Anda di halaman 1dari 3

Khutbah Jum’at

Masjid al-Khairiyah, Menara Syariah PIK


Jum’at, 8 Desember 2023

Pengaruh Agama dalam Kehidupan Manusia


Farid F. Saenong
(Masjid Istiqlal Jakarta)

‫اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم اإلسالم ديننا‬
Hari ini, Saya sempurnakan agamamu bagimu; Saya sempurnakan narkmtKu
kepadamu; dan saya ridha Islam menjadi agamamamu (QS. al-Ma’idah: 3)

Ketika sedang maraknya arus modernisasi di paruh kedua abad ke-20, banyak
futurolog mengandaikan bahwa agama akan kehilangan maknanya bagi manusia abad
ini. Menurut mereka, model dan orientasi positivisme yang mengandalkan
rasionalisme akan membuat agama dan pemeluknya ketinggalan jauh di belakang,
tidak berguna dan tidak akan digunakan. Modernitas diwarnai secara dominan
oleh peran mind (akal) yang mendominasi semua lini kehidupan umat
manusia. Segala sesuatu dianggap benar manakala ia benar secara aqliyah.
Akal kemudian menjadi ukuran sebuah kebenaran.

Akal pada gilirannya terkait dan berkelindan dengan pengalaman yang


empirik, dan menghasilkan antitesa atau sintesa baru. Proses inilah yang
menghadirkan positivisme, suatu paham kebenaran yang mengukur bahwa
segala sesuatu benar jika sesuai dengan ukuran empirik dan rasional, serta
prosedur yang sudah ditetapkan. Panas, harus ditentukan dengan celcius atau
Fahrenheit di satuan derajat; distance atau jarak kejauhan diukur dengan
satuan meter, dll.

Modernitas akhirnya merambah ke seluruh sendi kehidupan manusia. Kini


dengan kemampuannya, manusia mampu menciptakan teknologi demi
memenuhi kebutuhan manusia. Komunikasi yang dahulu dibangun melalui
tatap muka, kini hanya dengan memijit tombol dengan jarak di manapun
maka komunikasi dapat berlangsung. Dahulu membajak sawah menggunakan
kerbau, kini mesin traktor sudah siap menggantikannya. Intinya, dahulu
manusia membantu mesin, kini, mesin lah yang membantu bahkan
menggantikan peran manusia.
Seperti yang kita lihat sejak lama, efek modernisme, rasionalisme dan positivisme ini
menyisakan masalah-masalah yang kita kemudian sebut sebagai problem manusia
modern; manusia kehilangan jati diri; teknologi menggantikan peran manusia secara
massif; patologi sosial semakin merusak sendi kehidupan; dan sebagainya.
Manusia kemudian mencari solusi atas masalah-masalah manusia modern ini. Yang
gagal menemukan solusi akhirnya mencari pelarian, yang kadang-kadang positif,
tetapi lebih banyak yang negatif. Salah satu tempat pelarian yang positif adalah agama
yang memang oleh para ahli dinilai sebagai salah satu potensi pemberi arah dalam
kehidupan manusia. Ini disebut hidayat al-din. Potensi lainnya dapat berwujud hidayat
al- ghariziyyat (naluriah); hidayat al-hissiyat (inderawi); hidayat al-aqliyat (nalar).
Agama tentu saja berfungsi efektif bagi individu dan masyarakat. Bagi individu,
agama dapat menjadi sumber nilai moral, etika dan kesusilaan, Dalam hal ini, agama
meniscayakan pengembangan etika dan moralitas yang menjadi salah satu inti penting
dalam agama. Jika kembali pada trilogi fundamental iman, Islam, dan ihsan, maka
etika dan moralitas yang bersumber pada agama, ada di posisi produk. Ini berarti,
dalam beragama selalu ada logika bahwa produk yang baik dan premium berawal dan
diinpirasi dari keyakinan dan pemahaman yang tepat atas agama.
Jika mengacu pada salah satu tujuan Allah menurunkan agama, maka produk etika
dan moralitas itu tertuang jelas dalam salah satu penegasan Nabi bahwa beliau diutus
untu menyempurnakan akhlak yang mulia.
‫انما بعثت التمم مكارم االخالق‬
Bahkan, jika ditilik lebih detail, Hadis ini secara tekstual menegaskan bahwa tujuan
utama beliau diutus sebagai Rasul oleh Allah, first and foremost, adalah untuk
membuat akhlak yang mulia menjadi sempurna. Makna first and foremost (hal yang
utama) dalam Hadis ini diwakili oleh spesifikasi makna yang diekspresikan oleh kata
“innamâ” yang juga di saat yang sama mengenyampingkan atau meneomorduakan —
bukan untuk berkata menegasikan— tujuan-tujuan lainnya.
Selain itu, agama juga dapat membantu manusia dalam mengatasi problem-problem
psikologis yang dialami baik secara individual maupun kolektif dalam
masyarakat.Problem-problem psikologis ini dapat mencakup depresi, kepanikan, rasa
takut berlebihan, skizofrenia, gangguan bipolar, dan berbagai bentuk psychological
disorder lainnya. Tentu saja, psikologi telah menyiapkan berbagai konsep dan
perangkat untuk mengatasi persoalan-persoalan psikis yang dihadapi masyarakat
modern di atas. Akan tetapi, agama lebih punya komponen-komponen yang sudah
siap dimanfaatkan untuk turut menyelesaikan masalah-masalah seperti ini. Yang
paling sederhana, agama menawarkan totalisme dzikir bagi manusia modern yang
mengalami gangguan psikis.
‫اال بذكر هللا تطمئن القلوب‬
Setelah manusia mengalami disorientasi hidup akibat modernisme, rasionalisme dan
positivisme yang disebutkan di awal, manusia kemudian mencari jati dirinya kembali
lewat agama. Dalam beberapa hal, praktik tasawuf menawarkan konsep penenangan
jiwa melalui tazkiyat al-nafs yang banyak hidup dalam tarekat-tarekat yang
mu’tabarah. Jika kedokteran dapat menyelesaikan berbagai kotoran dan penyakit
fisik, maka agama yang diwakili Tasawuf dapat menuntaskan berbagai model
problem psikis. Di sinilah, kita melihat bukti bahwa orang-orang pada akhirnya
kembali mendatangi agama untuk menenangkan jiwanya.
Dalam pandangan beberapa pakar, agama dapat berfungsi menjadi faktor pemecah
dan faktor pemersatu. Jika mengikuti Durkheim, agama dalam masyarakat pasti
menciptakan konsensus dan solidaritas. Jika keduanya (konsensus dan solidaritas) ini
menguat, maka agama bertransformasi menjadi etos kontrol sosial, dan faktor
pemersatu, khususnya dalam masyarakat majemuk dan heterogen. Di sini, agama
kembali menunjukkan dirinya sebagai subyek yang dicari dan dibutuhkan.
Memperhatikan fenomena masyarakat dalam 50 tahun terakhir, di seluruh jagad ini,
manusia semakin menunjukkan karakter religiusnya, apapun agama yang dianut.
Tidak hanya semakin bertambah, rumah-rumah ibadah semakin ramai, gegap
gumpita. Syiar-syiar agama semakin menunjukkan karakter aslinya sebagai faktor
eksposional dan selebrasi. Model-model pendidikan agama, formal dan informal,
semakin kaya dan beragam. Berbagai bisnis dan produk-produk yang terkait agama
seperti sarung, peci dan baju koko, semakin menggeliat. Padahal dulu ditengarai,
bisnis ini akan hilang tergeser oleh bisnis dan produk lain yang lebih sekuler.

Dunia perbankan juga geger akibat maraknya Shari’a-compliance banking system


yang bahkan diadopsi dan menjadi unggul. Bank-bank konvensional bahkan
membuka cabang Syariahnya di mana-mana. Bisnis produk halal dengan segala
turunanya menjadi tren tersendiri yang seakan-akan tak terbendung dan tak bisa
disaingi. Seiring dengan itu, upaya-upaya di bidang ekonomi untuk meningkatkan
level.

Dari beberapa yang disebutkan di atas, kita bisa melihat agama menunjukkan
kekuatannya. Ia awalnya ditengarai akan mati ditelan zaman di awal abad modern.
Tetapi ia mampu mengukuhkan dirinya sebagai sebuah sistem nilai yang bisa bertahan
di zaman apapun. Beberapa pakar menyebutkan bahwa agama punya seribu nyawa
untuk bertahan di tengah deraan dan serangan modernisme. Karenanya, sebagai umat
beragama, kita perlu bersyukur dapat menjadi bagian cerita dari kebangkitan agama di
abad modern. Di saat yang sama, kita terus menjaga dan meningkatkan kualitas
keberagamaan kita, baik secara individual, secara horisontal dan bertanggung jawab
secara vertikal kepada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai