Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Alkhairaat

Sejarah Singkat Guru Tua.


Kehidupannya adalah kehidupan ilmu,pendidikan dan dakwah di jalan
Allah. Beliaulah pendiri madrasah Alkhairaat di kepulauan Timur Indonesia.
Keturunan beliau adalah ad-da'I (pendakwah) atau juru dakwah. Nama
lengkapnya adalah As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin
Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin
Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri
Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina
Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.
Kelahirannya hari Senin Sya'ban 1309 H di Taris Hadramaut, sebelah
selatan Yaman. Beliau berasal dari keluarga yang baik, berilmu, beramal,
bertaqwa dan lemah lembut. Tiada dari kalangan mereka, selain ulama yang
muslih dan da'i.
Ayahnya Habib Salim seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari
berbagai bidang ilmu, ia memegang jabatan Qadhi dan mufti di negerinya. Kakeknya Habib Alwi adalah
pemimpin dan ilmuwan yang masyhur, termasuk lima ahli fiqh Hadramaut yang fatwa mereka termuat
dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayyed Abdurrahman Almasyhur. Kakeknya yang kedua
Al-Habib Saqqaf diantara ulama yang terkenal dari dua faqih dan memegang jabatan Qadhi di Hadramaut.
Habib Idrus belajar ilmu agama dan bahasa bermula dari ayahnya Al-Allamah Salim bin Alwy Aljufri
termasuk pula ulama-ulama lain yang berada di Hadramaut. Beliau hidup dan besar dalam lingkungan ilmu
pengetahuan dan senantiasa melazimi para ulama serta mengambil dan menimbah ilmu dari sumber yang
murni, maka jadilah beliau pakar dalam ilmu-ilmu agama dan bahasa, sehingga beliau dilantik menjadi
Qadhi dan Mufti di Taris negerinya menggantikan ayahnya.

Perjalanannya ke Indonesia yang pertama kali ketika beliau berumur kurang lebih 17 tahun. Dan
perjalanannya yang kedua di tahun 1922 terjadi akibat perjuangan politiknya untuk membebaskan
negaranya dari penjajahan Inggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-
Saqqaf, keduanya merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memelopori perjuangan
kemerdekaan, mereka membenci penjajah dan konco-konconya serta suasana kacau yang berkembang di
Hadramaut khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara keseluruhan. Keduanya bersepakat untuk
menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan konco-konconya dan mereka adalah orang yang
pertama kali menghidupkan api tersebut.
Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan Negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah
sesuatu yang amat penting untuk merubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara
total. Maka tugas politik yang sangat berbahaya itu di serahkan kepada Habib Idrus. Beliau memutuskan
untuk keluar melalui pelabuhan Aden selanjutnya ke Yaman dan Mesir dengan tujuan untuk menjelaskan
keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan. Beliau mengetahui bahwa
perbuatannya itu membahayakan jiwanya karena inteligen Negara dan mata-mata pemerintahan Inggris
terus memperhatikan gerak-geriknya, akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan.
Setelah segala perlengkapan dan rancangan disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian
tersebut hampir membuahkan hasil, jika tidak disebabkan oleh penghianat yang mengambil kesempatan
untuk keuntungan pribadi membocorkan rahasianya. Setelah beliau sampai di bandara Aden, tiba-tiba
beliau di tangkap kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari
pemerintah Inggris untuk tidak keluar dari bandara Aden dengan tujuan ke Negeri Arab akan tetapi
diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara. Maka beliau memutuskan untuk pergi
ke Indonesia.
Beliau masuk ke Indonesia dan menetap di Pekalongan untuk beberapa waktu lamanya dan menikah
dengan pasangan hidupnya Sy. Aminah binti Thalib Aljufri dan bersama menikmati pahit manisnya
kehidupan. Ketika itu beliau berdagang kain batik tetapi tidak mendapat kemajuan karena cintanya kepada
dunia pendidikan melebihi dari segala-galanya. Kemudian beliau meninggalkan perdagangan dan beliau
pindah ke Solo, beliau dilantik sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Madrasah Rabithah Al-Alawiyyah.
Setelah beberapa tahun beliau pindah ke Jombang dan tinggal beberapa lama di sana. Kemudian beliau
memulai perjalanannya ke Timur Indonesia untuk memberi petunjuk dan berdakwah di jalan Allah hingga
sampailah beliau di Palu yang kala itu bernama "Celebes" pada masa penjajahan Belanda.
Setelah beliau masuk di negeri tersebut terlihat olehnya gerakan misionaris Kristen yang mendapat tempat
dan pengikut yang banyak dari penduduk muslim yang awam. Karena kurang hidupnya dakwah islamiyah
di negeri itu bahkan hampir tidak terdapat da'i Islam yang mengimbangi gerakan misionaris yang
menentang Islam. Beliau memikul tanggung jawab ini dan masuk melaksanakan dakwah, menentang
musuh-musuh, karena semangat Islam dan tanggungjawabnya yang pertama sebagai seorang muslim dan
kedua sebagai seorang yang alim.
Al-Ustadz berpendapat bahwa sebaik-baik cara untuk menentang gerakan misionaris adalah sesuai dengan
firman Allah : ("serulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan peringatan yang baik serta berdialog
(berdebatlah) dengan cara yang baik") dan juga dari sabda Nabi SAW : ("Mudahkanlah dan jangan
menyusahkan, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti"). Dengan demikian cara penyebaran
ilmu dan budaya Islam haruslah dengan jalan yang mudah dan cara yang bijak melalui pembukaan sekolah
dan majlis Ta'lim untuk menghimpun anak-anak Islam.
Bangunan sekolah yang pertama adalah di bangun atas biaya beliau sendiri di kota Palu yang sekarang
menjadi Ibukota Sulteng salah satu wilayah yang terletak di Timur Indonesia, yang merupakan sekolah
Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan
madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama
"ALKHAIRAAT", dengan harapan optimis dan keberkatan dari nama tersebut yang banyak kali di sebut
dalam Al-Qur'an dan secara resmi madrasah tersebut di buka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan
dengan 11 Juni 1930. dan pada peresmian itu di hadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu
dan sebagian petinggi-petinggi negeri.
Ustadz telah memertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai
sarana ke kepulauan di sekitar Sulawesi dan Muluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau
berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan parahu sampan dengan bermacam resiko,
tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Akan tetapi Ustadz yang dirahmati Allah
selalu merasakan kenikmatan di antara pertaruhan jiwanya dan beliau rela memberikan apa saja meski
jiwanya sekalipun. Beliau tabah dalam mengarungi pelayaran itu sampai berbulan-bulan lamanya. Dan
kadang-kadang perjalanan itu di tempuh dengan berjalan kaki jika tidak mendapatkan alat-alat transportasi.
Akhir kata, semua perjuangan beliau terus dilakukannya hingga akhir hayat dengan tetap mengajar dan
berdakwah di jalan Allah, walaupun harus mengorbankan semua yang berharga yang ada pada dirinya.
Beliau berpulang pada 12 Syawal 1389 H bertepatan dengan tahun 1969 M, setelah beliau berikan bagi
umat Islam suatu pelayanan demi pembelaannya terhadap Islam. Maka berhembuslah rohnya yang suci dan
seolah-olah berkata :"79 tahun aku berjuang semasa hidupku dengan memuji Allah aku telah beramal.
Lihatlah madrasah-madrasah yang ada di seluruh penjuru negeri menjadi saksi bahwasannya ucapan dan
perbuatanku tidaklah sia-sia.
(di sadur dari situs resmi PB. Alkhairaat, www.alchairaat.or.id)
Al-Habib Idrus Bin Salim Al-Djuffri
Tonggak Islam di Indonesia Timur

Setiap tahun setelah hari raya Iedul Fitri, persisnya 12 Syawwal, ribuan umat Islam dari berbagai daerah

di kawasan Indonesia timur berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah. Tujuannya, menghadiri

acara haul (peringatan wafatnya, red) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua

Al-Alimul Allamah HS Idrus bi Salim Al Djufri. Di sanalah, penebar Islam asal Hadramaut yang

menghabiskan separuh usianya di Indonesia itu, dimakamkan.

Masyarakat Muslim Indonesia timur memang sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Tuan

Guru HS Idrus bin Salim Al Djufri. Semangatnya untuk menebarkan Islam ke pelosok-pelosok daerah

terpencil, sangat dirasakan. Tak hanya pelosok yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan kendaraan.

Almarhum sering menembus daerah terpencil dengan menggunakan sampan untuk memberikan

pencerahan akidah Islam dan bimbingan kepada umat Islam yang membutuhkan.

Habib Idrus muda memang gigih menimba ilmu agama. Pada usia 18 tahun ia telah hafal Alquran

ditambah tempaan langsung ayahnya, Habib Salim Aljufri.

Setelah ayahnya wafat, ia diangkat menjadi mufti muda di Taris menggantikan sang ayah. Jabatan mufti

yang disandangnya merupakan jabatan tertinggi di bidang keagamaan dalam suatu kesultanan.

Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan gaya gerak sejumlah

ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa wilayah. Kendati Indonesia adalah negeri keduanya

ia memutuskan pergi dari negerinya dan meluaskan dakwah ke Indonesia tahun 1920-1n ia sangat

menjunjung tinggi negeri ini. Orang akan teringat betapa kecintaannya kepada negerinya yang kedua ini

dalam syairnya saat membuka kembali perguruan tinggi pada 17 Desember 1945 setelah Jepang

bertekuk lutut, ia menggubah syair, Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa; Di atas bumi di

gunung nan hijau, Setiap bangsa punya lambang kemuliaan; Dan lambang kemuliaan kita adalah merah

putih.

Warisan besar dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam Alkhairaat.

Sampai saat ini Alkhairaat telah mengukir suatu prestasi yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah

sederhana yang dirintisnya, kini lembaga ini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah.

Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti asuhan, serta usaha-usaha

lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesai (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni

universitas, Alkhairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua fakultas administratif atau persiapan,
yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada

jenjang strata satu dan diploma dua.

Kitab Tarikh Madrasatul Khiratul Islamiyyah karya salah seorang santri generasi pertama Habib Idrus,

menyebut makna secara etimologis Alkhairaat berasal dari kata khairun yang artinya kebaikan.

Semangat menebar kebaikan itulah yang diusung Guru Tua, julukannya.

Ia memancangkan tonggak Alkhaeraat selama 26 tahun (1930-1956). Ia membesarkan lembaga

pendidikan yang didirikannya hingga pada akhirnya, tahun 1956, menjangkau seluruh wilayah Indonesia

timur.

Pada tahun itu pula dilaksanakan muktamar Alkhairaat yang pertama, bersamaan dengan peringatan

seperempat abad Alkhairaat. Dalam muktamar itu lahirlah keputusan penting, yaitu berupa struktur

organisasi pendidikan dan pengajaran, serta dimilikinya anggaran dasar. Tonggak lembaga ini sebagai

sebuah institusi modern terpancanglah sudah.

Periode selanjutnya adalah masa konsolidasi ide selama sembilan tahun yakni sejak 1956 hingga 1964.

Guru Tua memberikan kepercayaan kepada santrinya yang terpilih yang diyakininya cukup andal dan

memiliki spesialisasi kajian. Murid-murid pelanjut Guru Tua antara lain KH Rustam Arsjad, KH Mahfud

Godal, yang ahli dalam bidang ilmu tajwid dan tarikh, serta KHS Abdillah Aljufri yang ahli dalam ilmu

sastra Arab dan adab. Rustam menduduki posisi pimpinan pesantren karena keahliannya dalam bidang

ilmu fikih dan tata bahasa Arab.

Madrasah Alkhairaat terus berkembang walaupun saat itu hubungan transportasi maupun komunikasi

antara daerah belum selancar sekarang. Puncaknya, tahun 1964, Alkhairaat membuka perguruan tinggi

Universitas Islam (Unis) Alkhairaat di Palu. Habib Idrus duduk sebagai rektornya.

Perkembangan perguruan tinggi ini tersendat tahun 1965. Perguruan tinggi ini dinonaktifkan. Sebagian

besar mahasiswa dan mahasiswinya ditugaskan untuk membuka madrasah di daerah-daerah terpencil.

Ini sebagai upaya membendung komunisme, sekaligus melebarkan dakwah Islam. Pada tahun 1969

perguruan tinggi tersebut dibuka kembali dengan satu fakultas saja, yaitu Fakultas Syariah.

Pada tanggal 12 Syawwal 1389 H bertepatan dengan 22 Desember 1969 Habib Idrus bin Salim Al-Djuffri

atau lebih dikenal Guru Tua wafat. Ia menutup 46 tahun berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan

dengan mewariskan lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga saat ini.

Setelah Guru Tua wafat, Alkhairaat menyempurnakan diri sebagai sebuah institusi modern yaitu dengan

adanya Perguruan Besar (PB) Alkhairaat, Yayasan Alkhairaat, Wanita Islam Alkhairaat (WIA) dan

Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) serta Perguruan Tinggi Alkhairaat, lembaga ini juga memiliki surat

kabar mingguan (SKM) Alkhairaat.


Kini Alkhairaat dipimpin oleh Ir Fadel Muhammad, gubernur Gorontalo yang juga seorang pengusaha. Ia

adalah alumni lembaga pendidikan Alkhairaat di Ternate, Maluku Utara.

Anda mungkin juga menyukai