Anda di halaman 1dari 15

Proceedings of International Conference: Sustainable built environment in the tropics: New technology, new behaviour?

School of Architecture, Tarumanagara University, Jakarta, Indonesia, 12-13 November 2012.

Masih Rekatkah Kita Dalam Bertetangga? Pengaruh Dimensi Penerimaan Teknologi Mobile Phone Terhadap Kohesi Bertetangga
Melisa Roringpandey
Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara

Juneman
Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45 Kemanggisan/Palmerah, DKI Jakarta 11480

Abstrak: Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pesat teknologi mobile phone telah mengurangi interaksi tatap muka individu dengan lingkungan sosialnya, dan hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kerekatan sosial. Penelitian ini merupakan studi elaboratif lebih lanjut mengenai dimensi-dimensi dari penerimaan teknologi mobile phone yang menyebabkan melemahnya kohesi bertetangga. Desain penelitian ini adalah non-eksperimental, korelasional prediktif. Penelitian dilakukan terhadap 375 mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta (182 laki-laki, 193 perempuan; M usia = 20.86 tahun, SD usia = 1.42 tahun), dengan teknik penyampelan convenience, insidental. Data penelitian dianalisis dengan analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kohesi bertetangga diprediksikan oleh persepsi menyenangkan (perceived playfulness) terhadap teknologi mobile phone. Korelasinya berarah negatif. Persepsi menyenangkan itu diramalkan oleh persepsi kegunaan (perceived usefulness), persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use), dan persepsi kualitas isi (perceived content quality). Korelasinya berarah positif. Diskusi, implikasi, dan rekomendasi dari hasil penelitian ini diuraikan dalam artikel ini.

Kata kunci : kohesi, tetangga, penerimaan teknologi, mobile phone, psikologi, perkotaan 1. Pendahuluan Kerekatan bertetangga sesungguhnya merupakan modal sosial bangsa Indonesia. LampungPost memberitakan bahwa kegiatan gotong royong, kegiatan bersama membangun rumah warga, dan kegiatan lainnya dapat mempererat hubungan atau interaksi dengan tetangga atau lingkungan dekat rumah [1]. Namun demikian, dewasa ini kerekatan sosial dalam kehidupan bertetangga nampak mengalami pelemahan. Contoh kasus: AntaraJatim memberitakan karyawan bank ditemukan tewas dibunuh, dipendam di lahan halaman belakang rumah korban, dan ditemukan setelah beberapa hari korban menghilang [2]. Menurut sejumlah tetangga, korban tidak begitu akrab dengan mereka. Baru diketahui bahwa korban meninggal setelah terciumnya bau tidak sedap di lahan pekarangan korban. Kasus berikutnya, pada Oktober 2010 terjadi perkelahian antar tetangga yang berujung pidana. Kasus ini terjadi karena hal yang sederhana, yakni seorang mahasiswi yang sedang menjaga warung ibunya disangka oleh tetangganya memandang ke arahnya secara terus menerus. Tetangga ini memukuli mahasiswi tersebut dan terjadi perkelahian antara ibu korban dan tetangganya, dan kasus ini dibawa sampai ke polsek karena tetangga lainnya tidak dapat berhasil melerainya [3]. Kasus lain, tetangga tidak mengetahui
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

berapa jumlah anak Akeng yang membunuh istrinya, dengan alasan, "Meski tinggal berdekatan, tapi kami tidak mengenal keluarga mereka" [4]. Putnam menyatakan bahwa dalam dekade terakhir, masyarakat Amerika menjadi kurang terlibat dalam aktivitas kewargaan dan komunitas semakin berkurang, serta kurang percaya kepada orang lain yang tidak dikenal (unknown others) [5]. Hal ini dapat dipahami, dan berdasarkan pengamatan peneliti, hal serupa terjadi pula di kota-kota besar di Indonesia. Canggihnya teknologi mobile phone membuat interaksi antar pribadi (face-to-face, body-tobody interaction) semakin berkurang. Dampaknya, kohesivitas bertetangga menjadi melemah. Kohesivitas merupakan sebuah kelekatan antar anggota kelompok atau komunitas. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal [6]. Dalam terminologi yang lain, kohesi sosial juga disinonimkan dengan social bonding atau social attachment. Kohesi sosial terdapat dalam kelompok besar maupun kecil. Dari berbagai literatur, ada tiga karakteristik kohesi sosial, yaitu (1) komitmen individu untuk norma dan nilai umum, (2) kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan (3) individu yang mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu, sebagaimana dinyatakan Maxwell [7], kohesi sosial merupakan: the processes of building shared values and communities of interpretation, , and generally enabling people to have a sense that they are engaged in a common enterprise, facing shared challenges, and that they are members of the same community. Dalam sebuah penelitian yang dikutip dari Ninemsn, ditemukan bahwa telepon seluler yang pada awalnya diperuntukan sebagai alat berkomunikasi, lambat laun berkembang fungsinya sebagai alat hiburan, yang dapat menyebabkan seseorang egois dan anti sosial saat menggunakannya [8]. Melihat fenomena di atas, peneliti mengajukan rumusan masalah: "Apakah terdapat hubungan antara dimensi penerimaan teknologi mobile dengan kohesi bertetangga?" Di samping manfaat teoretis di bidang psikologi perkotaan, peneliti mengharapkan adanya manfaat praktis. Orangtua dapat memberikan edukasi tentang penggunaan mobile phone pada anaknya sedemikian sehingga anak dapat mengelola penggunaan mobile phone-nya dan tetap bersosialisasi secara baik dengan tetangga. Sekolah dapat memasukkan materi ajar mengenai pentingnya kerekatan bertetangga meskipun hidup di tengah perkembangan pesat teknologi mobile phone. 2. Tinjauan Pustaka Kohesi bertetangga adalah kondisi psikologis dalam mana individu merasa masuk dalam komunitas di dalam lingkungannya; individu merasa menjadi bagian komunitas di dalam lingkungannya; individu mempunyai ketertarikan untuk hidup tetap di dalam lingkungan tersebut, dan interaktif dalam kehidupan bertetangganya [9]. Komitmen yang ada di dalam sense of community membuat individu dalam komunitas memiliki identitas sosial sebagai anggota dari kehidupan bertetangganya (Herek & Glunt, 1995, dalam [9]). Penerimaan teknologi mobile phone didefinisikan sebagai kesediaan untuk menggunakan mobile phone secara sukarela dalam menjalankan dan mendukung aktivitasnya [10]. Ada banyak model yang dikembangkan untuk mengukur penerimaan sistem informasi oleh pengguna, salah satunya adalah Technology Acceptance Model (TAM). Model TAM dikembangkan oleh Davis dan Venkatesh [11]. Berikut ini adalah dimensi-dimensi penerimaan teknologi yang disintesiskan dari berbagai literatur:
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Persepsi kegunaan (perceived usefulness / performance expectancy didefinisikan sebagai tingkat sejauh mana pengguna percaya bahwa menggunakan mobile phone tertentu akan meningkatkan kinerjanya. Persepsi menyenangkan (perceived playfulness / hedonic motivation) adalah karakteristik proses situasional yang membuat orang termotivasi untuk menerima dan menggunakan mobile phone karena senang dengan aktivitasnya berinteraksi dengan mobile phone. Persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use / effort expectancy) didefinisikan sebagai tingkat sejauh mana pengguna percaya bahwa menggunakan mobile phone akan bebas dari usaha. Kondisi sumber daya (facilitating conditions) merupakan persepsi terhadap sumber daya dan dukungan yang tersedia untuk menggunakan mobile phone [12]. Pengaruh sosial (social influence) adalah tingkat sejauh mana pengguna mobile phone merasa bahwa orang lain yang penting (significant others, misalnya, keluarga dan teman) percaya bahwa mereka harus menggunakan mobile phone. Kebiasaan (habit) sering dianggap sebagai perilaku otomatis [13]. Kebiasaan dibentuk oleh dua kondisi yang menguntungkan, yakni kelengkapan penggunaan yang tinggi (sejauh mana seorang individu memanfaatkan fungsi aplikasi yang berbeda yang terdapat di mobile phone) serta frekuensi yang tinggi dari perilaku penggunaan mobile phone [14]. Nilai harga (price value) merupakan persepsi pengguna mobile phone terhadap nilai manfaat dari harga yang ditawarkan [15]. Persepsi kualitas isi (perceived content quality), mengacu pada akurasi, kebermaknaan, ketepatan waktu, dan kualitas informasi dan layanan yang disampaikan melalui mobile phone. Sikap (attitude) merupakan predisposisi kontekstual pengguna untuk merespon suka atau tidak suka terhadap mobile phone [16]. Kepuasan (satisfaction) dapat dilihat dari pendapat pengguna tentang mobile phone yang mereka gunakan [17]. Diskonfirmasi (disconfirmation) adalah tanggapan kepuasan atau ketidakpuasan yang muncul dari proses evaluasi kognitif, di mana terjadi perbandingan antara harapan atau keyakinan sebelumnya tentang mobile phone dengan pengalaman aktual. Proses kognitif yang terjadi adalah proses sebelum dan sesudah menggunakan mobile phone. Niat (behavioral intention). adalah kecenderungan perilaku untuk tetap menggunakan mobile phone. 3. Metode Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa di Jakarta, karena gaya hidup mahasiswa perkotaan hampir tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi mobile phone. Dalam penelitian ini sampel yang dijaring adalah untuk penelitian lapangan adalah 375 mahasiswa yang sedang menempuh jenjang pendidikan S1 di berbagai universitas di Jakarta (182 lakilaki, 193 perempuan), dan menggunakan mobile phone (tidak termasuk Ipad). Rata-rata usia partisipan adalah 20,86 tahun, dengan simpangan baku 1,42 tahun.. Teknik pengambilan sampel adalah penyampelan non-probabilitas, yakni convenience incidental sampling. Untuk meningkatkan representativitas sampel, peneliti mengambil sampel dari seluruh kotamadya di Jakarta. Desain penelitian ini adalah desain non-eksperimental, korelasional prediktif. Data variabel penelitian diperoleh tidak melalui manipulasi eksperimental, melainkan melalui instrumen berupa skala yang menggali data pengalaman yang sudah terjadi (ex post facto), dan peneliti tidak melakukan randomisasi partisipan maupun kontrol variabel. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi, dengan bantuan program SPSS 19 for Windows. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam situasi alamiah, dan melihat kemampuan prediksi satu atau lebih variabel (variabel prediktor) terhadap variabel lainnya (variabel kriteria/dependen). Kohesi bertetangga (neighbourhood cohesion) merupakan variabel dependen, dan dimensi-dimensi penerimaan teknologi mobile
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

phone sebagai prediktor, yakni (1) persepsi kegunaan (perceived usefulness / performance expectancy), (2) persepsi menyenangkan (perceived playfulness / hedonic motivation), (3) persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use / effort expectancy), (4) persepsi kondisi sumber daya (facilitating conditions), (5) pengaruh sosial (social influence), (6) kebiasaan (habit), (7) nilai harga (price value), (8) kualitas isi (perceived content quality), (9) sikap (attitude), (10) kepuasan (satisfaction), (11) diskonfirmasi (disconfirmation), dan (12) niat (behavioral intention). Adapun alat ukur yang digunakan diuraikan sebagai berikut: Instrumen Kohesi Bertetangga. Instrumen ini diadaptasi dan dikembangkan dari Neighborhood Cohesion Instrument/NCI dari Buckner [9]. Meskipun instrumen ini ditulis dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah tahun 1988, namun Bruhn [18] (h. 116) menyatakan: "The Neighborhood Cohesion Instrument (NCI) developed by John Bucker, a clinical/community psychologist, is perhaps the most frequently used instrument. It has demonstrated good internal consistency and test-retest stability at the individual level. At neighborhood level, the instrument has shown good discriminatory power and criterionrelated validity . When it has been administered to a random sample of residents, the NCI can assess the cohesiveness of a neighborhood; its strength is that it enables analyses of cohesiveness at individual and collective levels of analysis." Berbagai studi sampai dengan baru-baru ini yang menggunakan kohesi bertetangga sebagai variabelnya, juga menggunakan instrumen Buckner, seperti penelitian Brown [19]. Instrumen ini terdiri atas 22 butir, dengan tiga dimensi, yakni ketertarikan terhadap tetangga (attractionto-neighborhood), tingkat kebertetanggaan (degree of neighboring), dan perasaan psikologis sebagai komunitas (psychological sense of community). Contoh butir dimensi pertama (atraksi) adalah "Secara keseluruhan, sangat menarik bagi saya untuk hidup bersama dengan tetangga saya saat ini", "Saya berencana untuk tetap tinggal sebagai residen (pemukim) bersama tetangga-tetangga saya untuk tahun-tahun ke depan", serta "Apabila ada peluang/kesempatan, saya ingin pindah atau keluar dari kehidupan bertetangga saya sekarang" (unfavorable item). Contoh butir dimensi kedua (kebertetanggaan) adalah "Saya mengunjungi tetangga saya dan menghabiskan waktu di rumah mereka", "Apabila saya membutuhkan nasihat tentang sesuatu, saya dapat memperolehnya dari tetangga saya", serta "Saya meminjam serta bertukar barang atau bantuan (misalnya, saling menjagai anak, menjagai rumah tetangga yang sedang pergi, dll) dengan tetangga-tetangga saya". Contoh butir dimensi ketiga (perasaan komunitas) adalah "Saya merasa menjadi bagian dari tetangga-tetangga saya", "Pertemanan dan hubungan yang saya miliki dengan orang lain dalam hidup bertetangga sangatlah bermakna buat saya", "Apabila orang-orang dari tetangga saya merencanakan sesuatu, saya akan menganggapnya sebagai 'pekerjaan kami bersamasama' ketimbang 'pekerjaan mereka'", "Saya pikir saya setuju dengan hampir semua tetangga saya mengenai hal-hal yang penting dalam hidup ini". Pilihan respons skala adalah: Sangat Tidak Sesuai (skor 1), Tidak Sesuai (skor 2), Agak Tidak Sesuai (skor 3), Agak Sesuai (skor 4), Sesuai (skor 5), dan Sangat Sesuai (skor 6). Hasil uji coba instrumen menunjukkan bahwa terdapat 19 butir yang valid dan reliabel, dengan indeks reliabilitas Cronbach's Alpha 0,915 dengan korelasi butir-total (corrected item-total correlations) 0,333 sampai dengan 0,759.
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Instrumen Penerimaan Terhadap Teknologi Mobile. Instrumen ini diadaptasi dan dikembangkan dari Venkatesh, Thong, dan Xu [20], Cheong dan Park [21], serta Bhattacherjee dan Premkumar [22], yakni Penerimaan Teknologi. Instrumen terdiri atas 36 butir, yang terdiri atas 12 dimensi, sebagaimana disebutkan di atas. Contoh butir dimensi Persepsi Kegunaan adalah: "Saya berpikir bahwa mobile phone secara umum berguna untuk hidup saya", "Saya berpikir bahwa mobile phone meningkatkan efektivitas kehidupan saya", "Saya berpikir bahwa mobile phone berguna bagi kehidupan studi saya". Contoh butir dimensi Persepsi Menyenangkan adalah: "Saya merasa diri saya baik (feel good) ketika menggunakan mobile phone", "Menggunakan mobile phone adalah hal yang menyenangkan buat saya". Contoh butir dimensi Persepsi Kemudahan Penggunaan adalah: "Fitur-fitur mobile phone mudah saya pahami", dan "Menggunakan fitur-fitur yang ada dalam mobile phone merupakan hal yang mudah bagi saya". Contoh butir dimensi Persepsi Kondisi Sumber Daya adalah: "Saya dapat memperoleh pertolongan dari orang lain ketika saya mengalami kesulitan menggunakan mobile phone", "Saya memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan mobile phone". Contoh butir dimensi Pengaruh Sosial adalah: "Orang-orang yang penting buat saya berpikir bahwa saya hendaknya menggunakan mobile phone", "Orang-orang yang mempengaruhi tingkah laku saya berpikir bahwa hendaknya saya menggunakan mobile phone". Contoh butir dimensi Kebiasaan adalah: "Saya kecanduan menggunakan mobile phone", "Saya harus menggunakan mobile phone". Contoh butir dimensi Nilai Harga adalah: "Uang yang saya keluarkan untuk membeli mobile phone seimbang dengan manfaat yang saya peroleh", "Harga mobile phone sangat rasional". Contoh butir dimensi Persepsi Kualitas Isi adalah: ""Kebutuhan saya akan informasi dan layanan terpenuhi oleh mobile phone", "Informasi dan layanan yang saya peroleh dari mobile phone sangat bernilai". Contoh butir dimensi Niat adalah: "Saya berniat untuk menggunakan mobile phone sesering mungkin", "Saya berniat untuk terus menggunakan mobile phone dalam kehidupan seharihari". Pilihan respons dari seluruh skala di atas adalah: Sangat Tidak Sesuai (skor 1), Tidak Sesuai (skor 2), Agak Tidak Sesuai (skor 3), Agak Sesuai (skor 4), Sesuai (skor 5), dan Sangat Sesuai (skor 6). Contoh butir dimensi Sikap adalah: "Bagi saya, menggunakan mobile phone merupakan ...." (Ide yang buruk ----- Ide yang bagus; Tindakan yang bodoh ----- Tindakan yang bijak; Langkah negatif ----- Langkah positif; Gagasan yang tidak efektif ----- Gagasan yang efektif). Contoh butir dimensi Kepuasan adalah: "Dalam menggunakan mobile phone, saya merasa ...." (Sangat tidak puas ------ Sangat puas; Sangat mengecewakan ----- Sangat memuaskan).

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Contoh butir dimensi Diskonfirmasi adalah: "Dibandingkan dengan pengalaman saya sebelum menggunakan mobile phone, maka saat ini penggunaan mobile phone membuat ...." (Kinerja saya jauh lebih buruk ---- Kinerja saya jauh lebih baik; Produktivitas saya jauh lebih buruk ----- Produktivitas saya jauh lebih baik; Efektivitas hidup saya jauh lebih buruk ----Efektivitas hidup saya jauh lebih baik). Pilihan skor bergerak dari (1) sampai (6). Hasil uji coba seluruh instrumen menunjukkan bahwa terdapat 33 butir yang valid dan reliabel, dengan indeks reliabilitas Cronbach's Alpha 0,935 dengan korelasi butir-total (corrected item-total correlations) 0,392 sampai dengan 0,721. Tabel 1. Hasil Analisis Regresi

Model Summaryb Adjusted R Model 1 ATTITUDE, PLAYFULNESS, R .319


a

Std. Error of the Estimate 11.946 HABIT,

R Square .102

Square .072 USEFULNESS, PRICE,

a. Predictors: (Constant), CONTENT, SOCIAL INFLUENCE, FACILITATION, DISCONFIRMATION, INTENTION,

EASE OF USE, SATISFACTION b. Dependent Variable: TETANGGA

ANOVAb Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 5868.554 51662.636 57531.189 df 12 362 374 Mean Square 489.046 142.714 F 3.427 Sig. .000a

a. Predictors: (Constant), CONTENT, SOCIAL INFLUENCE, ATTITUDE, FACILITATION, USEFULNESS, HABIT, PLAYFULNESS, DISCONFIRMATION, PRICE, INTENTION, EFFORT, SATISFACTION b. Dependent Variable: TETANGGA

Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) USEFULNESS PLAYFULNESS EASE OF USE B 63.587 .271 -1.808 .056 Std. Error 6.778 .341 .327 .517 .050 -.336 .007 Coefficients Beta t 9.381 .793 -5.527 .109 Sig. .000 .428 .000 .913

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

INTENTION FACILITATION SOCIAL INFLUENCE HABIT PRICE ATTITUDE SATISFACTION DISCONFIRMATION CONTENT a. Dependent Variable: TETANGGA

-.511 .118 .080 -.441 .473 -.148 -.125 .091 .705

.440 .300 .614 .250 .414 .213 .265 .332 .503

-.074 .022 .008 -.104 .072 -.047 -.040 .021 .088

-1.162 .394 .130 -1.767 1.142 -.693 -.474 .273 1.403

.246 .694 .896 .078 .254 .489 .636 .785 .162

Hasil analisis regresi linear berganda dengan prediktor 12 Dimensi Penerimaan Teknologi Mobile dan variabel tergantung Kohesi Bertetangga adalah sebagaimana nampak dalam Tabel 1. Nampak dari tabel bahwa Dimensi-dimensi Penerimaan Teknologi Mobile mampu memprediksikan Kohesi Bertetangga secara bersama-sama sebesar 10,2% (R2 = 0,102; F = 3,427, p < 0,01). Khususnya, terdapat korelasi negatif antara Dimensi Playfulness dengan Kohesi Bertetangga ( = 0,336, p < 0,01). Artinya, semakin kuat Persepsi seseorang mengenai Playfulness Teknologi Mobile, maka semakin lemah Kohesi Bertetangganya. Analisis lebih lanjut dengan menjadikan Dimensi Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness), Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use / Effort Expectancy), dan Kualitas Isi (Perceived Content Quality) sebagai prediktor, dan Dimensi Persepsi Menyenangkan (Perceived Playfulness) sebagai variabel tergantung, menunjukkan adanya hubungan signifikan. Hal ini ditunjukkan hasil analisis regresi sebagaimana nampak dalam Tabel 2. Sebagaimana nampak dalam Tabel 2, Dimensi Persepsi Menyenangkan ternyata dapat diramalkan oleh Dimensi Persepsi Kegunaan, Dimensi Persepsi Kemudahan Penggunaan, dan Dimensi Persepsi tentang Kualitas Isi Teknologi Mobile Phone, yakni sebesar 24,8% (R2 = 0,248; F = 40,790, p < 0,01). Semakin teknologi mobile phone dipersepsikan berguna, semakin teknologi itu dipersepsikan menyenangkan ( = 0,234, p < 0,01). Semakin seseorang mempersepsikan bahwa menggunakan teknologi mobile phone itu mudah, semakin teknologi itu dipersepsikan menyenangkan ( = 0,115, p < 0,05). Semakin isi teknologi mobile phone (informasi dan layanan) dipersepsikan berkualitas, semakin teknologi itu dipersepsikan menyenangkan ( = 0,277, p < 0,01). Berdasarkan hasil tersebut, nampak bahwa apabila mahasiswa Jakarta memandang sebuah teknologi mobile phone itu berguna dan berkualitas isinya, tidak serta merta akan merenggangkan hubungannya dengan tetangga. Kohesi atau kerekatan bertetangga akan menurun apabila persepsi kegunaan dan kualitas isi tersebut diikuti oleh variabel persepsi menyenangkan.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Lanjutan

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Model Summary Adjusted R Model 1 R .498


a

Std. Error of the Estimate 2.008

R Square .248

Square .242

a. Predictors: (Constant), CONTENT, USEFULNESS, EASE OF USE

ANOVAb Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 493.207 1495.289 1988.496 df 3 371 374 Mean Square 164.402 4.030 F 40.790 Sig. .000a

a. Predictors: (Constant), CONTENT, USEFULNESS, EASE OF USE b. Dependent Variable: PLAYFULNESS

Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) USEFULNESS EASE OF USE CONTENT B -1.811 .238 .170 .414 Std. Error .899 .052 .081 .079 .234 .115 .277 Coefficients Beta t -2.014 4.590 2.095 5.232 Sig. .045 .000 .037 .000

a. Dependent Variable: PLAYFULNESS

4. Kesimpulan, Diskusi, Implikasi, dan Saran Penelitian ini menyimpulkan bahwa kohesi bertetangga secara signifikan diprediksi oleh salah satu dari dimensi penerimaan teknologi mobile phone, yakni persepsi bahwa mobile phone itu menyenangkan (perceived playfulness). Korelasinya adalah negatif. Artinya, semakin kuat persepsi menyenangkan, semakin lemah kohesi atau kerekatan bertetangga. Hasil penelitian ini membantah temuan-temuan penelitian [23] yang menyatakan bahwa penggunaan teknologi mobile phone telah menurunkan komunikasi dan interaksi tatap muka. Sejumlah peneliti menyimpulkan bahwa kondisi ini menurunkan kerekatan sosial, khususnya antar tetangga. Kesimpulan ini nampaknya terlalu sederhana. Hasil penelitian Forunati, dan Taipale juga tidak mendukung kesimpulan sejenis, dan menunjukkan bahwa penggunaan teknologi mobile phone malah memiliki efek yang bertentangan dengan keyakinan umum dan sejumlah hasil penelitian itu [24]. Menurut mereka, mobile phone justru merupakan salah satu dari faktor-faktor yang menjelaskan permanensi atau kemenetapan bentuk-bentuk sosiabilitas komunikatif. Artinya adalah bahwa penggunaan mobile phone mendukung iklim sosialitas dan meningkatkan kohesi.
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa efek penggunaan mobile phone memang belum begitu jelas, inkonklusif, apakah menurunkan ataukah meningkatkan kohesi bertetangga. Morse menjelaskan bahwa penggunaan mobile phone dapat memperkuat ikatan sosial yang sudah ada (already-existing), namun secara makro, efek itu belum jelas [25]. Penelitian kali ini memberikan sumbangan pemahaman baru bahwa penggunaan mobile phone tidak serta merta secara umum menurunkan kerekatan sosial bertetangga. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa kita perlu melihat lebih detail dimensi penerimaan teknologi apakah yang berpengaruh terhadap kerekatan sosial. Ditemukan bahwa dimensi itu adalah persepsi menyenangkan atau menghibur. Sedangkan dimensi-dimensi yang lain, yakni Persepsi Kegunaan, Kemudahan Penggunaan, Kondisi Sumber Daya, Pengaruh Sosial, Kebiasaan, Nilai Harga, Kualitas Isi, Sikap, Kepuasan, Diskonfirmasi, dan Niat, tidak memiliki hubungan atau tidak berhubungan langsung. Dalam berbagai literatur, misalnya Venkatesh, Thong, dan Xu [20] serta Ogertschnig dan van der Heijden [26], playfulness memiliki nama lain, yaitu enjoyment atau hedonic motivation. Perceived playfulness atau hedonic motivation biasanya dibedakan dari perceived usefulness atau utilitarian motivation. Kata "hedonic" berasal dari kata "hedonism" yang berarti penekanan pada kenikmatan atau kesenangan sebagai tujuan utama kehidupan. Perceived playfulness adalah tingkat sejauh mana individu mempersepsikan bahwa perhatiannya terfokus pada interaksi dengan teknologi mobile phone; memiliki rasa ingin tahu sepanjang interaksi tersebut, serta mendapati bahwa interaksi dengan teknologi mobile phone itu menyenangkan (enjoyable) atau menarik (interesting). Berdasarkan teori Flow (Csikszentmihalyi, 1988, dalam [27]), playfulness merupakan keyakinan atau motif intrinsik, yang dibentuk oleh pengalaman individu dengan lingkungan teknologi. Flow menggambarkan "pengalaman optimum" atau pengalaman paling menyenangkan yang mungkin terjadi, ketika seseorang secara tidak sadar terlibat dalam sebuah kegiatan sedemikian sehingga ia menjadi terpikat (engrossed) dan kehilangan rasa diri (sense of self). Flow biasanya terjadi dalam kegiatan terstruktur, seperti bermain game, kegiatan-kegiatan ritual, olahraga, penampilan artistik, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, pengalaman akan konsentrasi, rasa ingin tahu, dan rasa senang (enjoyment) dalam sebuah kegiatan mencirikan pengalaman akan Flow, sekaligus sebagai unsur penting dari perceived playfulness. Pahnila dan Watsya melalui penelitiannya berhasil menunjukkan bahwa perceived playfulness memiliki efek yang signifikan terhadap "kelengketan / kemelekatan" terhadap teknologi (stickiness), di mana yang menjadi objek penelitiannya adalah gim daring (online game) [28]. Persepsi emosional menyenangkan ini dibangkitkan oleh interaksi dengan pemain gim daring yang lain. Serupa dengan hal tersebut, Teng dan Huang menunjukkan hasil penelitian Steinkuehler dan Williams bahwa gim daring menyediakan "tempat ketiga" (third place), atau dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai "komunitas maya", dalam mana pemain gim daring berpartisipasi dalam aktivitas sosial informal online dalam game tersebut [29]. Penjelasan ini semakin lengkap dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan pengguna Facebook tertinggi ketiga di dunia [30], dan Jakarta merupakan kota dengan jumlah Tweet tertinggi di dunia [31]. Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, penjelasan Pahnila dan Watsya [28] serta Teng dan Huang [29] memberikan kepada kita insight bahwa efek yang analog atau serupa juga dapat diaplikasikan pada mobile phone yang memiliki sifat portable (dapat dibawa ke manamana) dan mobilitas tinggi. Mobile phone saat ini juga telah dilengkapi dengan jejaring sosial

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

yang memungkinkan atmosfer komunitas maya meskipun penggunanya sedang berada dalam situasi privat. Bahkan Plant mengemukakan satu hal yang sangat penting dalam konteks bahasan ini, yakni bahwa mobile phone dapat mengganggu flow dari percakapan tatap muka di dunia nyata [32]: "A ringing mobile will often take precedence over the social interactions it disrupts: the need or desire to answer a call often outweighs the importance of maintaining the flow of face-toface conversation." Apabila dikaitkan dengan teori flow dari perceived playfulness yang dikemukakan di atas, tidak mengherankan bahwa apabila dalam percakapan yang sedang berlangsung saja, flow dari mobile phone dapat mengalahkan bobot flow dari percakapan tatap muka, apalagi flow kehidupan bertetangga (lebih dapat lagi dikalahkan), di mana percakapan antar tetangga yang sudah dikenal tidak selalu dimulai atau bertahan. Terlebih lagi, bila dihadapkan kepada tetangga yang belum dikenal atau tidak dikenal dekat. Penelitian ini juga menemukan bahwa perceived content quality mampu memprediksikan perceived playfulness. Hal ini sejalan dengan penelitian Tan dan Chou [27]. Dalam penelitian mereka, perceived content quality diistilahkan dengan mobile service quality (MSQ), dan mereka memperlihatkan bahwa MSQ mampu meningkatkan motivasi intrinsik, yakni perceived playfulness. Hal ini sesuai dengan expectation-confirmation theory, yakni bahwa peneguhan atau konfirmasi terhadap harapan akan menimbulkan afek positif, kenikmatan (pleasure), yang membawa kepada perceived playfulness. Biasanya pemenuhan harapan itu ditunjukkan dengan pengalaman seperti lupa waktu ketika berinteraksi dengan mobile phone, lupa dengan tugas yang sedang dikerjakan ketika berinteraksi dengan mobile phone, memiliki perasaan menyenangkan, menimbulkan keinginan untuk bereksplorasi, dan sebagainya. Hal ini terlebih lagi ditunjang dengan layanan personalisasi yang banyak dibawa oleh penyedia layanan (content providers) saat ini. Dalam kaitannya dengan perceived ease of use, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila teknologi mobile phone dipersepsikan mudah dikuasai, jelas, dan mudah dipahami, maka hal ini akan membuat orang berlama-lama menggunakan mobile phone (perceived playfulness). Efek langsung persepsi kemudahan penggunaan terhadap persepsi flow atau playfulness telah dibuktikan secara empiris oleh Hsu dan Lu dalam konteks gim daring [33]. Hal yang serupa dapat diaplikasikan pada mobile phone, di mana persepsi kemudahan penggunaan semakin merangsang diri untuk bereksplorasi dengan mobile phone, dan eksplorasi itu melahirkan flow sebagai unsur persepsi menyenangkan. Prediksi perceived usefulness terhadap perceived playfulness merupakan temuan yang unik karena umumnya kedua hal ini dibahas secara independen atau mandiri. Penjelasan teoretis yang memadai terhadap hal ini belum ditemukan. Namun penelitian ini memberikan penjelasan alternatif dengan memberikan contoh kasus negatif dalam hidup sehari-hari. Apabila mobile phone rusak atau diretas (hacked), maka akan menjadi kurang atau tidak berguna lagi. Rasa kurang berguna yang dialami oleh pengguna dapat begitu saja menimbulkan afeksi bahwa mobile phone yang dimiliki atau digunakannya tidak lagi menyenangkan. Dalam tingkat tertentu, tidak berguna sama dengan tidak menyenangkan. Namun demikian, penjelasan spekulatif ini masih perlu diselidiki lebih lanjut. Hal atau temuan yang baru dalam penelitian ini adalah bahwa perceived playfulness langsung berhubungan dengan kohesi bertetangga, tanpa melalui variabel apapun. Namun demikian, perceived usefulness, perceived ease of use, dan perceived content quality tidak langsung
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

berhubungan dengan kohesi bertetangga, melainkan berpengaruh terhadap perceived playfulness. Hal ini berarti bahwa apabila seseorang memiliki persepsi bahwa mobile phonenya mampu meningkatkan kinerjanya, dan sebagainya (kegunaan), mudah digunakan, serta isi dan layanannya berkualitas, tidak serta merta menurunkan kerekatan sosial dalam kehidupan bertetangganya. Kohesi sosial baru menurun apabila ketiga persepsi tersebut diikuti oleh persepsi menyenangkan. Penelitian lebih lanjut perlu mengelaborasi hubungan antara variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini dengan sejumlah variabel psikososiodemografis, seperti persepsi ukuran tetangga (perceived neighbourhood size), dan sebagainya. Implikasi hasil penelitian ini adalah bahwa untuk menjaga dan/atau meningkatkan kohesi bertetangga, kesadaran akan flow dari teknologi mobile phone perlu disosialisasikan. Pernyataan Laufer (1999, dalam [32]) berikut ini dapat dibenarkan: Mobile calls can come at any time, at any place, and in the company of any number of onlookers and eavesdroppers. The etiquette of handling such interventions has become a matter of some debate, and in many parts of the world, the ability to handle them - on the part of the recipient and all those within earshot - has become an important social skill. Berdasarkan pernyataan mereka, perlu dibangun keterampilan sosial agar orang tidak larut dalam flow dan mampu melakukan semacam negosiasi terhadap interaksi dengan mobile phone-nya sendiri sehingga tidak mengganggu atau melemahkan kerekatan sosial dalam kehidupan bertetangga 5. Rujukan [1] Saptomo, A (2012), Hilangnya Semangat Gotong Royong, http://www.lampungpost.com/index.php/opini/37842-hilangnya-semangat-gotongroyong.html [2] Chusna, A (2012), Karyawan Bank Ditemukan Tewas Dibunuh, http://www.antarajatim.com/lihat/berita/83130/karyawan-bank-ditemukan-tewasdibunuh [3] PBH Peradi, (2010), Konflik Antar Tetangga Berujung Pidana, http://pbhperadi.wordpress.com/2010/10/19/konflik-antar-tetangga-berujung-pidana/ [4] HaluanKepri (2011), Bunuh Istri Lalu Coba Bunuh Diri, http://www.haluankepri.com/news/karimun/13101-bunuh-istri-lalu-coba-bunuhdiri.html [5] Putnam, RD (2000), Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, Touchstone Books/Simon & Schuster, New York, U.S.. [6] Lott, A, Lott, B (1965), Group Cohesiveness as Interpersonal Attraction: A Review of Relationship with Antecedent and Consequent Variables, Psychological Bulletin, vol. 64, pp. 259-309. [7] Maxwell, J (1996). Social Dimensions of Economic Growth, Eric John Hanson Memorial Lecture Series, vol. 8, University of Alberta. [8] MetroTVNews (2012, 26 Februari), Telepon Seluler Picu Sikap Anti Sosial, Kok Bisa?, http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/26/83122/Telepon-Seluler-Picu-Sikap-AntiSosial[9] Buckner, JC, (1988), The Development of an Instrument to Measure Neighborhood Cohesion, American Journal of Community Psychology, vol. 16, no. 6, pp. 771-791. [10] Teo, T (2011), Technology Acceptance in Education, Sense Pubishers, The Netherlands.
Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

[11] Davis, FD, Venkatesh, V (2004), Toward Preprototype User Acceptance Testing of New Information Systems: Implications for Software Project Management, IEEE Transactions on Engineering Management, vol. 51, no. 1, pp. 31-46. [12] Brown, SA, Venkatesh, V (2005), Model of Adoption of Technology in the Household: A Baseline Model Test and Extension Incorporating Household Life Cycle, MIS Quarterly, vol. 29, no. 4, pp. 399-426. [13] Aarts, H, Dijksterhuis, A (2000), Habits as Knowledge Structures: Automaticity in Goal-directed Behavior, Journal of Personality and Social Psychology, vol. 78, no. 1, pp. 53-63. [14] Limayem, M, Hirt, SG (2003), Force of Habit and Information Systems Usage: Theory and Initial Validation, Journal of the AIS, vol. 4, no. 1, pp. 65-97. [15] Kim, H, Chan, H, Gupta, S (2007), Value-based Adoption of Mobile Internet: An Empirical Investigation, Decision Support Systems, vol. 43, no. 1, pp. 111-126. [16] Melone, NP (1990), A Theoretical Assessment of the User-satisfaction Construct in Information Systems Research, Management Science, vol. 36, no. 1, pp. 76-91. [17] Doll, WJ, Torkzadeh, G (1988), The Measurement of End-user Computing Satisfaction, MIS Quarterly, pp. 259-274. [18] Bruhn, J (2009). The Group Effect: Social Cohesion and Health Outcomes. Springer, New York. [19] Brown, EE (2006), African American and Latino Perceptions of Cohesion in a Multiethnic Neighborhood, American Behavioral Scientist, vol. 50, no. 2, pp. 258-275. [20] Venkastesh, V, Thong, JY, Xu, X (2012), Consumer Acceptance and Use of Information Technology: Extending the Unified Theory of Acceptance and Use of Technology, MIS Quarterly, vol. 36, no. 1, pp. 157-178. [21] Cheong, JH, Park, MC (2005), Mobile Internet Acceptance in Korea, Internet Research, vol. 15, no. 2, pp. 125-140. [22] Bhattacherjee, A, Premkumar, G (2004). Understanding Changes in Belief and Attitude toward Information Technology Usage: A Theoretical Model and Longitudinal Test, MIS Quarterly, vol. 28, no. 2, pp. 229-254. [23] Gergen, KJ (2008), Mobile Communication and the Transformation of Democratic Process. Dalam Katz, J (Ed.), Handbook of Mobile Communication Studies. The MIT Press, Cambridge, MA. [24] Forunati, L, Taipale, S (2012). Organization of The Social Sphere and Typology of the Residential Setting: How the Adoption of the Mobile Phone Affects Sociability in Rural and Urban Locations, Technology in Society, 34, pp. 33-43. [25] Morse, SJ (2008), Who Has Durkheim's Number? Cell Phones and Social Interaction, PsycCRITIQUES, November 19, 2008, vol. 53, Release 47, Article 5. [26] Ogertschnig, M., van der Heijden, H (2004), A Short-Form Measure of Attitude towards Using a Mobile Information Service. 17th Bled eCommerce Conference eGlobal Bled, Slovenia, June 21 - 23, 2004. [27] Tan, FB, Chou, JPC (2008). The Relationship between Mobile Service Quality, Perceived Technology Compatibility, and Users' Perceived Playfulness in the Context of Mobile Information and Entertainment Services, International Journal of HumanComputer Interaction, vol. 24, no. 7, pp. 649-671. [28] Pahnila, S, Watsya, J (2012), Assessing the Factors that Have an Impact on Stickiness in Online Game Communities. The 16th Pacific Asia Conference on Information Systems, Hochiminh City, Vietnam. 11-15 July 2012, http://pacis2012.org/files/papers/pacis2012_T14_Pahnila_183.pdf [29] Teng, CI, Huang, HC (2012), More than Flow: Revisiting the Theory of Four Channels of Flow, International Journal of Computer Games Technology, vol. 2012, art.ID. 724917, pp. 1-9, http://www.hindawi.com/journals/ijcgt/2012/724917/

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

[30] Supratiwi, F (2012), Pengguna Facebook di Indonesia Tertinggi Ketiga Dunia, http://www.antaranews.com/berita/317451/pengguna-facebook-di-indonesia-tertinggiketiga-dunia [31] KabarBisnis.com (2012), Wow, Kicauan Twitter Jakarta Tertinggi di Dunia, http://www.kabarbisnis.com/read/2832130 [32] Plant, S (2000). On The Mobile: The Effect of Mobile Telephones on Social and Individual Life. Motorola. [33] Hsu, CL, Lu, HP (2003). Why do People Play On-line Games? An Extended TAM with Social Influences and Flow Experience. Information & Management, 41, pp. 853-868.

Naskah ini selengkapnya dapat dibaca pada Proceeding halaman 290

ISBN 978-602-19369-4-8

Anda mungkin juga menyukai