Anda di halaman 1dari 32

Munculnya Gerakan Pembaharuan Islam

Kemunculan gerakan pembaharuan pemikiran dalam pemahaman ajaran agama


adalah hal yang wajar dan logis,karena budaya manusia selalu berkembang.Kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga sangat berpengaruh pada pola pikir manusia,
termasuk dalam memahami teks-teks agama.Namun,satu prinsip yang perlu selalu
dipegang adalah bahwa pembaharuan itu hendaknya tidak menghilangkan inti dari
ajaran
agama itu sendiri.Bila inti ajaran agama itu hilang,maka namanya bukan lagi
pembaharuan ,tetapi perusakan /pengganti dengan hasil pikiran manusia tanpa
memindahkan inti ajaran agama yang pada dasarnya bersal dari wahyu Tuhan1[1].
Pembaharuan Islam itu sendiri mempunyai arti upaya-upaya untuk
menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi modern2[2].
Seperti kita ketahui semua bahwa ilmu pengetahuan adalah dasar tingkah laku
dan
sumber interaksi dengan kehidupan.Ilmu pengetahuan dapat berlangsung hanya dengan
pandangan dan petunjuk- petunjuk akal.
Umat Islam perlu memiliki ilmu pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar
ajaran Islam yaitu Al-quran,yaitu ilmu yang didasarkan atas ajaran tauhid,yang melihat
bahwa antara ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus bergandenga tangan.
Ilmu pengetahuan mempunyai teoresasi terhadap gejala-gejala alam dengan
Memggunakanmetode dan pendekatan ilmiah.Sedangkan ajaran Islam juga hasil ijtihad
Terhadap ayat-ayat Alloh yang terdapat dalam Al-quran dan As-sunnah.
Ilmu pengetahuan muncul sebagai perisai kepentingan.Aqidah menjadi
mengikuti
kemauan.Penelitian ilmiah dan mobilisasi untuk mewarnai dan membenarkan semua itu.
1[1] http: //us.click.yahoo.com/IGEjbB/6WnJAA/E2Hlaa/BRUpIB/TM
2[2] Harun Nasution, Pmbaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Jakarta:
Bulan Bintang 1975), cet. I, hlm. 10.

Bahkan alangkah cepatnya,ia dipandang sebagai metode kemanusiaan yang unggul


dijalan ilmu pengetahuan dan didalam mencari keyakinan3[3].
Islam tidak menuntut lebih dari sekedar bahwa ilmu pengetahuan tersebut adalah
ilmu pengetahuan yang benar bebas dari cacat dan jauh dari memihak kearah manapun,
yang barang kali menjauhkannya dari timbangan ilmiahnya yang netral.
2. Peran Lembaga Perguruan Tinggi Terhadap Pembaharuan Islam
Perkembangan taraf pendidikan umat Islam,terutama dengan maraknya
kemunculan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, mendorong makin banyaknya
para pemikir Islam yang berupa reinterprestasi terhadap ajaran Islam dan mereformulasi
doktrin- doktrin Islam masa lalu.
Subtansi pemikiran di sekitar pendekatan baru terhadap pengetahuan dan relitas
kaum Muslimin itu sendiri dapat dilacak sejak Syah Wali Alloh dan juga Sir Sayyid
Ahmad Khan pada abad ke-18 yang mendirikan Universitas Aligarh,pada abad ke-19
keduanya berada di India.Syah Wali Alloh memelopori kebangkitan pemikiran dan
kebangkitan yang berorientasi pada Islam dan sekaligus bersifat modern4[4].
Model kebangkitan pemikiran tersebut di ikuti di Mesir dengan tampilannya
pemikir sosial, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang di Indonesia menimbulkan
gerakan Muhammadiyah. Gerakan pemikiran itu semakin kuat posisinya. Ketika bisa
memasuki Universitas Al Azhar Kairo.
Kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi diakui telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia dalam segala
bidang : transportasi,komunikasi,pendidikan dan sebagainya.Namun bersamaan dengan
itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah menimbulkan berbagai
dampak negatif berupa timbulnya persaingan dan gaya hidup yang menghalalkan
segala cara.Masyarakat menganggap bahwa semua masalah dapat diselesaikan hanya
3[3] Diantara pionir terbesar aliran William James. Lihat buku Iradah Al-I'tiqad, An-Din
Wa Al-Aql dan Al-pragmatism.
4[4] Prof.Dr.H.Abuddin Nata dalam MSI, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004),
cet.II.hlm.411

dengan materi sehingga materi menjadi raja dan orang banyak memujanya.Kehidupan
yang demikian itu kini sudah mulai menunjukkan kegagalannya.Umat manusia
merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya,yaitu pegangan hidup yang bersumber
dari nilai-nilai universal dan absolut yang berasal darin penciptaNya,yaitu Tuhan.Di
tengah-tengah kehidupan yang penuh dinamika dan persaingan ini.Ia tampak sendirian,
tidak punya pegangan hidup dan rapuh.Akibatnya,ketika ia menghadapi masalah yang
berada diluar batas kesanggupannya ia mulai goyah,mencari pegangan hidup yang
rapuh
dan sifatnya sesat,seperti hiburan,minum-minuman keras dan sebagaiaya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah masuk ke dalam seluruh sistem
kehidupan dengan berbagai variasinya.Bagi masyarakat modern yang tinggal di
perkotaan kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian besar.Demikian
pula masyarakat yang tinggal di pedesaan pun sudah mulai bergantung pada ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar telah memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi manusia.Namun ilmu pengetahuan saja tidak cukup.Ia memang dapat
mempercepat manusia sampai pada tujuan.Namun ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak
mengetahui tujuan apa yang harus di capainya.Agamalah yang memberitahu tentang
tujuan yang harus dicapai oleh ilmu pengetahuan.Estein pernah mengingatkan melalui
pernyataan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta.
Islam sebagai sistem nilai yang telah teruji keampuhannya dalam sejak
mulai dipertimbangkan kembali untuk dijadikan sebagai salah alternative untuk
memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Salah satu aspek kehidupan yang amat
besar pengaruhnya dan paling mudah dimasuki paham lain yang menyesatkan adalah
paham ekonomi yang di terapkan. Kehidupan ekonomi berpengaruh terhadap aspek
kehidupan social,gaya dan pola hidup,lingkungan,pendidikan dan sebagai.Fakta
menunjukkan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi tidak otomatis membawa
kesejahteraan secara merata apabila tidak didasarkan pada nilai-nilai keadilan yang
mendasarinya. Nilai yang mengendalikan kehidupan ekonomi saat ini adalah nilai

kapitalisme yang di tandai oleh praktik monopoli yang mematikan kelompok


masyarakat
yang ekonominya lemah.
Selain itu praktik ekonomi juga dijiwai nilai-nilai materialisme yang menjadi
benda
sebagai tujuan ,sekuralisme dan ateisme yang memandang boleh melakukan apa saja
untuk mencapai tujuan.Praktik ekonomi yang demikian itu telah menimbulkan
kesenjangan
antara yang mampu dengan yang kurang mampu.
Dalamkeadaan ekonomi yang demikian itu,upay mengislamkan kehidupan
ekonomi
menjadi penting.Upaya ini dilakukan antara lain dengan memasukkan nilai-nilai Islam
ke
dalam praktik ekonomi.
Agama Islan diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan berbagai
kebudayaan yang ada di masyarakat Islam sebagai rahmat bagi kehidupan manusia
dapat
dirasakan dengan nyata.Islam benar-benar terlibat dalam memecahkan masalah
kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi,kesehatan pemukiman,pendidikan dan
kesejahteraan
pada umumnya.Islam benar-benar tampak dalam kenyataan sebagai sebuah system
kehidupan yang menyejukkan manusia.Islam hanya berlaku sebagai criteria etia di luar
struktur ilmu pengetahuan yang demikian itu di dasarkan pada asumsi bahwa ilmu
pengetahuan adalah bebas nilai konsekuesi logisnya mereka menganggap mustahil
munculnya ilmu pengetahuan Islami sebagimana mustahilnya pemunculannya ilmu
pengetahuan Marxistis5[5].Dalam hal ini pengetahuan dari Negara Eropa, kini sudah
menjamur di kalangan perguruan tinggi dan tidak jarang di jadikan kiblatan beberapa
tokoh Islam muda di Indonesia.

5[5] Fazlur Rahman,Islamisasi Ilmu ,Sebuah respon dalam Muflich Hasbulloh,Gagasan


dan Perdebatan Islamis

3. Peta Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia


Pada zaman dewasa ini muncul dua kelompok pemikir yang menamakan dirinya
Jaringan Islam liberal (JILL) dan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah(JIMM).JILL kebanyakan anggotanya dari warga NU,sedangkan
anggota-anggota JIMM dari kalangan
muda Muhammadiyah. Salah seorang tokoh terkemuka JIL,Ulil Abshor Abdalla.
Metode pemahamannya inilah yang menyebabkan dia dan kawan-kawannya memilih
nama kaum
Liberal. Mereka ingin berfikir bebas(liberal)dan tidak terkait dengan fiqih produk
ulama
Klasik.Pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh Abdalla memang membuat banyak
ulama
berdebar-debar,karena khawatir akan menyesatkan umat.Seperti pendapat bahwa Nabi
Muhammad SAW banyak kekurangannya; jilbab,hukum potong tangan,dan qisas bukan
ajaran Islam, sehingga tidak wajib di taati; tidak ada hokum Alloh, yang ada hanya
Sunnatulloh;semua agama adalah adalah benar; penemuan-penemuan ilmiah adalah juga
wahyu Tuhan; agama harus dipisahkan dari politik; dan dia lebih mendukung Negara
sekuler dari pada Negara islam.
Banyak muncul reaksi para ulama terhadap pendapat Abdala, baik reaksi yang
ringan maupun yang sangat keras diantara. Dikalangan angkatan muda Muhammadiah
juga muncul orang-orang yang mempunyai kecenderungan yang liberal dan mereka
ingin mengatakan pembaharuan yang lebih maju lagi dalam pemahaman ajaran agama.
Mereka menamakan dirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiah (JIMM). Padahal
Muhammadiah sejak berdirinya sudah membawa misi pembaharuan Islam (Tajdid)
Untuk melaksanakan misi itu Muhammadiah membentuk majels Tarjih dan
pengembangan Pemikiran Islam, yang anggota-anggotanya terdiri dari para pakar dalam
berbagai disiplin ilmu.Kerja majelis tersebut memang sering di nilai lamban , namun
penuh kehati-hatian, sebab mengambil keputusn dalam masalah keagamaaan tidak boleh
grusa-grusu ,melainkan harus berlandaskan pada paradigma yang kukuh
,profesionalitas, telaah yang mendalam dan komprehensif.
Berbagai kalangan dari pimpinan Muhammadiyah berpendapat, JIMM itu
sebaiknya jangan menggunakan label Muhammadiyah ,sebab pembaharuan pemikiran
menurut Muhammadiyah harus melalui ijihad jamai (Majlis Tarjih) dan dikerjakan oleh

tenaga-tenaga yang professional.Kalau JIMM itu punya ide-ide baru,akan lebih elegan
jika mereka berhadapan langsung dengan Majelis Tarjih untuk beradu
argumentasi.Jangan pendapat- pendapat orang lalu di lontarkan ke masyarakat dengan
membawa embel-embel Muhammadiyah.

TUGAS INDIVIDU SEJARAH


PERADABAN ISLAM

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI


INDONESIA
BIDANG ILMU PENGETAHUAN

Di susun oleh:
ASASUL MISBAKHATIS SHOLIKHAH
Kelas:IIIB

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


ALMUSLIHUUN (STIT)
TLOGO KANIGORO BLITAR
TAHUN 2009/2010

http://miftah99.blogspot.com/2011/11/pembaharuan-pemikiran-islam-di.html

Konstruk Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia


0
By Hamid Fahmy Zarkasyi on February 9, 2013 Islamic Worldview, Research
Pendahuluan
Istilah pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia telah merupakan trade mark yang
menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN)

mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan
pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam,
sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan
ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang
ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya
terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah
berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat
ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan
sikap keterbukaan dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban
Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa kita harus
belajar mengkritik dan menerima kritik. Untuk menangkap gagasan awal pembaruan
pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi
rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang
dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya,
apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah
pembaharuan.
Gagasan awal
Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail
Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972,
berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia. Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:
A. Kondisi Ummat Islam
Ketika NM mengungkapkan gagasan pembaruannya itu ummat Islam Indonesia baru
melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk
kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus
menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan
ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap membahayakan
tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi
ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara.
Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:
ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali
sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan Islam yes, partai Islam
no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak
menarik lagi.
Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang
tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya
minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim

politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka.
Terbukti pada era reformasi dimana bangsa Indonesia mengenyam euforia kebebasan
berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika
asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi.
Tapi perkembangan yang terjadi justru Islam Yes Partai Islam Yes. Ini berarti umat
Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.
Nampaknya NM ingin mengalihkan konsentrasi perjuangan umat Islam agar tidak
melulu kepada perjuangan partai politik. Caranya dengan melempakan ide bahwa Ideide dan pemikiran Islam [yang diperjuangkan partai politik Islam]itu sekarang sedang
memfosil dan menjadi usang, kehilangan dinamika. Maka tidak salah jika umat Islam
waktu itu curiga bahwa gagasan NM ini membawa misi de-politisasi umat Islam. Jika
yang menjadi masalah adalah ide dan pemikiran umat Islam mengapa tidak membenahi
ide dan pemikiran? Jika ide-ide yang diperjuangkan partai politik Islam itu memfosil,
mengapa kemudian NM pada era reformasi mencari partai politik Islam guna kendaraan
menuju Presiden? Pertanyaan-pertanyaan kecurigaan ini nampaknya layak untuk
dikemukakan.
Selain kondisi politik NM juga menyoroti kondisi pemikiran umat Islam. Dalam hal ini
ia mengidentifikasi problem umat Islam kedalam 2 hal:
1. Umat Islam Indonesia sekarang ini .lebih mementingkan jumlah daripada mutu
atau kuantitas daripada kualitas.
2. Kelumpuhan ummat Islam akhir-akhir ini disebabkan, antara lain, oleh kenyataan
bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada
tubuhnya.
Yang pertama tidak ada penjelasannya, namun nampaknya masih dalam konteks dan
bahasa politik. Yang kedua mengasumsikan kondisi umat Islam yang tertutup untuk
menerima perubahan. Namun sayang, NM tidak memberi penjelasan secara lebih rinci
atau contoh kongkrit dari dua variable kondisi pemikiran umat Islam tersebut. Karena
gambaran kondisi yang seperti itulah maka NM mengidamkan terjadinya dinamisme
dalam tubuh umat Islam. Dinamisme itu menurutnya tercipta dengan pembaharuan ideide. Ia kemudian mengutip kata-kata Vladimir Ilich (1870-1924) tidak ada tindakan
yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner. Disini NM terinspirasi untuk untuk
mengemukakan ide-ide atau teori-teori yang revolusionernya. Padahal suatu ide atau
pemikiran tidak serta merta menghasilkan tindakan, penanaman pemikiran baru
memerlukan waktu yang tidak sebentar.
B. Gagasan Pembaruan dan liberalisasi
Karena kecenderunganya yang revelusioner itu maka pendekatan dan oritentasi
pembaharuan yang dicanangkan NM akhirnya tidak berpijak pada tradisi intelektual
Islam. Ia menyatakan :

Pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lain erat hubunganya,
yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang
berorientasi ke masa depan.
Apa yang ia maksud dengan nilai-nilai tradisional adalah orientasi kemasa lampau
dan bernostalgia yang berlebihan. NM menghendaki agar oritentasi ke masa lampau itu
dilepaskan atau dihilangkan. Namun ia tidak memberi alternatif, jika kita tidak perlu
melihat masa lampau Islam, apa pijakan kita untuk memahami Islam? Disini
pendekatan NM jelas bertentangan dengan motto pesantren yang berbunyi amuhafazatu ala al-qadim al-salih wa al-akhdhu bi al-jadid al-aslah, (menjaga
[tradisi]lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kemudian maksud dari kata-kata berorientasi ke masa depan ternyata adalah
liberalisasi dan obyek yang diliberalkan itu adalah ajaran-ajaran Islam, bukan nilainilai tradisional yang disebutkan sebelumnya. Ia dengan jelas menyatakan :
Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan pada ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang. Proses itu menyangkut proses
lainnya.
Dari kutipan diatas sebenarnya ia telah meletakkan ajaran Islam sebagai obyek dari
liberalisasi. Liberalisasi yang dimaksud disini, seperti yang akan dinyatakan kemudian
tidak merujuk kepada konsep Islam, tapi Barat. Dan ternyata benar bahwa diantara
proses liberalisasi itu itu adalah sekularisasi Sekularisasi adalah menduniawikan
(temporalizing) nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan
umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Sekularisasi dimaksudkan
untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia
untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka
perbaikan hidupnya diatas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi
adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan itu di hadapan Tuhan.
Jadi gagasan pertama pembaruan NM adalah liberalisasi, oleh sebab itu konsepnya
berbeda dari tajdid. Poinnya masih senafas dengan sekularisme yaitu dichotomic,
artinya memisahkan masalah dunia dan akherat. Alasannya yang digunakan adalah agar
manusia dalam kehidupannya di dunia bebas memilih, dan tetap bertanggung jawab
kepada Tuhan. Sepintas nampak adanya integrasi antara hubungan manusia-dunia dan
manusia Tuhan. Namun pada baris-baris berikutnya ia menyatakan bahwa sekularisasi
adalah desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat
ilahiyah yaitu dunia. Ini sejatinya tidak berbeda dari semangat modernisme yang
programnya adalah menghilangkan spiritualisme dan menggantinya dengan
rasionalisme. Maka dari itu dalam pernyataan selanjutnya NM menegaskan bahwa :

Obyek proses deskralisasi itu ialah segala sesuatu yang bersifat duniawi, baik moral
maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai,
sedangkan yang bersifat material adalah benda-benda.
Pandangan NM ini berarti mereduksi nilai-nilai moral dan benda-benda dari yang
bersifat trasenden dan sakral (sacred) menjadi profan. Implikasinya, segala nilai dan
benda di dunia ini tidak ada yang sakral. Pemisahan ini menjadi rancu dengan
pernyataaan NM kemudian bahwa :
Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam mengenai hubungan antara alam dan Tuhan itu
ibarat sebuah tubuh dengan kepala diatas dan kaki dibawah. .Artinya kepercayaan
kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti ajaran
materialisme.
Nampaknya terdapat kerancuan antara pernyataan diatas dengan gagasan sekularisasi.
Jika NM berfikir konsisten dan konseptual maka seharusnya ia berpendapat bahwa
aqidah (teologi) merupakan asas bagi ilmu (epistemologi), iman sebagai asas bagi
pandangan pada alam. Artinya pandangan seorang Muslim tentang dunia harus
berdimensi akherat. Karena itu Muslim tetap memandang dunia ini sebagai makhluk
yang diperlakukan secara sakral, dalam artian ukuran keakheratan. Tapi, seperti
dinyatakan di awal, NM justru ingin menghilangkan aspek ukhrawi, aspek teologi
dalam kehidupan dunia. Disamping konsepnya rancu, istilahnya membingungkan.
Mungkin karena kerancuan ini barangkali NM kemudian menarik penggunaan istilah
sekularisasi.
C. Kebebasan Berfikir
Sejalan dengan gagasan pembaharuan dengan liberalisasi pemikiran maka NM
mencanangkan gagasan kebebasan berfikir. Disini ia merujuk Pondok Modern
Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang liberal. Ini tidak benar.
Motto kebebasan berfikir di Gontor merujuk kepada pengertian Islam, dan tidak kepada
pengertian liberal. Dalam motto itu syarat untuk bisa befikiran bebas adalah akhlaq
mulia (berbudi tinggi), badan yang sehat dan ilmu yang tinggi (berpengatahuan luas).
Tanpa akhlaq dan pengetahuan kebebasan akan menjadi liar. Bebas dalam pengertian
Gontor tidak sampai kepada pemikiran yang meninggalkan tradisi atau yang
mempersoalkan masalah-masalah usul. Kebebasan yang dimaksud Gontor adalah
kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik berdasarkan ilmu. Jika seseorang
tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang baik dan buruk, ia tidak bebas
memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar, artinya memilih yang khayr (baik). Jadi
bebas dalam batas-batas pengetahuan Islam yang dapat dipertanggung jawabkan.
Nampaknya kebebasan berfikir yang dimaksud NM adalah kebebasan berfikir yang
liberal, yaitu bebas tanpa batas. Sebab ia mengutip pedapat hakim Amerika
O.W.Holmes yang menyatakan bahwa kebebasan berfikir adalah perdagangan bebas
dalam ide-ide (free trades in ideas). Ini yang ia sebut dengan intellectual freedom.

Masalahnya apakah kebebasan berfikir seperti ini dapat diterima sebagai masih dalam
batas-batas nilai keislaman.
Karena ketiadaan kebebasan berfikir yang seperti itulah maka kemudian NM
menyimpulkan Pertama tidak adanya pikiran-pikiran yang segar yang disebut sebagai
psychological striking force (daya dobrak psikologis). Kedua, tidak ada suatu badan
dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera
dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik,
maupun sosial. Dan sebagai akibat akhirnya umat Islam tidak mampu mengambil
inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi ini.
Disini NM menggunakan shock therapy untuk mendobrak pemikiran umat Islam yang
dianggapnya memfosil itu. Untuk itu NM menginginkan suatu lembaga atau badan
yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik
yang terus berkembang. Namun, apa dan bagaimana bentuk badan tersebut? Apakah
universitas, lembaga penelitian atau forum kajian, tidak ada gambaran dan konsep yang
pasti disini. Adapun pikiran-pikiran yang segar yang dia maksudkan adalah pikiran
yang berdasarkan Islam yang disesuaikan, dipersegar, diperbaharui dan diorganisasikan
(dikoordniasikan), sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan
zaman sekarang.
Sepintas obsesi NM untuk menjadikan pemikiran Islam sejalan dengan kenyataan
zaman sekarang adalah positif. Yaitu dengan menterjemahkan konsep-konsep penting
dalam Islam secara kreatif dan innovatif. Namun dari contoh yang dikemukakan
ternyata maksudnya adalah menjustifikasi konsep-konsep Barat yang sesuai atau hampir
sesuai dengan konsep Islam. Contohnya menjustifikasi demokrasi sebagai sama dengan
syura dalam Islam. Tentunya ini tidak sejalan dengan obsesi dan perjuangan umat Islam
dimanapun untuk menjadikan pemikiran masyarakat Muslim zaman sekarang yang
dihegemoni oleh peradaban Barat itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pikiran
NM hanya berdasarkan sebuah asumsi bahwa hirarki nilai-nilai ukhrawi dan duniawi
dalam pikiran umat Islam itu kacau. Padahal yang ia maksud kacau adalah karena
tidak sejalan dengan gagasan sekularisasinya yaitu bercampurnya orientasi duniawi dan
ukhrawi umat Islam.
http://hamidfahmy.com/konstruk-pembaharuan-pemikiran-islam-di-indonesia/
Tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia

Pokok Pembahasan

1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)


2. K.H. Ahmad Dahlan

3. Syekh Muhammad Jamil Jambek


4. Abdul Karim Amrullah

A. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia


Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan
oleh Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang
tumbuh begitu pesat didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah
pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera
Thawalib (1915).
1. Cak Nur (Nurcholis Madjid)
Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di
masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai
kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan
konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an
keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial
setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan
yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar
manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.
Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak
Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep
Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama
tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak
Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika
menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab
atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang
logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia
lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan.
Maka pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin
ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya
K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasangagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan
Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan
keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan

Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.


Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis
kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh
PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei
1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas
krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak
sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis
literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka
menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang
dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling
kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam
No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun
1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam
sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang
berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah
terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang
berlabelkan agama.
2. K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa
pembaharuan dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai
dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Quran dengan terjemahan dan tafsir agar
masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Quran
semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai
dengan yang diharapkan dalam Al Quran itu sendiri. Menurut pengamatannya,
keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya saja
tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu
dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan
pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode
yang diajarkan lantaran mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu
pengetahuan umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama
dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda.
Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Quran.
Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah
umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah.
Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid,
langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah


dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau
mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya
dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur,
penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keratin
seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan
agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme,
dinamisme, dan kejawen.
Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah
yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga
merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran
pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai
pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan
membentuk Padvinder atau Pandu sekarang dikenal dengan nama Pramuka
dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan
bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam,
mirip Pramuka sekarang.
3. Syekh Muhammad Jamil Jambek
Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20,
serta sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil
Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau
dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu.
Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai,
sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna
baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia
Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama
kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau
marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan
riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi
Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang
menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab,
digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya,
semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat
memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas
tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai
berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada
awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas

keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang,


Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan"
dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul
Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang
Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam
buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan
India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu
penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan
tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat
Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi
bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar
dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri
kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939.
Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa
pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam
Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.
4. Abdul Karim Amrullah
Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul
dan merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di
Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam
modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah
dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai,
merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah
Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang
memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu
dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu
menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari
perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di
Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu
putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan
Balai Pustaka.
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.

REFERENSI
Nasution, Harun. 1994. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
http://sharingmahasiswa.blogspot.com/2013/08/tokoh-pembaharuan-islam-diindonesia.html

GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA


NURCHOLISH MADJID
GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
NURCHOLISH MADJID
Oleh :Tohirin

PENDAHULUAN
Perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke 19 lalu.Istilah
gerakan yang disebut pembaruan ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang
relative berbeda dari pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah.Salah satu ciri
utamanya adalah kuatnya pembaruan antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi
local.Pembaruan itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan
kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration
pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.1
Dalam periodesasi gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia,ketidak selarasan
antara patokan agama yang suci dengan kebiasaan adat yang menyimpang dari syariah
Islam,desakan kolonialisme,dan dominannya kekuasaan negra menjadi factor-faktor
penentu secara structural.Secara cultural,periodesasi sejarah kesadaran keagamaan umat
Islam Indonesia sebagamana disebutkan Kuntowijoyo (1999) terbagi menjadi tiga
tingkat,mitos,idiologi dan ilmu.2
Bagamananpun,sebuah perubahan social tidak bisa dilepaskan dari adanya kekuatan
sejarah seperti adanya mobilitas social (social mobility) saja,tapi juga adanya minoritas
kreatif (creative minority) dan pribadi kreatif (creative personality) sebagai
inisiatornya.Dalam makalah ini lebih ditunjukan kepada pribadi kreatif itu yakni kepada
cendekiawan Muslim yang berusaha mempersempit kesenjangan antara idial Islam
dengan Islam histories; atau antara Islam dalam teori dan Islam dalam praktek.3
Namun,secara keseluruhan gerakan pemikiran itu bermula dari renungan dan
pemahaman akan pentingnya kekuatan psikologis (psychological striking force) guna
mendobrak kemandegan cara pandang umat terhadap masalah aktual yang dihadapinya.
Sebagai seorang cendekiwan Muslim Indonesia ternama,pemikiran Nurcholish Madjid
telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman masyarakat
Indonesia.Masyrakat Indonesia lebih mengenalnya berkat pidato dalam pertemuan
silaturohim pemuda Islam yang tergabung dalam organisasi seperti,HMI,GPI,dan
PII .Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, merupakan
pidato penting sekaligus tonggak perubahan pemikiran keislamannya dalam pertemuan
tersebut.Ada dua momen sejarah penting sehubungan pidatonya tanggal 3 Januari 1970

itu.Pertama,berakhirnya periodesasi sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam


modernisme dan munculnya periodesasi neo-modernisme.Kedua,muali berkuasanya
pemerintahan Orde Baru yang secara terang tak mau mengakomodir kepentingan politik
Islam.Dalam dua konteks itu,Nurcholish Madjid menyampaikan dalam pidato 3 Januari
1970 tersebut ungkapkan; Islam,Yes,Partai Islam,No,serta menganjurkan sekularisasi
pemahaman keislaman masyarakat Muslim Indonesia.4
Pertanyaan utama dalam makalah ini adalah bagaimana meletakan pemikiran keislaman
Nurcholish Madjid dalam dinamika (rekontruksi) sejarah pemikiran umat Islam di
Indonesia sehubungan dengan persoalan empiric menyangkut negara termasuk
didalamnya masalah dasar negara,pluralisme masyarakat,dan cita-cita keadilan
social.Batasan akhir dari penulisan ini tahun 2004 diambil karena menjadi antiklimaks
pemikiran Nurcholish Madjid dari seorang pemikir idialis ke praktis politikn lewat
pencalonan dirinya sebagai presiden dalam Konvensi Partai Golkar.5
GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID
Nurcholish Madjid lahir di Jombang,Jawa Timur 17 Maret 1939 dan wafat 29
Agustua 2005 karena sakit.Ia merupakan anak terua pasangan K.H.Abdul Madjid dan
Fathonah.Keluarga ini memiliki hubungan erat dengan pemimpin NU,K.H.Hasyim
Asyari.
Nurcholish Madjid sejak umur 6 tahun telah belajar agama dengan sang ayah di
Madrasah Wathaniyah milik mereka dan Sekolah Rakyat di kampungnya.Setamat SR
tahun 1952,untuk sementara ia belajar ke Pesantren Darul Ulum di Rojoso yang
berhaluan tradisional.Namun perkembangan politik tajun 1952 dengan keluarnya NU
dari Masyumi berdampak pada pergaulannya di Darul Ulum.
K.H.Abdul Madjid yang teguh menjalankan wasiat K.H.Hasyim Asyari bahwa
Masyumi satu-satunya partai umat Islam,berada dalam dilemma politik apakah tetap di
Masyumi atau menyebrang ke NU yang dihuni sebagian besar para ulama tradisional
yang juga para sahabatnya.Tapi,akhirnya ia memutuskan ibertahan dim partai modernis
ini,begitu juga sang istri yang menjadi juru kampanye partai tahun 1955.6
Akibat dari sikap politik yang bersebrangan ini keluarga Nurcholish Madjid
dimusuhi oleh sebagian besar keluarga besar NU dan dikucilkan dari pergaulan

sekitarnya.Namun ,dengan cara itulah saya belajar memahami perbedaan


pendapat.Asalkan kita yakin pendapat itu benar,jangan takut,demikian disampaikan
Nurcholish Madjid.7 Meskipun begitu,berbagai ejekan dan ledekan sebagai anak
Masyumi kesasar melukai hatinya dan ini menyebabkan kedua orang tuanya
memindahkan sang anak kesekolah lain yang dianggap berhaluan Masyumi,dan pilihan
itu jatuh ke Pesantren Darussalam Gontor,Ponorogo,Jawa Timur tahun 1955.8
Gontor memberi Nurcholish Madjid suasana yang lebih liberal,baik dalam
memilih penghayatan keagamman NU atau Muhammadiyah maupun dalam partisan
politik.Di Pesantren ini juga ia berkenalan dengan system pemahaman Fiqih yang
bersifat komparasi antar mazhad.9 Pengayaan bahasa yang tak hanya Arab, tapi juga
Inggris, Perancis menjadi menjadi pintu masuk pengetahuanya terhadap literatureliteratur modern dan membuka horizon pemikirannya terhadap berbagai tema dunia
modern.
Kepergianya belajar ke Chicago University,AS,melanjutkan studi dengan belajar
kepada Fazlur Rahman tahun 1978,menjadi titik pengukuhannya sebagai salah satu
pemikir neo-modernisme di Indonesia dengan meraih gelar doctor di bidang filsafat
Islam tahun 1984.10
Secara keagamaan dan cultural,Nurcholish Madjid tumbuh dan berkembang di
lingkungan tradisi ke-NU-an.Kondisi sosial semasa kecilnya bisa dikatakan tak banyak
mempengaruhi kepribadian ataupun pemikirannya di kemudian hari.Ia tidak mengalami
apa makna penjajahan,baik Belanda atau Jepang,sekalipun mengalami masa
pendudukan tahun 1942 1945 di waktu berusia 6 tahun.Selain itu,ikatan emosional
dan romantisme dirinya terhadap revolusi tidak dialaminya secara dalam dan
intens.Gelora patriotisme revolusi pisik (1945-1949) keburu berakhir ketika ia
menyadari realita lingkungannya.Eksistensi Nurcholish Madjid sendiri terutama
dibentuk oleh kondisi social politik system Orde Lama dan Orde Baru.Kedua system
pemerintahan inilah yang menjadi basis dan latar belakang lahirnya pemikiranpemikirannya,dan hal itu tak bisa dilepaskan dari bagaimana meletakan Islam sebagai
agama,cita-cita,dan nilai dalam kerangka negara Indonesia.
Dari sudut cultural maka panggung politik,yang merupakan konteks social histories
dari aktivitas Nurcholish Madjid,dapat pula ditandai oleh adanya tiga gejala intelektual

yang tengah berkembang.Pertama,keletihan intelektual yang dihadapi oleh tokoh tua


Muslim semacam Natsir,Roem,Hamka dan lain-lain dalam memperjuangakn Negara
Islam dan Idiologi Islam.Maka dari itu,cukup dimengerti kritikan terhadap pembaruan
pemikiran Nurcholish Madjid tahun 1970-an yang mengusung ide sekulerisasi.
Sebelum 1970,sebagian umat Islam,lewat bekas pemimpin-pemimpin Masyumi seperti
Natsir,roem,Prawoto berada dalam suasana frustasi oleh perlakuan Orba.Gagalnya
rehabilitasi Masyumi,dan kooptasi pemerintah terhadap Parmusi yang mereka
harapkan dapat menjadi saluran politik baru,telah memudarkan harapan mereka selama
satu das warsa lebih menciptakan masyarakat Islam Indonesia atau lazim disebut
Negara Islam Indonesia.Di tengah kondisi perpolitikan nasional yang tidak
menguntungkan mereka tersebut,dan pencanangannya program pembangunan yang
sekuler sebagai orientasi baru Negara yang mengganti peran idiologi dimana Orba
merangkul kelompok-kelompok intelektual Kristen bentukan Ali Murtopo,maka dapat
dipahami,di tengah rasa frustasi yang mendalam,sekulerisme dengan segala
percabangannya - seperti sekularisasi- ,tetapi memiliki makna pemisahan agama dari
Negara menjadi isu sensitive.
Kedua, munculnya antusiasme beragama di kalangan muda Muslim perkotaan.
Kemunculan mereka lebih sebagai bagian dari merumuskan bentuk-bentuk ritual dan
seremonial keagamaan yang lebih sahih tanpa mencantelkan diri kepada lembagalembagan keagamaan mapan personal ulama yang memiliki otoritas ortodoks.Mereka
ini berasal dari kelompok santri di luar institusi pendidikan agama Islam resmi
semacam pesantren,madrasah atau IAIN.
Ketiga,seiring perkembangan kota,nilai-nilai modernisasi menjadi salah satu daya tarik
makna hidup perkotaan.Salah satu cirri utama keberagamaan di era modern oleh
masyarakat perkotaan adalah dikotomi antara kemajuan dan kekolotan dan aktualisasi
sosial diantara pemeluk agama.
Dalam tiga sosio histories itulah Nurcholish Madjid merasa perlu merevisi
pemahaman dan cita sosio-politik Amat Islam dengan pandangan pada ajaran Islam
bernilai universal,bersikap terbuka dalam beragama,Islam sebagai agama kemanusiaan
dan Islam sebagai agama peradaban.Nilai universal Islam adalah ajaran atau dogma
yang memandang bahwa pada dasarnya agma manusia diseluruh alam sama,yakni Al
Islam.Al Islam merupakan sikap kepasrahan dan ketundukan sepenuhnya pada Allah

sebagai agama manusia sepanjang masa.11 Kepasrahan sepenuhnya pada Allah ini
merupakan hasil pencarian kebenaran secara murni dan tulus (hanif).12 Kepasrahan
dalam ber-Islam,termanifestasi pada prilaku umat Islam lewat adanya sikap terbuka
dalam beragama.
Sikap terbuka ini merupakan penerapan suatu system alternative dalam beragama
dengan menekankan toleransi dan kebebasan beribadat,penghargaan kepadawarisan
budaya kelompok-kelompok lain dan hak sah pribadi,sikap positif terhadap ilmu
pengetahuan,dan kehidupan bebas tahayul.13Penerapan prilaku ini menurut Nurcholish
Madjid pada dasarnya terletak pada kesadaran realita plural masyarakat
Indonesia.Kesadaran ini sekaligus merupakan nilai positif dan rahmat Tuhan kepada
umat Muslim sebagai perangkat guna mendorong pengayaan budaya bangsa sebagai
pertailan sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.14
Nilai Islam sebagai agama kemanusiaan menurut Nurcholish Madjid sejajar dengan
cita-cita kemanusiaan universal.Pada dasarnya manusia dalam pandangan Islam hdala
baik dan tercipta secara fitrah atau asal suci bersih.15 Ekpresi kepasrahan kepada Yang
Maha Cinta (Allah) sebagai keimanan yang personal mesti mewujud dalam sikap cinta
sesame manusia sebagai bentuk nilai keuniversalan.Memahami nilai kemanusiaan
dalam Islam ini tidak bisa dilepaskan dari makna pidato terakhir Nabi Muhammad saw
dalam haji perpisahan (haji wada).16
Menurut pidato perpisahan Nabi merupakan ringkasan aspek etis atau moral dari nilai
keislaman mengenai kehidupan bersama dalam wahana politik modern (Negara).Pidato
ini sendiri memuat lima prinsip pokok dimensi kemanusiaan dalam Islam,yakni prisip
persamaan manusia,hak asasi manusia,tanggung jawab individual,anti
penindasan,persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.Penjabaran makna
Pidato Perpisahan nabi Muhammad saw itu dipercayai Nurcholish Madjid mempunyai
nilai kemanusiaan sama nilainya dengan sepuluh Perintah Tuhan (Musa as) dan
Khutbah di Bukit (Isa as).17 Maka dari itu Nurcholis Madjid memahami bahwa,:
Barangsiapa merugikan seorang pribadi,seperti membunuhnya,tanpa alasan
yang sah maka ia bagaikan merugikan seluruh umat manusia.Dan
barangsiapa berbuat baik kepada seseorang,seperti menolong
hidupnya,maka ia bagaikan berbuat baik kepada seluruh umat manusia.18

Al Quran sebagai landasan pokok agama Islam juga menurutnya memberi landasan
primer ajaran kemanusiaan di atas.Hal tersebut bias dilihat pada QS.Al Maidah ayat
23-27 dan dirumuskan dalam bentuk istilah Nurcholis Madjid sepuluh wasiat
Allah.Sepuluh wasiat Allah dirangkum Nurcholis Madjid yakni pertama,tidak
musyrik atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya, kedua,berbuat baik kepada
orang tua, ketiga,jangan membunuh keturunan atas kepentingan duniawi,
keempat,menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun batin, kelima,jangan membunuh
manusia tanpa alasan yang haqq (yang dibolehkan agama), keenam,jangan berdekatan
dengan harta anak yatim,kecualilewat cara-cara yang baik,ketujuh,jujur dalam hal jual
beli, kedelapan,berlaku yang jujur atau adil meski mengenai kerabat sendiri,
kesembilan,penuhi janji kepada Allah, kesepuluh,ikutilah jalan lurus dengan teguh
(istiqomah).19
Islam sebagai agama peradaban,lebih terarah pada penghayatan iman dalam prilaku
sosial setiap muslim.Ajaran Islam mewujud nyata secara etis dan moral dalam prilaku
individu.Dalam kontek sebagai agama peradaban,umat Islam tidak boleh bersifat
formalistik ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,tetapi lebih mementingkan
sisi substansial ajaran agamanya secara etis.20
Secara stuktural,panggung publik Nurcholish Madjid terbentuk oleh dua kenyataan
histories.Pertama ialah runtuhnya system Orde Lama dan naiknya Orde baru yang
memakai paradigma consensus,dimana Negara menjadikan dirinya sebagai
personifikasi bangsa dan meniadakan peran masyarakat.21 Lebih dari itu,Orde Baru pun
memberlakukan perbedaan sebagai hal yang perlu direduksi dengan adanya
penyeragaman nilai atau the homogenization of all values.Idiologi untuk waktu yang
cukup lama menjadi panglima diganti oleh kata pembangunan dan diatasnyapun
terpampang sebuah rangka yang disebut kestabilan Bagi para idiolog Orde
Baru,pembangunan akan berjalan dengan baik jika didasarkanadanya stabilitas
nasional,baik dalam hal politik,ekonomi,budaya,bahkan pemikiran.Dan atas nama
stabilitas nasional itu pula konflik atau perbedaan pemikiran menjadi hal tabu dan
terlarang,apalagi perbedaan itu menyangkut kepentingan pengusa rezim.
Kedua, pertumbuhan kota sebagai pusat kegiatan politik, ekonomi, budaya, dan
sebagainya makin mengukuhkan jalinan perubahan structural dalam
masyarakat,kehidupan kota dengan segala corak diferensiasi dan spesialis

kerja,tingginya tingkat mobilitas geografis,dan berjamurnya sekolah-sekolah serta


pusat-pusat pendidikan.
Kota seperti Jakarta,misalnya,bahkan telah menjadi miniature Indonesia,tempat
segala jenis suku bangsa bertemu dengan segala kepentingan dan
kebutuhan.Pembangunan kota yang telah dimulai sejak awal abad ke 20 di masa Orde
Baru makin menggemerlapkan dirinya dengan pembangunan yang bersifat
fisik,sehingga makin menggeser peran komunitas pedesaan sebagai tempat
berlangsungnya perubahan arena tuntutan akan lahan dan tenaga kerja.
Situasi peralihan dan perubahan masyarkat yang bersifat structural ini adalah
dua dinamika yang saling berkaitan.Dan dari dua situasi itu juga,Nurcholish Madjid
meletakan pemikirannya pada pemahaman akan keindonesiaan an sich,jauh dari apa
yang diperjuangkan kelompok Islam di konstituante atau di jalur pembangkangan
seperti DI/TII di Jawa Barat atau di Aceh.Bagi Nurcholish Madjid keindonesiaan
berjalan beriringan dengan Islam yang menyediakan bahan tanpa batas kepada
pengisian nyata nilai-nilai Pancasila.Pancasila sebagai dasar filosofi bernegara
memberikan kerangka konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di
Indonesia,sehingga relevan dengan masalah bangsa dan Negara.22 Ada dua masalah
utama dalam hal ini menurutnya ; demokrasi dan keadilan sosial.
Prisip keadilan sosial berkaitan dengan adanya keadilan ekonomi. Prinsip utama
keadilan ekonomi adalah memandang kebebasan positif yang berarti kesamaan hakhak warga Negara terhadap kondisi social dan material setiap individu sebagai syarat
bagi pengembangan dirinya.23 Cita-cita keadilan sosial dalam Negara terkait erat
dengan persoalan ekonami kerakyatan.24 Ketidakadilan ekonomi menyebabkan
kemiskinan yang parah. Kemiskinan mengakibatkan degradasi moral sehingga
membahayakan bagi suatu masyarakat.Islam dalam pandangan Nurcholish Madjid
banyak mengajarkan pembelaan terhadap kaum miskin ini.Ide pokok dari pembelaan
terhadap kaum lemah ekonomi tersebut ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan
sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi antara sikaya dan si miskin.25
Kesenjangan ekonomi merupakan akar dari kesenjangan sosial. Islam mengajarkan
bahwa tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang,dan
menghendaki pemerataan terhadap sumber daya ekonomi untuk kepentingan

bersama.26Pelaksanaan prinsip keadilan sosial,yang menjadi tujuan akhir bernegara di


Indonesia menghendaki adanya pembagian kekayaan nasional yang lebih merata.27
Catatan kaki :
1

Lebih jelas lihat Cliffort Gertz dalam Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan
Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
2

Pertama, perkembangan kesadaran keagamaan umat (itu) tidak merupakan


evolusi yang lurus, artinya yang kemudian tidak menggantikan yang lebih dulu,
tetapi tumpang-tindih (overlapping). Kedua, tahapan terakhir masih di tangan
pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi
minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. Ketiga, perkembangan kesadaran
keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial, tidak oleh kekuasaan politik.
sKeempat, politik sama sekali tidak berperan. Lihat Kuntowidjojo, Periodesasi
Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
3

Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah ( Jakarta: Rajawali Press, 1995),
hlm. xiii.
4

Selain itu, tesis ketiga dari pemikiran Nurcholish Madjid adalah penolakan
terhadap konsep Negara Islam. Tiga tesis dasar dari pemikirannya tersebut
mengalami dinamika selama 34 tahun kiprahnya sebagai tokoh utama gerakan
pembaruan pemikiran Islam kontemporer.
5

Salah satu penggerak utama dari JIL adalah Ulil Absar Abdalla. Ketokohannya
dalam JIL seakan memudarkan pamor lembaga ini sendiri, bahkan bicara tentang
Ulil maka akan menyangkut JIL dan begitu juga sebaliknya.
6

Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam (Bandung: Zaman,
1998), hlm. 123.
7

Wawancara dengan Femina, 3 Juli 1999.

Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, op.cit., hlm. 123.

Wawancara dengan Femina 3 Juni 1999.

10

Gerg Barto, op.cit., hlm. 85.

11

Nurcholish Majid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 23.

12

Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk generasi


Mendatang, dalam Edy A. Effendy, Dekonstruksi Islam (Bandung: Zaman, 1999),
hlm. 40.

13

Nurcholish Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jkt : Paramadina,


1999), hlm. 14.
14

Ibid., hlm. 62-63.

15

Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan op.cit., hlm. 42.

16

Nurcholish Madjid, Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi, Seri KKA


Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
17

Nurcholish Madjid, Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi, Seri KKA


Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
18

Penegasan Nurcholish Madjid ini diadaptasi dari QS. Al Maidah/5: 32. Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 192-194.
19

Ibid., hlm. 181. Sepuluh Wasiat Allah ini dirangkum Nurcholish Madjid yakni,
pertama, tidak musyrik atau menyekutukan Allah dengan hal lainnya, kedua,
berbuat baik kepada orang tua, ketiga, jangan membunuh keturunan atas dasar
kepentingan duniawi, keempat, menjauhi kejahatan baik yang lahir maupun yang
batin, kelima, jangan membunuh manusia tanpa alasan yang haqq (yang
dibolehkan agama), keenam, jangan berdekatan dengan harta anak yatim, kecuali
lewat cara-cara yang baik, ketujuh, jujur dalam hal jual beli, kedelapan, berlaku
yang jujur atau adil meski menginai kerabat sendiri, kesembilan, penuhi janji
kepada Allah, kesepuluh, ikutilah jalan lurus dengan teguh (istiqamah), Nurcholish
Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 181.
20

Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 110.

21

Taufik Abdullah, Negara, Bangsa dan Masyarakat dalam Pendekatan


Kebudayaan, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI No. 1 Tahun 2004, hlm. 9.
22

Nurcholish Madjid, Integrasi Keislaman dalam Keindonesiaan, Seri KKA


Paramadina no. 01/Th. I/1986.
23

Carol. C Gould., Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara Wacana,1993), hlm.


145-146.
24

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,


1999)., hlm. 101.
25

Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999),


hlm. 62.
26

Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina,


1999), hlm. 252.
27

Nurcholish Madjid, Islam Kerakayatan dan Keindonesiaan, op.cit., hlm. 62.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Negara, Bangsa dan Masyarakat dalam Pendekatan
Kebudayaan, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VI No. 1
Tahun 2004.
Djamaludin, Dedy dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam
(Bandung: Zaman, 1998).
Effendy,Edy A, Dekonstruksi Islam (Bandung : Zaman, 1999)
Gertz, Cliffort,Penjaja dan Raja : Perubahan Sosial dan Modernisasi
Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1977).
Gould, Carol. C, Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara
Wacana,1993).
Kuntowidjojo, Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam
Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada (Yogyakarta: UGM, 2001).
Majid,Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina,
2002)
Madjid, Nurcholish, Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan.
Madjid, Nurcholish, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jkt :
Paramadina, 1999) Madjid,Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era
Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999)
Madjid, Nurcholish, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998).
Madjid, Nurcholish, Integrasi Keislaman dalam Keindonesiaan, Seri
KKA Paramadina no. 01/Th. I/1986.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina,
1995)
Madjid,Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung:
Mizan, 1999).
Madjid,Nurcholish, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 1999),

Madjid,Nurcholish, Memahami Kembali Pidato Perpisahan Nabi, Seri


KKA Paramadina Paramadina no. 120/Th.XII/1997.
Rais, Amien, Kata Pengantar, dalam John J. Donohue dan John L.
Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (
Jakarta: Rajawali Press, 1995)
http://tohirinwebsite.blogspot.com/2009/11/gerakan-pembaruan-pemikiran-islamdi.html

, Pembaharuan Islam di Indonesia


Pada awal abad ke-20,
ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin
diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi
oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya
sempat menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi
mereka berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari
Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali
inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India. Oemar Amin
Hoesin pernah menulis bahwa terdapat media cetak berupa majalah dan surat kabar,
yang memuat ide-ide Pan-Islamisme, menyusup ke Indonesia pada awal-awal abad 20an, semisal: al-Urwat al-Wuthqa, al-Muayyad, al-Siyasah, al-Liwa, dan al-Adl yang
kesemuanya berasal dari Mesir. Sementara terbitan Beirut ada Thamrat al-Fumm dan alQistas al-Mustaqim. Sekalipun demikian, Karel Steenbrink menyatakan keraguannya
pada adanya pengaruh pemikiran Abduh kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia
modern.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat
dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur: (1) Jalur haji dan
mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji
ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu
keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air,
kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat.
Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi
pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje
terhadap komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885
M, menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi,
fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan faraid
(ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam sejarah bahwa
K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode hisab (bukan
lagi dengan ruyat) untuk menentukan waktu awal puasa atau jatuhnya hari raya Ied,
yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama setempat yang masih
berfaham tradisionil; (2) Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang
memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana

yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk


mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam,
Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang
sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah
dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini; (3) Peran mahasiswa
yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin
gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan
Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini ratarata baru muncul sebagai generasi kedua.
Patut dicatat disini bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan
pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa
kemunculan kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang kemudian menjadi
elit yang peka terhadap isu-isu pembaharuan termasuk ide nasionalisme yang tengah
menjadi trend di dunia. Diketahui bersama bahwa awal abad ke-20 terjadi beberapa
fenomena yang cukup membesarkan hati bangsa-bangsa non-Eropa, antara lain
kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan gerakan Turki Muda (1908), dan
Revolusi Cina-nya Sun Yat Sen (1911). Sekalipun demikian, secara umum sebagaimana
diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia
merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini: (1) Kemunduran Islam sebagai
agama karena praktek-praktek penyimpangan; (2) Keterbelakangan para pemeluknya;
dan (3) Adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Selanjutnya yang patut disadari pula bahwa antara berbagai tokoh pemuka gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia relatif memiliki kekhasan seiring perbedaan latar
belakang karakter dan pendidikan masing-masing. Ditambah faktor konteks kedaerahan,
gerakan yang kemudian digagas dan diperjuangkan oleh mereka pun memperlihatkan
variasi artikulasi yang beragam. Al-Irsyad misalnya, mengklaim diri sebagai gerakan
reformasi Islam dengan konsentrasi pada komunitas Arab Indonesia. Persatuan Islam
(Persis) lebih tegas lagi mengidentifikasi diri sebagai gerakan revivalis yang anti bidah,
khurafat, taqlid dan shirk. Fokus perjuangannya lebih berdimensi penyebaran agama
daripada bersifat sosial. Berbeda dengan Persis yang tumbuh di daerah Bandung yang
sedikit pengaruh Hindu-Budha-nya, Muhammadiyah justru lahir di lingkungan
masyarakat yang dikenal heterodoks, yaitu Yogyakarta. Maka tampaklah bahwa
karakter gerakan Muhammadiyah lebih bercorak toleran. Seperti halnya Sarekat Islam,
Muhammadiyah tidak mengklaim secara verbal sebagai gerakan reformis, tetapi lebih
suka menampilkan diri sebagai gerakan nyata yang berjuang memperbaiki dan
meningkatkan kehidupan keagamaan dan sosial umat Islam. Hanya saja, Sarekat Islam
lebih cenderung menggarap bidang politik, sementara Muhammadiyah pada bidang
sosial-keagamaan.
Singkat kata, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola
dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini
penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal
abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya
melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah
menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin

bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan
instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini
tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius
dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran
nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat
mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud
kepeduliannya. Maka menarik dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan
bahwa pembaharuan Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang
garap: (1) Menyerang formalisme dari ortodoksi Islam serta realitas sinkretisme ajaran
karena pengaruh animisme dan Hindu-Budha; (2) Menyerang institusi pra-Islam yang
menghalangi perkembangan, dengan representasi institusi adat dan kaum priyayi; (3)
Melawan tekanan westernisasi dan dominasi nilai-nilai Barat; dan (4) Melawan
kekuasaan status quo kolonial Belanda.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengahtengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan
keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad
Jainuri sebagai berikut: (1) Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak
kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara
pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal.
Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan;
(2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua
lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter
fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan,
seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan
memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka
lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga
mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai
pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang
berkembang di Turki.
http://copyduty.blogspot.com/2011/06/materi-pmdi-pembaharuan-islam-di.html

Anda mungkin juga menyukai