Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN HISTORIS SAMURAI JEPANG

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Asia Timur
Yang dibina oleh Dra.Ibu Yuliati M.Hum

Conita Zuraida (130731607250)


Faisal Fahmi Mohammad (130731607282)
Fajarotul Murthosyiya (130731615708)
Kevin Yohan Permadi (130731607236)
Mushaibah Trysna Windayu (130731616746)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Oktober 2014
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3


A. Sengoku jidai ............................................................................................................... 3
B. Sejarah Samurai ......................................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 10


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10
B. Saran ......................................................................................................................... 10

DAFTAR RUJUKAN .......................................................................................................... 11

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata samurai bearsal dari kata kerja Jepang saburau yang berarti ‘melayani’ (Varley,
2014:xiii). Kata ini digunakan pada zaman dahulu untuk menyebutmpelayanan pribadi yang
hampir sama dengan pembantu rumah tangga. Kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato,
yang muncul sebagai klan terkuat di Jepang pada abad ketujuh Masehi. Mereka yang lahir di
keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota keluarga kekaisaran. Pada saat
Jepang memasuki zaman perang antar-klan, istilah samurai telah berubah, menandakan
tentara negara, perwira penjaga perdamaian, dan prajurit profesional: pendeknya, hampir
siapa saja yang membawa pedang dan mampu melakukan kekerasan.
Samurai adalah istilah prajurit di Jepang sebelum Restorasi Meiji, yang oleh sebagian
masyarakat Indonesia menjadi hal yang salah kaprah karena samurai diartikan sebagai
pedang dalam masyarakat Jepang (Endah, 2007:82). Pada zamannya, seorang samurai
memang menggunakan pedang, namun bukan bernama samurai, melainkan katakana
(pedang yang panjang melengkung), sedangkan yang belum menjadi samurai dibekali
pedang pendek disebut wakizashi.
Seorang samurai memiliki kode etik moral yang disebut bushido. Bhusido
menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan,
semangat berperang, kehormatan, dan lain sebagainya. Dalam semangat bhusido,
seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukan dirinya
sendiri, karena dengan menaklukkan diri sendirilah seorang baru dapat menaklukkan
orang lain. Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang
diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa
hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual.
Bahkan pada zaman dahulu ketika para samurai masih begitu eksis, karena rasa
malu yang begitu dalam, apabila seorang samurai melakukan kesalahan yang rasanya
tidak pantas, maka demi menjaga kehormatannya mereka tidak segan-segan melakukan
seppuku atau bunuh diri yang lebih kita kenal sebagai harakiri. Hal ini menunjukkan
bahwa begitu pentingnya menjaga rasa malu bagi masyarakat Jepang. Oleh karena itu,
penulis membuat makalah berjudul Sejarah Samurai Jepang.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis diatas, maka permasalahan
yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Sengoku jidai itu?
2. Bagaimanakah sejarah dan Samurai Jepang ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun oleh penulis, maka tujuan
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai Sengoku jidai
2. Untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam mengenai sejarah Samurai Jepang

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sengoku Jidai
Sengoku jidai atau yang disebut juga zaman sengoku dalam sejarah Jepang
adalah masa pergolakan sosial, intrik politik, dan konflik militer hampir konstan yang
berlangsung sekitar dari pertengahan abad ke-15 ke awal abad ke-17. Zaman ini disebut
juga zaman Azuchi-Momoyama atau zaman Shokuho.
Istilah zaman Azuchi-Momoyama berasal dari nama istana (kastil) yang menjadi
markas kedua pemimpin besar, Nobunaga di Istana Azuchi dan Hideyoshi di Istana
Momoyama. Zaman ini dimulai sejak Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi menjadi
penguasa Jepang dan berakhir ketika Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan pasukan
pendukung Toyotomi Hideyori dalam Pertempuran Sekigahara tahun 1600.
Dahulu istana – istana di Jepang terbagi – bagi. Ada 2 istana di Jepang yang
menjadi pokok terjadinya Zaman Azuchi-Momoyama, yaitu istana Azuchi dan istana
Momoyama. Istana Azuchi dipimpin oleh Nobunaga dan istana Momoyama dipimpin
oleh Hideyoshi. Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi dibantu Tokugawa Ieyasu
berhasil mempersatukan Jepang. Tahun 1568 M Nobunaga berhasil merampas Kyoto
dan mengangkat Ashikaga Yoshiaki sebagai Shogun boneka (Shogun adalah orang
yang kekuasaannya ada di tangan majikannya). Jadi kekuasaannya ada di tangan
Nobunaga. Sifat dasar Nobunga memang keras, bahkan semasa mudanya dia adalah
seorang yang liar dan sulit diatur (Varley, 2014:37).
Nobunaga memerintahkan Hideyoshi untuk menundukkan kerajaan di sebelah
barat, dan memerintahkan Ieyasu untuk menundukkan kerajaan di sebelah timur dan
utara. Sementara dirinya sendiri membereskan bagian pusat. Nobunaga mendapat
perlawanan dari kaum padri yang menjadikan biara-biara Buddha sebagai benteng
pertahanan. Serangan Nobunaga yang sangat keras terhadap Buddhisme akhirnya dapat
menghancurkan biara-biara tersebut. Dia dibantu orang-orang Kristen dari Portugis
dengan senjata apinya. Nobunaga mengijinkan
pelaksanaan perdagangan bebas, terutama dengan bangsa Portugis dan Spanyol, serta
melindungi agama Kristen. Hal itu dilakukan untuk menekan agama Buddha dan
mendapatkan senjata api. Tahun 1573 Masehi Nobunaga mendirikan istana Azuchi.
Saat Nobunaga melanjutkan masalah penyatuan negeri, dia meninggal karena dibunuh
pengikutnya yang bernama Akechi Mitsuhide pada tahun 1582 Masehi.

3
Kekuasaan Nobunaga berpindah ke Toyotomi Hideyoshi. Hideyoshi kemudian
membangun istana Momoyama (Fushimi) sebagai tempat tinggalnya, tetapi tempat
pemerintahannya ada di istana Osaka (Himeji). Hideyoshi berhasil menyatukan Jepang
pada tahun 1590 M setelah menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga
Shimaru di Kyushu. Saat berkuasa Hideyoshi mengontrol kekuasaan para daimyo
(orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah) dan menetapkan cara menarik
pajak yang disebut Taikokenchi serta mengatur para petani untuk mencegah timbulnya
pemberontakan petani. Dengan demikian pembagian antara daimyo dan petani semakin
maju. Hideyoshi pun berniat meluaskan kekuasaannya sampai ke Korea pada tahun
1592 M dan 1597 M tetapi gagal. Zaman Azuchi-Momoyama berakhir setelah
Toyotomi meninggal dalam pertempuran Sekigahara melawan Tokugawa Ieyasu.
Pertempuran Sekigahara adalah pertempuran yang terjadi tanggal 15 September
1600 menurut kalender lunar (21 Oktober 1600 menurut kalender Gregorian) di
Sekigahara, distrik Fuwa, Provinsi Mino, Jepang. Pertempuran melibatkan pihak yang
dipimpin Tokugawa Ieyasu melawan pihak Ishida Mitsunari sehubungan perebutan
kekuasaan sesudah wafatnya Toyotomi Hideyoshi. Pertempuran dimenangkan oleh
pihak Tokugawa Ieyasu yang memuluskan jalan menuju terbentuknya Keshogunan
Tokugawa.
Pihak yang bertikai dalam pertempuran ini terbagi menjadi kubu Tokugawa
(Pasukan utara) dan kubu pendukung klan Toyotomi (Pasukan Barat). Klan Toyotomi
sendiri tidak memihak salah satu pihak yang bertikai dan tidak ambil bagian dalam
pertempuran. Setelah pertempuran selesai, kekuasaan militer berhasil dikuasai pihak
Tokugawa sehingga Pertempuran Sekigahara juga terkenal dengan sebutan Tenka
wakeme no tatakai (pertempuran yang menentukan pemimpin Jepang). Pada saat
terjadinya pertempuran belum digunakan istilah Pasukan Barat dan Pasukan Timur.
Kedua istilah tersebut baru digunakan para sejarawan di kemudian hari untuk menyebut
kedua belah pihak yang bertikai.
Pada tanggal 15 September 1600, kedua belah pihak Pasukan Barat dan Pasukan
Timur saling berhadapan di Sekigahara. Pertempuran ini dimenangkan oleh pihak
Tokugawa Ieyasu dan berhasil memulai kekuasaan baru di Jepang yaitu Keshogunan
Tokugawa yang akan bertahan hingga 250 tahun. Setelah itu barulah zaman Sengoku
dilanjutkan dengan zaman Edo.

4
B. Sejarah Samurai
Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer
Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada zaman Pertempuran, atau periode
Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode ini, yang
sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550 – 1600, berkisar antara runtuhnya
keshogunan Tokugawa. Sampai pertengahan zaman Sengoku, seseorang yang tak
terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi
bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh
perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Marga
yang dimaksud di sini adalah keluarga. Pada zaman sengoku tidak semua keluarga
menggunakan marga, hanya kaum samurai, bangsawan, pedagang, dan pekerja seni saja
yang memiliki marga.
Namun bagi kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki
melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun
samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam
berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka,
yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan paling
bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang – orang yang berhasrat
menjadi samurai yaitu kaum ashigaru berikut keluarga.
Kaum ashigaru adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, barisan
orang – orang tanpa nama yang menjadi bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak
terlahir sebagai samurai, mereka berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh
orang – orang yang lebih tinggi kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain
pada zaman Pertempuran berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat
kabur sehingga para pakar berselisih paham
apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai.
Namun, bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagai prajurit
rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, setelah
Toyotomi Hideyoshi, anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi
penguasa Jepang mengeluarkan titah yang membatasi status samurai hanya kepada
mereka yang terlahir sebagai samurai, membuat impian golongan ashigaru menjadi
sulit terwujud. Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri atas anggota marga dan

5
pengikut yang telah turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka,
semuanya, lebih menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri.
Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar,
dan itu membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para
komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik
adalah Akechi Mitsuhide, seorang jenderal dalam pasukan Oda Nobunaga, yang
membunuh sang calon penakluk
Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis
pekerjaan. Semua bushi, baik laki – laki maupun perempuan dengan sendirinya
termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat
pedang atau tidak. Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer samata –
mata. Beberapa samurai menjadi cendekiawan termahsyur. Ada yang berkiprah sebagai
administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya
menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka
dalam keadaan perang.
Orang – orang sangat takut kehilangan junjungan, sementara struktur
masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika menjadi
tak bertuan atau ronin, seorang petarung kehilangan dukungan atau perlindungan
marga. Mereka adalah golongan sosial paling rendah yang berhak menyandang nama
keluarga, sebuah kebuah kehormatan yang membedakan mereka dari rakyat jelata
(Masao, 2014:xv). Jika seorang pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua
pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena
melakukan kejahatan, misalnya berkelahi atau melanggar peraturan.
Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan sering kali
berpaling dalam dunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan
menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan bersumpah
setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak
bertuan punya peluang meraih kembali
kehormatan mereka.
Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapat ini mereka
harus membiayai rumah tangga (bagi yang memiliki) dan membeli segala perlengkapan
yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang
lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi seseorang untuk makan

6
selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan berdasarkan berapa koku
beras yang dapat dihasilkan. Satu koku
setara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku
(dengan asumsi jatah makannya ditanggung junjungannya).
Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar
beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya,
menyediakan perbekalan, membeli pakan kuda, mengupah para pelayan, dan lain – lain.
Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya
perekonomian ketika itu berlandaskan beras.
Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil padi yang
mereka tanam untuk para samurai, mereka terpaksa beralih ke biji – bijian lain yang
lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu
disimpan atau dibagikan.
Urusan keuangan diserahkan kepada kaum istri karena dipandang rendah oleh
para laki – laki samurai. Kaum laki – laki yang mengurus uang hanyalah mereka yang
memang dituntut oleh tugas, pengawas dapur benteng misalnya. Pada masa itupun,
cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian.
Tempat tinggal samurai berupa bangunan serupa barak, namun ada pula yang
memiliki rumah pribadi. Penetapan tempat tinggal mereka ditentukan oleh beragam
faktor, antara lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda
berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar
seperti barak di dalam pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin
memiliki rumah petak sendiri dikawasan khusus pasangan suami – istri, sedangkan
mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri – sendiri.
Bagi anak – anak samurai, pelatihan untuk hidup keprajuritan yang akan mereka
jalani dimulai sejak dini, bahkan sejak lahir. Apabila ada tanda – tanda bahwa bayi itu
nantinya kidal, lengan kiri akan diikat, semua barang akan ditempatkan dalam
jangkauan tangan kanan, segala sesuatu akan dilakukan untuk menghilangkan sifat
kidal tersebut. Di Jepang, tidak boleh ada orang yang kidal. Kekidalan adalah sesuatu
yang tidak dapat diterima.
Terutama antara usia tujuh dan delapan tahun, anak – anak samurai didorong
agar bersikap baik dan kooperatif terhadap rekan – rekan bermain mereka, dan
diajarkan agar menjauhi sikap suka berkelahi maupun terlalu mementingkan diri
sendiri. Pada usia Sembilan dan sepuluh tahun, mereka lebih memusatkan perhatian

7
kepada subjek – subjek akademis seperti membaca dan menulis, meskipun
sejak usia tujuh tahun mereka mungkin sudah belajar secara
berkala di sekolah kuil. Ketika seorang anak laki – laki serusia tiga belas tahun, ia siap
bertempur. Pada kisaran usia belasan awal, seorang calon samurai menjalani upacara
yang disebut genpuku atau genbuku. Bagi para putra keluarga bangsawan, upacara ini
sering kali mendahului
pertempurannya yang pertama.
Genpuku adalah upacara akil-balig. Perayaan tersebut diadakan pada ulang
tahun ketigabelas atau kelimabelas. Dalam genpuku, untuk anak laki – laki rambutnya
untuk pertama kalinya dipotong dengan gaya orang dewasa, yaitu rambut batok
kepalanya dicukur habis dan sisa rambutnya dikuncir di atas kepala seperti orang
dewasa. Ia juga diberi topi orang dewasa. Dalam beberapa kasus, khususnya jika
marganya sedang berperang, topi itu diganti dengan baju
tempur.
Bagi kaum perempuan keluarga samurai, setidaknya yang berkedudukan senior,
genpuku menandai kali pertama alis mereka dicukur dan gigi merek dihitamkan. Yang
terakhir itu, dilakukan dengan mengoleskan oksida besi, merupakan tradisi kraton kuno
bagi kaum perempuan kelas atas. Itu juga berarti mereka siap menikah, sering kali demi
merekatkan
persekutuan antar keluarga.
“Jalan samurai dapat ditentukan dalam kematian”, demikian ditulis oleh
Yamamoto Tsunemoto, mantan pengikut marga Nabeshima. Pepatah sederhana ini
yang sering dikutip atau diungkapkan dalam karya – karya mengenai Jepang,
menekankan konsep kewajiban para samurai. Kematian di medan laga adalah ambisi
yang terhormat. Pada pertarung kadang – kadang terjun ke suatu pertempuran dengan
menyadari bahwa kematian tidak terelakkan. Ada sejumlah hal yang lebih buruk
dibandingkan kematian, misalnya gagal melayani tuannya dengan baik, atau membawa
aib kepada diri sendiri. Jika terluka, seorang petarung pada umumnya akan memilih
bunuh diri daripada membiarkan dirinya ditawan atau dikalahkan oleh rasa sakit
sehingga harus mendapat malu. Samurai yang melakukan bunuh diri setelah kalah
perang tidak perlu mengalami rasa malu karena ditawan. Mereka beranggapan bahwa
mereka pastinya akan mati, jadi bunuh diri dipandang sebagai kematian dengan cara
mereka sendiri, dengan kehormatan yang tetap utuh.

8
Cara bunuh diri yang paling banyak dipilih ialah seppuku (切腹). Ini adalah

pelafalah 2 aksara yang, jika dibalik, dibaca hara-kiri (腹切). Kanji seppuku terdiri dari

kanji kiru (切) dan hara (腹), dan kanji hara-kiri sebaliknya. Bagi sementara orang

Jepang, istilah seppuku lebih halus jika dibandingkan dengan hara-kiri. Endah
(2007:84) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Bahkan pada zaman dahulu ketika para samurai masih begitu eksis, karena rasa
malu yang begitu dalam, apabila seorang samurai melakukan kesalahan yang
rasanya tidak pantas, maka demi menjaga kehormatannya mereka tidak segan-
segan melakukan seppuku atau bunuh diri yang lebih kita kenal sebagai
harakiri.

Ada bentuk bunuh diri lain, yang dikecam banyak kalangan sebagai kematian
sia – sia, adalah jushi. Apabila seorang junjungan meninggal atau tewas di medan
tempur, beberapa pengikutnya mungkin memilih bunuh diri daripada harus mengabdi
kepada orang lain. Latarbelakang pemikiran mereka adalah bahwa mereka tidak
mungkin melayani orang lain sebaik mereka melayani almarhum junjungan mereka,
dan bunuh diri dipandang sebagai wujud
pengabdian tertinggi.
Tetapi dengan bunuh diri, para pewaris menjadi kehilangan sejumlah pengikut
berharga yang terpercaya. Sehingga sejak Tokugawa Ieyasu mengeluarkan undang –
undang yang melarang para pengikut untuk bunuh diri, jumlah pelaku bunuh diri mulai
berkurang. Karena apabila dia sudah berkeluarga dan dia mengikuti junjungannya
untuk bunuh diri, maka ancaman aib dan kematian bagi seluruh keluarga.
Kaum perempuan melakukan bunuh diri dengan cara sendiri, yang dinamakan
ojigi. Mereka harus mengambil belati dan menusukkan ke dalam tergorokan, meskipun
ada pula catatan mengenai perempuan yang menghujamkan belati ke dada sendiri. Perlu
ditekankan bahwa kesetiaan yang fanatik seperti ini lazim bagi samurai yang lahir
dalam satu marga, atau yang keluarganya secara turun – temurun menjadi pengikut
marga tersebut.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sengoku jidai atau yang disebut juga zaman sengoku dalam sejarah Jepang adalah masa
pergolakan sosial, intrik politik, dan konflik militer hampir konstan yang berlangsung sekitar
dari pertengahan abad ke-15 ke awal abad ke-17. Zaman ini disebut juga zaman Azuchi-
Momoyama atau zaman Shokuho.
2. Asal usul kaum samurai dimulai pada keluarga Yamato, yang muncul sebagai klan terkuat di
Jepang pada abad ketujuh Masehi. Kata samurai berarti ‘orang yang melayani’ dan diberikan
kepada mereka yang lahir di keluarga terhormat dan ditugaskan untuk menjaga anggota
keluarga kakaisaran. Pada saat Jepang memasuki zaman Perang Antar-Klan, istilah samurai
telah berubah, menandakan tentara negara, perwira penjaga perdamaian, dan prajurit
profesional yang memiliki jiwa ksatria dan pengabdian yang tinggi terhadap atasannya.

B. Saran
Dari penulisan diatas penulis berharap adanya saran yang membangun kepada penulis
agar untuk karya selanjutnya penulis lebih baik dari sebelumnya.

10
DAFTAR RUJUKAN

Endah, W. 2007. Jepang, Kembangkan Tradisi Raih Modernisasi. Dalam Image Jepang di
Mata Anak Muda Indonesia: Kumpulan Hasil Lomba Essay 2006 tentang Jepang
(hlm.75-85). Jakarta : The Japan Foundation.

Masao, K.2014. The Swordless Samurai: Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI. Jakarta :
Redline Publishing.

Varley, P. 2014. Samurai: Sejarah & Perkembangan. Jakarta : Komunitas Bambu.

11

Anda mungkin juga menyukai