Anda di halaman 1dari 16

Laporan Individu

Juni 2014

LAPORAN TUTORIAL MODUL 2


SISTEM FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

Disusun Oleh :
Nama : Breliantina Fitrian Damayanti
Stambuk : 11-777-018
Kelompok : 5 (Lima)
Pembimbing : dr. Muh. Rezza

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario

B. Kata Kunci
1.
C. Pertanyaan
1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tanatologi
1. Definisi Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu
Kedokteran Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan kematian yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang
terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut (Idries, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya
fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis).
Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat yang bisa
menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh
karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian batang
otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak
(Idries, 1997).

2. Manfaat
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat
menetapkan hidup atau matinya korban, memperkirakan lama
kematian korban, dan menentukan wajar atau tidak wajarnya
kematian korban.
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita
ketahui dari masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda
kematian. Tanda kehidupan dapat kita nilai dari masih aktifnya
siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh korban. Sebaliknya,
tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian (Al-Fatih II,
2007).
3. Jenis Kematian
Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga
sistem yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut
antara lain sistem persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem
pernapasan. Ketiga sistem itu sangat mempengaruhi satu sama
lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka sistem-
sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh (Idries, 1997).
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati
somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati
otak (mati batang otak).
Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena
sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama
tersebut yang bersifat menetap (Idries, 1997).
Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan
adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak
teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak
pernapasan dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi.
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada
ketiga sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering
ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik
dan tenggelam (Idries, 1997).
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau
jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian
somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan
berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap
organ tidak bersamaan (Budiyanto, 1997).
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua
hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum,
sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan
kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat (Budiyanto,
1997).
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah
terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati
otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu
dapat dihentikan (Budiyanto, 1997).

4. Cara Mendeteksi Kematian


Melalui fungsi sistem saraf, kardiovaskuler, dan pernapasan, kita
bisa mendeteksi hidup matinya seseorang.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf, ada lima hal
yang harus kita perhatikan yaitu tanda areflex, relaksasi, tidak ada
pegerakan, tidak ada tonus, dan elektro ensefalografi (EEG)
mendatar/ flat.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler ada
enam hal yang harus kita perhatikan yaitu denyut nadi berhenti
pada palpasi, denyut jantung berhenti selama 5-10 menit pada
auskultasi, elektro kardiografi (EKG) mendatar/ flat, tidak ada tanda
sianotik pada ujung jari tangan setelah jari tangan korban kita ikat
(tes magnus), daerah sekitar tempat penyuntikan icard subkutan
tidak berwarna kuning kehijauan (tes icard), dan tidak keluarnya
darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.
Untuk mendeteksi tidak berfungsinya sisteim pernapasan juga ada
beberapa hal yang harus kita perhatikan, antara lain tidak ada
gerak napas pada inspeksi dan palpasi, tidak ada bising napas
pada auskultasi, tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas
yang kita taruh diatas perut korban pada tes, tidak ada uap air
pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau mulut
korban, serta tidak ada gerakan bulu ayam yang kita letakkan
didepan lubang hidung atau mulut korban (Modi, 1988).

5. Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis
pada seseorang berupa tanda kematian yang perubahannya biasa
timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian.
Perubahan tersebut dikenal sebagai tanda kematian yang nantinya
akan dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan tanda kematian
tidak pasti.
A. Tanda kematian tidak pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis
tidak teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit
setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10
menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata
(Budiyanto, 1997).
B. Tanda kematian pasti
1. Livor mortis
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem
lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation, dan
vibices.
Livor mortis adalah suatu bercak atau noda besar merah kebiruan
atau merah ungu (livide) pada lokasi terendah tubuh mayat akibat
penumpukan eritrosit atau stagnasi darah karena terhentinya kerja
pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh
mayat yang tertekan oleh alas keras.
Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-30 menit pasca
kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan
lengkap, akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian klinis
(Idries, 1997).
Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita
menekannya. Hal ini berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam
pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa berpindah sesuai
perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita
hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah
terjadi kira-kira lebih dari 6-10 jam.
Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan
menetap, yaitu :
1. Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.
2. Kapiler sebagai bejana berhubungan.
3. Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
4. Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita
temukan pada organ dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai
dengan posisi mayat.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang, dapat kita
lihat pada belakang kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor
tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan kadang-kadang di samping
leher. Tidak ada lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula,
gluteus dan bekas tempat dasi.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita
lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor
tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan posisi tergantung, dapat
kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat
kita temukan pada posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal
paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal, posterior dinding lambung,
dan usus yang dibawah (dalam rongga panggul).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume darah
yang beredar, lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna
lebam.
Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam mayat
lebih cepat dan lebih luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan lebih
terbatas penyebarannya pada volume darah yang sedikit, misalnya
pada anemia.
Ada lima warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan penyebab kematian yaitu (1) warna merah
kebiruan merupakan warna normal lebam, (2) warna merah terang
menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin, (3)
warna merah gelap menunjukkan asfiksia, (4) warna biru
menunjukkan keracunan nitrit dan (5) warna coklat menandakan
keracunan aniline (Spitz, 1997).
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti
kematian, tanda memperkirakan saat dan lama kematian, tanda
memperkirakan penyebab kematian dan posisi mayat setelah
terjadi lebam bukan pada saat mati.
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah
akibat trauma (ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat
trauma akan menempati ruang tertentu dalam jaringan. Warna
tersebut akan hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air
(Mason, 1983).
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada
otot yang kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan
serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi
primer; hal mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan
kimiawi pada protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot
(Gonzales, 1954).
a. Cadaveric spasme

Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan


dimana terjadi kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-
kadang pada seluruh otot, segera setelah terjadi kematian somatis
dan tanpa melalui relaksasi primer (Idries, 1997).
b. Heat Stiffening

Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu


tinggi, misalnya pada kasus kebakaran (Idries, 1997).
c. Cold Stiffening

Cold Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu


rendah, dapat terjadi bila tubuh korban diletakkan dalam freezer,
atau bila suhu keliling sedemikian rendahnya, sehingga cairan
tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan membeku (Idries,
1997).
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat
terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas
secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan
perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis
merupakan salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada
mayat yang sudah berada pada fase lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat
lambat dengan bentuk sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor,
yaitu masih adanya sisa metabolisme dalam tubuh mayat dan
perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai
tangga suhu.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya
penurunan suhu tubuh mayat, yaitu :
1. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.
2. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin
lama penurunan suhu tubuhnya.
3. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
4. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat.
5. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat
penurunan suhu tubuh mayat.
6. Aktivitas sebelum meninggal.
7. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan
suhu tubuh tinggi.
8. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
9. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang
terpapar.
Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut, antara lain :
1. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan
suhu tubuh mayat.
2. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.
3. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem.
4. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
5. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
6. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya
tergantung dari suhu, aliran, dan keadaan airnya.
7. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu
(98,40F - suhu rectal 0F) : 1,50F (Gonzales, 1954).
4. Pembusukan
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection.
Pembusukan mayat adalah proses degradasi jaringan terutama
protein akibat autolisis dan kerja bakteri pembusuk terutama
Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas
pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi
dengan hemoglobin (Hb) menghasilkan HbS yang berwarna hijau
kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan yaitu adanya
mikroorganisme dan enzim proteolitik.
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan
baru tampak oleh kita setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan
melihatnya pertama kali berupa warna kehijauan (HbS) di daerah
perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk.
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak,
mata menonjol, lidah terjulur, lubang hidung dan mulut
mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti feses
(usus), isi lambung, dan partus (gravid), badan gembung, bulla
atau kulit ari terkelupas, aborescent pattern/ marbling yaitu vena
superfisialis kulit berwarna kehijauan, pembuluh darah bawah kulit
melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva membengkak,
kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam membusuk, dan
ditemukannya larva lalat.
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien,
lambung, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah.
Organ yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung,
ginjal dan diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara
lain kelenjar prostat dan uterus non gravid.
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam
pasca kematian. Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan
penyebab kematian karena keracunan. Saat kematian dapat kita
perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab
kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara
mengidentifikasi racun dalam larva lalat.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya
pembusukan mayat, yaitu :
1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat
pembusukan.
2. Suhu optimal yaitu 21-370C mempercepat pembusukan.
3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi
pembusukan.
5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk
daripada tubuh kurus.
6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).
7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat
pembusukan. Arsen, stibium dan asam karbonat
memperlambat pembusukan.
9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan. Pada pembusukan mayat kita juga
dapat menginterpretasikan suatu kematian sebagai tanda pasti
kematian, untuk menaksir saat kematian, untuk menaksir lama
kematian, serta dapat membedakannya dengan bulla intravital
(Al-Fatih II, 2007).
Tabel 2.1. Perbedaan bulla intravital dan bulla pembusukan
Bulla Intravital Perbedaan Bulla pembusukan
Kecoklatan Warna kulit ari Kuning
Tinggi Kadar albumin & klor bulla Rendah atau tidak ada
Hiperemis Dasar bulla Merah pembusukan
Intraepidermal Jaringan yang terangkat Antara epidermis & dermis
Ada Reaksi jaringan & respon Tidak ada
darah
BAB 3
KESIMPULAN

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan


kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu
Kedokteran Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
kematian yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada
tubuh setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut (Idries, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya
fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan
adanya perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi
sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian
berkembang menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati
adalah kematian batang otak (Idries, 1997).
DAFTAR PUSTAKA

1. Alexandropoulou, C. A., dan Panagiotopoulos, E. 2010. Wound


Ballistics: Analysis of Blunt and Penetrating Trauma Mechanisms.
Health Science Journal, vol. 4, issue 4, pp. 225-236

2. Idries, A. M. 2008. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik


Khusus Pada Korban Perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik
dalam Proses Penyidikan, Bab 7, hal. 133-143. Jakarta: Sagung Seto

3. Satyo, A. C. 2006. Aspek Medikolegal Luka pada Forensik Klinik.


Majalah Kedokteran Nusantara, vol. 39, no. 4, pp. 430-433

4. Shkrum, M. J. dan Ramsay, D. A. 2007. Blunt Trauma. Forensic


Pathology of Trauma, Chapter 8, pp. 405-518

5. Vincent J. D. dan Dominick, D. 2001. Blunt Trauma Wounds. Forensic


Pathology Second Edition, Chapter 4, pp. 1-26
MIND MAP

Anda mungkin juga menyukai