Di zaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) dan Seni, sangatlah berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan
manusia. Tidak dapat dipungkiri,keberadaan IPTEK dan seni tidak pernah lepas dengan
keberadaan manusia. Manusia sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi dan seni.
Keberadaan yang tidak akan pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan beberapa
dampak terhadap kehidupan manusia di dunia. Dampak tersebut berupa dampak positif dan
negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia ini, akan menimbulkan beberapa
Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang
seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigm sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma
Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah)
bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa Aqidah Islam sebagai sumber segala
macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang
bertentangan dengannya,wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah
Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam kehidupan
sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yangdigunakan umat Islam, bukan standar
manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur,
bahwa boleh tidaknya pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-
hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan IPTEK jika telah dihalalkan oleh
Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK dan telah diharamkan oleh Syariah, maka
tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk
Dengan potensi yang ada, manusia dapat membaca, memahami, meneliti, danmenghayati
fenomena alam yang nantinya dapat menimbulkan pengetahuan.Fenomena alam ini disebut juga
bukan sekedar buku atau dokumen sejarah, tapi juga sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam
kehidupan manusia. Semua itu dapat menimbulkan pengetahuan bagi manusia yang mau
membaca, meneliti, dan menghayati fenomena tersebut. Pengetahuan pada hakikatnya adalah
salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingginya derajat pengetahuan yang
dimiliki seseorang bukan untuk kesombongan, tapi untuk memperbanyak syukur atas nikmat
pengetahuan yang diberikan. Agar pengetahuan dapat membimbing seseorang menuju Allah,
maka pengisiannya harus bersentuhan dengan unsur fitri manusia seperti roh, qalbu, akal,dan
nafsu.
Fenomena dan kecenderungan kehidupan dunia saat ini memang sangat dipengaruhi oleh
ini mendorong terjadinya arus globalisasi yang mengalir deras dan mendatangkan berbagai
serta berada di dalam arena percaturan hidup yang kompleks dan ditandai dengan berkembangny
a sikap dan gaya hidup global. Di sini iman berperan sebagai pengendali sikap dan perilaku kehi
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurnaan. Kesempurnaan ini membuat
manusia diberikan potensi untuk mengembangkan, memanfaatkan dan mengelola sumber daya
alam yang telah diciptakan Allah swt untuk kita dengan ilmu pengetahuan teknologi dan seni
yang kita miliki. Oleh sebab itu marilah kita menjaga dan melestarikan alamini agar tidak punah
dan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan as sunnah sebagai rasa syukur kita kepada Allah swt.
VII. ISLAM DAN PLURALITAS
kebenaran yang menjadi pangkal tumbuhnya sikap eklusif agama yang selama ini membingkai
umat dalam sekat-sekat keyakinan dan keimanan kembali terusik, semua pemeluk agama dituntut
melakukan sebuah refleksi dan konstruksi pemahaman diri dalam kondisi pluralisme agama yang
semakin kuat dan sekaligus menjadi gerakan keagamaan yang dinamis dan progressif telah
Nurkholish Madjid, Sayyed Husen Nasr, Hans Kung, dan Jhon Hick, keterlibatan mereka paling
tidak sebagai upaya menambah dan mengembangkan wawasan dan pemahaman keagamaan
dalam konteks pluralisme agama. Diskursus keagamaan dapat dilacak dari beberapa pendekatan
dan sudut pandang ; Kebudayaan, normative dan filsafat. Dilihat dari hubungan agama dan
kebudayaan Khoirul muqtafa dalam tulisannya tentang hal ihwal relasi agama dan kebudayaan
membagi tiga fase ; pertama, fase dimana agama dan kebudayaan dipandang sebagai dua
komponen yang sulit dipisahkan antara satu dan lainnya. Sehingga sulit melakukan diferensiasi
nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan. Kedua, fase dimana agama dan kebudayaan mulai
mengalami diferensiasi structural, agama dan kebudayaan mulai menjadi institusi tersendiri.
Ketiga; fase dimana diferenssiasi agama dan kebudayaan semakin transparan dan mulai ada jarak
interaksi keduanya. Khoirul Muqtafa sangat nampak ingin menegaskan bahwa secara social
budaya agama bersifat dinamis dan progressif seiring dengan tingkat perkembangan pemikiran
dan peradaban.
Demikian pluralitas yang dimaksud adalah interaksi saling yang berimplikasi positif, hal
ini tercermin penggunaan kata mukhtalifin lanjut Alwi Shihab yang berkonotasi positif, take and
give, kasih sayang saling menghormati secara damai terbentuk dalam perbedaan tersebut,
Sedangkan kata syiqaq sebaga lawan dari mukhtalifin bermakna perbedaan yang berkonotasi
negative, sehingga perbedaan pendapat yang membawa pada pertikaian disebut syiqaq dan yang
tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat mendasar: konflik sosial,
kekerasan dan ketidakadilan. Di sini dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan
dari segala bentuk eksploitasi. Agama sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap
beranjak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik dan budaya, sehingga mampu
memberikan dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu. Karenanya,
keberagamaan kita akan ditentukan sejauhmana pergulatan kita dengan realitas kemanusiaan.
Agama diharapkan dapat memberikan jawaban riil dari sekadar mengedepankan simbol dan
romantisme. Pandangan Sayyed Hussen Nasr ini sejalan dengan pemahaman Nurcholish Madjid,
Kuntowijoyo, Komaruddin Hidayat dan lainlainnya bahwa Iman berimplikasi internal dan
eksternal, artinya pemahaman batiniyah (esoterik) mestinya terwujud dalam lokus sosial
(eksoterik), sehingga pluralisme agama bukanlah hambatan, namun merupakan suatu rahmat
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.
Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun
persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun
“masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap
yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,
seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain,
berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu
diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu: Masyarakat Saba’ (masyarakat di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah,
perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah
yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah
berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam kehidupan
Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan
besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam.
Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu
dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu
Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga
belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di
negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
Dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar
potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik
pula hasilnya.
Di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan
taraf hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada
pula wakaf, wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat
jalinan antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi
ibadah, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan
baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.