaan
pengetahuan dan rekayasa. Pengetahuan itu—sehingga pada akhirnya penguasaan itu
bukan semata untuk memperluas cakrawala sendiri yang menghasilkan keraguan pada
pengetahuan, tetapi sepenuhnya diarahkan manusia, yang bersamaan dengan
bagi penguasaan yang lebih sempurna atas pengetahuan dan penguasaan atas alam—
alam yang pola dan hukumnya semakin semakin mendalam pengetahuan bahwa
2
Bangsa yang Lupa 3
hukum sebab akibat yang sederhana tidak merupakan kelanjutan dari temuan
dapat berlaku [lagi] bagi masyarakat. pengetahuan. Pada saat yang sama, setelah
Keadaan semacam ini mungkin dapat perang agama selama tiga puluh tahun di
dijelaskan dari sifat dan makna waktu bagi awal abad XVII itu, lahir pengertian baru
alam dan bagi manusia. Bagi alam, mungkin mengenai “nasib bersama” yang kemudian
sekali, waktu adalah sebuah gerak dari menjadi dasar dari paham nasionalisme.
amuba menjadi manusia yang rumit. Atau, Atau, jika dilihat dari sejarah dunia,
dengan perkataan lain, waktu adalah jalur nasionalisme lahir bersamaan dengan
dari yang sederhana menjadi yang rumit. kapitalisme dagang!
Sementara, bagi manusia, sambil kerumitan Kapitalisme nasional seperti inilah yang
itu menjadi bagian yang tak terpisahkan, menjadi mesin utama bertumbuhnya
serentak dengan itu waktu selalu akan imperialisme yang pada akhirnya
menunjuk pada akhir: jarum jam yang selalu meletakkan Eropa sebagai “pusat” dunia.
sudah patah ketika jam diputar untuk Dalam hal ini, bagian dunia lain sekedar
pertama kali, kematian yang sudah jatuh dalam kelas negeri jajahan. Negeri
menghadang ketika janin itu keluar dari non-Eropa segera jatuh dalam pengertian
rahim. Maka, ketika kefanaan itu negeri primitif, terbelakang dan biadab;
bergandeng tangan dengan kerumitan, serta sedangkan Eropa adalah negeri beradab dan
merta beban manusia modern yang jauh tinggi. Hubungan asimetris semacam ini
lebih tak tertanggungkan dibanding dengan adalah jenis kenyataan yang menguasai
manusia pramodern—yang dalam bilangan seluruh jagat kita selama 400 tahun terakhir
dapat dikatakan bahwa modernitas dimulai ini. Pola hubungan semacam ini pula lah
ketika manusia sebagai “subyek” mulai yang lalu menghasilkan ilmu pengetahuan
ditemukan sebagai sebuah asas universal. sosial yang kita kenal sekarang ini, dimana
Manusia bukan yang tercipta, tetapi adalah di otak belakang selalu tersimpan anggapan
sebuah pusat, sebuah subyek, dengan alam bahwa dunia non-Eropa adalah dunia barbar
seluruhnya sebagai obyek. Atau, dalam dan sederhana. Selanjutnya, ditambah
bahasa cartesian yang mulai dikenal di dengan dominasi finansial dan teknologi
tengah abad XVII: "Daya pikir pribadi yang bercokol semacam itu, kebiadaban
adalah dasar dari sebuah kemanusiaan saya dunia non-Eropa bukan saja terletak dari
dan manusia universal." tingkat ideologi, tetapi bergerak pada tingkat
Di awal abad XVII itu, ketika manusia pergaulan yang nyata.
Eropa disapih dari Tuhan, dari pencipta, Ketika Indonesia lahir dari proses
maka pada saat itu pula mulai dikenal dekolonisasi tengah abad XX yang silam,
pengertian pertumbuhan, evolusi atau juga beban sejarah semacam itu bukan hal yang
kemajuan. Perubahan adalah sesuatu yang tak diketahui oleh orang pribumi. Hanya saja,
dengan sendirinya baik, secara moral dan hal yang disebut pengetahuan mengenai
universal; sedangkan ketetapan adalah hal beban sejarah tidak dikenali dalam
yang buruk, secara moral dan universal. pengertian seperti dimaksud disini,
Hanya saja, bersamaan dengan revolusi melainkan sekedar sebagai masalah
moral semacam itu, pada saat yang sama ketidakadilan antar kelompok manusia
manusia Eropa juga mengenal perubahan saja—seperti tercatat dalam awal konstitusi
pada cara mereka menghidupi diri mereka, kita. Artinya, beban sejarah dipandang
baik secara ekonomi maupun secara politik. sebagai masa silam yang harus diperbaiki
Secara ekonomi, ekspansi perdagangan dan memang dapat diperbaiki. Akibatnya,
meluas, dan setelah ekspansi merkantilis itu, tanpa disadari pula, segera diterima
mereka lanjutkan dengan industrialisasi yang pandangan bahwa “kita” adalah orang
4 Subangun
tertinggal dan terbelakang yang harus Ciri dari sebuah bangsa yang lupa
mengejar dunia Eropa atau dunia orang putih ingatan, seperti bangsa Indonesia, dapat
yang lebih maju dan beradab. Program dicermati dari beberapa gejala berikut ini:
semacam itu bisa disebut modernisasi atau • Adalah tabu menggugat seluruh bangunan
juga pembangunan. Namun, pokok soalnya epistemik yang dikenal di dunia sekarang
tetap sama: Eropa adalah pusat, dan kita ini, karena bangunan inilah yang telah
adalah pinggiran. Malahan lagi, ketika menjamin stabilitas global selama ini.
diletakkan dalam pola ketidakadilan, Titik balik peradaban modern tidak dapat
berkembang tuntutan agar “bantuan” terlihat.
pembangunan ditingkatkan dan harga • Miopia terhadap modernitas seperti itu
komoditi alam dari negeri miskin dilindungi. lalu melahirkan hal lanjutan yang saling
Pengalaman pascaperang sampai dengan bertabrakan: Di satu pihak, negara
berakhirnya abad XX meneguhkan ideologi diperkuat dengan segala macam rupa
dasar modernitas: Ketidakmampuan negeri pelembagaan. Namun, di lain pihak,
berkembang untuk mengejar kemajuan keampuhan negara ini digerogoti dengan
adalah karena bangsa berkembang memang dalih ideologi mutakhir dari liberalisme
setali-tiga-uang dengan bangsa barbar, yang anti negara—seperti privatisasi atau
bangsa yang tidak memiliki cukup desentralisasi, sehingga justru dalam
kemampuan nalar, suka klenik, dan suka kemelut sekarang ini, negara memakan
ditindas oleh kaum tiran. bangsa.
Ketika kaum modern dan modernitas itu • Karena bangsa dipahami sebagai sejarah
sendiri sedang memasuki tahap gentar dan yang tersimpan di ingatan bersama, maka
ragu-ragunya, yang lazimnya disebutkan bangsa yang diterkam negara bersama
sebagai tahap dari sejarah—dalam hal mana ideologi kaitannya, menjadikan kita
kemajuan tidak lain adalah sebuah proses sebagai bangsa yang tergerus dari ingatan
produksi ketidakpastian, dalam arti bahwa bersama.
jaringan sudah menjadi kenyataan gurita • Bangsa yang tergerus dari ingatan
dunia, sehingga pusat sudah dengan bersama, atau bangsa yang lupa ingatan,
sendirinya dinafikan—maka Eurosentrisme dengan sendirinya sangat mudah untuk
itu dengan sendirinya melemah. Bersamaan menelan apa saja yang dianggap sebagai
dengan Eurosentrisme yang melemah, obat mujarab untuk tingkat kerumitan
produksi terpenting peradaban Eropa yang yang semakin tinggi. Atau, semakin
disebut negara-bangsa dan dunia usaha juga masalah itu rumit, semakin jawab dan
mengalami saling tukar tempat. Akibatnya, pemecahan yang paling sederhana dan
nalar yang dianggap terletak di otak negara gampang yang siap untuk diterima,
secara semena-mena diganggu oleh kekuatan semisal pemecahan masalah ekonomi
dunia usaha yang memang tidak menguasai dengan resep agama, atau masalah politik
kekuatan senjata secara langsung, tetapi dengan konsultasi paranormal.
adalah dunia swasta yang mampu Tidak akan terlalu sukar untuk
memproduksi peralatan senjata dan memahami struktur dasar masalah yang
kebutuhan keamanan yang lain. Proses dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini. Juga
saling tukar tempat negara dan dunia usaha segera kita saksikan titik masalah itu terus
ini adalah kemelut panjang yang bukan saja bergerak: Apakah pemahaman akan struktur
menyentuh dunia nyata, tetapi tentu akan dasar masalah itu masih akan mendapatkan
meluluhkan dunia batin, moral dan jiwa. gaung di tengah masyarakat yang dari hari
ke hari dibuat semakin lupa ingatan dan
terus bermimpi di siang hari bolong?
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 5-15
Limas Sutanto
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang
Abstract
Evidence from contemporary studies that confirmed the major contribution of common factors in
producing therapeutic effectiveness resulted in a necessity for each mental health professional
candidate to develop a good personal competence during his or her education in a mental health
discipline. In the midst of the inadequacy of attention given by mental health professional
education in Indonesia to that necessity, the author proposed five steps for developing personal
competence of mental health professional candidates during their education. The five steps were:
Modeling of sophisticated personal competence by each mental health professional educator;
Academic learning in the theories of personal intelligence; Counseling and psychotherapy for
each mental health professional candidate; Trainings on personal competence; Supervised mental
health practice.
Abstrak
Hasil-hasil penelitian mutakhir yang menegaskan kontribusi besar faktor-faktor terapeutik umum
dalam mewujudkan keefektifan layanan terapeutik meniscayakan setiap calon profesional
kesehatan mental menumbuhkembangkan kecerdasan personal dan kompetensi personal yang
baik di tengah pendidikan mereka. Di tengah realitas pendidikan profesional kesehatan mental di
Indonesia yang masih belum cukup memberikan perhatian pada hal itu, penulis mengusulkan
lima langkah konkret dalam pendidikan profesional kesehatan mental, untuk
menumbuhkembangkan kecerdasan dan kompetensi personal para calon profesional kesehatan
mental. Kelima langkah itu adalah: Pengejawantahan teladan artikulasi canggih kecerdasan
personal dan kompetensi personal oleh para pendidik profesional kesehatan mental; Pembelajaran
akademik teori kecerdasan personal untuk para calon profesional kesehatan mental; Konseling
dan psikoterapi untuk setiap calon profesional kesehatan mental; Penyelenggaraan kursus-kursus
pelatihan kompetensi personal bagi calon profesional kesehatan mental; Praktik layanan
kesehatan mental (layanan terapeutik) dengan supervisi yang secara faktual spesifik mengevaluasi
kompetensi personal calon profesional kesehatan mental dan memberikan umpan balik yang
relevan.
5
6 Sutanto
Pendahuluan
Tabel 1
Persentase kontribusi faktor-faktor terapeutik untuk perbaikan klien psikoterapi
FAKTOR TERAPEUTIK PERSENTASE KONTRIBUSI
UNTUK PERBAIKAN KLIEN
Faktor relasi terapeutik 30%
Faktor ekstraterapeutik 40%
Faktor pengharapan 15%
Faktor teknik-teknik spesifik 15%
(diadaptasi dari Lambert,1992, dalam Hubble, Duncan, Miller, 2004)
Penutup
di tengah proses pendidikan mereka. Tanpa mutu kehidupan pribadi, mutu akademik,
penumbuhkembangan kecerdasan personal mutu kepiawaian praktik terapeutik,
dan kompetensi personal, sangat sulit sekaligus mutu kecanggihan kecerdasan
diharapkan didapatnya keluaran pendidikan personal dan kompetensi personal para
yang berupa PKM yang sungguh mampu pendidik PKM pun merupakan keniscayaan.
mempraktekkan layanan kesehatan mental Dapat disadari betapa titik tersulit dan
secara efektif. tantangan terbesar untuk
Penumbuhkembangan kecerdasan penumbuhkembangan kecerdasan personal
personal dan kompetensi personal dan kompetensi personal dalam pendidikan
berlangsung secara terintegrasi (concurrent) PKM terletak pada dua faktor: (a) Faktor
dengan keseluruhan proses pendidikan PKM pendidik PKM yang niscaya mampu
yang juga melaksanakan pembelajaran berperan sebagai teladan sekaligus
akademik andal tentang teori kecerdasan supervisor andal. Peran sebagai teladan
personal dan berbagai teori lain yang terkait terkait erat dengan kualitas kepribadian
relevan dengannya. Proses pendidik PKM, sedangkan peran sebagai
penumbuhkembangan tersebut tidak pernah supervisor terkait erat dengan kualitas
bisa dilepaskan dari rekayasa budaya dan kepribadian sekaligus kualitas akademik,
lingkungan praksis pendidikan yang kecanggihan praktis, dan keluasan
menjunjung tinggi, meneladankan, dan pengalaman praktik. Dengan demikian dapat
mengejawantahkan kompetensi personal ditangkap gambaran sosok pendidik PKM
canggih di tengah realitas hidup hari demi yang bisa jadi terkesan menjulang. Kendati
hari. Pada titik ini, peran teladan kompetensi demikian, sejak saat ini lembaga pendidikan
personal andal dan canggih dari para PKM perlu mengupayakan langkah-langkah
pendidik PKM menjadi syarat yang niscaya. nyata untuk memiliki pendidik-pendidik
Praktik layanan kesehatan mental PKM yang sosoknya telah tergambar di
dengan supervisi yang mampu memberikan depan; (b) Faktor peserta pendidikan PKM
umpan balik faktual spesifik juga yang perlu memenuhi syarat kepribadian
sedemikian niscaya. Pada titik ini merebak minimal dengan kemungkinan tumbuh-
tantangan bagi setiap pendidik PKM untuk kembang kecerdasan personal dan
mampu berperan andal sebagai supervisor kompetensi personal yang memadai.
layanan kesehatan mental, yang tidak hanya Kendati tingkat keterpenuhan syarat ini bisa
memiliki penguasaan akademik andal dan ditaksir dengan tes psikologis, namun masih
keterampilan terapeutik yang tinggi, perlu dicari cara yang efektif, efisien, ilmiah,
melainkan pula mampu menjalin hubungan dan akuntabel untuk melaksanakan
kolaboratif kolegial dengan para calon PKM penaksiran keterpenuhan syarat tersebut.
yang mereka supervisi. Maka peningkatan
Daftar Rujukan
Asay, T.P., Lambert, M.J. (2004). The empirical case for the common factors in therapy:
Quantitative findings. In Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. The heart & soul of
change: What works in therapy (pp. 23-55). Washington: American Psychological
Association.
14 Sutanto
Bachelor, A., Horvath, A. (2004). The therapeutic relationship. In Hubble, M.A., Duncan, B.L.,
Miller, S.D. The heart & soul of change: What works in therapy (pp. 133-178). Washington:
American Psychological Association.
Campbell, L., Campbell, B., Dickinson, D. (1996). Teaching and learning through multiple
intelligences. Needham Heights, Massachusetts: Allyn & Bacon.
Chung, C.Y, Bemak, F. (2002). The relationship of culture and empathy in cross-cultural
counseling. Journal of Counseling and Development, 80(2), 154-159.
Collison, B.B. (2001). Professional associations, standards, and credentials in counseling. In
Locke, D.C., Myers, J.E., Herr, E.L. (Eds.). The handbook of counseling (pp. 55-68).
Thousand Oaks, California: Sage Publications, Inc.
Constantine, M.G. (2001). Multicultural training, theoretical orientation, empathy, and
multicultural case conceptualization ability in counselors. Journal of Mental Health
Counseling, 23(4), 357-372.
Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Negeri Malang (2005). Katalog program
pascasarjana universitas negeri malang.
Feller, C.P., Cottone, R.R. (2003). The importance of empathy in the therapeutic alliance.
Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 42(1), 53-61.
Frank, J.D., Frank, J.B. (1991). Persuasion and healing: A comparative study of psychotherapy
(3rd ed.). Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press.
Gardner, H. (2004). Changing minds: The art and science of changing our own and other
people’s minds. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press.
Gardner, H. (1993). Frames of mind: The theory of multiple intelligences (10th anniversary ed.)
(pp. 99-127). New York: Basic Books.
Gardner, H, (1999). Intelligence reframed: Multiple intelligences for the 21st century. New
York: Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York:
Bantam Books.
Goleman, D. (1999). Working with emotional intelligence, 73-104. London: Bloomsbury.
Goleman, D. (2006). Social intelligence: The new science of human relationships. London:
Hutchinson.
Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. (2004). Introduction. In Hubble, M.A., Duncan, B.L.,
Miller, S.D. The heart & soul of change: What works in therapy (pp. 1-19). Washington:
American Psychological Association.
Joni, T.R. (2005a). Pembelajaran yang mendidik: Artikulasi konseptual, terapan kontekstual, dan
verifikasi empirik. Jurnal Ilmu Pendidikan, 12 (2), 91-127.
Joni, T.R. (2005b). Professional counselor education: Exploring viable alternatives. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam rangka Hari Ulang Tahun Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (ABKIN) Ke-30 di Malang.
Kornhaber, M.L., Fierros, E.G., Veenema, S.A. (2004). Multiple intelligences: Best ideas from
research and practice. Boston: Pearson Education.
Lambert, M.J., Ogles, B.M. (2004). The efficacy and effectiveness of psychotherapy. In Lambert
M.J. (Ed.), Bergin and garfield’s handbook of psychotherapy and behavior change (5th ed.)
(pp. 139-193). New York: John Wiley & Sons.
Maione, P.V., Chenail, R.J. (2004). Qualitative inquiry in psychotherapy: Research for the
common factors. In Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. The heart & soul of change:
What works in therapy (pp. 57-88). Washington: American Psychological Association.
Wabah Kematian 15
Ogles, B.M., Anderson, T., Lunnen, K.M. (2004). The contribution of models and techniques to
therapeutic efficacy: Contradictions between professional trends and clinical research. In
Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. The heart & soul of change: What works in
therapy (pp. 201-225). Washington: American Psychological Association.
Prochaska, J.O. (2004). How do people change, and how can we change to help many more
people? In Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. The heart & soul of change: What
works in therapy (pp. 227-255). Washington: American Psychological Association.
Prochaska, J.O., Norcross, J.C. (2003). Systems of psychotherapy: A transtheoretical analysis
(5th ed.). CA: Brooks/Cole.
Rogers, C.R. (1961, 1989, 1995). On becoming a person: A therapist’s view of psychotherapy.
Boston: Houghton Mifflin.
Snyder, C.R., Michael, S.T., Cheavens, J.S. (2004). Hope as a psychotherapeutic foundation of
common factors, placebos, and expectancies. In Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D.
The heart & soul of change: What works in therapy (pp. 179-200). Washington: American
Psychological Association.
Sutanto, L. (2005). Teori konseling dan psikoterapi perdamaian: Tesis. Malang: Universitas
Negeri Malang, Program Pascasarjana, Program Studi Magister Bimbingan dan Konseling.
Tallman, K., Bohart, A.C. (2004). The client as a common factor: Clients as self-healers. In
Hubble, M.A., Duncan, B.L., Miller, S.D. The heart & soul of change: What works in
therapy (pp. 91-131). Washington: American Psychological Association.
Trusty, J., Ng, K.M., Watts, R.E. (2005). Model of effects of adult attachment on emotional
empathy of counseling students. Journal of Counseling and Development, 83(1), 66-77.
Wampold, B.E. (2001). The great psychotherapy debate: Models, methods, and findings.
Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 16-19
Sri Palupi
Institute for Ecosoc Rights
Abstract
Abstrak
Dulu, dalam masyarakat Jawa dikenal kini tengah menghantui masyarakat. Tentu
yang namanya “pageblug”. Pageblug ini pageblug yang sekarang, beda dengan
semacam wabah kematian yang terjadi pageblug yang dikenal dalam budaya Jawa
akibat serangan dari “makhluk tak dikenal”. dulu.
Gejalanya, pagi sakit, sore harinya mati. Ada tiga wabah kematian yang
Atau sebaliknya, sore sakit, paginya menghantui kita hari-hari ini. Kusebut
mendadak mati. Karena menyerang banyak wabah karena kematian itu bukanlah
orang, maka kusebutlah pageblug itu wabah kematian biasa, melainkan fenomenal,
kematian. Mereka yang terserang awalnya sebagaimana pageblug.
sakit dan meninggal dengan cepat. Gejala Pertama, kematian ratusan ribu orang
semacam pageblug ini, disadari atau tidak, akibat rentetan bencana. Dari tsunami, banjir,
16
Wabah Kematian 17
tanah longsor, dan sederetan bencana yang direkam media ini, tak mampu
lainnya. Seluruh kematian ini menarik menggerakkan solidaritas masyarakat
perhatian masyarakat dan menggerakkan sebagaimana kematian akibat bencana.
jutaan orang untuk berkabung. Tenaga dan Ketiga, serupa dengan jenis yang kedua,
harta disatukan demi meringankan derita kematian ini tidak tampak menonjol, terjadi
para korban. Kematian ini membuat satu demi satu, tetapi sesekali berhasil
demikian banyak orang memaknai kembali menyentak masyarakat. Kematian ini tampil
hidup mereka dengan cara baru. Bencana dalam wujud bunuh diri yang terjadi di
tsunami, misalnya, membuat manusia kalangan kaum miskin. Selama enam bulan
merasa demikian kecil. Hilang sudah pertama di tahun 2003, misalnya, bunuh diri
keangkuhan terhadap materi. Demikian yang di Jakarta saja telah mencapai 62 kasus. Ini
terungkap dari para korban yang selamat. kasus yang dilaporkan ke polisi. Tak tercatat
Bencana yang menelan korban massal dalam berapa kasus yang tidak dilaporkan. Jumlah
satuan waktu tertentu itu menjadi kanal rasa kasus ini meningkat 300% dibandingkan
duka yang memicu semangat untuk sama- tahun sebelumnya. Sampai Juni 2004 lalu,
sama berjuang menghadapi situasi baru. tercatat 38 kasus bunuh diri yang dilaporkan
Situasi tanpa sanak kerabat dan orang-orang ke polisi. Kasus ini pun terus bertambah
dekat, tanpa harta, pekerjaan dan rencana tanpa ada yang secara sistematis merekam
masa depan—yang semuanya musnah dan mencatat. Yang membuatku tidak habis
ditelan bencana. pikir, kasus bunuh diri ini juga menimpa
Kedua, kematian yang tidak tampak anak-anak usia sekolah. Pada anak-anak,
menonjol tetapi meluas secara perlahan. kasus bunuh diri meningkat 30%.
Kematian ini tampil dalam bentuk Kebanyakan korbannya juga kaum miskin.
meluasnya jumlah anak penderita busung Masih belum lepas dari ingatan kita,
lapar. Pada tahun 2005 jumlah anak balita kisah tragis bunuh diri ibu dan anaknya.
penderita busung lapar yang meninggal Seorang ibu yang sedang hamil di daerah
mencapai 293 jiwa. Ini yang tercatat. Entah Koja, Jakarta Utara, misalnya, memutuskan
berapa jumlah kematian yang tak tercatat. bunuh diri, dengan membakar diri bersama
Pada bulan Januari–Oktober 2006 tercatat kedua anaknya, Galang (7 tahun) dan Galuh
186 anak balita mati akibat busung lapar. (4 tahun). Dalam surat yang ia tinggalkan
Sementara jumlah penderita gizi buruk- untuk suaminya tertulis bahwa dia sudah
busung lapar meningkat dari 1,67 juta pada tidak tahan lagi menanggung kemiskinan
tahun 2005, menjadi 2,3 jiwa pada tahun dan melihat penderitaan anak mereka yang
2006. Sampai hari ini, kematian akibat menderita kanker. Yang menyedihkan lagi,
busung lapar terus berlangsung meskipun ketika tetangga membawa Galang yang
tidak ada yang mencatatnya secara penuh luka bakar ke rumah sakit, pihak
sistematis. Bukan hanya kematian fisik yang rumah sakit menolak karena tidak ada uang
terjadi pada kasus busung lapar, tetapi juga jaminan. Juga seorang ibu di Malang, yang
kematian “generasi”. Sebab anak yang karena tak kuat menanggung beban
menderita busung lapar, meski bisa persoalan ekonomi dan keluarga,
diselamatkan dari kematian, tetapi mereka memutuskan bunuh diri bersama empat
hidup dengan otak kosong. Karena terjadi anaknya yang masih kecil dengan meminum
secara perlahan dan satu demi satu, racun potasium. Racun itu diduga dicampur
kematian jenis ini tak banyak mendapat dengan air, lalu diminumkan kepada
perhatian, apalagi solidaritas sosial. Lihatlah keempat anaknya. Setelah anak-anaknya
sejumlah anak-anak penderita busung lapar tewas, sang ibu menyusul meminum racun
18 Palupi
yang mematikan itu. Peristiwa serupa pernah Bukan hanya kasus busung lapar dan
terjadi pada pedagang bubur di Sudirman bunuh diri saja yang kian mencolok. Orang
dan pedagang kaki lima (PKL) di Halim gila, gelandangan dan pengemis pun makin
yang memutuskan bunuh diri karena tak banyak kita jumpai di jalanan dan tempat-
tahan menanggung beban hidup dan tempat umum. Mereka juga memadati kereta
ancaman penggusuran yang terus mengejar (KRL Jabotabek) yang setiap hari
mereka. kutumpangi. Orang gila di kereta jadi bahan
Semakin banyaknya warga miskin yang tertawaan dan hiburan gratis para
ambil jalan bunuh diri akibat desakan penumpang. Dulu, aku masih bisa berkata,
ekonomi, sepantasnya jadi perhatian. Sebab kalau mau belajar tentang perilaku
ini menandakan, hidup bersama dalam masyarakat Indonesia, khususnya golongan
sebuah entitas bernama negara bangsa ekonomi lemah, naiklah KRL Jabotabek
menjadi semakin tidak relevan buat kaum kelas ekonomi. Dalam kondisi padat, sesak,
miskin. Padahal selama ini kaum miskin panas dan penat, orang masih bisa tertawa,
sudah teruji dalam hal kemampuannya masih bisa bermain kartu, masih bisa arisan,
bertahan menghadapi kesulitan. Mereka pacaran, rujakan, dan juga masih bisa
selama ini terbukti mampu bertahan di masa omong-omong tentang masa depan. Di situ
sulit sejak negeri ini dilanda krisis. Ketika bercampur baur masyarakat dari berbagai
para konglomerat dilanda depresi berat golongan dan para pedagang berbagai
akibat krisis ekonomi, kaum miskin malah barang dan makanan. Para pedagang ini
terkesan kian kreatif menyiasati kesulitan. sangat kreatif dalam memanfaatkan peluang,
Tapi kini? Bahkan anak-anak mereka pun mengemas dan menjajakan barang.
sudah punya pikiran untuk bunuh diri. Begitulah dulu aku melihat sikap dan
Gejala apa ini? Coba bayangkan, Heryanto, perilaku orang miskin di Indonesia,
seorang murid kelas VI SD di Garut setidaknya di Jakarta. Mereka selalu ada
menggantung diri karena malu tidak mampu dalam situasi sulit, terus menerus ditekan
membayar biaya ekstrakurikuler senilai Rp dan digusur, tapi tetap saja kreatif dalam
2.500. Aman Muhammad Soleh, siswa kelas menyiasati hidup. Mereka tetap saja gembira
enam SD di Bekasi, minum racun tikus dan dapat menciptakan kegembiraan di
karena belum bisa bayar uang ujian akhir. tengah desakan dan tekanan.
Nazar Ali Julian, 13 tahun, menusukkan Tapi sekarang, apa yang terjadi dengan
pisau ke perutnya akibat tidak tahan mereka, kaum miskin, khususnya yang di
menghadapi kemiskinan dan perceraian Jakarta ini? Benarkah survival system
orang tuanya. mereka sudah tak berdaya sengat? Entah
Meningkatnya kasus bunuh diri mereka sudah lelah, atau senjata survive
menandakan, bukan hanya krisis ekonomi mereka sudah terlalu tumpul dan tak kuasa
yang dihadapi bangsa ini yang semakin lagi menembus jantung sistem kota yang
parah, tetapi juga krisis hidup bersama kita. seolah-olah kian beradab ini? Mengapa virus
Solidaritas tampaknya menjadi semakin bunuh diri kian mewabah di kalangan
langka. Tradisi menanggung dan mengatasi kelompok miskin? Dari dulu, kematian
masalah secara bersama dalam berbagai memang tak pernah punya daya sengat bila
komunitas di negeri ini sudah luruh dan berhadapan dengan kaum miskin. Tak ada
hanyut diterjang badai individualisme, yang mereka takutkan untuk terus bertahan
materialisme, sektarianisme, dan hidup, sebab mereka, 'toh, have nothing to
konsumerisme. loose. Meminjam istilah yang digunakan
oleh orang-orang tergusur di Jawa Barat,
Wabah Kematian 19
mereka itu kaum “selon”, artinya: berani membebaskan jiwa dari belenggunya. Atau
mempertaruhkan segalanya demi barangkali, bunuh diri lebih baik daripada
memperjuangkan sejengkal kehidupan. Jadi gila. Orang gila di tengah masyarakat yang
selama ini mereka bukan berani mati, tetapi serba waras sekarang ini hanya akan jadi
berani memperjuangkan hidup, meskipun bahan tertawaan.
untuk itu taruhannya adalah kematian. Tapi Lalu, apa yang membedakan kematian
sepertinya sekarang ini perjuangan untuk massal akibat bencana, dengan kematian
mempertahankan hak hidup semakin satu demi satu kaum miskin, entah karena
menyerap energi. Semua perjuangan sudah lapar atau bunuh diri itu? Kematian masal
dijalankan dan mentok, tak mampu akibat bencana setidaknya mampu
menembus tembok tebal yang dibangun mengubah cara pandang masyarakat
penguasa dengan segala logika bisnisnya. terhadap hidup. Sementara kematian satu
Ruang perjuangan menjadi semakin sempit. demi satu kaum miskin itu, sepertinya tak
Dulu, perempuan-perempuan masih bisa mampu mengubah apa pun. Usai bencana,
menelanjangi diri di hadapan aparat untuk keluarga korban tsunami yang masih hidup
mempertahankan gubug-gubug mereka dari mampu memberi makna baru pada
ancaman penggusuran. Dulu masih kehidupan mereka.
memungkinkan mereka menempatkan anak- Aku tak tahu, bagaimana keluarga
anak di barisan depan guna melunakkan korban yang mati akibat busung lapar dan
kekerasan brutal aparat dan preman yang korban bunuh diri akibat deraan kemiskinan
hendak merampas hidup mereka, yang itu mampu memaknai kehidupan mereka
sebenarnya sudah berada di ambang batas yang masih tersisa. Mungkin bukan sebuah
antara hidup dan mati. makna hidup yang bisa mereka temukan,
Kini semua cara itu sudah tak mempan. tetapi sepotong doa, sebuah litani tak
Aparat semakin buta dan brutal. Gubug- kunjung henti pada Sang Pemilik Hidup,
gubug, tempat kerja, dan ruang hidup yang suatu kali pernah memanggil mereka
mereka terus saja digusur, dirampas, dibakar yang miskin dan lapar dengan seruan,
dan dihancurkan. Satu-satunya yang masih “Datanglah kepada-Ku hai kamu yang letih
jadi milik mereka kini hanyalah tubuh, yang lesu dan berbeban berat, Aku akan
memenjarakan jiwa, kata Plato. Dengan memberikan kelegaan kepadamu.”
bunuh diri, bisa jadi mereka hendak
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 20-24
Risa Permanadeli
Pusat Kajian Representasi Sosial
Abstract
On paper, the education system brings about the transformation of society in modern civilization.
Following this model, Indonesia provides a particular example of how modernity has never found
a firm ground in the society. Educational institutions are assembly lines for diploma, in which the
student is the commodity, the teachers and lecturers its factory workers, and knowledge itself
becomes mere consumable. At the same time the need to obtain a University degree is more in
accordance with the ingrained acceptance of the established social hierarchy than for societal
advancement. If Darwinian evolution from apes to human being has some utility in understanding
the progress of human civilization, it appears that in Indonesia the educational system is moving
the other way around.
Abstrak
Konon model paling dasar untuk menuju masyarakat modern adalah melalui sistem pendidikan.
Pengalaman Indonesia adalah contoh potret kegagalan transformasi pengetahuan untuk mengubah
peradaban. Lembaga pendidikan adalah pabrik ijazah, pelajar adalah komoditi, guru dan dosen
tak lebih adalah buruh, dan pengetahuan itu sendiri sekedar obyek konsumsi, sehingga bisa
dimengerti ketika gelar yang harus dipakai ketika menyelesaikan sebuah perjalanan pendidikan
adalah jimat sebagaimana barang keramat. Bersatunya nalar komersial dan sakralisasi jimat ini
yang tidak pernah dilihat sebagai gerak mundur dari peradaban manusia indonesia. Kalau
peradaban konon bergerak dari transformasi kera menjadi manusia, menjadi manusia atau
menjadi kera seperti tidak ada bedanya di dalam sistem pendidikan Indonesia.
20
Dari Kera 21
Apa yang mampu mengubah nasib semakin banyak peluh dikeluarkan, dan
sebuah bangsa kecuali wahyu Tuhan dan artinya semakin tinggi pula peradaban yang
peperangan? Tapi nabi terakhir telah mampu diajak.
diturunkan, dan peperangan senyatanya Jejak peradaban yang senantiasa dijaga
selalu memberi lebih banyak petaka agar manusia tak kembali jadi kera inilah
daripada kemuliaan untuk manusia. Jadi yang kemudian menjadi pengetahuan dan
bagaimana membuat sebuah tangga untuk selanjutnya dibakukan dalam sebuah
peradaban di mana manusia selalu bisa lembaga yang bernama sekolah. Maka kita
memanjat awan dan menggapai langit? tak lagi bersoal tentang peradaban apalagi
Konon peradaban tak akan beranjak tentang kera dan asal-usul manusia.
kecuali manusia berpikir untuk memotong Peradaban di mana kita hidup saat ini telah
kekerdilannya sendiri. Dan langkah pertama mengantarkan kita pada satu pengertian
yang harus dilakukan adalah justru ketika ia bahwa sekolah dan pengetahuan menjadi
mampu mengenali keterbatasannya dan basis dari seluruh perubahan dan gerak
menerima bahwa seluruh kodrat manusia. Jangan heran kalau jumlah sekolah
kemanusiaannya jauh berada di bawah dan jumlah orang bersekolah kemudian
kekuasaan awan dan ketinggian langit. Maka menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa.
dari itu batas dan kodrat yang memberi Juga jangan heran apabila besaran angka
kesadaran penuh tentang manusia selalu yang dicantumkan suatu pemerintahan pada
pahit dan penuh duri, dan bukan sebaliknya pendidikan, kemudian menjadi ukuran akal
sebagaimana dipercaya dalam cerita surga sehat pemerintah tersebut untuk
dan dewa-dewa. Sehingga sejarah mencatat mencerdaskan masyarakatnya. Bahkan
bahwa perjalanan peradaban manusia selalu dengan pendidikan, banyak bangsa mampu
berawal ketika ia berani menyusun menyedot perhatian dan iba dunia
pengertian manusia dari kekuatan kaki dan sebagaimana yang kita jumpai pada negara-
tangannya sendiri. Artinya tangga peradaban negara Afrika atau bahkan bangsa kita
yang senantiasa diimpikan oleh seluruh sendiri. Begitu besarnya nilai sekolah dan
umat manusia bukan sebuah kado dari langit, pengetahuan sehingga entah berapa ribu kali
dan bukan sebuah suratan nasib dari Tuhan. kita dengar dari mulut orang tua nasehat
Darwin mungkin orang pertama yang sederhana “Belajar yang rajin” hingga
mengenali bahwa kemanusiaan berasal dari “Belajar terus sampai tua” yang secara
kekuatan kaki, tangan dan peluh. Maka samar menandakan bahwa batas peradaban
monyet dan orang utan untuk Darwin, bukan sebenarnya tak pernah ada. Tidak dalam
hanya sekadar penghuni kebun binatang batas usia, batas waktu, maupun batas
yang menjadi idola seluruh anak kecil bangsa. Maka kita dengar pula anjuran Nabi,
sedunia. Keduanya adalah potret hidup yang “Belajarlah sampai ke negeri Cina.”
akan selalu mengingatkan kita bahwa Persoalannya urusan mencerdaskan
seluruh kemajuan peradaban yang kita peradaban manusia di negeri kita ini ternyata
miliki saat ini, dimulai dari sebuah titik yang bukan berakar dari sebuah niat atau
begitu sederhana. Peradaban kera! kesadaran bersama untuk melangkah
Jadi bayangkan kerja keras yang harus mendapatkan harkat kemanusiaan yang lebih
dilakukan oleh setiap manusia untuk tinggi. Harus diingat bahwa sejarah sekolah
menemukan ketinggiannya sebagai manusia. modern yang pernah dicatat untuk bangsa ini
Kerja keras dan keringat inilah sebenarnya berasal dari sebuah sejarah kelam
yang disebut tangga peradaban! Semakin penjajahan Belanda yang bernama politik
keras kerja yang mampu dihasilkan, maka etik. Bahwa akhirnya politik ini berhasil
22 Peramanadeli
dijalankan, pun harus dimengerti sebagai runyam dari perjalanan kera menjadi
bagian dari perjuangan politik dari sebuah manusia!
keyakinan yang kebetulan sedang bergerak Adalah wajar apabila di Indonesia
di Belanda. Artinya perjalanan kita sebagai sekolah kemudian selalu menghasilkan
manusia modern dimulai dari sebuah uluran sebuah mitos daripada kekuatan nyata untuk
tangan terpaksa pihak penjajah untuk mengubah sebuah peradaban. Apalagi sejak
memberikan sedikit celah cahaya melalui awal pemerintah tidak dapat melihat secara
program sekolah yang sejak awalnya sudah jernih untuk meletakkan sekolah dan
penuh masalah. Jadi urusan peradaban pendidikan sebagai cara untuk menempuh
memang bukan lagi politik Tuhan, tetapi jalur berpikir cara sendiri daripada sekedar
untuk bangsa ini urusan tadi adalah bagian mencontoh apa yang sudah ada di Negara
dari politik penjajahan. Oleh karenanya lain. Bahkan negeri yang konon pernah
sekolah bukan instrumen untuk mendapatkan kejayaannya dari kaum petani,
menyamaratakan nasib setiap warga. fakultas pertanian pun memilih mengajarkan
Sekolah sebaliknya justru mempertegas teknik bertani cara asing dari pada cara
siapa berada di atas dan siapa harus tetap di setempat yang memang selalu penuh lumpur
bawah. Keadaan yang sama tetap dan bau kerbau. Fakultas Psikologi akan
berlangsung hingga hari ini. Bedanya kalau dengan bangganya mensyahkan bahwa
dulu untuk menegaskan garis kelompok pro kepribadian setiap orang Indonesia disusun
Belanda dan kelompok rakyat, maka dengan dari kategori ego. Padahal pengertian ego
menjamurnya lembaga pendidikan sekolah berasal dari kegelisahan Freud ketika ia
telah masuk ke dalam politik uang. “Anda membaca ulang bagaimana pengaruh agama
punya uang, maka Anda berhak bergabung Yahudi dan Nasrani pada pembentukan
dengan sekolah kami!”, begitu kira-kira kata karakter setiap orang di masyarakatnya.
iklan ribuan lembaga pendidikan. Sampai Begitu jauh kultur Yahudi dan Nasrani
hari ini maka sekolah sebagaimana yang kita dalam peradaban kita, apalagi untuk melihat
bayangkan akan memberi nilai lebih sebagai bahwa ego adalah dasar dari seluruh gerak
manusia tetap memaksa kita terpana pada yang menentukan kesadaran setiap orang.
fatamorgana daripada kenyataan yang Tapi kata Pak Freud begitu! Jadi jangan
sesungguhnya. berdebat dengan psikolog tentang ego,
Pendidikan akhirnya hanya berhenti apalagi tentang Freud.
sampai di sekolah. Artinya mendaftar, ikut Kalau mau jujur, sebenarnya kemauan
test, kuliah, ujian, wisuda, dapat ijazah, dan kita untuk menghargai pengetahuan yang
akhirnya yang paling penting dari seluruh berasal dari pengalaman sendiri sebagai
proses sekolah tadi adalah punya gelar. Bisa manusia Indonesia selalu sangat terbatas.
Dra., S.H., Drs., Ir., atau apa saja. Kemudian Dan celakanya lagi justru setelah krisis kita
kalau masih punya uang dan malas masuk semakin tidak yakin bahwa tangan dan kaki
lapangan kerja, maka proses yang sama milik kita sendiri mampu memberi arti bagi
diulangi. Mendaftar, ikut tes kalau ada, ujian, pertumbuhan negeri sendiri. Begitu tidak
wisuda, dapat ijazah dan ini lebih penting berartinya hingga sekolah dalam negeri
lagi: dapat gelar yang berikutnya. Kali ini berlomba-lomba mencari partner dari
bisa M.M., M.B.A., L.L.M., M.Si., atau apa seberang samudera untuk mengesahkan
saja yang kalau kita lupa mencantumkannya martabat masing-masing. Lebih celaka lagi
ketika menulis nama mereka yang bergelar partnership seperti ini selalu memungkinkan
tersebut, bisa runyam akibatnya. Jauh lebih para alumnus memakai gelar ganda alias
double degree. Maka kalau sebelumnya Pak
Dari Kera 23
Abstract
The preferred psychological healing phenomena of the upper middle urban contemporary class in
Indonesia have raised questions on why they favor spiritual therapy instead of psychiatric. This
review article elaborates this interesting shift —if not neither regression nor stagnation— with in-
depth anthropological point of views in proportion to traditional and contemporary Indonesian
culture, on top of the psychiatric approach to explain through its self psychology and logotherapy.
Abstrak
Fenomena tendensi penyembuhan psikis masyarakat urban kelas menengah atas menimbulkan
pertanyaan mengapa mereka memilih terapi spiritual daripada psikiatri. Tulisan ini berusaha
meneropong persoalan itu dengan menggunakan kajian antropologis perkembangan budaya
Indonesia dan juga pendekatan dari kacamata psikiatri, psikologi self, dan logoterapi.
*
Ditulis ulang dari ilustrasi kasus dan tinjauan pustaka yang pernah diterbitkan Jurnal Psikiatri JIWA: Indonesian
Psychiatric Quarterly, Tahun XXXIX No.1-Januari 2006, Yayasan Kesehatan Jiwa ”Dharmawangsa” Jakarta.
25
26 Yusuf
Latar Belakang
Kehidupan yang serba modern tidak terdapat gerakan sufisme kota sebagai
lantas identik dengan pilihan hidup yang setting yang sudah matang. Sufisme kota
juga pasti modern dan rasional. Psikiater— adalah gejala minat masyarakat pada
yang masih lekat dengan metode terapinya tasawuf; istilah yang popular dalam literatur
yang sarat dengan citraan Barat—berusaha Barat, "sufism"; sedangkan dalam literatur
untuk bergandengan tangan dengan para Arab dan Indonesia hingga 1980-an
terapis yang tidak melulu sesama psikiater, adalah ”tasawuf." Seorang klien berlari dari
dalam upayanya memberikan pelayanan hiruk pikuk kota dan mencari sarana
kesehatan jiwa yang bersifat holistik.. perenungan religi di perifer, menjadi bagian
Terlepas dari “keterbukaan” para psikiater dari suatu fenomena sufisme kota yang
untuk merangkul para terapis dari disiplin telah ranum setting-nya. Dalam dua dekade
ilmu lainnya, kenyamanan yang dirasakan terakhir ini, komunitas sufi mewarnai
oleh para klien atau pasien pun menjadi kehidupan perkotaan. Tak sedikit kalangan
semacam petunjuk bahwa ada preferensi selebriti dan elit kota menjadi peserta kursus
yang mengarah pada pemilihan terapi yang atau terlibat dalam suatu komunitas tarekat
sifatnya tidak serasional psikiatri, bahkan tertentu. Alasannya untuk mengejar
cenderung magis-spiritual. ketenangan batin atau mengembalikan
Berbagai hipotesis bermunculan yang keseimbangan dalam hidup kekinian yang
kelak akan membantu memberikan jawaban sangat kompetitif ("Sufisme Merambah
atas keingintahuan ini. Yang pertama adalah Kota", 2000).
Fachry Ali, semakin eksotik suatu ajaran yang tak bisa ditawarkan dunia kedokteran
spiritual, maka semakin cepat diminati. Atau modern. Wajar saja bila belakangan tasawuf
istilahnya, "Religious Exotism" (Ali, 2005). merambah ke arena pengobatan, yaitu sufi
Maka berkembangnya spiritual shelter— healing atau pengobatan ala sufi, yang
yang secara medis hampir bersifat sui begitu atraktif karena dianggap secara
generis (tidak dapat diklasifikasikan), konkret “menyembuhkan.”
menawarkan suatu perlindungan ampuh
Negara Agraris
Salah satu hipotesis lain yang terkait alam. Dalam frame animisme dinamisme
dengan keengganan masyarakat untuk sebagai setting budaya, sewajarnyalah
berhubungan dengan psikiater adalah karena terjadi penyusutan penghayatan spiritualitas
Indonesia adalah sebuah negara agraris, di daerah perkotaan (Ali, 2003). Namun apa
maka wajar bila masyarakat pedesaan yang terjadi pada masyarakat urban kini
senantiasa masih berinteraksi erat dengan justru bertolak belakang.
Masih berkisar tentang hipotesis yang Negara yang menjalankan kejahatan paling
menjadi latar belakang mengapa orang ganas terhadap kemanusiaan sepanjang
enggan mendatangi fasilitas kesehatan sejarah. Hitler mencerminkan sentimen
modern adalah adanya kekecewaan terhadap golongan yang lebih luas dan berpengaruh,
nalar (Adian, 2002). “Mengamati dunia kita yang meresap ke dalam pemikiran kaum
akhir-akhir ini, timbul kesan bahwa kita intelektual Eropa waktu itu. Gerakan Nazi
telah tiba pada akhir sains, bahwa sains bukan dirancang oleh orang-orang bebal,
sebagai upaya bersama, universal, dan justru akarnya bertumpu pada bahu kaum
bersifat obyektif, sudah selesai.” Demikian cendekiawan (Calne, 2004).
isi surat undangan Konferensi Nobel XXV Revolusi Kebudayaan di Cina
pada 1989. Begitu menggugah jagat manusia menyebabkan terjadinya gerakan rakyat
yang telah demikian terjebak dalam besar-besaran yang menghancurkan
kenyamanan dunia nalar peninggalan era kesenian, sains, dan kedokteran. Serangan
renaisans, suatu era yang memerdekakan terhadap nalar di Cina lebih berbahaya lagi
dirinya dari “fideisme”, ketaatan buta pada karena berhasil justru di suatu bangsa yang
iman. akar sejarahnya sarat dengan prestasi
Telah terjadi suatu titik kulminasi, kesenian, sains, dan kedokteran. Bangsa
bahwa keterlanjuran rasa percaya terhadap yang merupakan pelopor nalar.
kekejaman sebagai produk irasional orang- Patut dipertanyakan, "Apakah revolusi
orang biadab yang bodoh, berbalik arah kebudayaan dan kekecewaan terhadap nalar,
ketika Jerman yang terkenal dengan sejarah berjangkit juga di Indonesia?"
perkembangan nalar yang hebat menjadi
sebagai faktor penentu gangguan psikiatrik Pada dua puluh tahun terakhir, fokus
didasarkan pada kepercayaan belaka dan psikiatri telah bergeser dari counseling
bukan oleh riset ilmiah. menjadi medicating. Glasser (2003)
Pada tahun 2002, The Royal College of membawa kesehatan jiwa kembali pada
Psychiatrists harus merendahkan pernyataan bingkai awalnya. Ia memperingatkan akan
mereka tentang efektivitas obat-obat adanya tiga bahaya, yaitu: (1) didiagnosis
antidepresan. Selama berpuluh-puluh tahun, sakit jiwa padahal tidak, (2) diobati untuk
dan terutama sekali sejak ditemukannya penyakit yang tidak eksis, sering dengan
SSRI generasi baru (Selective Serotonin obat-obat perusak otak seperti Prozac, Zoloft,
Reuptake Inhibitors) seperti Prozac, Paxil dan Ritalin; dan, lebih parah lagi, (3)
dan Efexor yang muncul di pasaran sekitar mengatakan bahwa tidak ada yang dapat kita
10 tahun yang lalu, psikiater menyatakan lakukan sendiri.
efektivitasnya mencapai 70% untuk Glasser (2003) bersikeras untuk
menyembuhkan depresi. Kini The Royal menunjukkan bukti ilmiah bahwa "Tidak
College of Psychiatrists harus mengalah ada yang salah dengan otakmu," dan bahwa
bahwa efektivitas obat ini hanya sekitar 50- "Tidak ada terapi pil untuk kebahagiaan
60%. Dengan menyadari bahwa efektivitas yang kamu butuhkan." Buku ini
plasebo dalam mengobati pasien depresi mengajarkan, bahwa cukup sendiri saja atau
sekitar 47-50%, pemberian resep obat dengan bantuan keluarga, seseorang dapat
antidepresan menjadi meragukan. Sejumlah memperbaiki kesehatan mental tanpa biaya
studi gagal menemukan perbedaan dan tanpa resiko pada diri sendiri.
signifikan antara efektivitas plasebo dan Terapi-terapi yang bersifat recovery-
obat antidepresan (Glasser, 2003). oriented telah mendapatkan dukungan
Dalam pandangan Glasser (2003), secara periodik. Pada tahun 1961, The
psikiatri tampaknya telah melupakan alasan American Medical Association, The
utama eksistensinya yang seharusnya American Psychiatric Association, The
melayani kebutuhan publik lebih daripada American Academy of Neurology dan
dirinya sendiri. Psikiatri telah mencapai Justice Department menyatakan, “The
jalan buntu dan enggan untuk berbalik. fallacies of total insanity, hopelessness and
Tanpa jargon medis, Glasser (2003) incurability should be attacked and the
menawarkan suatu reformasi pelayanan prospects of recovery and improvement
kesehatan jiwa berupa pendekatan alternatif. though modern concepts of treatment and
Tergoda oleh menariknya dunia sains rehabilitation emphasized” (Glasser, 2003).
dan salah interpretasi atas makna Pada tahun 1984, The National Institute
sesungguhnya dari sains, pendekatan of Mental Health merekomendasikan
holistik terhadap kesehatan telah program dukungan komunitas yang berusaha
dipinggirkan oleh profesi medis. Hal ini untuk mendukung perasaan harga diri pasien
sangatlah tidak ilmiah karena ia menolak dan mendorong self-determination, dengan
untuk mempertimbangkan yang nyata/jelas. adanya dukungan rekan, keterlibatan
Pikiran dan tubuh tidak eksis sebagai keluarga dan komunitas. Kini ada
kesatuan yang terpisah, justru mereka pembaharuan-pembaharuan untuk terapi
terhubung secara intim. Tetapi obat hanya recovery-oriented. Pembaharuan-
sedikit menunjukkan kesediaan untuk pembaharuan tersebut harus diperhatikan
mengeksplorasi kemungkinan hubungan- dan kita membutuhkan perubahan besar
hubungan antara pikiran (psyche) dan tubuh dalam praktek sesungguhnya (Glasser,
(soma) (Glasser, 2003). 2003).
Eksotisme Terapi 31
Terapi Spiritual
Psikiatri sebagai suatu disiplin ilmu dijabarkan secara gamblang dan membuat
tampak “tertuduh” bahwa ia bersifat seseorang merasa “telanjang” tanpa topeng
deterministik dalam keilmuannya. Namun yang selama ini melindungi dirinya dari
masyarakat awam tidak cukup tajam untuk penilaian. Atmosfer hipokrit masih tebal
menangkap kondisi tersebut. Kita tidak menyelubungi kehidupan masyarakat urban
tumbuh dalam komunitas masyarakat kritis Indonesia, sehingga tidak menafikan bahwa
yang senantiasa mengandalkan rasionalitas esensi diri masih bergantung pada materi
sebagai senjata untuk bertumbuhkembang dan prestise, baik jabatan, harta, merk,
dalam menyikapi kemutakhiran jaman. ijazah dan sebagainya. Budaya keterbukaan
Masyarakat kita cenderung permisif belum menjadi bagian dari gaya hidup.
terhadap pilihan lain yang ada di depan mata, Hal-hal lain yang menjadi tantangan
asalkan instan. untuk psikiatri adalah perilaku pasar yang
Komaruddin Hidayat, Guru Besar harus diperjelas target market-nya. Misalnya,
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif orang Jawa pantang untuk dikritik di depan
Hidayatullah Ciputat Banten, berusaha umum. Demikian juga halnya dengan
menganalisis perihal tendensi masyarakat selebritis, politisi atau pejabat yang justru
urban Indonesia yang jatuh hati pada terapi membutuhkan ekstra topeng untuk
spiritual dalam mengatasi gangguan jiwa meningkatkan prestisenya. Berobat ke
yang dideritanya, baik dalam tahapan penasihat spiritual juga menjadi pengokoh
neurotik, borderline atau psikotik. Ada kebutuhan atributal bahwa seseorang
beberapa kerangka pikir tentang motivasi “agamis.” Positioning psikiatri yang harus
yang dapat melandasi pemilihan terapi menetapkan benchmark. Psikiatri tetap harus
spiritual yang dipandang quick-yielding mempertahankan otentisitasnya, namun
tersebut (Hidayat, 2005). tidak berpegang teguh pada konservatisme
Kerangka pikir pertama adalah latar semata sehingga takut akan pembaharuan.
belakang budaya. Psikiatri dengan Selanjutnya adalah ikon dunia psikiatri.
paradigma barat tanpa modifikasi tidak akan Sebagai suatu mode of healing (sarana
populer. Justru psikiatri akan menjadi suatu penyembuhan), mungkin psikiatri
anomali produk apabila tidak berusaha membutuhkan ikon, tetapi tidak sebagai
menggali kultur lokal. Kedua adalah adanya sains atau disiplin ilmu. Dunia spiritualitas,
keberhasilan terapi spiritual yang terbukti setidak-tidaknya di Indonesia, masih
secara konkret. mementingkan konsep guru atau “who”
Yang terakhir adalah komunitas psikiatri (siapa), bukan “what” atau prinsip dasar
itu sendiri. Psikiatri merupakan suatu produk suatu ajaran. Contohnya, sebuah padepokan
yang sulit diterima masyarakat. Proses yang banyak dikunjungi selebritis karena
historis budaya kita hampir tidak reputasi dan sosok atraktif tokoh di
memungkinkan untuk menerapkan suatu padepokan itu.
pendekatan psikoanalisis; riwayat hidup
32 Yusuf
Motivasi Spiritual
Membahas terapi spiritual pun tidak menjadi suatu penampilan yang terpuji
dapat dilepaskan dari motivasi spiritual yang (Foucault, 2003; Illich, 1995). Sebagai
hidup dalam masyarakat. Motivasi adalah catatan, agama-agama yang masih bertahan
dorongan untuk mendapat hadiah mental adalah agama purba (primal religions) dan
dan sekaligus menghindari hukuman mental. agama besar (great religions). Termasuk
Kita ingin melakukan apa yang membuat dalam agama besar: agama Kristen, Islam
kita merasa puas dan bahagia, serta dan Budha. Sedangkan agama cikal bakal
menghindari apa yang akan membuat kita adalah agama Yahudi (untuk Kristen dan
sedih dan frustasi. Naluri dan emosi Islam) dan agama Hindu (untuk Budha)
mendorong kita karena memuaskannya akan yang timbul sekitar 4000 tahun silam.
membawa kebahagiaan, dan Kesempatan yang ditawarkan oleh
mengabaikannya akan menimbulkan penerima penderitaan dapat secara jelas
kekecewaan. Kebudayaan—pandangan lain dibedakan dalam setiap tradisi besar: (1)
mengatakan kebudayaan justru menetralisir sebagai karma yang berakumulasi melalui
naluri dan emosi—menyodorkan pilihan- inkarnasi yang telah silam; (2) sebagai suatu
pilihan tradisional dan dapat mengaitkan undangan untuk berserah kepada Tuhan bagi
tujuan-tujuannya dengan naluri dan emosi agama Islam; atau (3) sebagai suatu
(Calne, 2004). kesempatan untuk berhubungan secara lebih
Konsep motivasi ini dapat digambarkan dekat dengan Juru Selamat (Yesus) di salib
dengan contoh-contoh. Kita merasa senang (Illich, 1995).
ketika secara naluriah terhindar dari bahaya, Pada sebagian masyarakat sekuler kita,
atau ketika kita membalas kasih sayang organisasi-organisasi agama hanya
dengan sepenuh hati, atau ketika mencapai menyisakan sedikit peran penyembuhan
suatu tujuan kultural seperti memperoleh secara ritual sebagaimana sebelumnya.
hadiah Oscar. Seorang Katolik yang taat dapat
Penyembuhan melalui proses seremoni, memperoleh kekuatan pribadi dari doa
seperti terapi spiritual, jelas merupakan pribadi; dan orang-orang India di Lembah
salah satu fungsi pengobatan yang penting Gangga masih mencari kesehatan dalam
secara tradisional. Dengan daya magis, para nyanyian Weda. Dalam masyarakat-
penyembuh mengolah batasan dan fase masyarakat yang terindustrialisasi tersebut,
penyakit. Dengan cara yang tak dipengaruhi institusi-institusi sekuler menjalankan
oleh perasaan pribadi, ia menetapkan suatu seremoni-seremoni mitologi utama (Illich,
hubungan ad hoc antara dia sendiri dengan 1995).
suatu grup individu. Terapi spiritual bekerja Pemujaan-pemujaan terpisah yang
jika dan bilamana tujuan pasien dan guru mendukung pengembangan mitos sosial
spiritual sama (Illich, 1995). yang sama yang dijelaskan oleh Voeglin
Dalam kebudayaan yang tinggi, sebagai "gnosis kontemporer" (Illich, 1995).
pengobatan berbau agama merupakan Istilah "gnosis" itu sendiri menunjuk pada
sesuatu yang agak berbeda dengan sihir. suatu pengetahuan tentang kekerasan
Beberapa agama besar mendukung spiritual yang dianut oleh orang-orang
penghentian nasib buruk dan menawarkan Gnostic kuno. Biasanya suatu pandangan
suatu latar belakang rasionalitas, gaya dan dunia untuk gnostic dan pemujaan-pemujaan
komunitas di mana penderitaan dapat mempunyai enam ciri (Illich, 1995).
Eksotisme Terapi 33
Keenam ciri tersebut adalah: (1) dilakukan penderitaan yang mereka alami sebagai
oleh para anggota suatu gerakan yang tanda kesetiaan dan ketaatan, di samping itu
merasa tidak puas dengan dunia, mereka memastikan umat manusia bahwa Tuhan
melihat bahwa dunia ini tidak diorganisasi tidak pernah meninggalkan mereka yang
dengan baik; (2) para pengikutnya menderita. Kemampuan untuk
diyakinkan bahwa penyelamatan dunia ini menyembuhkan oleh Yesus memang tidak
dapat dilakukan; (3) minimal untuk yang secara instan memberikan kebahagiaan dan
dipilih; (4) dapat terjadi dalam generasi kesehatan duniawi; tetapi lebih kepada
sekarang.; (5) pada aktivitas teknis yang pemusatan perhatian menuju pemenuhan
dipersiapkan; (6) guna memprakarsai orang final suatu penebusan dosa (Bernard, 1973).
yang memonopoli formula khusus untuk Namun dengan berbagai prestasi yang
penyelamatan itu. dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
Semua keyakinan religius yang (iptek), masyarakat modern berusaha
mendasari organisasi sosial dan teknologi mematahkan mitos kesakralan alam raya dan
pengobatan, bergeser menjadi ritualisasi dan agama. Semua harus tunduk atau berusaha
perayaan kemajuan yang ideal di abad XIX. ditundukkan oleh kedigdayaan iptek yang
Di antara fungsi-fungsi penting nonteknis, berporos pada rasionalitas. Realitas alam
fungsi pengobatan adalah etika dan raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu
bukannya sihir, sekuler dan bukannya dikaitkan dengan selubung metafisika dan
religius. Hal ini tergantung pada bentuk kebesaran sang Pencipta, kini hanya
yang diberikan budaya medis kepada dipahami semata-mata sebagai benda
hubungan-hubungan antar pribadi (Illich, otonom yang tidak ada kaitannya dengan
1995). Tuhan (Madjid, 2000).
Perlu disadari bahwa masa-masa sakit Modernisme yang berporos pada
harus difokuskan pada kesempatan spiritual rasionalitas harus diakui telah mampu
yang terpatri pada kondisi tersebut. Karena mengantarkan manusia pada berbagai
masa sakit merupakan masa yang istimewa prestasi kehidupan yang belum pernah
dalam riwayat kebebasan personal, dicapai sebelumnya dalam sejarah umat
seseorang akan mengalami kelemahan moral manusia. Manusia modern pun semakin
hingga suatu rasa membutuhkan lebih yakin untuk mengucapkan selamat tinggal
banyak kerendahan hati, untuk percaya total kepada Tuhan. Bersamaan dengan
kepada kebaikan Tuhan atas pengampunan ditempatkannya manusia sebagai “pusat
dan kesembuhan (Bernard, 1973; Sadock & dunia” dan ukuran keunggulan karena
Kaplan, 2000). memiliki kekuatan logika dan rasionalitas,
Apapun penyebab munculnya penyakit maka agama yang mendengungkan ajaran-
(bisa saja merupakan kesalahan pribadi), ajaran irasional dengan sendirinya
penyakit merupakan kesempatan yang baik dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive
untuk mereka yang percaya atas penebusan culture (budaya primitif). Pandangan
dosa. Namun ajaran-ajaran agama masyarakat modern yang bertumpu pada
meyakinkan bahwa penyakit tidak dapat prestasi iptek, telah meminggirkan dimensi
dilihat murni sebagai takhyul akan transendental. Akibatnya, kehidupan
penderitaan semata. Yesus berperan sebagai masyarakat modern kehilangan salah satu
Healer and Liberator; di mana Yesus datang aspeknya yang paling fundamental yaitu
ke dunia untuk orang-orang berdosa, sakit, aspek spiritual (Madjid, 2000).
dan menderita. Untuk memberi arti bagi
34 Yusuf
Tujuan Kultural
Nalar adalah peranti utama akal. Nalar adalah keperluan menyesuaikan diri
merupakan produk biologis yang menurut terhadap berbagai faktor lingkungan. Oleh
kodratnya terbatas kemampuannya. Nalar karena itu terdapat bagian tertentu yang
telah meningkatkan mutu cara kita rasional dalam keberagaman budaya. Tetapi
melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak budaya juga membuat pilihan-pilihan yang
mengubah mengapa dan tujuan kita sembarang, yang irasional. Tidak ada
melakukannya. Karena mengapa didorong penjelasan rasional mengapa yang beragama
oleh naluri mempertahankan diri, kebutuhan Kristen membuka topi ketika berdoa sedang
emosional dan sikap budaya. Biasanya kita yang beragama Yahudi tetap memakainya,
enggan mengakui bahwa dorongan- atau mengapa yang beragama Hindu
dorongan tersebut mengatur perilaku kita, pantang makan daging sapi sedang yang
dan sesuai dengan itu kita sering beragama Islam pantang makan daging babi.
menggunakan nalar untuk menjelaskan dan Selain perbedaan-perbedaan rasional dan
membenarkan tindakan kita. Betapa jelasnya irasional antar-budaya, terdapat kesamaan-
ini semua terungkap dalam istilah yang kita kesamaan rasional. Unsur-unsur perilaku
ciptakan untuk menutupi perilaku kita yang yang sama itu terjalin membentuk suatu
irasional, yaitu rasionalisasi (Calne, 2004). jejaring sosial yang pekat, yang merupakan
Keragaman budaya begitu tinggi dan perangkat untuk bertahan hidup berisi
manusia bersikap berbeda-beda. Satu kesamaan budaya, yaitu “human universals”
penjelasan yang langsung mengemuka (Calne, 2004)
Peran Masyarakat
Terjadi suatu keterkaitan yang begitu sistem lambang (bahasa, kesenian, mitos,
erat antara masyarakat dan manusia sebagai upacara) dalam menentukan tujuan,
makhluk sosial. Clifford Geertz (Calne, komunikasi dan pengendalian diri,
2004) menyarikan hakikat keterkaitan ini: semua itu menciptakan bagi manusia
suatu lingkungan baru yang pada
Kebudayaan, jika diumpamakan, gilirannya memaksa si manusia
bukanlah sekedar ditambahkan pada menyesuaikan diri.... Antara pola budaya,
makhluk yang sudah jadi, melainkan raga, dan otak, tercipta suatu sistem
merupakan ramuan, dan ramuan pokok umpan balik positif di mana tiap unsur
lagi, yang menjadikan makhluk itu menentukan perkembangan unsur lain.
sendiri... dan semakin diandalkannya
Pencerahan Batin
Agama telah memikul tanggung jawab merupakan kepercayaan bahwa kita sanggup
untuk memelihara kebijaksanaan dalam mengubah masa depan, dengan doa. Inti
hidup kita, membentuk moralitas kita, dan iman berasal dari intuisi, ilham dan wahyu.
menghubungkan orang per orang dengan Nalar dipakai untuk menjalankan lembaga-
masyarakatnya. Agama juga memberikan lembaga keagamaan lengkap dengan ulama,
kebahagiaan kepada banyak orang dan ibadah dan tempat ibadat. Ahli agama juga
ekstase. Batu-batu sendi agama adalah menggunakan nalar untuk menjaga agar
penegasan-penegasan yang sederhana dan agama tidak ketinggalan jaman. Hal inilah
36 Yusuf
Era Pasca-Agama
Istilah “pasca-agama” (post-religion) bahwa kehidupan kita ini lebih dari sekedar
mengacu kepada maknanya yang sosiologis- fisik. Hakikat kehidupan manusia terletak
antropologis: sebuah tahap kesadaran dan pada realisasi tujuan yang
perkembangan masyarakat tentang mentransendensikan kebutuhan-kebutuhan
bagaimana memahami, mengekspresikan fisik tersebut. Kemanusiaan justru dimulai
diri, dan memerankan agama dalam konteks dengan transendensi terhadap yang bersifat
sosial. Era pasca-agama bukanlah era di fisik menuju yang spiritualistik. Gejala
mana peran agama menghilang, melainkan benturan peradaban dan konflik agama lahir
era di mana norma, kesadaran, dan lembaga dari sudut pandang kultural atau religius
keagamaan tidak lagi menjadi pusat yang terpecah atas dunia material karena
gravitasi. Inilah era di mana agama berperan dunia material memang selalu menghadirkan
tak lebih dari sebagai sebuah subkultur, polaritas atau fragmentasi yang saling
yang kadang maju atau terdesak ke pinggir, berlawanan. Berbeda dengan realitas imateri
atau timbul dan tenggelam dalam budaya atau dunia spiritual yang satu dan harmoni,
yang pluralistik dan virtualistik. Dalam era karena menyandarkan kerinduan pada Tuhan
ini, subyek agama cenderung menghilang yang satu dan damai. Di sinilah semua
dan menjadi artifisial dalam budaya maya agama bertemu (Hidayat, 2007) .
(virtual culture), yang sangat berbeda dari Wacana post-religion memperkuat posisi
era di mana sosok nabi dan figur agama dari kultur dalam memainkan perannya bagi
memainkan peran begitu sentral (Hidayat, kehidupan manusia modern dan sekaligus
2007). mempertajam peran dimensi spiritualitas
Wacana post-religion memberi apresiasi manusia —termasuk terapi spiritual sebagai
yang tinggi pada khazanah spiritualitas pilihan terapi.
agama-agama. Semua agama mengajarkan
38 Yusuf
Kontroversi
Tinjauan Psikiatri
Simpulan
plasebo dari kekuatan sugesti bahasa yang manusia secara broad approach, normal
lebih sederhana dan dapat diterima pasien versus abnormal. Tetapi dengan pendekatan
apa adanya. Karena kadang bahasa—baik narrow approach yang mengedepankan
verbal, simbolik, body language—yang kita multikulturalisme.
gunakan tidak selalu communicable dan Bahwa manusia bersifat multidimensi,
comprehendible bagi pasien. Walau pun maka tiap dimensi tidak menutupi dimensi
psikiatri jelas berbasis pada empati dan lainnya, hanya karena dimensi tersebut lebih
membina good rapport. Inilah kadang yang berkembang atau dominan. Sama halnya
terjadi pada praktek psikiatri sebagai mode dengan spiritualitas dan intelektualitas,
of healing: kesenjangan hubungan dokter- keduanya tidak dapat dicampuradukkan.
pasien yang membentuk suatu kompleks Tugas psikiater bukan untuk memenuhi
subyek-obyek, bukan keterhubungan antara semua needs dari dimensi-dimensi tersebut.
dua subyek. Tugas kita terbatas pada masalah psikiatrik
Dalam pengandaian, tidak ada salahnya saja, lalu mengarahkan pasien untuk mencari
kita ciptakan suatu “dunia bersama” antara pemenuhan masing-masing dimensi dan
dokter-pasien yang di dalamnya mencakup memberi masukan kepada pasien: ke mana
suatu kesadaran akan makna keterbatasan atau pada siapa mereka harus meminta
kita sebagai terapis. Bahwa kita tidak bantuan (Goenawan, 2005).
omnipoten, setara dan tidak memandang
Daftar Rujukan
Adian, D.G. (2002). Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas
Kuhn. Jakarta: Teraju.
Ali, Fachry. (2005). Personal interview.
Hidayat, Komaruddin. (2005). Personal interview.
Ali, M. (2003). Teologi pluralis-multikulturalisme: Menghargai kemajemukan menjalin
kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bastaman, H.D. (2007). Logoterapi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Calne, D.B. (2004). Batas nalar: Rasionalitas dan perilaku manusia. (Parakitri T. Simbolon,
Trans.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Foucault, M. (2003). Madness and civilization. London: Routledge Classics.
Glasser, W. (2003). Warning: Psychiatry can be hazardous to your mental health. New York:
Harper Collins.
Goenawan, L.A. (2005). Self psychology menurut Kohut: Suatu telaah pustaka. Jakarta:
Departemen Psikiatri FKUI.
Häring, B. (1973). Medical ethics. Indiana: Fides Publishers, Inc.
Hidayat, K. (2007, September). Kebangkitan agama di era post-religion. Pidato kebudayaan
yang dipresentasikan di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta.
Illich, I. (1995). Batas-batas pengobatan: Perampasan hak untuk sehat. (Aminudin Parakkasi,
Trans.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
James, W. (2004). Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam pengalaman religius manusia (Gunawan
Admiranto, Trans.). Bandung: Mizan.
Laing, R.D. (1973). Laing and anti-psychiatry. England: Penguin Books.
Lubis, D.B. (tanpa tahun). Buah hasil penghayatan agama. Jakarta: Departemen Psikiatri FKUI.
42 Eksotisme Terapi
Madjid, N., et.al. (2000). Kehampaan spiritual masyarakat modern: Respons dan transformasi
nilai-nilai islam menuju masyarakat madani. Jakarta: Mediacita.
Redayani, P. (2003). Konsep dasar teori self psychology. Jakarta: Departemen Psikiatri FKUI.
Sadock, B.J. (2000). Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Tim Redaksi Gatra. (2000, September 30). Sufisme Merambah Kota. Majalah Gatra.
Laporan
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 43-54
Riset 43
Byron J. Good
Mary-Jo DelVecchio Good
Jesse Grayman
Matthew Lakoma
International Organization for Migration (IOM)
Abstract
This article reports on an empirical study of levels of traumatic experience suffered by persons
living in 14 high conflict districts in the Indonesian province of Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) during the extended conflict between members of the armed forces of the Republic of
Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM). The study reports findings of a survey,
combining quantitative and qualitative methods, that investigated levels of traumatic violence
experienced by members of these communities, levels of psychological symptoms and diagnoses,
and factors that account for variations in psychological symptoms among individuals, groups, and
regions. Overall, the research demonstrated extraordinarily high levels of traumatic experience
and mental health problems in these communities and thus extraordinarily high levels of needs for
psychosocial services. The paper concludes with recommendations for the development of mental
health services for Aceh.
Abstrak
Artikel ini melaporkan sebuah kajian empiris tentang tingkat-tingkat pengalaman traumatis
yang diderita oleh orang-orang yang hidup di 14 kabupaten dengan tingkat konflik tinggi di
propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama konflik yang berkepanjangan antara
anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) . Kajian
ini melaporkan temuan-temuan dari sebuah survai, menggabungkan metoda kuantitatif dan
kualititif, yang menyelidiki tingkat-tingkat kekerasan traumatis yang dialami oleh warga
komunitas-komunitas ini, tingkat simptom dan diagnosa, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keragaman dalam gejala-gejala psikologis diantara perorangan, kelompok, dan wilayah. Secara
keseluruhan, riset ini menunjukkan luar biasa tingginya tingkat-tingkat pengalaman traumatis
serta masalah-masalah kesehatan jiwa di komunitas-komunitas tersebut serta—dengan
demikian—luar biasa tingginya tingkat kebutuhan untuk pelayanan psikososial. Artikel ini
diakhiri dengan beberapa rekomendasi bagi pembangunan pelayanan kesehatan jiwa di Aceh.
43
44 Good, Good, Grayman, Lakoma
Introduction
Between December 2005 and November Medical School. Phase 2 research will be
2006, a team of researchers from the referred to throughout this report as PNA2
International Organization for Migration (the Psychosocial Needs Assessment 2).
(IOM) and the Department of Social The primary focus of the current technical
Medicine from Harvard Medical School, report is to provide findings from the PNA2
carried out a Psychosocial Needs data; these data are compared throughout the
Assessment (PNA) in high conflict report with data previously analyzed and
subdistricts in 14 districts of the Indonesian published in the report on PNA1.1
province of Nanggroe Aceh Darussalam The basic goal of the overall project was
(NAD). The study was conducted in two to evaluate the psychosocial and mental
phases. PNA1 (the Psychosocial Needs health needs in communities which have
Assessment 1) was conducted in Aceh been deeply affected by the years of conflict
Utara, Bireuen, and Pidie, with financial between armed forces of the Republic of
support from the Canadian Department of Indonesia and the Free Aceh Movement
Foreign Affairs and International Trade and (GAM), given the cessation of violence
an IOM contract with Harvard Medical following the signing of the Memorandum
School. Phase 2 was the extension of the of Understanding of August 15, 2005, in
PNA1 project to high conflict subdistricts in Helsinki. This report focuses on past
11 further districts throughout Aceh. traumatic experiences and current
Research was conducted in 10 districts in psychosocial and mental health needs in
July 2006 with financial support from the high conflict areas throughout Aceh. The
World Bank and the IOM contract with report deliberately refrains from identifying
Harvard Medical School, and in Aceh Besar groups or individuals instrumental in the
in November 2006, with financial support violence visited upon these communities.
from the IOM contract with Harvard
Project Design
process agreed upon by parties in the rural communities that experienced the
Helsinki MOU. The study design included highest conflict between the armed forces of
two components: a qualitative, key- the Republic of Indonesia and the Free Aceh
informant component designed to explore Movement (G.A.M.) since the early 1990’s.
how the conflict has affected particular There were 596 respondents in PNA1 and
communities and what community leaders 1376 respondents in PNA2. Sampling
feel should be the priorities for responding procedures produced a well distributed and
to the psychosocial effects of the conflict; representative sample of adult men and
and second, a formal survey of adult women in these communities. In addition,
members of selected communities designed key informants, consisting of leaders in the
to measure levels of experience of trauma selected communities, were interviewed in
events associated with the violence, levels of all participating villages. This paper focuses
psychological distress associated with these primarily on a comparative analysis of the
experiences, and perceived priorities for PNA1 and PNA2 quantitative surveys.
services. Quantitative instruments for the For purposes of analysis, we have
research were based on the Harvard Trauma divided the communities studied into 6
Questionnaire, adapted for the research regions, grouping districts that share
setting in Aceh.2 The PNA 1 field survey geographical contiguity, cultural similarity,
was carried out by The Center for and common histories of the conflict. These
Development of Regional Studies at Syiah include the Northeast Coast (Aceh Utara,
Kuala University led by its director Bireuen, Pidie), Aceh Besar district, the East
Professor Bahrein Sugihen and by Ibu Coast (Aceh Tamiang, Aceh Timur), the
Rosnani. The field survey for PNA2 was Central Highlands (Aceh Tengah, Benar
carried out by a team of researchers hired Meriah, and Gayo Lues), the Southeast
and directed by the IOM field staff in Banda Highlands (Aceh Tenggara), and the
Aceh, led by Jesse Grayman. Quantitative Southwest Coast (Aceh Barat, Nagan Raya,
data were analyzed at Harvard Medical Aceh Barat Daya, and Aceh Selatan).
School led Prof. Mary-Jo Good, with Findings may be generalized to high conflict
Matthew Lakoma, biostatistician. communities in these regions throughout
The combined survey sample for both Aceh. Here we report only the key findings
phases of the study included 1972 adults, from this research.
aged 17 or older, randomly selected from
Key Findings
(a) The survey was designed to map two regions – the East Coast and the
differences across regions and communities Southwest Coast – suffered terrible violence
in the experience of violence. It was and traumatic events at a level equivalent to
anticipated that PNA1 had surveyed or in some cases higher than that in certain
communities with the highest levels of Northeast Coast communities. In the East
violence over the longest periods of time, Coast communities, for example, 80% of the
given the centrality of the Northeast Coast in respondents reported having lived through
the history of GAM and the conflict. We combat experiences. 45% experienced
hypothesized that overall, other regions having to flee from burning buildings in
would be found to have suffered lower their community and 61% having to flee
levels of violence during the conflict. The from danger. 7% of women have had their
first overwhelming finding, then, was that husband killed in the conflict, 50% of
46 Good, Good, Grayman, Lakoma
respondents report having had a family significant variation and the high conflict
member or friend killed, and 45% reported hot spots. Nevertheless, an equally
having a family member or friend kidnapped important finding is just how many persons
or disappear. 47% reported having their even in the low affected communities
property confiscated or destroyed, and 31% experienced serious levels of conflict and
experienced extortion or robbery. Persons violence. 69% of respondents in the
in the Southwest Coast region, where the Southeast Highlands, 68% in Aceh Besar,
violence was of much shorter duration, and 62% in the Central Highlands reported
reported experiences of violence at nearly experiencing combat. Even in the Southeast
equivalent rates. Qualitative research Highlands, 12% reported having a family
supported the quantitative data in finding a member or friend killed, while 31% and
history of extreme violence toward civilian 39% of those in Aceh Besar and the Central
populations in many villages in these Highlands had lost a family member or
regions. friend to the violence. 25% of men in the
(b) While the sampling employed for the Central Highlands and 32% of men in Aceh
PNA had in mind a broad stroke mapping of Besar reported being beaten on the body.
conflict events and psychological symptoms Thus, while violence was localized in
across Aceh, an understanding of the local particular regions and villages, it was also
specificities that determine conflict widespread, affecting a remarkably high
traumatic experiences is essential for the number of persons throughout these rural
development of programs that target areas communities in Aceh and contributing to
with greatest need. Using the PNA data it is collective memories of terrifying and
possible to pinpoint some exemplary micro- sustained violence perpetrated against
localities, such as a small collection of ordinary rural civilians across the entire
communities in the hills of Aceh Utara or in province.
the Kluet River valley in Aceh Selatan, (d) Both men and women experienced
where the experience of conflict cannot be extraordinary levels of violence, but the
captured by the regional aggregate data level and type of traumatic events
alone. These so-called “hot spots” with experienced as part of the conflict varied by
histories of intense, complex, and sustained gender. Men reported significantly greater
bursts of violence may suggest priorities for physical violence than women. Among the
the tailored design and delivery of PNA 1 sample, 56% of men and 20% of
psychosocial and other post-conflict women were beaten; among the PNA2
reintegration services. sample, 38% of men report and 9% of
(c) The PNA1 survey found great women were beaten. 38% of men in the
regional variation by district in conflict- PNA1 and 19% in the PNA 2 reported being
related experiences. Thus, Pidie was attacked by a gun or knife, with 14% and
somewhat less affected, possibly because it 8% of women in the two samples. 25% of
was a traditional GAM stronghold, in men and 11 % of women reported torture in
comparison to more vulnerable communities PNA1 as did 16% of men and 3% of women
in Bireuen and Aceh Utara. The PNA2 in PNA2. 19% of PNA1 men and 15% of
survey also found distinctive variation in PNA2 men reported being been taken
rates of traumatic events, with significantly captive. 61% of PNA1 and 44% of PNA2
lower levels of traumatic events in the men witnessed physical violence against
regions of the Southeast Highlands and in others as did 38% of all women. Women
Aceh Besar. Aggregate data hides this suffered enormously. For example, in
Violence, Trauma 47
PNA2, in the Southwest Coast “Hot Spot” should be considered as a “returned IDP,” or
communities, 79% of women experienced at least living very close to their home of
combat, 56% had to flee danger, 52% were origin prior to displacement. There are still
forced to witness physical punishment, 36% thousands of Javanese transmigrant IDP
had a family member or friend killed, 43% families still living in Sumatra Utara (North
had property confiscated or destroyed, and Sumatra) province just south of Aceh, and
32% were forced to search for GAM several thousand Acehnese refugees still in
members in the forest. These figures were Malaysia. The PNA data therefore does not
similar to those for PNA1 women. Although capture the experience of the still-absent
rates of reported sexual violence toward “current IDPs” from Aceh. Duration of
women are relatively low (1% raped, 4% displacement for the returned IDPs in the
other sexual assault), owing in part to sample is inconsistent. Respondents report
stigma, stories make it clear that sexual being forced to be away from their villages
violence and threats of sexual violence by for periods as brief as one week and as long
male combatants toward women was very as two years. But the common refrain, no
present. In addition, the very common matter how short or long the duration of
experience of having their houses ransacked displacement, is that returning IDPs came
and destroyed was experienced as an home to nothing. It only took a day or two
especially powerful attack on women in to pillage and burn entire villages—homes,
these communities. fields, livestock, gardens, schools,
(e) One form of trauma is particularly mosques—while civilians took refuge in the
noteworthy. Rates of head trauma and nearest town for a few days. “Starting from
potential brain injury, suffered through zero” is the common experience of returning
beatings, strangulation, near drownings, and IDPs, and vulnerable economic conditions
other forms of torture or violence, were have significant bearing on their
extraordinarily high and deserve clinical psychosocial condition.
interventions and further research. Men, (g) Whereas ‘past traumatic events’
particularly those in the highest conflict varied directly with a region’s history of
regions, were at the highest risk. violence in the PNA2 regions, ‘current
Remarkably, 43% of all men in the East stressful or traumatic events,’ defined as
Coast region and 41% in the Southwest those occurring during the past month,
Coast, report having suffered head trauma – follow a very different pattern. Overall,
rates equivalent to those found in PNA1 of current stressful events were reported at a
41% for men on the Northeast Coast. much lower rate in PNA2 than in PNA1, and
Clinicians in the IOM mental health although there is some variation among the
outreach program to high conflict villages in regions surveyed in PNA2, the pattern of
Bireuen are finding that head trauma is reporting much lower rates of current events
extremely common problem among patients is true even in the regions where the conflict
who have clinically significant levels of was greatest. This is particularly true of
mental health problems. reports of seeing perpetrators (47% in
(f) In nearly all of the high conflict areas PNA1, 7% in PNA2), of experiencing
sampled, between one-third and two-thirds assault (31% vs. 1%), experiencing robbery
of all respondents were displaced, usually by (21% vs. 1%), and even violence toward
force, during the conflict. Almost every women (4% vs. 1%) and violence toward
respondent who told us about their children (7% vs. 1%). These findings
displacement experience during the conflict suggest a very significant change between
48 Good, Good, Grayman, Lakoma
February 2006, when the PNA1 survey was clinical diagnosis, in both PNA1 and PNA2.
conducted, and July 2006, when the PNA2 Internationally accepted protocols for
survey was conducted. In February, troops determining persons who suffer major
from other parts of Indonesia had very depression, an anxiety disorder, or Post
recently left Aceh, levels of security were Traumatic Stress Disorder indicate that 35%
still quite uncertain, and trust in the peace of the total PNA2 sample ranked high on
process was still limited. The findings of depression symptoms, 39% on anxiety
PNA2 suggest that by July (and November symptoms, and 10% on PTSD symptoms.
in Aceh Besar), residents experienced far Rates are substantially higher for
less contact with perpetrators of the violence respondents from the Southwest Coast, East
and far greater security. Coast, and Central Highlands. For example,
The pattern of lower PNA2 scores holds 41% of respondents from the Southwest
true also for basic living conditions (lack of coast suffered depressive symptoms above
adequate housing 59% vs. 38%; internationally recognized cutoff levels,
water/sanitation 75% vs. 55%; and food 43% anxiety symptoms and 14% PTSD
security 72% vs. 63%) and livelihood issues symptoms at such levels.
(difficulty providing for family 85% vs. At the same time, a highly significant
72%; finding work 89% vs. 75%; and finding of PNA2 is that respondents in all
starting a livelihood 71% vs. 56%). districts surveyed in July (and December)
However, even though they are significantly 2006 reported substantially lower rates of
reduced, these remained extremely high in major depression, anxiety disorders, and
the PNA2 survey. The qualitative Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) than
interviews suggest that these current those in PNA2. PNA1 reported rates of
stressors reflect the devastation of the psychological symptoms among the
village economies from years of efforts to Northeast Coast respondents surveyed in
destroy the material foundations supporting February 2006 at some of the highest levels
GAM. The conflict clearly wreaked havoc reported for post-conflict settings
on local economies, preventing villagers worldwide. The percentage of PNA2
from working their land, killing their respondents who suffer high levels of
animals, destroying trade networks, symptoms for depression, anxiety, and
wrecking their houses, and preventing young PTSD (35%, 39%, 10% respectively) are
people from entering into the labor much lower than comparable rates reported
economy. Thus, ‘recovery’ will require both from PNA1 (65%, 69%, and 34%). Because
that the terrible traumatic events suffered by rates using these cutoffs were so high in
these communities and the broken economy PNA1, analyses developed higher cutoffs to
and destroyed community resources be dealt identify those at risk for the most severe
with in a timely fashion. forms of depression, anxiety, and PTSD.
(h) Respondents from PNA2 were found While these rates are also very high in
to suffer mental health problems associated PNA1, they are substantially and
with the violence at a significant level. The significantly lower for PNA2 respondents.
research used the same widely accepted As a needs analysis, our research
symptom checklists, based on the Harvard documents continuing high levels of
Trauma Questionnaire and translated and conflict-related psychological symptoms in
adapted for Acehnese symptom expressions, all parts of Aceh, and the urgent need for
and the same standard procedures for mental health services to be provided as a
estimating persons who meet criteria for a part of the peace-building and post-conflict
Violence, Trauma 49
recovery process. It suggests that priority (j) The PNA2 protocol added a simple
should be given to the Northeast Coast, the social functioning scale to the questionnaire,
Southwest Coast, the East Coast, and the to attempt to measure the actual effects of
Central Highlands, in this order. It should psychological symptoms on social
be noted that many respondents suffer the functioning. The questionnaire asked
effects of “complex trauma” – many years persons to rate difficulties they feel in
of repeated experiences of violence and carrying out routine daily activities –
insecurity and multiple diagnoses, not a washing and dressing themselves, raising
single episode of trauma, a return to a their children, earning money, doing manual
situation of safety and security, and a single labor or cooking and cleaning the house,
diagnosis of PTSD – which in some cases engaging in farming or fishing,
will require sustained mental health services. communicating with others, participating in
At the same time, this report finds community events, doing their prayers.
substantially lower rates of psychological Overall rates of expression of difficulty in
symptoms in PNA2 than in PNA1, which carrying out such basic life routines were
raises important questions about resilience extremely low, as is true for many such
and recovery. These questions are instruments. (Such scales work best for the
addressed below. most disabled persons.) Expressed
(i) Odds analysis suggests factors difficulties were highest for earning money,
associated with greater likelihood of manual labor (men), and farming or fishing
suffering depression and trauma-related – issues which reflect economic conditions
illness, as well as particular groups at high as well as disability. However, even with
risk, among PNA2 respondents. First, there this limited instrument, analysis
is a direct and highly significant relationship demonstrated highly significant
between number of traumatic events relationships between social functioning and
suffered and both depression and PTSD. depression, anxiety, and PTSD. Most
Although odds ratios are lower in PNA2 striking were relationships between
than in PNA1, higher numbers of reported psychological symptoms and expressed
experiences of conflict-related events greatly difficulty in basic livelihood activities –
increase the likelihood that persons will earning money, manual labor, farming and
suffer symptoms of depression and PTSD or fishing. Although causal directionality
diagnosable mental illnesses. Second, cannot be established, this study provides
women have greater odds than men for evidence that persons who are depressed or
suffering depression and anxiety, though the chronically anxious find it particularly
excess of depression and anxiety among difficult to maintain livelihood activities.
women is less than in most studies of normal Mental health problems have real
populations. Men and women have almost consequences for social functioning, and
equivalent odds of suffering PTSD. Third, mental health and livelihood interventions
age effects show no clear patterns. The need to go hand in hand.
oldest respondents (aged 54-82) are at (k) The finding that psychological
greater risk for depression and general symptoms were substantially lower for
anxiety. Some of the younger groups who PNA2 respondents in comparison with
had particularly high risk for psychiatric PNA1 respondents, even those in PNA2
symptoms in PNA1 do not show excess risk areas that suffered quite high conflict, was
in PNA2. unexpected and raises a series of questions.
First, does this simply reflect lower rates of
50 Good, Good, Grayman, Lakoma
trauma among those respondents? Our the local religious, cultural, and community
findings show this is not the case. resources persons draw on to overcome bad
Symptoms are lower for those districts in experiences related to the conflict. 91%
which trauma levels are equal to those in report using prayer and 54% report
PNA1. Do the differences reflect exposure consulting a religious specialist for this
to violence for a shorter period of time for purpose. 68% report talking with a friend or
those in the PNA2 districts? Again, this is family member, and 56% report trying to
not supported by the study. PNA2 found forget about the experience. At the same
symptoms to be lower both in Aceh Timur, time, 33% report looking for medical help
where the conflict was as long as in Bireuen specifically for these purposes. Rates for
and Aceh Utara (PNA1), and in Aceh many of these activities were highest in the
Selatan, where it was more recent. Do the East Coast region, where violence was
differences that something changed between particularly intense. These are, however,
February and July of 2005, and that only small indicators of the local resources
symptom levels reflect this? Clearly, our and psychological processes used in
data show that current levels of stressors recovery and efforts to deal with the
were greatly reduced by July. At that time, memories of violence. Larger scale political
reported rates of current violence processes, associated with the peace process,
(experiencing assault and robbery, seeing are almost certainly equally important in the
former perpetrators) were much, much lower long term efforts for community and
for all PNA2 regions than they had been for personal recovery.
the PNA1 districts at the time of that study. (m) The PNA2 survey found that there
This study thus suggests that with is widespread agreement throughout high
increased security and reduced levels of conflict areas that there are mental health
current stressors, general psychological problems in the community associated with
symptoms and collective anxiety were the conflict and that these problems affect
reduced significantly. Clearly, individuals the respondents and their families. There is
in these communities are resilient, and a high level of recognition of problems
collective processes of recovery can move associated with stres and trauma in these
forward when there is security. At the same communities (referred to in this way in both
time, anxiety, depression, and PTSD Acehnese and Indonesian languages) and a
remained quite high in the PNA2 desire for medical and psychosocial services
communities. The research showed this is to address them. And even though mistrust
closely related to past experiences of of government services remains quite
violence. And our clinical work has shown significant, respondents expressed a high
that mental health problems related to the level of willingness to accept mental health
conflict remain very significant in these assistance, whether administered through
communities. These problems are treatable GAM or the Indonesian government (a
using innovative approaches to providing distinction of less importance today in a
medical care to these communities. setting where the governor and heads of
(l) Despite the history of terrible many district governments are former GAM
violence levied against village populations members).
in high conflict regions of Aceh, these (n) The final finding which we may
communities and most individuals within describe here is drawn not from the PNA2
them remain remarkably strong and highly survey but from the IOM pilot mental health
resilient. The PNA2 study surveyed some of outreach program currently being
Violence, Trauma 51
Recommendations
It should be stated clearly that the All Programs undertaken in Rural Aceh
success of the peace process and the signing should take account of the Ubiquity and
of the MOU in Helsinki that ended the Complexity of Violence and its
conflict was the greatest contribution to Psychological and Social Remainders in the
mental health for the people of Aceh. Affected Communities
Successful maintenance of the peace is the
most critical issue for contributing to the The legacy of accumulated traumatic
public mental health of Aceh. It is our events all across Aceh as shown by the PNA
conviction that providing mental health care data poses unique challenges even for
in the regions that suffered high conflict is programs such as housing and school
also a contribution to continuing the peace reconstruction that are not specifically
process. The Report upon which this article designed for psychosocial assistance.
is based thus made recommendations, based Consultative processes and key informant
on the findings of our research, about critical interviews, early and often, and at the most
issues for improving mental health services local level, should inform the development
in Aceh as well as for developing services of any intervention. From these, an
that can contribute to trauma healing or understanding of the historical experience
recovery of those affected by the trauma and and current social dynamics in sites of post-
thus to the on-going peace process. The conflict assistance will help refine priorities
Report made the following for programs and ensure smooth
recommendations. implementation.
52 Good, Good, Grayman, Lakoma
mental health care is extremely challenging. while children are likely to show long-term
It should be explicitly recognized that there affects of the violence, this report suggests
is no single therapeutic modality which is that older men and women may continue to
certain to be effective and sustainable. experience the highest rates of mental health
Instead, a commitment should be made to problems in these communities. Little
developing innovative therapeutic programs attention has been directed to the effects of
in selected settings, to documenting each the conflict on the elderly. Our findings
program, and to careful evaluation of the suggest the need for further research and the
efficacy of therapeutic approaches. development of programs to address the
mental health and psychosocial needs of
Special Attention needs to be given to the older men and women in these communities.
Problem of Head Trauma, Brain Injury, and
Long-lasting Disability Resulting from
Torture and Violence associated with the Those Districts and Villages that Suffered
Conflict particularly Egregious Violence should be
provided Special Attention in the
Both the PNA1 and PNA2 reports Development of Mental Health and
documented remarkably high levels of head Psychosocial Services
trauma – beatings to the head, strangulation
and suffocation, and near drowning – that Exposure to traumatic events during the
were a routine part of violence against conflict is the single largest predictor of
civilian populations, particularly men, in current mental health disability in both the
high conflict communities. Head trauma PNA1 and PNA2 reports. A mapping of
can cause brain injury and anoxia that can conflict events across Aceh can help
cause long lasting emotional, cognitive, and determine priorities for mental health and
behavioral effects. These may include psychosocial services. These include the
reduced ability to concentrate and north and east coast districts of Bireuen,
participate in livelihood training, impaired Aceh Utara, and Aceh Timur, as well as the
judgment leading to what may appear to be southwest coast district of Aceh Selatan.
routine acting out or even criminal behavior, Additionally, the mapping of conflict events
as well as personal suffering. Research can be taken down to the sub-district and
should be undertaken to determine whether village level, revealing the micro-localities
specialized programs are needed to respond where service providers are most likely to
to these problems. The medical, legal, and find the highest conflict-related mental
educational systems should be made aware health burden.
of the importance of these issues for persons
who have suffered traumatic violence in the National and International Agencies should
conflict. recognize the continued need for Livelihood
Interventions in High Conflict Areas. These
Special Attention needs to be given to the should be linked specifically with Mental
Mental Health Problems of Older Persons in Health and Psychosocial Programs
the High Conflict Areas
Damaged or lost livelihoods are more
While young people were submitted to than just an unfortunate by-product of the
particular violence during the conflict and conflict. In most cases, there was a
rightly deserve specialized attention, and deliberate and systematic attempt to destroy
54 Good, Good, Grayman, Lakoma
local economies that were seen by military Profound loss and a potent sense of
forces as a strategic material base for injustice are remainders of the violence.
continued rebellion. These are devastating Careful consideration should be given to
losses for the civilians in these communities specific efforts to work through these
and their recovery is invariably identified by memories as a part of the on-going peace
respondents as a first priority. But the worst process in the context of rebuilding Aceh.
affected communities in need of livelihood These efforts will in turn have consequences
recovery are also the communities with the for the larger goal of trauma healing for
highest mental health burden, which may individuals and communities.
hinder the success of programs designed for
material recovery. Transitional assistance
for the rehabilitating destroyed fields and This report documents remarkable levels
forest gardens, capital inputs for restarting of violence enacted against civilian
local businesses, livelihood training and the communities in Aceh. As a psychosocial
development of small trade cooperatives can needs assessment, the report focuses on
all be seen as psychosocial interventions on specific clinical and mental health problems
their own. However, those with the most associated with this violence. However, the
disability will need explicit mental health ubiquity of violence documented in this
assistance to accompany their livelihood report has broader social and political
support. implications which are critical to the larger
goal of trauma healing for the people of
The Development of Programs for Rural Aceh. Special consideration should be
Aceh should include a Systematic Awareness given to finding mechanisms for
of the Long term Effects of Displacement in commemoration, for working through
the High Conflict Communities painful and contested memories, for dealing
with loss, and for reconciliation. These
Nearly half the sample reported efforts have the potential to contribute to
displacement due to conflict. In many trauma healing and ultimately to addressing
villages, this figure is between 90% and the painful remnants of violence in the
100%. The people living in former high communities who contributed to this report.1
2
conflict areas must be recognized as
Internally Displaced Persons with all the
vulnerabilities and needs that accompany 1
The first report, Byron Good, Mary-Jo
their recent displacement experience. DelVecchio Good, Jesse Grayman, and Matthew
Displacement recovery programs—in Lakoma, 2006, Psychosocial Needs Assessment of
particular the reconstruction of damaged and Communities Affected by the Conflict in the Districts
destroyed houses, schools, roads and other of Pidie, Bireuen, and Aceh Utara. International
infrastructure, and the recovery of lost Organization for Migration, is referred to throughout
this article as PNA1. The second report, Mary-Jo
livelihoods—are a pre-requisite for any kind DelVecchio good, Byron Good, Jesse Grayman, and
of broad psychosocial recovery in these Matthew Lakoma, 2007, A Psychosocial Needs
communities. Assessment of Communities in 14 Conflict-Affected
Districts in Aceh, published by the International
There is an enormous and lasting Reservoir Organization for Migration, is referred to as PNA2.
of Memories of Torture, Violence, and 2
For details of the research instrument and
Displacement enacted against Communities methodology, as well as the sample design, see the
and Individuals in Aceh PNA1 and PNA2 reports published by IOM.
Artikel
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 55-60
Ulasan
Hendro Sangkoyo
School of Democratic Economics (SDE) Indonesia
Abstract
Government Act is a particular form of text that, as with any other texts, reflects its
underlying discursive framework. This review article discusses the recently stipulated
Regional Government Act of the Special Capital Region of Jakarta on “Public Order“,
amidst the social processes of change that encompass the rural-urban nexus. The article
discusses how the discursive framework takes side and treats the issue of homelessness
in its broadest sense, which in the literature has been referred to as one of the toughest
mental health problems in the social reality of urban life, in the Third world and in the
industrialized metropoles alike.
Abstrak
Sebuah produk legislasi dapat dibaca sebagai sebuah naskah dan ditelisik kerangka pikir
apa yang beroperasi di baliknya. Tulisan ini mengulas Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta tentang Ketertiban Umum yang diundangkan pada tahun 2007, di
tengah sebuah proses perubahan sosial yang menyangkut nexus desa-kota sebagai medan
utamanya. Tulisan ini menguraikan secara garis-besar, bagaimana naskah tersebut
bersikap dan memperlakukan persoalan “kehilangan rumah” (homelessness) dalam arti
luas, yang dalam kepustakaan diakui sebagai salah satu masalah kesehatan jiwa terbesar
dalam kenyataan sosial kehidupan kota, bahkan di metropoli negara maju.
*
Ulasan terhadap Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Ketertiban Umum
55
56 Sangkoyo
Peraturan Daerah Provinsi Daerah sebuah lampiran penjelasan yang agak rinci
Khusus Ibukota Jakarta tentang Ketertiban tentang masing-masing bab. Selain
Umum—selanjutnya, “Perda Tibum,” Ketentuan Umum, Ketentuan Peralihan dan
diundangkan di tahun 2007, sebagai Ketentuan Penutup, topik-topik utama Perda
pengganti dari Peraturan Daerah Provinsi mencakup formula penyelenggaraan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.11 ketertiban untuk sepuluh obyek pengaturan
Tahun 1988. Salah satu pertimbangan sebagai berikut: (a) pelaku, prasarana dan
diperlukannya Perda Tibum 2007 adalah sarana transportasi; (b) jalur hijau, taman
bahwa Perda No.11 Tahun 1988 sudah tidak dan tempat umum; (c) sungai, saluran,
sesuai lagi dengan “jiwa dan semangat kolam dan lepas pantai; “lingkungan“; (d)
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” tempat dan usaha tertentu; (e) bangunan; (f)
serta “perubahan dan perkembangan tata peminta derma (sosial); (g) jasa pelayanan
nilai kehidupan bermasyarakat warga kota kesehatan; (h) tempat hiburan dan
Jakarta.” Naskah Perda Tibum 2007 terdiri keramaian; (i) “peran-serta masyarakat”,
dari tiga bagian utama, yaitu (a) Penjelasan yang juga mencakup pembatasan untuk
tentang hal-hal yang dipertimbangkan dalam pendatang baru. Tiga bab terakhir merinci
perumusan; (b) Hal-hal yang diingat sebagai rentang tindakan resmi untuk menjamin
bahan pertimbangan pelengkap dalam ketaatan pada “penyelenggaraan ketertiban“,
perumusan; serta (c) Penetapan Perda Tibum mencakup pembinaan, pengendalian dan
beserta seluruh isi Perda. Batang tubuh pengawasan; penyidikan; serta ketentuan
Perda terdiri dari enam-belas bab, dengan pidana.
sebuah kampanye pendisiplinan warga. mencolok adalah pada makin ciutnya ruang-
Sejak 1988 sampai dengan 2007, juga akan ruang sisa di dalam kota bagi warga
sangat sulit untuk menemukenali munculnya golongan miskin. Akan sama sulitnya untuk
“perubahan dan perkembangan tata nilai menemukan cara hidup tandingan, selain
kehidupan bermasyarakat” dari warga kota penyelenggaraan kehidupan secara darurat
Jakarta. Setelah krisis ekonomi sejak 1998, yang sejarahnya bahkan jauh lebih panjang
perkembangan atau perubahan keadaan yang dari penerbitan naskah Perda 11 Tahun 1988.
Penerapan Perda Tibum 2007 oleh yang dihadapi sehari-hari oleh warga miskin
karenanya akan menggandakan masalah untuk bisa bertahan waras dan hidup tentram.
Tabel 1
Sepuluh Obyek Penertiban dalam Perda Tibum 2007
Pasal Perda Tibum 2007 Kegiatan/tindakan Kegiatan/tindakan Kegiatan/tindakan
darurat karena darurat karena kurang karena berhak atau
alasan ekonomik atau tidak adanya sebab-sebab lainnya
layanan/prasarana
1; 2.3; 2.8; 5; 6
angkutan air informal
13; bangunan di badan air x x
14; pemakaian air dari x
badan air
3; bukan/batasi akses jalan x
6; pemakaian kolong x
jalan/jembatan
20; tinggal di ruang x
terbuka sisa
36; tinggal di ruang milik x
infrastruktur
29; konstruksi/operasi x x x
sarana angkutan informal
40; nafkah sebagai x x x
pengemis
transaksi dengan
pengemis/pengasong
41; kehadiran penderita x x x
sakit di muka umum
56; datang/niat bermukim x x
di Jakarta
x = ya
Tabel 1 di atas menunjukkan contoh Kalau saja ada seperangkat cara untuk
beberapa masalah pokok dari sepuluh obyek senantiasa mengetahui status
penertiban dalam Perda Tibum 2007, dengan ketidakterpenuhan syarat kehidupan layak
beragam kemungkinan sebab-sebab warga kota, naskah Perda Tibum tidak akan
berlangsungnya tindakan/kegiatan “tidak mengemukakan rumusan-rumusan
tertib.“ keharusan bagi warga kota, yang
Pendekatan “tindakan penertiban” dalam bertentangan dengan kewajiban dan
Perda 11/1988 dan Perda Tibum 2007 tanggungjawab pemerintah kota untuk
seperti tertuturkan dalam naskah, didasari memelihara dan meningkatkan rasa tentram
oleh anggapan bahwa masalah kesulitan warga. Keenam tindakan/kegiatan obyek
penyelenggaraan ketertiban umum, atau penertiban dalam Tabel 1 di atas, sebagai
pelanggaran terhadap seperangkat tata-tertib contohnya, bukan saja membutuhkan jalan
bisa diatasi dan dikendalikan dengan koreksi keluar tandingan bagi pelakunya, tetapi
langsung lewat tindakan disipliner langsung sebagian juga merupakan hak si pelakunya
terhadap pelaku, atau ancaman hukuman dan untuk mengerjakannya, untuk bisa
atau denda. Contoh-contoh dalam Tabel 1 mempertahankan kehidupannya di Jakarta
menunjukkan bahwa setiap bentuk tindakan dengan corak partisipasinya sendiri.
“tidak tertib” sebetulnya berada dalam Tentu saja masalah dengan Perda Tibum
sebuah konteks sosial yang bersifat dalam hal ini lebih pelik daripada sekedar
mendesak dan genting. Keseluruhan contoh "salah paham." Kalau setiap obyek
di atas mengacu pada jenis-jenis tindakan penertiban ternyata merupakan puncak
atau kegiatan dari warga golongan gunung es yang membutuhkan pemahaman
“miskin“ (dengan mengacu pada penglihatan yang sepenuhnya lain dari pendekatan
bukan-kecukupan-tunai terhadap duduk penertiban, sejak tahun diundangkannya kita
perkara atau ujud kemiskinan). Kita tentu sudah dapat pastikan bahwa, sepuluh tahun
juga dapat membentangkan tabel serupa dari sekarang atau lebih dini lagi, Perda
untuk tindakan tidak tertib yang Tibum akan harus digantikan dengan sebuah
berseberangan, yaitu pelanggaran oleh instrumen pengatur yang lebih brutal untuk
pelaku investasi industrial, serta bagaimana mengkoreksi “pelanggaran tata-tertib” oleh
ketidaktertiban tersebut diperlakukan oleh warga kota, yang lebih meluas dan beragam
pengelola kota. ujudnya.
Salah satu Pasal favorit penulis dari dan gangguan jiwa. Lebih jauh juga
naskah tiga babak Perda Tibum 2007 ini dijelaskan bahwa “keberadaan penderita
adalah Pasal 41, yang bunyi lengkapnya adalah tanggungjawab satuan kerja
adalah sebagai berikut, “Setiap orang yang ketertiban umum bersama dengan perangkat
mengidap penyakit yang meresahkan daerah bidang Sosial dan Kesehatan.”
masyarakat tidak diperkenankan berada di Agak sulit membayangkan siapa
jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat sebetulnya yang “paling menderita dan
umum lainnya.“ Di bagian penjelasan pasal paling resah“: si masyarakat yang misterius
demi pasal, dijelaskan bahwa yang di jati-dirinya itu, atau si penderita. Bagaimana
maksud dengan penyakit yang meresahkan kita bisa membayangkan pelayanan
masyarakat antara lain adalah kusta/lepra kesehatan jiwa berbasis komunitas, apabila
60 Sangkoyo
Kalau kota-kota di Indonesia dapat kita kesehatan jiwa di Indonesia. Kita akan
baca sebagai calon pengadopsi model mewarisi kota-kota yang beroperasi
pengelolaan kehidupan warga gaya Perda karikatur sebuah asilum. Di teater Tibum
Tibum berikutnya setelah Provinsi DKI macam itu, logika perbaikan pelayanan
Jakarta, sudah bisa kita bayangkan ongkos kesehatan jiwa warga negara selalu serta-
sosial darinya, khususnya pada kesehatan merta akan mengalami sabotase atau
jiwa warga kota dan calon pendatang baru. kompromi oleh bekerjanya mesin penertiban,
Kalau kota-kota dikontrol ketertibannya bukan pengurusan, warga kota yang miskin
seperti sebuah stadion, atau kebun-binatang, imajinasi sosialnya dan tidak berlebihan
alih-alih akan terjadi sebuah proses belajar untuk disebut sebagai produk yang
untuk memahami logika perumitan masalah terbelakang dan anti-sosial.
ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 61
Dialog 61
Bagaimana di zaman serba galau ini, kita memberikan layanan ini, dimana seluruh
hendak membicarakan urusan kesehatan jiwa investasi sumber daya yang ada harus dire-
warga/rakyat? alokasi secara lebih efisien dan kontekstual
dengan kondisi regional di Indonesia.
Urusan kesehatan jiwa seyogyanya jangan
direduksi menjadi satu list dari masalah dan Apa ada peran serta untuk disiplin-disiplin
penanganan kasus-kasus gangguan jiwa saja, keilmuan di luar kedokteran, psikologi, dan
tetapi dilihat dalam spektrum lebih luas. psikiatri dalam urusan kesehatan jiwa?
Membuat pemetaan untuk memahaminya
secara lebih utuh akan sangat bermanfaat Bukan hanya “peran serta“, tetapi “peran
untuk mengembangkan dialog yang produktif yang kuat” sangat diperlukan oleh disiplin
dan membuat agenda pembelajaran. keilmuan lain untuk lebih memahami dan
memaknai hal-hal yang lebih elementer
Ada komentar soal “kelamin sosial,” kelas (lebih ke arah “hulu”) dalam hal ini, dengan
sosial, dan keragaman budaya? kolaborasi pembelajaran yang dinamis untuk
menghindari kecenderungan fenomena
Tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2007 “penyekatan diri-profesi” dalam sangkar-
niscaya memberikan suatu “tantangan baru” sangkar disiplin yang masih sering kita lihat,
bagaimana kita harus melihat “paparan timbal dengan pengembangan ruang-ruang forum
balik” antara kesehatan jiwa dan hal ihwal diskusi.
faktor sosial budaya, serta keragaman
masyarakat, termasuk isu jender, yang selama Wilayah-wilayah penekan apa yang paling
ini luput dari perhatian kita—bahkan penting kita telisik sekarang atau ke depan?
terabaikan—mewarnai dialog tadi.
Sungguh sangat mencemaskan bahwa
Bagaimana pelayanan kesehatan jiwa di wilayah-wilayah stresor ini secara
Indonesia bisa menjawab pembesaran faktor- observasional makin lama makin luas,
faktor penekan di balik morbiditas dan kasus sehingga studi-riset yang sederhana tentang
kesehatan jiwa untuk Indonesia? isu-isu mendasar sangat mendesak kita
lakukan, sehingga kita bisa lebih antisipatif.
Tampaknya diperlukan reformasi yang Tentu ini membutuhkan “kepekaan kolektif”
menyeluruh dan agak “radikal” dalam untuk “meraba-rasakan” fenomena ini.
61
Gambar
62 ataraxis, Indonesian Journal of Mental Health
2007, Vol. 1, No. 1, 62-73
Bicara
Tradisi bertutur lewat fotografi mengundang pelihat bukan saja untuk
membaca fragmen situasi pada detik perekaman, tetapi juga untuk
menganyam sebuah jaring spekulasi tentang konteks di balik
representasi luminar atas material yang terpapar. Rubrik esei fotografis
hendak ikut merayakan tradisi itu, terutama dengan mengetengahkan
kekuatannya menyampaikan semangat orang-orang biasa untuk
menjaga dan meneruskan kehidupannya. Semangat, seni dan
ketrampilan untuk tidak patah—meskipun kalah— dalam perkelahian
atas ruang-ruang hidup yang terus disempitkan. ataraxis memilih
memaknai keutuhan proses mental sebagai sesuatu medan belajar
untuk semua dan setiap orang, bukannya secabang sektor industri
dengan demarkasi yang menempatkan manusia sebagai konsumer
“layanan kesehatan jiwa“ semata.
Antonius Riva
RivaPhotography.com
Kali ini kami tampilkan sekelumit hasil rekaman dari dua masa yang terpisah hampir satu dekade.
Tiga gambar pertama Riva jepret di tahun 1998, menjelang kekacauan di kota Jakarta, di
kawasan Sunda Kelapa. Tiga halaman berikutnya memuat rekaman dari bulan September 2007
yang baru lalu, di kompleks pendaurulangan sampah kota (lapak) di wilayah Daan Mogot,
Jakarta Barat.
62
63
64
62
65
66
67
68
69
61
70
Curriculum Vitae Penulis
Dr. Emmanuel Subangun. Lahir di Kediri, 28 Oktober 1949. S1 dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (1982). Docteur en Troisieme Cycle lulusan L'Ecole des Hautes Etudes en Sciences
Sociales (EHESS) de Paris, Perancis (1986). Dosen senior pada Unika AtmaJaya (sejak 1990).
Direktur Marketing & Social Research pada Resource Productivity Center, Jakarta (sejak 1990).
Direktur CRO Alocita Foundation, Yogyakarta (sejak 1990). Penulis buku, a.l. Politik Anti Kekerasan,
Negara Anarkhi, Kaum Beragama di Tengah Krisis Nasional, dan Kegalauan Ekonomi Politik Orba..
Dr. dr. Limas Sutanto, SpKJ(K), M.Pd. Lahir di Yogyakarta, 4 Desember 1957. Dokter dari Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa FK
Universitas Airlangga Surabaya (1994). Magister Konseling pada Universitas Negeri Malang (2005).
Doktor Konseling, lulusan terbaik Universitas Negeri Malang (2007). Menulis disertasi berjudul The
Efficacy of Peace Therapy. Pengajar Psikoterapi pada program studi Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan dan Konseling pada Program Pascasarjana di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.
Dr. Risa Permanadeli. Lahir di Malang, 22 Mei 1965. S1 dari Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta
(1987). S2 (DEA) dari EHESS de Paris, Perancis (1993). S3 Psychologie Sociale dari EHESS de
Paris, Perancis (2000). Menulis disertasi berjudul Representasi Sosial tentang Tempat Perempuan
dalam Masyarakat Jawa: Sebuah studi tentang Modernitas. Peneliti pada Laboratorie de la
Psychologie Sociale (LEPS) pada Maison des Sciences de l'Homme, sejak 2001. Pernah sebagai
Dosen Tamu di Fakultas Psikologi Universitas Ruy Barbosa Salvador-Bahia Brasil (2007). Ketua
Panitia Konferensi Internasional Representasional IX di Bali (2008).
dr. Nova Riyanti Yusuf. Lahir di Palu, 27 November 1977. Dokter umum dari Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti (2002). Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri/Kedokteran Jiwa,
Departemen Psikiatri FKUI/RSUPN-CM, Jakarta (sejak 2004). Kolumnis antara lain pada majalah
Djakarta dan Gatra. Menulis sejumlah novel, antara lain: Mahadewa Mahadewi, Imipramine, dan
3some. Menulis novel yang merupakan adaptasi dari naskah film: 30 Hari Mencari Cinta, Garasi,
dan Betina. Menulis skenario film layar lebar: Merah Itu Cinta (Rapi Films, 2007). Chairperson
Metaforma Institute (Center for Community and Social Development).
Ir. Sri Palupi. Ketua Institute for Economic, Social, and Cultural (Ecosoc) Rights. Insinyur Pertanian
kelahiran 42 tahun silam. Peserta Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
Pernah menjadi Ketua Pusat Studi Perempuan di Unika Soegijapranata Semarang Jawa Tengah dan
Koordinator Divisi Riset pada Institut Sosial Jakarta. Penelitiannya dalam kurun 15 tahun terakhir
mencakup topik-topik seperti kesejahteraan perempuan, permasalahan pekerja migran, dan
pengurangan kemiskinan.
Prof. Byron J. Good, dkk. Berafiliasi pada International Organization for Migration (IOM). Prof. Byron
Good berasal dari Department of Social Medicine, Harvard Medical School, 641 Huntington Avenue,
Boston, MA 02115, USA. E-mail: byron_good@hms.harvard.edu.
Dr. Hendro Sangkoyo. Lahir di Yogyakarta, 8 Mei 1956. S1 Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung.
S2 Planning Theory/Sejarah Asia Tenggara dan S3 Planning Theory/Comparative Politics dari
Cornell University. Pendiri dan Direktur School of Democratic Economics (SDE). Partisipan dan
Pembicara pada berbagai seminar dan forum internasional dalam bidang ekonomi-politik dan
perubahan sosial ekologis di negara-negara bekas jajahan. Pernah sebagai visiting lecturer pada
Cornell University U.S.A. (2005-2006).
Petunjuk
Penerbitan Jurnal
ataraxis
volume 1 nomor 1 ini dapat ter-
laksana dengan dukungan dari
cbm (Christoffer Blind Mission)
dan metaforma institute
78
SELAMAT ATAS
PENERBITAN PERDANA
Congratulations
62
79
Jakarta ISSN
ataraxis volume 1 nomor 1 hlm. 1-70
November 2007
61