Anda di halaman 1dari 6

MERDESA

Merdesa berasal dari kata “desa” dalam bahasa Jawa kuno. Artinya: “tempat hidup yang layak, sejahtera
dan patut”. Dalam pengertian ini juga tersirat makna desa — suatu kawasan yang merdeka dan
berdaulat. Ada pula dalam rumus otak-atik gathuk, ada persamaan antara Paradise (sorga) dengan
Paradesa — Para (tertinggi) maka kedudukan desa diletakkan dalam maqam, derajad dan martabat di
puncak paling atas. Desa merupakan visi, cita-cita tertinggi, pencapaian membangun sorga di dunia
nyata, yakni; “tempat hidup yang layak, sejahtera dan patut”. Layak secara ekonomi, layak secara sosial
budaya, layak secara politik — itulah sejahtera, dan patut (kepatutan) memiliki dimensi yang holistik;
adanya pola hidup yang bersahaja, rukun, penuh kesederhanaan, tak ada individualisme — karena
sistem kehidupan dilandasi oleh pertimbangan kebersamaan, komunalitas, berjamaah tidak mudah
untuk mengumbar keserakahan — eksploitasi, tak ada yang dominan pada kepentingan diri pribadi,
karena orang yang mementingkan diri pribadi justru diyakini sedang membangun neraka dan dianggap
durhaka, dur-angkara — semua ada takarannya. Gandhi pun pernah berkata: “Bumi ini cukup untuk
kesejahteraan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk keserakahan satu manusia”.

Namun di dunia ini ada pandangan lain yang menganggap bahwa kehidupan seperti kaum yang mencita-
citakan terwujudnya kehadiran “sorga” di dunia yang digambarkan dalam merdesa tadi, tidak ada
tantangan, dinamika hidup adalah proses persaingan. Persaingan dimaknai sebagai kerja keras,
profesionalisme, siapa yang kuat adalah pemenang yang berhak mendapatkan ranking dan berhak
mengumpulkan hasil yang setimpal. Maka sesungguhnya kalau dengan menggunakan kalimat yang
berkesan positif, kira-kira bunyinya adalah: “Hidup adalah pertempuran untuk memaknai dunia, siapa
atau paham apa yang menang, dialah yang kelak akan dianggap benar”.

Membicarakan persoalan perubahan-perubahan kultur desa dengan berbagai dinamikanya, yakni


tergerusnya budaya desa yang disebut tradisional dirambah oleh modernisasi. Memang selama ini
antara tradisional dan modern dianggap sebuah tahapan atau tangga untuk naik tingkat. Tradisional itu
posisinya di belakang atau di bawah — modern posisinya sudah di depan atau di atas, kaum tradisional
harus lari mengejarnya atau naik tangga untuk mencapai modernitas. Maka tradisi dipaksa untuk kawin
dengan modernisasi — tentu saja mempertemukan tradisi dengan modernisasi itu sama halnya suatu
upaya menuju perkawinan yang tidak akan menemukan kebahagiaan, karena tradisi dan modernisasi
dari asal-muasal, cara pandang dan ideologi yang sangat berbeda, bahkan cenderung saling
bertentangan. Maka tidak disadari, dalam pertaliannya, penganut tradisionalisme dan modernisme
perlahan-lahan menabur benih-benih konflik yang kita rasakan getaran ledakannya disepanjang jalan
peradaban manusia.

Modernisasi diyakini merupakan pilihan arah yang dapat membangkitkan keyakinan menuju perubahan.
Dalam riwayatnya, teori modernisasi juga mempengaruhi interdisiplin ilmu pengetahuan. Pikiran
tentang modernisasi dapat ditemukan dalam karya ilmiah di bidang psikologi Prof. David McClelland
tentang The Achieving Society (1961). McClelland menafsirkan Max Weber: bahwa jika etika Protestan
menjadi pendorong pertumbuhan di Barat, analogi yang sama juga dapat digunakan untuk melihat
pertumbuhan ekonomi. Rahasia pikiran Weber tentang etika Protestan terletak pada the need for
achievement. Maka kaum intelektual ini memandang masyarakat di Timur pada umumnya adalah
masyarakat terbelakang, dengan label Rakyat Dunia Ketiga yang hukumnya wajib memandang ke Barat,
dan harus didorong need for achievement-nya. Dalam kajian yang sama profesor emiritus dalam Ilmu
Sosial dari Standford University, AS, Alex Inkeles mengembangkan instrumen untuk mengukur skala
modernitas dengan cara menentukan tingkat kemodern-an suatu masyarakat, piranti tersebut sangat
penting digunakan untuk melakukan perubahan sikap di masyarakat. Karena tradisionalisme dianggap
sebagai momok, penyakit yang harus disingkirkan — diberantas. Upaya penyingkiran penyakit
tradisionalisme untuk mendorong lahirnya sikap moderen yang akan membawa pertumbuhan ekonomi,
yakni jalan menuju masyarakat high mass consumption — model masyarakat yang diimpikan ekonom
termashur pencetus konsep pembangunan ekonomi WW Rostow melalui teori pertumbuhan sosialnya.

Pembangunan (development) dengan mengendarai modernisasi merupakan pengembangan gagasan


dalam rangka membendung semangat anti kapitalisme bagi berjuta-juta masyarakat yang diberi nama
“Dunia Ketiga”. Pada tanggal 20 Januari 1949 Harry S. Truman (Presiden Amerika Serikat)
mengumumkan kebijakan pemerintahnya bahwa konsep “pembangunan” resmi menjadi bahasa dan
doktrin luar negeri pemerintahnya. Kebijaka tersebut juga merupakan jawaban atas kecenderungan,
ketertarikan masyarakat Dunia Ketiga terhadap Uni Soviet. Sangat jelas bahwa gagasan awal
“pembangunan” dalam rangka “perang dingin” demi membangun sosialisme di masyarakat Dunia
Ketiga. Maka doktrin “pembangunan” gencar disebarluaskan oleh para ilmuwan sosial. Pada tahun 1961
melalui konverensi The Implementation of Title IX of Foreign Assistance Act, dan akhirnya pada tahun
1966 konsep “pembangunan” dan modernisasi disepakati menjadi pilar utama kebijaksanaan program
politik luar negeri Amerika.

Cerita kata, dalam perkembangannya “pembangunan” dan modernisasi dengan serta merta diterima
oleh mayoritas negara-negara Dunia Ketiga. “Pembangunan” identik dengan gerakan langkah demi
langkah menuju “modernitas”. Modernisasi merefleksikan perkembangan teknologi dan ekonomi
seperti yang dialami negara-negara industri. Konsep tersebut berakar dari sejarah perubahan sosial yang
diasosiasiakan dengan Revolusi Industri Eropa, namun implementasi di negara-negara Dunia Ketiga
konsep tersebut diinterpretasikan dan dipahami melulu sebagai “perbaikan standar hidup secara
umum”. Dengan waktu yang cepat gagasan “pembangunan” dan “modernisasi” menjadi program yang
massif. Pemerintah di Dunia Ketiga dan Non Government Organisation (NGO) yang lebih dikenal dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta semua Universitas di Barat secara serempak membuka suatu
kajian baru bernama “Studi Pembangunan” (development studies). Melalui studi pembangunan itulah
proses penyebaran dan penyerapan kapitalisme ke seluruh dunia dipercepat, melalui para teknokrat,
kaum intelektual dan bahkan para aktivis lembaga swadaya masyarakat dari Dunia Ketiga yang menjadi
pasar utama program studi tersebut. Padahal pengetahuan tidaklah netral, melainkan sarat dengan
ideologi dan kontrol. Melalui “wacana pembangunan” (development discourse), negara Dunia Pertama
menerapkan kontrol terhadap Dunia Ketiga. Awalnya masyarakat di Timur diberi label Dunia Ketiga,
“terbelakang”, “kekurangan” tentang hal-hal yang terkait dengan teknologi dan keahlian profesional.

Para penganut developmentalisme mendasarkan keyakinan bahwa negara-negara maju yang menganut
sistem kapitalisme adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Mereka
mengupayakan agar pengalaman-pengalaman negara-negara maju tersebut dijadikan model proses
politik, ekonomi, sosial, budaya bagi masyarakat Dunia Ketiga. Menurut mereka, demokrasi dan
pembangunan akan saling mendukung. Pembangunan ekonomi menjadi syarat bagi demokrasi,
sedangkan industrialisasi melahirkan kekayaan. Kekayaan melahirkan kesenangan. Kesenangan memberi
kemungkinan orang secara bebas belajar berpartisipasi dalam politik. Kebebasan itulah yang akan
menjamin demokrasi.

Dalam proses berikutnya “pembangunan” menjadi alat invasi kultural, politik dan ekonomi. Dengan
dukungan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional, mereka mengikat negara Dunia Ketiga pada ekonomi negara-negara Dunia Pertama,
melalui bantuan yang sesungguhnya adalah hutang terhadap Bank Dunia. Bentuk-bentuk “bantuan”
lainnya juga dimaksudkan untuk proses melicinkan eksport serta dalam rangka kepentingan bisnis
negara-negara donor itu sendiri. Cara penyebaran pembangunanisme lainnya yakni melalui pengaruh
negara-negara donor pada regulasi dan perencanaan pembangunan serta bantuan-bantuan teknis
lainnya antara lain “kunjungan wawasan” para tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama Dunia Ketiga ke
Amerika Serikat. Cara lain adalah dengan mendayagunakan tenaga pendidik dan riset berbagai
universitas Amerika yang bekerja di Dunia Ketiga.

“Wacana pembangunan” laju berkembang di Indonesia secara murni dan konsekuen serta mendalam
dilakukan sampai ke tingkat pedesaan. Untuk melindunginya dikembangkan sistem kontrol ideologi,
sosial dan politik secara canggih — antara lain dikembangkan berbagai kebijakan, misalnya “the floating
mass policy”, kebijakan yang melarang organisasi massa pada tingkat desa dan menggeser serta
mengganti kepemimpinan tradisi dengan birokrasi pemerintah. Menggunakan penyelenggaraan
pendidikan formal maupun non formal sebagai media penanaman ideologi “pembangunanisme”. Pada
akhirnya “pembangunan” (development) diterima dengan tangan dan hati tanpa reserve, tidak ada
pertanyaan. Kalau toh ada perdebatan, umumnya hanya seputar cara (metode), teknik pelaksanaan
belaka. Karenanya dapat disimpulkan bahwa pembangunanisme telah diyakini oleh sebagian besar
birokrat pemerintahan, politisi, akademisi, jurnalis, agamawan, budayawan, bahkan para aktivis gerakan
sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat yang demokratis dan sejahtera.

Uraian singkat di atas upaya untuk menggambarkan, bahwa berbagai hal yang terjadi bukanlah sesuatu
yang lahir secara alamiah (bukan wis sakmesthine), namun banjir yang melibas peradaban jagad
pedesaan memang secara sadar telah dirancang dan direkayasa oleh para aparatus pembangunan-
modernisasi.

Pembangunan-modernisasi ternyata bukan hanya urusan ekonomi semata — karena proses


industrialisasi juga sangat tergantung pada proses kultural serta dominasi pengetahuan dan teknologi.
Proses-proses tersebut didukung oleh kekuasaan dengan memobilisasi berbagai kekuatan negara (DPR,
militer, peradilan, agama, pendidikan), yang paling jelas bahwa seluruh proses pembangunanisme
didukung oleh universitas, lembaga riset, kebijakan politik pemerintah serta lembaga keuangan
internasional, maka wacana pembangunan dan modernisasi mampu berlari cepat untuk memangsa
banyak korban yakni masyarakat tradisional.
Sangat jelas, bahwa hubungan antara modernisasi dan tradisi merupakan hubungan yang menempatkan
masyarakat tradisi sebagai objek untuk dimodernisir. Hubungan semacam itu adalah hubungan
dominatif karena yang memiliki kekuatan, kekuasaan sudah melekat pada modernisasi. Dominasi juga
tidak hanya berlangsung secara politik dan kebudayaan, karena juga berlangsung dalam bentuk
subjection — secara sadar menempatkan posisi masyarakat tradisi menjadi objek pengetahuan dan
kebijakan. Bahkan para aparatus modernisasi merasa memiliki hak dan kewenangan untuk meregulasi
masyarakat tradisional setelah mereka memberikan cap atau label masyarakat primitif, masyarakat
terbelakang. Dengan label tersebut para aparatus modernisasi seolah-olah memiliki kewajiban moral
untuk mengangkat atau mengentaskan masyarakat tradisional dari kesengsaraan. Dalam hal ini, cara-
cara yang digunakan merupakan proses penjinakan dan mendominasi. Akibatnya terjadi kekalahan
ekonomi, politik, budaya bagi masyarakat tradisional melalui tindakan perampasan yang dilakukan
aparatus modernisasi. Adapun strategi perampasan bersifat discursive dan hegemonik, maka tidak ada
perlawanan yang berarti dari masyarakat tradisional, karena masyarakat tradisional sendiri telah masuk
dalam perangkap — terhegemonik.

Satu-persatu penguasaan pengetahuan, teknologi dan budaya masyarakat tradisional dilucuti oleh
modernisasi. Misalnya dalam dunia pertanian, masyarakat dipaksa untuk melaksanakan program
revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk program industrialisasi yang sepenuhnya
menganut logika pertumbuhan. Program yang berasal dari Amerika Serikat itu diperkenalkan ke
Indonesia sebagai tindak lanjut teknis pelaksanaan pembangunan. Maka revolusi hijau tidaklah sekadar
program pertanian semata-mata. Program tersebut merupakan bagian dari strategi perubahan melawan
paradigma tradisionalisme. Dengan dilaksanakannya revolusi hijau, pengetahuan pertanian masyarakat
tradisional mengalami penggusuran total. Untuk pertama kalinya dalam sejarah keragaman
pengetahuan petani terjadi homogenisasi dan reduksionalisasi menjadi satu pola pertanian saja.

Revolusi hijau telah berhasil merampas kontrol atas sumber daya tanaman dari masyarakat tradisional.
Revolusi hijau telah menggusur keakhlian para petani yang selama 5.000 tahun memproduksinya,
menyeleksi, menyimpan dan menanam benih/bibit tanaman pertanian. Sedangkan bibit unggul yang
diperkenalkan perusahaan bibit multinasional ternyata menjadi salah satu sumber keuntungan. Bibit-
bibit unggul itu menjadi keajaiban komersial bagi perusahaan multinasional, karena petani harus
membeli bibit pada setiap musim tanam, akibatnya para petani tidak lagi memiliki pengetahuan tentang
benih yang tidak mereka pahami sejarah, silsilahnya dan akibatnya menjadi sangat tergantung — karena
para petani tidak bisa lagi mereproduksi benih/bibit sendiri. Revolusi hijau juga telah berhasil
menggusur ribuan jenis tanaman dan varietas tradisional serta merampas keseluruhan tanaman padi
yang berasal dari petani di Indonesia. Revolusi hijau jelas menguntungkan perusahaan multinasional
karena satu paket petani menjadi tergantung dengan perusahaan bibit, perusahaan pupuk kimia dan
perusahaan pestisida.

Revolusi hijau bukan hanya urusan ekonomi belaka, namun juga proses dominasi kebudayaan. Revolusi
hijau memiliki kekuasaan kultural dan politik melalui penciptaan sistem dan struktur ideologi melalui
propaganda dalam rangka mengusir ideologi, kultur dan politik kaum tani, bahkan institusi agama,
pendidikan dan media massa dipergunakan oleh aparatus revolusi hijau untuk mempengaruhi kaum tani
bahwa revolusi hijau adalah cara terbaik untuk memecahkan kemiskinan mereka. Lambat laun revolusi
hijau diyakini oleh masyarakat sehingga berubahlah — tata kuasa, tata kelola, tata guna, bahkan
pengaruhnya sampai pada urusan selera, gaya hidup, kebiasaan, sikap, moralitas dan nilai-nilai serta
prinsip yang selama ini diyakini oleh kaum tani, masyarakat tradisional.

Apa yang terjadi pada saat sekarang? Kita tahu bahwa ternyata revolusi hijau tidak bisa menjawab apa
yang mereka gembar-gemborkan saat itu: petani tetap semakin miskin. Sistem yang diciptakan sejak dari
benih, pestisida, pupuk kimia, mekanisasi, irigasi serta penggunaan kredit bank sama saja dengan
melakukan pemaksaan perubahan proses pertanian tradisional pedesaan menjadi capital intensive. Jelas
petani semakin miskin ditambah tersingkir dari lahan pertaniannya. Akhirnya kita juga tahu bahwa bibit
yang mereka ciptakan itu ternyata juga sangat rentan terhadap hama — maka bibit-bibit itu
memerlukan penggunaan pertisida untuk mengontrol hama sekaligus melindungi tanaman. Tetapi
kenyataannya, bahwa pestisida yang digunakan tidak mampu mengontrol hama, bahkan sebaliknya
pestisida tersebut malah justru memanjakan hama — karena tidak sengaja penggunaan pestisida itu
menciptakan kekebalan pada hama tersebut. Dampak lanjutannya yakni petani terpaksa tergantung
dengan pupuk kimia dan pestisida. Padahal dari segi lingkungan pedesaan penggunaan kedua input itu
justru menghancurkan ekosistem lingkungan pedesaan. Bahkan saat ini kita menyaksikan Departemen
Pertanian menyarankan petani untuk kembali dengan pertanian organik, lalu di mana tanggung jawab
perusahaan yang telah mengeksploitasi petani dan lingkungannya, apa tanggung jawab para akademisi
yang dulu berbicara secara ilmiah tentang kehebatan revolusi hijau — jadi petani harus menuntut
keadilan ke mana?

Dari pengalaman revolusi hijau, tentu dapat ditarik pelajaran berharga, karena hampir semua sektor
yang ada (pangan, kesehatan, energi, kehutanan, pertambangan dan sektor-sektor lainnya) dirambah
modernisasi. Seluruh prinsip penyebaran dan penguasaannya melalui strategi yang sama yakni
menaklukkan kaum tradisional hingga melupakan pengetahuan, nilai/prinsip, teknologi, polititik dan
sosial budaya tradisi yang selama ini dikuasai dan diyakini. Hampir semua sektor pada akhirnya juga
diwarisi berbagai kerusakan dan juga melahirkan berbagai persoalan bahkan konflik berkepanjangan.

Dari program-program pembangunan — modernisasi sejak awal nyaris tidak pernah ada pertanyaan:
“Siapa yang diuntungkan dari hasil pertumbuhannya?”. Dalam revolusi hijau misalnya, tidak disadari
justru melambungkan ketidakadilan klas dalam masyarakat pedesaan sekaligus melestarikan
ketergantungan ekonomi pedesaan. Kelestarian tersebut didukung adanya pengetahuan yang dominan
dan hegemoni budaya — yakni wacana modernisasi pertanian ilmiah yang otomatis menghancurkan
pengetahuan pertanian di masyarakat. Modernisasi berhasil meminggirkan petani dari dunianya seiring
dengan tergusurnya pengetahuan dan pengalaman bertani ribuan tahun — dalam revolusi hijau petani
adalah objek yang dikuasai oleh pengontrol pengetahuan, hal serupa juga dialami di sektor kesehatan,
pangan, sandang, energi, hutan, tambang dll.

Di akhir masa rejim Orde Baru bagaikan aliran air yang lepas sumbatannya, muncrat tak dapat
dibendung; berbagai konflik baik yang jenis vertikal maupun horizontal, juga berbagai sengketa, antara
lain sengketa agraria yang selama ini teredam karena kekuatan para aparatus pembangunan mencuat ke
permukaan, seperti benang kusut — saling memilin satu sama lain hingga sulit diurai.
Masalah dasar yang dihadapi oleh kapitalisme yang pada masa sekarang dihaluskan dengan istilah
globalisasi, sesungguhnya tidak berubah, yakni bagaimana menciptakan situasi dan kondisi yang
mendukung dirinya. Perusahaan-perusahaan transnasional bersama dengan lembaga-lembaga
keuangan internasional (IFIs) seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sejak awal
memiliki andil yang besar dalam mendukung politik dan program-program pembangunan rejim Orde
Baru. Sementara diakhir kekuasaan Orde Baru mesin-mesin globalisasi berbalik arah meninggalkan,
bahkan memusuhi rejim otoriter itu. Dengan bendera globalisasi (baca:pasar bebas) mulai
mengeluarkan lagi jurus-jurus baru seperti “good governance”, “civil society” dan lainnya, aparatus
lanjutan pembangunan-modernisasi berusaha mengempeskan peran pemerintah birokrasi nasional
dalam dunia ekonomi. Ketika negara (baca: proses penyelenggaraan pemerintahan) tidak lagi
mendukung, maka aparatus globalisasi melaksanakan dua strategi: yang pertama melucuti kekuasaan
negara, dan kedua memperkecil otoritas kekuasaan pusat, dan sebaliknya memberikan suatu bentuk di
mana daerah dikembangkan dan difasilitasi agar memiliki otoritas. Maka reformasi dalam rangka seperti
ini tidak serta merta merupakan proses pembaharuan yang mendasar, melainkan lebih menitikberatkan
pada kondisi agar tata kerja dan tata kelola pemerintahan kembali market friendly, yakni ramah
terhadap modal besar untuk menguasai pasar.

Umur kita lebih muda dibandingkan usia modernisasi-pembangunan yang akhirnya bernama globalisasi.
Tetapi toh masih terekam dan tidaklah lupa janji-janji yang pernah digembar-gemborkan dan
disombongkan sejak awal tentang “kemajuan” tak pernah hilang sampai sekarang, yang semakin samar
justru gambaran seperti apa tentang “kemajuan” itu? Sementara banjir kemajuan yang datang
belakangan justru semakin susah dipahami; korupsi semakin merajalela, menghamburkan uang banyak-
banyak untuk pemilihan umum yang hasilnya juga tidak dirasakan oleh masyarakat. Kemajuan telah
melahirkan banyak akhli pertanian, namun tidak korelatif dengan meningkatnya kesejahteraan petani,
malah semakin banyak produksi pangan yang diimport. Kemajuan teknologi kedokteran telah sampai di
puncak tertinggi, tetapi masih banyak penderita TBC, malaria, ISPA dan penyakit menular lainnya yang
sejak dahulu kala menjadi ukuran keberhasilan suatu negara. Apakah kemajuan berarti sama dengan
masyarakat harus memiliki uang banyak apabila ingin dilayani kesehatannya? Hutan telah dibabad habis,
perut bumi dikeruk isinya, namun masyarakat disekitarnya hidupnya justru lebih sengsara dari
sebelumnya — apakah kemajuan identik dengan kerusakan dan kesengsaraan?

“Kemajuan” oleh kaum modernis pada kurun waktu puluhan tahun yang lalu dibanggakan, justru kini
kita menyaksikan album foto “kerusakan” kemanusiaan yang luar biasa, dehumanisasi yang akut serta
keruntuhan nilai-nilai ketuhanan. Boleh dikata ini adalah kembalinya jaman jahiliyah, subur menjamur
jamaah penyembah “berhala” materialisme sambil bernyanyi mengagungkan nama-Mu. (Toto Rahardjo)

Nitiprayan, 5 Agustus 2012

Anda mungkin juga menyukai