E-mail: mauliap.muhammadin@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan korelasi pada dimensi-dimensi loneliness yakni social
loneliness, romantic emotional loneliness dan family emotional loneliness dengan penggunaan social network
sites atau yang disingkat SNS seperti jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi
dalam mengakses SNS. Studi yang dilakukan merupakan studi kuantitatif. Partisipan merupakan dewasa muda,
sejumlah 125 orang. Loneliness diukur dengan Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA) versi
yang telah diadaptasikan ke Bahasa Indonesia. Pengukuran penggunaan SNS diperoleh dari data penggunaan
SNS seperti jumlah akun, frekuensi dan durasi penggunaan SNS yang dilaporkan oleh partisipan. Hasil utama
penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi-dimensi loneliness
tersebut dengan jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi dalam menggunakan
SNS. Hubungan yang tidak signifikan ini dapat diartikan bahwa peningkatan pada social loneliness, romantic
emotional loneliness, dan family emotional loneliness tidak diikuti dengan perubahan pada jumlah kepemilikan
akun SNS, frekuensi penggunaan SNS serta durasi penggunaan SNS.
Kata Kunci: dewasa muda, family emotional loneliness, loneliness, social loneliness, romantic emotional
loneliness, social network sites
The Correlation between Loneliness’s Dimensions and Social Network Sites Usage
within Early Adults in Indonesia
Abstract
This study was conducted to prove the correlational relationship between loneliness’s dimensions which are
social loneliness, romantic emotional loneliness, and family emotional loneliness, and social network sites or
SNS usage as in numbers of SNS account being used, SNS usage’s frequency and duration. This study uses a
quantitative method. The participants were 125 people on their early adulthood. Social loneliness, romantic
emotional loneliness and family emotional loneliness were measured using the Social and Emotional Loneliness
Scale for Adults (SELSA) that was adapted to Bahasa Indonesia. SNS usage such as mentioned above were
measured by usage self-report items within the questionnaire. The main result shows that there is no correlation
relationship between the loneliness’s dimensions and the number of SNS accounts being used, the SNS usage’s
frequency and duration. This indicates that increase within the social loneliness, romantic emotional loneliness
and family emotional loneliness scores won’t be followed by changes of the number of SNS account being used
nor the frequency and duration of the SNS usage.
Keywords: early adulthood, family emotional loneliness, loneliness, romantic emotional loneliness, social
loneliness, social network sites
PENDAHULUAN
Dewasa ini, penggunaan internet pada masyarakat Indonesia dirasa mengalami
peningkatan. Masyarakat baik dari berbagai jenjang usia, tingkatan ekonomi maupun sosial,
Internet merupakan salah satu dari dari layanan online dimana individu dan kelompok
dapat berkomunikasi, memperoleh hiburan, mengedukasi dan saling memberikan informasi
(Koomen, 1997). Seiring perkembangan teknologi pun, internet juga turut mengalami
perkembangan pada berbagai hal seperti fungsi, media, dan lainnya. Dari sejumlah kegiatan
yang ditawarkan oleh internet, hasil penelitian Pew Project on the Internet and American Life
(2002), ditemukan bahwa bersosialisasi dengan orang lain adalah salah satu kegunaan internet
yang paling populer.
Banyak manfaat yang didapat dari penggunaan internet. Bagi remaja dan masyarakat
dewasa, Internet menjadi sarana pencari informasi dan rekreasi utama karena internet dapat
menyediakan cara yang sangat mudah dan cepat untuk dapat terhubung dengan berbagai
informasi ataupun berkomunikasi dengan siapapun di seluruh dunia (Ko, Yen dkk, 2010).
Kraut membuat social augmentation hypothesis yang menyarankan bahwa komunikasi
menggunakan internet memperbesar kapasitas sosial seseorang dengan menyediakan
kesempatan tambahan untuk interaksi sosial sehari-hari dan melaluinya individu dapat
memperbesar jaringan sosial (dalam Bessière dkk, 2008). Dilaporkan juga bahwa internet
dapat meningkatkan ikatan sosial individu karena internet memberikan lahan untuk hubungan
sosial yang kemungkinan kurang berkembang di dunia nyata (dalam Dittman, 2003). Internet
juga dinyatakan sebagai tempat yang ideal untuk menemukan kelompok degan ketertarikan
yang mirip (dalam Dittman, 2003).
Berbagai definisi berbeda dari loneliness disajikan oleh para peneliti (dalam Peplau &
Perlman, 1984). Peplau & Perlman (1982) menyatakan adanya 3 elemen penting yang ada
pada loneliness yakni hasil dari kurangnya hubungan sosial, sifatnya subjektif dan berupa
pengalaman yang tidak menyenangkan (dalam Sekarsari, 2009). Terdapat dua konsep utama
untuk memahami loneliness yakni perspektif unidimensional yang lebih melihat kepada
intensitas rasa loneliness disamping penyebab yang beragam dan yang kedua, melihat konsep
multidimensional yang melihat bahwa berbagai bentuk loneliness tidak dapat diukur secara
imbang dengan konteks yang menyeluruh (Dittman, 2003).
Selain hal-hal tersebut di atas, faktor budaya merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi penggunaan social network sites. Hal ini dikemukakan dalam beberapa
penelitian yang telah dilakukan (Kim, dkk, 2011; Dou, 2011; Jackson & Wang, 2013).
Penelitian terkait penggunaan SNS dan loneliness pada mahasiswa telah sebelumnya
dilakukan di Amerika dengan dasar kebudayaan individualis. Masyarakat Amerika dengan
budaya individualisme cenderung kurang memberikan usaha dalam hubungan di dunia nyata,
dan lebih berinvestasi terhadap perkembangan diri yang dapat direalisasikan melalui self-
promotion pada akun SNS mereka serta mendapatkan banyak teman karenanya. (Jackson &
Wang, 2013). Beberapa penelitian yang mengomparasikan penggunaan SNS pada masyarakat
dengan budaya individualisme tinggi dan rendah sudah dilakukan seperti pada Cina (Jackson
& Wang, 2013), Korea (Kim, dkk, 2011) dan Jepang (Dou, 2011). Jackson dan Wang (2013)
mengungkapkan bahwa pada masyarakat Cina, masyarakat lebih memberikan banyak
perhatian pada hubungan-hubungan di dunia nyata seperti dengan kekerabatan dengan
keluarga, teman maupun kelompok sehingga menyisakan waktu yang lebih sedikit untuk
membentuk hubungan melalui SNS karena mereka anggap kurang penting. Qiu, dkk (dalam
Jackson & Wang, 2013) juga menemukan bahwa pengguna SNS di Korea Selatan memiliki
jumlah teman yang lebih sedikit pada SNS mereka namun hubungannya lebih dalam.
Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan kolektivisme yang kental, dengan skor
individualism lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Timur tersebut. Namun pada
kenyataannya, Indonesia justru menduduki posisi lima besar terkait penggunaan SNS yang
paling luas di dunia, yakni Facebook (Menkominfo, 2013). Pada kebudayaan individualis,
individu mengompensasikan hubungan melalui SNS karena rendahnya usaha yang mereka
Jika dilihat dari hubungan yang telah ditemukan, maka terdapat sebuah kontradiksi.
Pada satu sisi, masyarakat dengan skor individualis yang tinggi cenderung menggunakan SNS
secara berlebihan, karena melalui SNS mereka dapat memenuhi kebutuhan individualis
mereka untuk mempromosikan diri dan kemudian memperoleh lebih banyak teman
melaluinya. Masyarakat individualis yang cenderung kurang hidup berkelompok, memiliki
tendensi untuk menjadi lebih lonely terkait hubungan mereka di dunia nyata karena lebih
memfokuskan diri pada hubungan-hubungan yang terjalin melalui online. Mereka lebih
banyak memiliki teman online, namun hubungan persahabatan yang dimiliki tidak mendalam.
Berkebalikan dengan masyarakat individualis, masyarakat kolektivis lebih mementingkan
relasi mereka di dunia nyata, sehingga tidak terlalu menganggap penting penggunaan SNS.
Jika dibandingkan, jumlah teman online masyarakat individualis lebih banyak daripada
jumlah teman online masyarakat kolektivis. Masyarakat kolektivis cenderung hidup
berkelompok, sehingga mereka akan selalu memiliki kelompok yang mereka anggap sebagai
asal mereka. Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang memiliki skor individualis yang sangat
rendah, ditemukan sebagai salah satu negara yang memberi sumbangan user terbanyak pada
beberapa situ SNS populer dunia. Padahal masyarakat Indonesia yang juga tergolong
kolektivis, jika dilihat latar belakang budayanya maka seharusnya menjadi masyarakat yang
lebih mementingkan kontak sosial dengan lingkungan sekitarnya dibandingkan penggunaan
SNS. Pentingnya kontak sosial masyarakat Indonesia seharusnya membuat masyarakat
memiliki tingkat loneliness yang lebih rendah. Oleh karena itu, muncul pertanyaan: Apakah
terdapat hubungan antara loneliness dengan penggunaan SNS di Indonesia?
Untuk menemukan hubungan antara loneliness dan penggunaan social network sites
tersebut, peneliti akan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data
self-report. The Social and Emotional Loneliness Scale for Adults atau SELSA (DiTomasso &
Spinner, 1993) akan digunakan untuk mengukur tiga tipe loneliness yakni terkait keluarga,
hubungan romantis, dan hubungan sosial. Pertanyaan terkait penggunaan social network sites
juga akan diberikan. Responden dari penelitian ini adalah mahasiswa yang sudah menginjak
usia dewasa awal sesuai dengan teori tahapan perkembangan psikososial Erik Erikson yakni
dari usia 20 hingga 30 tahun.
TINJAUAN TEORITIS
Loneliness
Loneliness sudah menjadi materi diskusi pada filsuf, teologis dan penulis semenjak
beberapa abad silam namun studi ilmiah terkait loneliness yang dapat ditelusuri baru ada
selama lima dekade terakhir ini. Berbagai peneliti mengulas konsep loneliness, sehingga
berbagai sudut pandang ditemukan. Konsep loneliness pertama kali disinggung melalui teori
psikoanalitik klasik oleh Fromm-Reichmann pada 1959. Sekitar 30 tahun belakangan ini
berbagai makna definitif dari loneliness mulai berkembang (DiTomasso, Brannen, & Best,
2004).
Perlman & Peplau (1982) menyantumkan dua belas definisi loneliness yang diajukan
oleh ilmuwan bidang sosial. Dari definisi-definisi tersebut, Perlman & Peplau (1982)
menemukan adanya kesepakatan terkait cara pandang ilmuwan terkait loneliness, yakni
adalah bahwa loneliness merupakan hasil dari kurangnya hubungan sosial seseorang,
merupakan hasil dari pengalaman subjektif, dan bukan merupakan persamaan dari isolasi
sosial subjektif dan pengalaman loneliness tidak menyenangkan dan menekan perasaan
individu.
Definisi loneliness yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah loneliness
menurut Weiss (dalam Perlman & Peplau,1982) yang menyatakan bahwa:
Loneliness is caused not by being alone but by being without some definite needed
relationship or set of relationships… Loneliness appears always to be a response to the
Weiss (1973)
Sesuai definisi di tersebut, dapat dilihat bahwa merupakan kondisi ketika individu
kekurangan hubungan tertentu yang dibutuhkan dan loneliness selalu menjadi hasil dari
ketidak-hadirannya suatu relational provision atau yang selanjutnya akan disebut social
provision tertentu.
Weiss (dalam DiTomasso & Spinner, 1997) mengidentifikasi enam social provision
atau ketentuan sosial dikarenakan menurutnya, jenis hubungan yang berbeda akan
membutuhkan ketentuan-ketentuan yang berbeda pula. Enam ketentuan sosial tersebut
diantaranya: keterikatan (attachement), tuntunan (guidance), opportunity for nurturance,
integrasi sosial (social integration), seseorang yang dapat dipercaya (reliable alliance), dan
reassurance of worth.
Menurut Weiss (dalam Oulette, 2001) terdapat dua dimensi loneliness, yakni:
Emotional loneliness dan Social loneliness.
a) Emotional Loneliness
b) Social Loneliness
Tipe yang kedua adalah social loneliness, yang didefinisikan dengan hasil dari tidak
cukupnya integrasi individu dalam jaringan sosial, yang diperlukan untuk menjalani tugas
yang sulit dalam penerapan “jaringan sosial” dan “integrasi”. Namun demikian, Weiss hanya
mengajukan bahwa social loneliness bersumber dari kurangnya jaringan sosial, tanpa
mengajukan konsep teoritis yang mendasarinya (Oulette, 2001). Pada loneliness ini, ketentuan
sosial yang perlu dipenuhi diantaranya social integration, reassurance of worth, dan sense of
reliable alliance, yang dikategorikan dalam ketentuan terkait afiliasi pada (Oulette, 2001).
SNS merupakan salah satu portal yang mendukung aktivitas online para pengguna jasa
internet, yang kini sangat marak digunakan. Boyd & Ellison (2007) mendefinisikan social
network sites sebagai layanan berbasis web yang dapat membuat individu dapat membentuk
profil publik maupun semi-publik dalam sistem yang dibatasi; melihat daftar dari pengguna
lain yang dengan mereka individu memiliki hubungan, dan melihat dan menelusuri daftar
koneksi mereka dan yang dibuat oleh individu lainnya dari sistem tersebut.
Menurut berbagai penelitian, dimensi yang paling penting dalam membedakan budaya
antar bangsa adalah dimensi individualisme versus kolektivisme (dalam Jackson & Wang,
2013). Hasil penelitian terkait indeks masing-masing dimensi budaya tersebut yang kemudian
dijadikan acuan penelitian-penelitian terkait latar belakang budaya dan penggunaan SNS
terutama dengan skor individualisme (Kim, Soh, & Choi, 2010; Dou, 2011; Jackson & Wang,
2013). Penelitian-penelitian tersebut diantaranya membandingkan penggunaan SNS di
Amerika dan di Asia Timur (Kim, Soh, & Choi, 2010; Dou, 2011; Jackson & Wang, 2013).
Amerika Serikat memiliki skor individualisme yang cukup tinggi yakni mencapai nilai
91, yang mengindikasikan rendahnya integrasi individu pada kelompok-kelompok
masyarakat. Jackson dan Wang (2013) menduga bahwa karena tingginya investasi individu
terhadap diri mereka sendiri, individu menggunakan SNS sebagai media yang sesuai dalam
mempromosikan diri sendiri. Dengan budaya seperti ini, individu individualis seperti
masyarakat Amerika Serikat akan lebih banyak menggunakan waktunya untuk menggunakan
SNS karena menganggap SNS itu penting, dan dapat memiliki lebih banyak teman melaluinya
dibandingkan di dunia nyata. Individu dengan latar belakang individualis umumnya tidak
ragu dalam menyuarakan pendapat, karena menganggap bahwa nilai individual mereka adalah
hal yang paling penting (Dou, 2011).
Latar belakang budaya juga ditemukan mempengaruhi gaya komunikasi individu. Hall
(dalam Kim, Soh, & Choi, 2011) membedakan dua jenis gaya komunikasi yakni high context
communication versus low context communication. Pada gaya komunikasi high context,
individu cenderung berkomunikasi dengan lebih implisit, tidak langsung dan abstrak. Gaya
komunikasi ini dominan pada masyarakat kolektivis. Sedangkan pada low context, individu
cenderung lebih eksplisit dan langsung dalam berkomunikasi. Gaya komunikasi ini dominan
ditemukan pada masyarakat individualis (Kim, Soh & Choi, 2010).
METODE PENELITIAN
Hipotesis Penelitian
(Ha):
1. Terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara skor dari subtes Social Loneliness
dalam Social and Emotional Loneliness Scale for Adults terhadap jumlah akun SNS yang
dimiliki, frekuensi penggunaan SNS, dan durasi penggunaan SNS pada dewasa muda di
Indonesia.
2. Terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara skor dari subtes Family Emotional
Loneliness dalam Social and Emotional Loneliness Scale for Adults terhadap jumlah akun
SNS yang dimiliki, frekuensi penggunaan SNS, dan durasi penggunaan SNS pada dewasa
muda di Indonesia.
Pada tipe pencarian informasi, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif
dimana informasi yang diperoleh didasarkan pengukuran variabel pada masing-masing
partisipan yang memperoleh suatu skor yang berupa nilai angka, yang dikumpulkan untuk
dianalisa secara statistik (Gravetter & Forzano, 2005). Skor angka dari penggunaan SNS dan
loneliness pada penelitian ini akan dianalisa secara statistik.
Pada desain penelitian, Gravetter dan Forzano (2009) menyatakan bahwa terdapat
beberapa strategi penelitian dalam menyelidiki variabel-variabel serta hubungan diantaranya
yakni penelitian eksperimental, non-eksperimental, quasi-eksperimental, korelasional dan
deskriptif. Peneliti memilih untuk menggunakan strategi korelasional karena pada penelitian
ini, peneliti bertujuan untuk melihat hubungan asosiasi yang ada pada kedua variabel yakni
penggunaan SNS dan loneliness. Dari skor-skor yang didapat tersebut, diukur untuk
mengidentifikasi pola dari hubungan yang ada antar variabel (mis. social loneliness dengan
penggunaan SNS, family-emotional loneliness dengan penggunaan SNS dan romantic-
emotional loneliness dengan penggunaan SNS.
Partisipan Penelitian
Dikarenakan jumlah populasi yang tidak diketahui secara lengkap, peneliti mengambil
sampel dengan teknik non-probability sampling dimana metode samling akan didasarkan
pada faktor-faktor seperti common sense, kemudahan, dengan adanya usaha untuk tetap
mempertahankan kemampuan representatif akan populasi dan menghindari bias (Gravetter &
Forzano, 2005). Peneliti memperoleh partisipan dengan menyebarkan link kuesioner online
melalui group chat pada chat provider tertentu kemudian meminta anggota pada grup untuk
Instrumen Penelitian
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat loneliness adalah Social and
Emotional Loneliness Scale for Adults oleh Enrico DiTommaso, Cyndi Brannen & Lisa A.
Best (1993) yang mengukur loneliness sebagai konstruk multidimensional yakni social
loneliness sejumlah 14 item, family emotional loneliness dan romantic emotional loneliness
dengan total 23 item. Alat ukur ini diadaptasikan dari teori loneliness yang diusung oleh
Weiss (1973). Pada tahun 2009 alat ukur ini telah diadaptasikan ke Bahasa Indonesia oleh
Kesya Andini dan telah menempuh uji psikometrik. Dari hasil uji psikometrik tersebut,
dipakai sejumlah 35 item yang terdiri dari 14 item untuk social loneliness, 10 item untuk
family emotional loneliness dan 11 item untuk romantic emotional loneliness. Untuk
mengukur penggunaan SNS, pada kuesioner diberikan item terkait jumlah kemepilikan akun,
frekuensi penggunaan SNS serta durasi penggunaan SNS.
HASIL PENELITIAN
Teknik statistik yang peneliti gunakan untuk menemukan hubungan antara dimensi-
dimensi loneliness dan skor total penggunaan SNS adalah teknik Pearson Producy Moment
Correlation. Berikut tabel yang merangkum hasil penghitungan korelasi.
Uji korelasi yang dilakukan pertama adalah terkait jumlah akun yang dimiliki
partisipan dengan dimensi-dimensi pada loneliness. Berdasarkan hasil uji korelasi dengan
Pearson’s product moment, diperoleh r=-0,014 dengan p=0,876 pada social loneliness, r=-
0,059 dengan p=0,516 pada romantic emotional loneliness, dan r=-0,045 dengan p=0,622.
Dari ketiga skor koefisien korelasi, seluruhnya p > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa Ha 1
ditolak. Dari ketiga koefisien korelasi yang diperoleh, hubungan antara dimensi-dimensi
loneliness dengan jumlah kepemilikan akun SNS tidak signifikan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara penggunaan social
network sites dengan loneliness pada mahasiswa Indonesia, dari ketiga dimensi loneliness
yakni social loneliness, romantic emotional loneliness, dan family emotional loneliness. Dari
hasil yang didapat, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara penggunaan SNS yakni
jumlah akun yang dimiliki, frekuensi penggunaan SNS dan durasi penggunaan SNS terhadap
seluruh dimensi dari loneliness tersebut. Dengan kata lain, ketiga hipotesis null yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan SNS dengan
social loneliness, romantic emotional loneliness, dan family emotional loneliness, diterima.
Berdasarkan hasil ini, berarti kenaikan skor pada jumlah akun yang dimiliki, frekuensi
penggunaan SNS serta durasi dalam penggunaan SNS pada dewasa muda Indonesia tidak
mengindikasikan perubahan skor pada social loneliness, romantic emotional loneliness dan
family emotional loneliness baik berupa kenaikan maupun penurunan.
Namun pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada
tingkat loneliness baik pada social loneliness, romantic emotional loneliness dan family
emotional loneliness pada dewasa muda. Ditemukan pula perbedaan yang signifikan pada
tingkatan jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi serta durasi penggunaan SNS. Berikut
penulis akan paparkan lebih lanjut implikasi terhadap penemuan, pada subbab diskusi.
DISKUSI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya hubungan
yang signifikan antara penggunaan SNS dengan tingkat loneliness dari ketiga dimensi yakni
social loneliness, romantic emotional loneliness, dan family emotional loneliness. Berangkat
dari hal ini, peneliti akan mengulas lebih lanjut terkait hasil yang didapatkan dari penelitian
ini.
Penelitian ini berawal dari berbagai penelitian yang menemukan bahwa penggunaan
internet pada individu mempengaruhi tingkat loneliness mereka, diantaranya penelitian di
Indonesia yang dilakukan pada tahun 2009 oleh Kesya Andini. Penelitian-penelitian tersebut
menemukan hubungan yang signifikan terhadap penggunaan internet dengan loneliness.
Hipotesa ini terbentuk dengan alur di mana penggunaan internet berhubungan loneliness pada
individu dan mengganggu hubungan-hubungan yang terbentuk pada dunia nyata (Morahan-
Hal pertama yang ingin peneliti bahas terkait hasil ini adalah terkait hubungan
penggunaan SNS dan loneliness dengan latar belakang budaya. Pada penelitian ini, ditemukan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi-dimensi loneliness dengan
jumlah akun yang dimiliki, frekuensi dan durasi penggunaan SNS. Sebelumnya, beberapa
penelitian mengindikasikan adanya hubungan latar belakang budaya dengan penggunaan SNS
pada masyarakat (Kim, Soh, & Choi, 2010; Dou, 2011; Jackson & Wang, 2013). Pada
masyarakat dengan latar belakang dimensi budaya kolektivis yang menilai keluarga dan
kelompok lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri, ditemukan bahwa tingkat penggunaan
SNS lebih rendah dikarenakan anggapan bahwa kerabat di dunia nyata itu lebih penting,
sehingga kegiatan sosial lebih banyak dilakukan di dunia offline dibandingkan online. Jumlah
teman yang dimiliki cenderung lebih sedikit, namun memiliki ikatan yang lebih kuat (Kim,
Soh, & Choi, 2010; Jackson & Wang, 2013). Sedangkan pada masyarakat dengan latar
belakang budaya individualis, individu cenderung menggunakan SNS sebagai media untuk
mempromosikan diri melaluinya dan dari sana mereka dapatkan lebih banyak teman. Oleh
karena itu, masyarakat individualis memiliki tingkat penggunaan SNS yang lebih tinggi dan
dari penggunaan yang lebih tinggi inilah mereka beresiko untuk mengalami loneliness. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat Indonesia, tidak terjadi pola yang serupa
sehingga, pola tidak dapat diaplikasikan pada masyarakat Indonesia. Indonesia yang memiliki
skor individualisme yang sangat rendah, ditemukan memiliki tingkat penggunaan SNS yang
tergolong tinggi namun hal ini tidak berhubungan dengan tingkat loneliness mereka.
Penggunaan SNS yang tinggi pada masyarakat Indonesia tidak memiliki hubungan signifikan
dengan loneliness yang mereka alami. Hal ini mungkin saja terjadi karena tingginya
kolektivisme pada masyarakat Indonesia sehingga penggunaan SNS yang tinggi tidak semata-
mata membuat masyarakat Indonesia menjadi lonely seperti halnya yang terjadi pada
masyarakat dengan latar belakang individualistik.
Kemudian, peneliti juga ingin membahas terkait tingkatan loneliness dan penggunaan
SNS pada penelitian ini. Ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkat loneliness yang
tinggi dan rendah pada masing-masing dimensi loneliness. Hal ini membuktikan bahwa
populasi pada kedua tingkatan pada masing-masing dimensi tidak identik. Begitu pula pada
uji signifikansi perbedaan tingkat jumlah kepemilikan akun SNS, frekuensi serta durasi
penggunaan SNS, ditemukan perbedaan yang signifikan pada tingkatan item penggunaan SNS
sehingga dapat dibuktikan hal yang sama yakni populasi pada kedua tingkatan pada jumlah
kepemilikan akun SNS, frekuensi serta durasi penggunaan SNS tidak identik.
Diskusi selanjutnya adalah terkait partisipan. Pertama, ditemukannya jumlah yang tidak
berimbang antara partisipan perempuan dan laki-laki, dan persebaran yang tidak seimbang
terkait usia mengingat rentang usia dewasa muda adalah 20 hingga 30 tahun sesuai dengan
tahapan psikososial Erik Erikson. Tidak seimbangnya persebaran ini diakibatkan oleh teknik
sampling yang keliru. Pada penelitian ini, peneliti juga menggunakan teknik sampling
snowball sebagaimana memungkinkan partisipan untuk berasal dari lingkungan yang mirip
atau bahkan sama, disamping penggunaan metode incidental sampling. Snowball merupakan
teknik sampling yang seharusnya digunakan jika dibutuhkan partisipan dengan karakteristik
yang mirip. Dikarenakan kekeliruan tersebut, persebaran partisipan sesuai jenis kelamin dan
usia tidak merata. Seharusnya peneliti menggunakan teknik sampling incidental saja sehingga
dapat diperoleh pemerataan partisipan baik dari segi jenis kelamin maupun usia agar
didapatkan hasil yang representatif untuk mewakili skor loneliness dan penggunaan SNS pada
dewasa muda di Indonesia.
Terakhir adalah terkait penggunaan alat ukur SELSA pada penelitian ini. Pada
penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan alat ukur ini, digunakan skala 7 dimana
terdapat nilai netral diantara skor-skor yang disajikan (DiTomasso & Spinner, 1997; Andini,
2009; Cramer, Ofosu & Barry, 2000). Sedangkan pada penelitian ini, penelitian menggunakan
skala 6 dengan tujuan untuk menghindari error jawaban rata pada pilihan netral. Ada dan
tidaknya pilihan netral pada alat ukur ini mungkin mempengaruhi jawaban pada individu
yang tidak pernah mengalami situasi yang dipaparkan pada item, terutama pada item subtes
Romantic Emotional Loneliness. Kurangnya pendalaman terhadap situasi yang dipaparkan
pada item mungkin mempengaruhi jawaban pada partisipan sehingga kurangnya pilihan
jawaban membuat partisipan menjawab dengan hanya sekedar pilihan yang diberikan.
LIMITASI
Pada penelitian, kontrol yang dilakukan terhadap data yang diperoleh masih kurang baik
terkait dimensi-dimensi loneliness dan penggunaan SNSnya. Hal-hal seperti hubungan
romantis yang tengah dijalani, jarak dengan keluarga dan hal-hal lainnya terkait hubungan
yang dimiliki kurang dikontrol melalui penelitian ini. Begitu pula pada penggunaan SNS juga
kurang terkontrol seperti misalnya terkait lama kepemilikan akun SNS dan alasan
menggunakan jasa SNS. Selanjutnya terkait sasaran partisipan, pada penelitian ini partisipan
menggunakan SNS dengan intensitas menengah ke bawah sehingga lebih sulit ditemukan
hubungan korelasi antara kedua variabel. Kemudian, pada penelitian ini ditemukan persebaran
SARAN
Beberapa hal yang dapat peneliti sarankan terkait penelitian ini adalah pertama,
perlunya pengkajian lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kedua variabel yang di
sini yakni faktor-faktor seputar loneliness dari ketiga dimensi loneliness dan seputar
penggunaan SNS dan menggunakannya sebagai data control. Selanjutnya, adalah untuk
menyasar penelitian kepada mereka yang memiliki intensitas penggunaan SNS yang lebih
tinggi agar dapat dilihat hubungannya dengan loneliness. Kemudian, seimbangkan proporsi
karakteristik seperti persebaran jumlah perempuan dan laki-laki, usia, dan lainnya agar
persebaran data lebih merata. Agar tidak terjadi sampling error, teknik sampling disesuaikan
dengan tujuan penelitian. Jika ingin melihat kondisi menyeluruh pada populasi, maka dapat
digunakan teknik sampling incidental sampling. Terkait alat ukur yang digunakan, pengujian
kembali SELSA dengan skala tujuh (dengan nilai ‘netral’ pada nilai 4) dan dengan skala enam
(tanpa nilai ‘netral’) dan dikomparasikan yang lebih valid dan reliabel.
Pada penelitian mendatang, dapat dikaji lebih lanjut terkait hal ini seperti misalnya
alasan mengapa individu tertarik untuk menggunakan SNS sebagai media pencari informasi,
informasi seperti apa yang membuat SNS banyak digunakan untuknya, dan lainnya. Dapat
juga diteliti hubungan penggunaan SNS dengan variabel psikologis lain yakni seperti misalnya
dengan social support yang individu terima, self-disclosure, dan lain sebagainya. Penelitian
mendatang lainnya juga dapat meneliti fungsi internet lainnya dan hubungannya dengan
loneliness.
DAFTAR REFERENSI
Anderson, K. J. (2001). Internet use among college students: An exploratory study. Journal of
American College Health, 50(1), 21-26.
Bessière, K., Kiesler, S., Kraut, R., & Boneva, B. S. (2008). Effects of Internet use and social
resources on changes in depression. Information, Community & Society, 11(1), 47-
70.
Boyd, Danah M. Ellison, Nicole B. (2008). Social Network Sites: Definition, History, and
Scholarship. Journal of Computer-Mediated Communication 13:210-231. DOI:
10.1111/j/1083-6101.2007.00393.x
DiTomasso, E. Spinner, B. (1993). The Development and Initial Validation of The Social and
Emotional Loneless Scale for Adults (SELSA). Personal Individual Differences,
14(1):127-134.
DiTommaso, E., Brannen, C., & Best, L. A. (2004). Measurement and validity characteristics
of the short version of the social and emotional loneliness scale for adults.
Educational and Psychological Measurement, 64(1), 99-119.
DiTommaso, E., & Spinner, B. (1997). Social and emotional loneliness: A re-examination of
Weiss' typology of loneliness. Personality and Individual Differences, 22(3), 417-
427.
Dittmann, K. L. (2003). A study of the relationship between loneliness and Internet use
among university students (Doctoral dissertation, Andrews University, School of
Education).
Dou, X. (2011). The Influence of Cultures on SNS Usage: Comparing Mixi in Japan and
Facebook in the U.S. Public Relations Journal, 5(4):1-16.
Guan, S. S. A., & Subrahmanyam, K. (2009). Youth Internet use: risks and opportunities.
Current opinion in Psychiatry, 22(4), 351-356.
Koomen, K. (1997). The Internet and international regulatory issues. The International
Information & Library Review, 29(3-4), 271-297.
Peplau, L. A. (1982). Loneliness: A sourcebook of current theory, research, and therapy (Vol.
36). John Wiley & Sons Inc.
Peplau, L. A. E., & Goldston, S. E. (1984). Preventing the harmful consequences of severe
and persistent loneliness. Dalam Preventive Interventions to Reduce the Harmful
Consequences of Severe & Persistent Loneliness, Feb, 1982, Santa Barbara, CA,
US; This monograph emanated from a 3-day research planning workshop.. National
Institute of Mental Health.
Ouellette, David M. (2001). The social network and attachment bases of loneliness. Diss.
University of Virginia, 2001.