Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin canggih.menuntut manusia untuk


menciptakan karya-karya yang inovatif semakin memudahkan pekerjaan manusia
terutama dalam hal berkomunikasi (Juwita, dkk, 2016). Teknologi memberikan efek
baru bagi manusia dalam bersosialisasi dan kini telah menjadi sarana media sosial
bagi masyarakat (Baidu, 2014 dalam Soliha, 2015). Sarana media sosial melalui
jaringan internet kini mempermudah para penggunanya untuk berinteraksi dan
berhubungan dengan mudah antara satu dengan yang lain.

Hasil survey data statistika yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia, 2016) menjelaskan bahwa jumlah pengguna Internet di
Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total jumlah
penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Pengguna internet terbanyak ada di Pulau
Jawa dengan total pengguna 86.339.350 user atau sekitar 65% dari total penggunan
Internet. Jika dibandingkan penggunana Internet Indonesia pada tahun 2014 sebesar
88,1 juta user, maka terjadi kenaikkan sebesar 44,6 juta dalam waktu 2 tahun (2014 –
2016). Dirjen Sumberdaya Perangkat Pos dan Informatika Kemen Kominfo
menyatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia menguasai Asia sebesar
22,4 persen. Penggunanya sebanyak 55 juta orang dari 245 juta penduduk Indonesia.
Jumlah pengguna ini semakin meningkat terutama pada usia muda mulai dari 15-20
tahun dan 10-14 tahun. Indonesia juga tercatat sebagai negara kelima terbesar
pengguna Twitter di bawah Inggris. Untuk situs jejaring tercatat sebanyak 44,6 juta
pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna Twitter di Indonesia
(http://tekno.kompas.com/read/xml/2012/11/01).

Kecanduan media social di semua kalangan saat ini merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari lagi. Hampir setiap hari pengguna mengakses media sosial
hanya untuk sekedar mencari informasi di facebook atau instagram. Hasil dari survey
yang dilakukan APJII pada tahun 2016 pengguna internet paling sering mengunjungi
web onlineshop sebesar 82,2 juta atau 62%. Konten media sosial yang paling banyak
dikujungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua
adalah Instagram sebesar 19,9 juta pengguna atau 15%. Menurut hasil penelitian
Baidu (dalam Soliha, 2015) media sosial memberi kebutuhan untuk bersosialisasi,
mengakses informasi sampai kepada pemenuhan kebutuhan hiburan. Kini,
kehadirannya lebih dimanfaatkan sebagai media sosial oleh masyarakat.

Kehidupan media sosial dalam dunia nyata dapat ditransformasi ke dalam


“dunia maya”. Hasil riset yang dilakukan oleh (Asmaya 2015) menggunakan media
sosial sebagai sarana komunikasi jauh lebih menyenangkan dibandingkan
komunikasi dalam interaksi secara tatap muka. Kecanduan internet diawali dengan
perkembangan tekonologi komunikasi yang baru dan memberikan berbagai macam
kemudahan bagi para penggunanya. Dependency Theory memaparkan definisi
kecanduan dalam memenuhi kebutuhan tau mencapai tujuan yang bergantung pada
sumber daya yang lain, khususnya media sosial (Schrock dalam Soliha, 2015).

Isu lain yang berdampak pada penggunaan internet adalah frekuensi dan durasi
penggunaan internet semakin lama dan intens. Menurut Horrigan, 2015 (dalam
Rochmawati) penggunaan internet diamati berdasarkan intensitas penggunaan
internet yaitu dari frekuensi berapa lama dan berapa kali menggunakan internet. The
Graphic, Visualization & Usability Center, the Georgia Institute of Technology telah
menetapkan indikator seseorang dapat dikatakan sebagai Internet Addiction pada
golongan Heavy Users ( ≥ 40 jam/bulan) atau 6 jam/hari dalam menggunakan
internet. Menurut data dari ICCA (Indonesian Contact Center Association)
menyimpulkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktunya
sebanyak 3 jam dalam sehari untuk berkomunikasi di media sosial. Maka dalam
seminggu pengguna internet menggunakan waktunya rata-rata sebanyak 21 jam.
Intensitas penggunaan internet tersebut termasuk memiliki kecenderungan Heavy
Users.

Survey yang dilakukan oleh Widiana,dkk (2014) menemukan bahwa keenam


subjek yang ditelitinya menggunakan internet rata-rata selama 2 jam-35 jam per
minggu. Pemakaian terlama selama 48 jam, seorang subjek pernah melakukan
chatting selama 2 hari berturut-turut. Sedangkan survey lain yang dilakukan oleh
penelitian kecanduan pada situs www.jalansutra.com bahwa 2100 orang di Inggris
mengalami kecanduan internet dengan hasil survey sekitar 76% dan lebih dari
setengah orang Inggris (53%) menggunakan internet lebih dari 4 jam sehari.

Penelitian yang dilakukan oleh Sariroh (2016) mengenai dampak intensitas


kecanduan media sosial (kecanduan internet) yaitu mengakibatkan tidak tahu waktu
akibat intensitas penggunaan media sosial, lebih mementingkan diri sendiri, menjadi
malas belajar atau malas melakukan kegiatan, kurangnya sopan santun dan salah
satunya malas melakukan komunikasi di dunia nyata. Menurut Hawari (dalam
Widiana, 2015) bahwa orang yang kecanduan media sosial cenderung mengalami
depresi dan menjadi individualitas karena tidak melakukan komunikasi sosial. Dari
beberapa dampak negatif kecanduan media sosial, maka mengapa peneliti memilih
komunikasi yang dihubungan pada kecanduan media sosial penggunanya. Jika sudah
sangat ekstrem, hal ini akan merubah orang tersebut menjadi anti-sosial
(Anugrah,2014).

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh APJII bahwa semakin tinggi


pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula intensitas seseorang menggunakan
layanan media sosial atau mengakses internet (APJII, 2017) khususnya para usia
dewasa awal. Dewasa awal merupakan masa usia 20-30 tahun (Papalia, 2014).
Erikson (1959) mengatakan bahwa masa usia dewasa awal adalah kebutuhan dalam
membuat komitmen melalui sarana membentuk suatu hubungan interpersonal yang
efektif, erat dan stabil sehingga mampu mengaktualisasikan diri seutuhnya untuk
mempertahankan hubungan tersebut. Seseorang dalam rentang usia muda menjalani
fase keenam dalam psikososial oleh Erickson (dalam Papalia, 2015) yaitu intimacy
vs isolation. Dimana cara dalam pemenuhan kebutuhan adalah intimacy yang
merupakan hubungan yang memiliki kelekatan antar sesama. Selain itu Umar (2013)
menjelaskan masa dewasa awal sudah mencapai tahapan kematangan dalam
berkomunikasi, karena mereka dituntut untuk dapat berhubungan dengan sosialnya
baik profesional maupun dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Dewasa awal
sudah mampu mengembangkan komunikasi dan mampu memahami isi pesan serta
menciptakan hubungan agar bisa diterima dengan efektif dan menghindari
komunikasi yang kurang baik. Kandell (dalam Soliha, 2015) menjelaskan bahwa
Emerging adulthood dimana individu memiliki kurangnya kestabilan dalam
perkembangan emosi, kognitif dan komunikasi interpersonalnya. Masa Emerging
Adulthood merupakan suatu masa ketika seseorang tidak lagi remaja namun belum
sepenuhnya dewasa. Sehingga ketika mereka memiliki kesulitan dalam berkembang
maka internet menjadi salah satu komunikasi yang efektif bagi perluasan pertemanan
mereka (Smahel dalam Soliha, 2015). Rakhmat (2011) menjelaskan konsep
sederhana yang membentuk terjadinya komunikasi. Diawali oleh persepsi objek,
benda-benda fisik yang diterima ditangkap oleh stimulus melalui panca indera
seperti gelombang, cahaya, gelombang suara, temperatur dll. Benda-benda fisik
tersebut lah yang akhirnya membentuk suatu lambang-lambang verbal/grafis dan
disampaikan oleh pihak lain dalam komunikasi interpersonal. Rakhmat (2011) juga
menambahi bahwa melalui komunikasi interpersonal, tidak hanya melihat perilaku
lawan bicara namun juga dapat melihat/mengetahui motif mengapa ia melakukan
perilaku tersebut.

Komunikasi tatap muka dapat merangsang kepekaan individu terhadap orang


lain, membuat individu nyaman dengan diri sendiri, menghargai sesama, melatih
individu dalam melindungi diri sendiri dan membiasakan individu untuk terbuka
serta memiliki empati sehingga dapat terbentuklah kesetaraan.

Facebook & twitter dalam sarana komunikasi justru dijadikan sebagai proses
penggantian komunikasi secara langsung. Tahapan komunikasi dimulai dari kontak,
keakraban, hingga pemutusan justru dilakukan lebih intens dalam media sosial. Hasil
eksperimen menunjukkan para penguna menganggap bahwa mereka menggunakan
komputer itu sebagai media yang ‘nyata’. Itu berarti apa yang muncul dalam berbagai
media sosial di jejaring internet dari hasil eksperimen seolah-olah nyata. Intensitas
dan frekuensi kecanduan media sosialsecara tidak langsung (aplikasi chatting) tidak
dapat mencapai kedalaman dan keluasan dalam komunikasi interpersonal sehingga
penggunaan tidak akan maksimal karena keterbatasan penulisan karakter yang
mempengaruhi (Moon & Nass dalam Werner (dalam Maulana&Gumelar, 2013:145).

Para pengguna media sosial sering mengabaikan penting dan efektifnya


komunikasi interpersonal tersebut dan lebih mengandalkan media sosial untuk
berkomunikasi (Farhati,2013). Ketika akan memulai interaksi dengan orang lain,
maka yang dilakukan ialah menciptakan persepsi mengenai orang tersebut dan
akhirnya dapat dikomunikasikan secara tatap muka kepada orang tersebut. Karena
petunjuk nonverbal dapat memberikan informasi dan memperkuat makna dalam
berkomunikasi interpersonal (Dale G leathers dalam Rakhmat, 2011:87). Dalam
komunikasi interpersonal, paralinguistik (petunjuk verbal) menunjukkan apa yang
diucapkan melalui tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal dan interaksi.
Cara dan gaya berkomunikasi seseorang dapat memberi petunjuk tentang kepribadian
persona stimuli (Rakhmat, 2011:86).

Komunikasi interpersonal sangat penting karena prosesnya berlangsung secara


dialogis. Para komunikan saling bergantian dalam berbicara dan mendengarkan
sehingga munculnya saling menghormati dan empati. Hal tersebut bukan didasarkan
pada status sosial namun dari kemanusiaan yang memiliki hak dan kewajiban untuk
dihargai dan dihormati sebagai manusia (Saudia, 2012). Berdasarkan penelitian oleh
Subekti (2015) komunikasi interpersonal dapat membantu manusia dalam proses
menyampaikan kebutuhan interpersonal dan memahami orang lain. Komunikasi
interpersonal lebih efektif ketika salah satu komunikan dapat menyampaikan dengan
media/bahasa yang tepat. Beebe (dalam Maulana&Gumelar, 2013:145) mengatakan
bahwa komunikasi yang paling efektif dalam komunikasi interpersonal terutama
mengekspresikan perasaan, terjadi ketika tidak ada media yang mengganggu
kejelasan pesan atau penundaan feedback penerima pesan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Abadi, Sukmawan & Utari (2013)
mengatakan bahwa remaja yang mengalami kecanduan media sosial dapat
memengaruhi perkembangan komunikasi menunjukkan bahwa hubungan sosial di
dunia maya dalam sarana media sosial memberikan pengaruh bagi komunikasi
masyarakat pada komunikasi tatap muka mereka. Secara negatif fenomena yang
muncul menandakan bahwa komunikasi bersarana komputer/smartphone mengurangi
tingkat keintiman hubungan sosial di dunia nyata (komunikasi tatap muka). Menurut
teori Budyatna (dalam Utaminingsih, 2016) menjelaskan bahwa penggunaan ponsel
dapat memberikan pengaruh yang bersifat transaksional dimana komunikasi secara
timbal balik mengalami penurunan sehingga kurang terjalinnya interaksi tatap muka.

juga merupakan makhluk sosial yang banyak melakukan interaksi dengan


lingkungannya. Karena mereka memiliki dan menggunakan media sosial sehingga
lupa dengan orang disekitarnya karena memiliki banyak teman di dunia maya. Selain
itu seringnya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi maka berkurangnya
interaksi mereka secara tatap muka, mereka menganggap bahwa berkomunikasi
melalui media sosial lebih menyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abadi , T. W., Sukmawan, F., & Utari, D. A. (September 2013). Media Sosial dan
Pengembangan Hubungan Interpersonal Remaja di Sidorejo. Kanal, Vol 2 No 1, Hal
1-106.

Anugrah, A. (2014, Desember 04). Sosial Media : Overdosis. Diambil kembali dari
Indonesian Contact Center Association (ICCA): https://icca.co.id/social- media-
overdosis/

Aridarmaputri, G. S., Akbar, S. N., & Yunairrahmah, E. (t.thn.). Pengaruh jejaring


Sosial Terhadap Kebutuhan Afiliasi Remaja di Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.

Askalani, M. (2012). Staring at the sun : Indentifying, understanding and influencing


social media users. Diambil kembali dari
http://aimmia/files/doc_downloads/Aimmia_SocialMedia_Whitepaper.pdf

APJII. (2017). Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2017. Diambil
kembali dari Kominfo Teknoprener:

https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_20
17_v1.3.pdf

Soliha, S. F. (Januari 2015). Tingkat Ketergantungan Pengguna Media Sosial dan


Kecemasan Sosial. Jurnal Interaksi, Vol 4 No 1, Hal 1-10.

Anda mungkin juga menyukai