Anda di halaman 1dari 8

VI.

IPTEKS DALAM ISLAM

Di zaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK) dan Seni, sangatlah berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan

manusia. Tidak dapat dipungkiri,keberadaan IPTEK dan seni tidak pernah lepas dengan

keberadaan manusia. Manusia sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi dan seni.

Keberadaan yang tidak akan pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan beberapa

dampak terhadap kehidupan manusia di dunia. Dampak tersebut berupa dampak positif dan

negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia ini, akan menimbulkan beberapa

yang kurang di inginkan.

Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,

menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang

seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigm sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma

Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah)

bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa Aqidah Islam sebagai sumber segala

macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu

pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang

bertentangan dengannya,wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah

Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam kehidupan

sehari-hari.

Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yangdigunakan umat Islam, bukan standar

manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur,
bahwa boleh tidaknya pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-

hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan IPTEK jika telah dihalalkan oleh

Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK dan telah diharamkan oleh Syariah, maka

tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk

memenuhi kebutuhan manusia.

Dengan potensi yang ada, manusia dapat membaca, memahami, meneliti, danmenghayati

fenomena alam yang nantinya dapat menimbulkan pengetahuan.Fenomena alam ini disebut juga

ayat-ayat kauniyah. Fenomena lainnya adalah berupa quraniyah, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an

bukan sekedar buku atau dokumen sejarah, tapi juga sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam

kehidupan manusia. Semua itu dapat menimbulkan pengetahuan bagi manusia yang mau

membaca, meneliti, dan menghayati fenomena tersebut. Pengetahuan pada hakikatnya adalah

salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingginya derajat pengetahuan yang

dimiliki seseorang bukan untuk kesombongan, tapi untuk memperbanyak syukur atas nikmat

pengetahuan yang diberikan. Agar pengetahuan dapat membimbing seseorang menuju Allah,

maka pengisiannya harus bersentuhan dengan unsur fitri manusia seperti roh, qalbu, akal,dan

nafsu.

Fenomena dan kecenderungan kehidupan dunia saat ini memang sangat dipengaruhi oleh

pesatnya kemajuan iptek dengan segala dampaknya, baik yang positif maupun yang negatif. Hal

ini mendorong terjadinya arus globalisasi yang mengalir deras dan mendatangkan berbagai

implikasi di semua aspek kehidupan manusia.

Manusia berhadapan dengan kemajuan iptek yang berkembang pesat

serta berada di dalam arena percaturan hidup yang kompleks dan ditandai dengan berkembangny
a sikap dan gaya hidup global. Di sini iman berperan sebagai pengendali sikap dan perilaku kehi

dupan manusia, maupun sebagai landasan moral,etika, dan spiritual masyarakat suatu bangsa

dalam melaksanakan pembangunan disegala bidang

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurnaan. Kesempurnaan ini membuat

manusia diberikan potensi untuk mengembangkan, memanfaatkan dan mengelola sumber daya

alam yang telah diciptakan Allah swt untuk kita dengan ilmu pengetahuan teknologi dan seni

yang kita miliki. Oleh sebab itu marilah kita menjaga dan melestarikan alamini agar tidak punah

dan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan as sunnah sebagai rasa syukur kita kepada Allah swt.
VII. ISLAM DAN PLURALITAS

Sejalan dengan perkembangan pemikiran khususnya masalah teologi agama (theology of

religions) menjadi pokokperhatian dikalangan intelektual muslim ataupun nonmuslim, claim

kebenaran yang menjadi pangkal tumbuhnya sikap eklusif agama yang selama ini membingkai

umat dalam sekat-sekat keyakinan dan keimanan kembali terusik, semua pemeluk agama dituntut

melakukan sebuah refleksi dan konstruksi pemahaman diri dalam kondisi pluralisme agama yang

semakin kuat dan sekaligus menjadi gerakan keagamaan yang dinamis dan progressif telah

memunculkan sebuah kesadaran ingin mempertahankan pemahaman lama meskipun begitu

banyak biaya, tenaga dan pikiran yang harus dikorbankan.

Kesadaran ini telah mengusik pemikir-pemikir keagamaan seperti Abdurrahman wahid,

Nurkholish Madjid, Sayyed Husen Nasr, Hans Kung, dan Jhon Hick, keterlibatan mereka paling

tidak sebagai upaya menambah dan mengembangkan wawasan dan pemahaman keagamaan

dalam konteks pluralisme agama. Diskursus keagamaan dapat dilacak dari beberapa pendekatan

dan sudut pandang ; Kebudayaan, normative dan filsafat. Dilihat dari hubungan agama dan

kebudayaan Khoirul muqtafa dalam tulisannya tentang hal ihwal relasi agama dan kebudayaan

membagi tiga fase ; pertama, fase dimana agama dan kebudayaan dipandang sebagai dua

komponen yang sulit dipisahkan antara satu dan lainnya. Sehingga sulit melakukan diferensiasi

nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan. Kedua, fase dimana agama dan kebudayaan mulai

mengalami diferensiasi structural, agama dan kebudayaan mulai menjadi institusi tersendiri.

Ketiga; fase dimana diferenssiasi agama dan kebudayaan semakin transparan dan mulai ada jarak

interaksi keduanya. Khoirul Muqtafa sangat nampak ingin menegaskan bahwa secara social

budaya agama bersifat dinamis dan progressif seiring dengan tingkat perkembangan pemikiran

dan peradaban.
Demikian pluralitas yang dimaksud adalah interaksi saling yang berimplikasi positif, hal

ini tercermin penggunaan kata mukhtalifin lanjut Alwi Shihab yang berkonotasi positif, take and

give, kasih sayang saling menghormati secara damai terbentuk dalam perbedaan tersebut,

Sedangkan kata syiqaq sebaga lawan dari mukhtalifin bermakna perbedaan yang berkonotasi

negative, sehingga perbedaan pendapat yang membawa pada pertikaian disebut syiqaq dan yang

berarti khilaf adalah perbedaan yang didasari atas saling hormat-menghormati.

Tantangan keberagamaan di masa mendatang bukan tantangan doktrinal melainkan

tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat mendasar: konflik sosial,

kekerasan dan ketidakadilan. Di sini dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan

dari segala bentuk eksploitasi. Agama sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap

persoalanpersoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Karenanya, agama mesti dipaksa

beranjak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik dan budaya, sehingga mampu

memberikan dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu. Karenanya,

keberagamaan kita akan ditentukan sejauhmana pergulatan kita dengan realitas kemanusiaan.

Agama diharapkan dapat memberikan jawaban riil dari sekadar mengedepankan simbol dan

romantisme. Pandangan Sayyed Hussen Nasr ini sejalan dengan pemahaman Nurcholish Madjid,

Kuntowijoyo, Komaruddin Hidayat dan lainlainnya bahwa Iman berimplikasi internal dan

eksternal, artinya pemahaman batiniyah (esoterik) mestinya terwujud dalam lokus sosial

(eksoterik), sehingga pluralisme agama bukanlah hambatan, namun merupakan suatu rahmat

Tuhan dalam merajut kehidupan bersama agama lain.


VIII. MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMMAT

Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada

peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.

Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun

persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi

adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun

“masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap

yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,

seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain,

berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara

kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak

meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar

kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu

diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat

madani, yaitu: Masyarakat Saba’ (masyarakat di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah,

perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah

yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah

berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam kehidupan

sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai


pemimpin, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah

sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi

pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan

seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang

lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan

besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

1. Kualitas SDM Umat Islam

Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang

terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah

dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu

lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka

adalah orang yang fasik.”

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat

yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek

kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam.

Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,

potensial, bukan riil.

2. Posisi Umat Islam

SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu

dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu

pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di

Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga
belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di

negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh

nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.

Dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada

Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat

madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada

pada zaman Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi

manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri

manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar

potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik

pula hasilnya.

Di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan

taraf hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada

pula wakaf, wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat

jalinan antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi

ibadah, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan

baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.

Anda mungkin juga menyukai