Anda di halaman 1dari 5

A.

Pendahuluan
Kebudayaan merupakan rumusan-rumusan yang akan kita dapatkan, tetapi dalam tulisan ini

kita akan melihat tentang kebudayaan yang telah di rumuskan oleh para ahli antropologi

Amerika sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Spradley (1972). Yang melihat

kebudayaan bukan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas ide atau gagasan, kelakuan sosial

dan benda-benda kebudayaan. Tulisan ini melihat kebudayaan pengetahuan manusia sebagai

mahluk sosial, yang isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif

digunakan oleh pendukungnya atau pelakunya untuk menginterpretasikan dan memahami


lingkungan yang di hadapinya, dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak

(dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang di

hadapi. oleh karena itu, pengertian kebudayaan hal ini adalah pedoman menyeluruh bagi

kehidupan manusia. Dengan kata lain, kebudayaan-kebudayaan adalah milik masyarakat,

sedangkan individu-individu yang menjadi warga masyarakat tersebut mempunyai

pengetahuan kebudayaan.

B. Pengertian Permisif
Secara harfiah permisif bersifat terbuka atau longgar atau serba boleh seperti masyarakat kita

sekarang sudah lebih “terbuka” (menerima, membolehkan, mengizinkan), terhadap hal-hal

yang dahulu dianggap tabu.

Peradaban modern merupakan buah dari berkembang pesatnya ilmu membuat segalanya

mungkin, teknologi menjadikan segalanya menjadi mudah dan dunia terasa menjadi kecil.

Kenyataan ini membuat hampir semua segi kehidupan menjadi terbuka, boleh dan serba boleh

dimungkinkan (permisif). Inilah barangkali problema besar yang dihadapi oleh umat manusia

pada masa sekarang ini.

Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi

yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil


mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju
untuk dirinya sendiri. Tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat umat manusia telah

menjadi tawanan dari hasil ciptaannya itu. Sejak manusia mampu mengembangkan potensi-

potensi rasionalnya, agaknya pada saat itu ia telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran

mistis yang irasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan

manusia. Akan tetapi, di dunia modern ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari jenis

belenggu lain, yaitu penyembahan pada dirinya sendiri, bahwa dirinyalah yang menjadi

penentu dan sentral segalanya, dan tolak ukur boleh atau tidak boleh adalah ukuran

rasionalisme yang bebas terhadap ikatan nilai-nilai transedental. Hal ini telah dibuktikan oleh
sejarah kebudayaan barat yang berkembang dari satu ekstrim ke ekstrim yang lainnya, yaitu

dari alam fikiran barat jaman pertengahan yang berakar pada mitologi Yunani yang seolah-

olah Tuhan membelenggu manusia ke alam humanisme secara revolusioner yang beranggapan

bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan atau Dewa tetapi pada manusia.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa di dunia barat dan dunia modern pada

umumnya telah terjadi pergeseran konsepsi tentang manusia. Budayanya telah banyak

dibentuk dan dipengaruhi oleh mekanisme mesin, yang pada gilirannya membentuk budaya

yang serba boleh, terbuka, dan apa yang selama ini dianggap tabu, sekarang dianggap sesuatu

yang biasa.
C. Contoh Budaya Permisif
Salah satu budaya permisif misalnya kalau dulu di masyarakat kita, berjalan bersama antara

wanita dan pria merupakan hal yang terlarang. Wanita hamil di luar nikah merupakan aib

keluarga dan aib desa sehingga ada istilah “cuci kampung“ dengan menyembelih hewan

dan sanksi sosial lainnya. Tetapi sekarang agaknya masyarakat telah menganggapnya

sebagai sebuah kecelakaan kecil saja. Demikian halnya, seperti budaya barat yang

memberikan nasihat kepada anak mereka yang akan berangkat ke kampus. Misalnya

dengan pesan “jangan lupa membawa pil KB”, maksudnya agar hubungan kelamin yang
dilakukan menjadi save (aman). Di barat, kotak-kotak yang berisi kondom tersedia di
kamar mandi umum, yang setiap orang bebas untuk mengambilnya. Di kampus-kampus

juga sering dibagikan kondom, agar hubungang sex yang dilakukan para mahasiswa

menjadi aman dari resiko kehamilan dan penyakit kelamin serta bahaya HIV AIDS. Inilah

suatu gambaran budaya permisif yang telah melanda masyarakat industri di barat, yang

sekarang sedang melangkah menuju negara kita, walaupun lambat, tetapi ada gejala

menuju ke arah itu. Perilaku manusia telah condong mengikuti alam keterbukaan dan

meninggalkan nilai-nilai etika moral dan moral agama.

D. Pandangan menurut Islam


Memformat budaya Islam berarti mewujudkan nilai-nilai Islam ke dalam prilaku sehari-

hari. Yaitu menjadikan nilai Islam sebagai bagian inheren bagi kehidupan seseorang,

keluarga, masyarakat atau bangsa di nusantara. Dan upaya mewujudkan nilai-nilai Islam

ke dalam prilaku ini, idealnya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama lewat

pendidikan: pendidikan adalah instrumenpaling handal untuk melakukan internalisasi

nilai-nilai, termasuk nilai-nilai Islam. Kedua lewat proses pergaulan dalam keluarga:

pergaulan semacam ini juga dapat menjadi instrumen paling handal untuk melakukan

sosialisasi nilai-nilai termasuk nilai-nilai Islam. Ketiga lewat proses institusionalisasi nilai-

nilai, termasuk nilai-nilai Islam yang terjadi di masyarakat: masyarakat cukup handal

sebagai instrumen institusionalisasi nilai-nilai, atau pelembagaan nilai-nilai, termasuk

nilai-nilai Islam. Keempat untuk melengkapi upaya memberi format budaya islam ini

diperlukan upaya yang disebut infrastrukturisasi nilai-nilai. Upaya ke empat ini dilakukan

dan berlangsung dalam lingkup bangsa dan negara. Jika dan seandainya ke empat

instrumen itu bekerja dengan baik, singkron, sinergis dan berada dalam situasi normal,

maka upaya untuk menformat budaya islam sehingga nilai-nilai islam terwujud dalam

perilaku sehari-sehari umat islam dapat dilakukan.


E. Kesimpulan
Dalam konteks masyarakat serba boleh ini, segala kemungkinan dapat terjadi.

Memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, terkikisnya semangat

pruralisme, semakin tipisnya antara kebaikan dan keburukan, serta hilangnya identitas dan

jati diri seseorang merupakan beberapa kemungkinan yang dapat terjadi setiap saat. Dalam

hal ini ada dua komponen dasar yang harus dijadikan sandaran utama, sehingga kita

mampu membentengi diri di tengah kondisi masyarakat permisif yang semakin hari

semakin jelas. Dua komponen tersebut adalah agama dan pendidikan.

Dalam pandangan penulis, merebaknya berbagai problematika sosial, sebagai imbas dari

kondisi masyarakat permisif akhir-akhir ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai

keagamaan dalam setiap individu. Padahal, semua agama pasti mengajarkan seperangkat

nilai moral kepada para pemeluknya demi terciptanya manusia-manusia yang berbudi

pekerti luhur dan kepribadian mulia. Dapat dipastikan, tidak ada satu agamapun di dunia

ini yang menuntut pemeluknya untuk berbuat kejahatan, seperti : membunuh, mencuri,

berzina, serta tindak kejahatan kemanusiaan lainnya. Dengan demikian agama sebagai

naluri fitrah manusia, jika dipahami dan diaktualisasikan dalam kehidupan real merupakan

pondasi utama bagi seseorang untuk membentengi diri dari perangai buruk dan perilaku

tercela.

Selanjutnya, setelah agama menjadi pondasi awal untuk membentengi diri dari tindakan

amoral dan asusila, komponen berikutnya adalah pendidikan. Pendidikan, seperti

diungkapkan para pakar, sejatinya merupakan sarana pembentukan manusia sempurna

yang mengedepankan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran dan

keadilan.

Pendidikan yang baik bukan hanya sekedar transfer of knowledge(memindahkan

pengetahuan). Menjejali anak didik dengan serangkaian ilmu pengetahuan semata, tanpa

didasari oleh seperangkat nilai-nilai pendidikan yang substansial, seperti penanaman aspek
keperibadian dan pembentukan sikap pendidikan yang sesungguhnya, selain sebagai sarana
aktifitas belajar mengajar, seharusnya juga sebagai wadah penanaman nilai humanisme

(kemanusiaan), pruralisme (kebersamaan), inklusivisme (tidak egois). Menurut penulis,

pendidikan seperti inilah yang merupakan sarana efektif bagi anak-anak didik untuk

menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat yang heterogen ini dengan penuh dengan

toleransi dan kedamaian.

Dua komponen mendasar tersebut, yaitu agama dan pendidikan, jika dapat berjalan secara

beriringan dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya, niscaya budaya serba boleh

yang begitu gencar meliputi kehidupan kita dewasa ini, dapat kita antisipasi dengan baik.

Sehingga, meskipun terpaan angin permisifisme begitu kencang, karena kita punya

sandaran yang kokoh, maka nilai-nilai humanisme, pruralisme, inklusivisme tetap kita

pegang teguh

Anda mungkin juga menyukai