Anda di halaman 1dari 16

1

KOMODIFIKASI AGAMA DAN KAPITALISME MEDIA


ABSTRAK
Makna agama dalam manifestasi materialnya, telah dikurangi melalui waktu menjadi
makna yang sempit. Sistem kapitalisme tampaknya berhasil membagi paradigma
logis kita terpisah sehingga membuatnya diklasifikasikan menurut pilihan semata-
mata berdasarkan kebutuhan pribadi. Agama hanya menjadi fungsi pribadi tanpa
relevansi sosial. Harus ada upaya kreatif dalam reaktualisasi agama untuk melakukan
fungsi yang diperluas. Agama harus relevan dan sesuai dengan kepentingan publik
dan masalah sosial.
Kata Kunci: Agama; Komodifikasi Agama dan Kapitalisme Media.

PENDAHULUAN
Pada hakikatnya ulama merupakan manusia yang memiliki posisi istimewa
dalam Islam dan mempunyai wawasan mengenai keagamaan dan menjadi teladan
bagi masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap agama Islam. Keistimewaan
tersebut sangat sederhana dan dapat diketahui oleh siapapun bahwa ulama merupakan
seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang kealaman dan keagamaan.
Masyarakat Indonesia tentunya memiliki perspektif bahwa orang yang memiliki
wawasan mengenai kealaman dan keagamaan, memiliki rpotensi menjadi ulama
selagi wawasan keilmuannya dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah dan
mengakui kebesaran-Nya. Kedudukan ulama sangat penting didalam lingkungan
masyarakat, karena prilakunya akan dijadikan sebagai suri teladan umat dalam
kehidupan sehari-hari.
Tetapi dalam realitasnya, bahwa sosok ulama pada saat ini tidak seperti sosok
ulama pada saat dulu. Sebelumnya, ulama merupakan sosok yang teladan dan
menjalankan dakwahnya kepada masyarakat dengan penuh ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Ini berbeda dengan keadaan ulama saat ini.
2

Sayangnya sosok ulama pada kehidupan saat ini dalam menjalankan dakwahnya
berkaitan dengan ekonomi, seperti yang kita ketahui uang yang menjadi tolak ukur
dalam menjalankan dakwahnya. Ini disebabkan karena faktor modernisasi di dalam
kehidupan masyarakat saat ini. Intinya kehidupan masyarakat yang modern ditandai
oleh menguatnya rasionalitas dan melemahnya peran agama sehingga masyarakat kini
lebih condong kepada masyarakat sekuler. Modernisasi juga ditandai adanya
pengetahuan, teknologi, dan perkembangan ekonomi. Proses modernisasi saat ini
ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perkembangan ekonomi yang diprediksi akan mengambil peran dan posisi agama
dalam masyarakat.
Sejarah mengungkapkan bahwa agama merupakan sesuatu yang sakral.
Agama sangat dijunjung tinggi dan diposisikan sebagai hal yang sangat penting oleh
setiap orang yang menganutnya. Peran ulama pada kehidupan sosial salah satunya
melakukan ceramah rohani secara rutin, ceramah tersebut biasanya dilakukan di
ruang-ruang publik dan diberbagai acara keagamaan. Hampir pada semua
permasalahan pada aspek sosial pada saat itu yang dialami oleh masyarakat biasanya
akan diceritakan kepada ulama/ tokoh agama untuk dimintai pendapat. Para ulama
menjadi konsultan dari berbagai persoalan sosial hingga pada problem keluarga.
Modernisasi pada kehidupan manusia kemudian menggeser peran ulama. Persoalan
sosial itu kini sudah terfragmentasi kedalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan
keahlian dari pengelolaan lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu
modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan telah menggeser posisi agama.
Namun tidak semerta merta dapat diartikan bahwa agama akan kehilangan fungsi dan
menghilang dari keyakinan umat manusia. Meskipun lembaga modern dianggap lebih
berperan ketimbang para ulama atau tokoh-tokoh agama, namun nilai-nilai
kepercayaan agama tampaknya masih menjadi pijakan bagi masyarakat. Kebutuhan
manusia terhadap agama menjadi sesuatu yang inheren di dalam dirinya. Munculnya
para pendakwah muda selebritis yang sering muncul di media televisi merupakan
3

cerminan dari kuatnya permintaan dan sekaligus pemberian otoritas kepercayaan


kepada mereka.
Bergersernya peran ulama untuk menjalankan dakwahnya ditandai dengan
adanya komodifikasi dalam agama. Komodifikasi agama adalah komersialisasi dan
kapitalisasi agama yaitu mengubah keimanan yang ada pada umat manusia dan
simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk
mendapatkan keuntungan. Indonesia memiliki potensi pasar umat beragama lebih
khusus lagi ummat Islam yang sangat menjanjikan dan menjadikan peluang bisnis
baru dalam menjual nilai-nilai sacral dalam agama, tentunya dengan tampilan yang
mudah diterima. Dalam paper ini penulis mengambil masalah mengenai adanya
komersialisasi dakwah sebagai bentuk komodifikasi agama. Ini bisa dilihat dari kabar
soal Ustadz Solmed yang meminta tarif untuk ceramah di Hongkong, ini berkaitan
dengan komersialisasi dakwah dalam agama. Sebagian besar dari kita tentu
menganggap bahwa komersialisasi agama merupakan hal yang tidak etis dari seorang
Ustadz yang tak sepatutnya memasang tarif ketika berceramah. Tujuan dari paper ini
adalah untuk menjelaskan tentang adanya komersialisasi agama dalam bidang
dakwah yang dilakukan oleh Ustadz Solmed serta implikasi komodifikasi agama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari ditinjau dari perspektif sosiologi dan
memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat mengenai fenomena komodifikasi
agama ini.
KERANGKA TEORI
Sosiologi Agama
Sosiologi agama merupakan bagian dari sosiologi umum yang telah mempelajari
suatu ilmu budaya yang empiris dan positif yang menuju kepada ilmu pengetahuan
umum, yang jernih dan terstruktur, fungsi dan perubahan pada kelompok keagamaan
dan gejala pada kelompok keagamaan.1

1
Riezqie Hasanah, Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. 2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
4

Menurut Hendropuspito, Sosiologi Agama merupakan suatu cabang ilmu


sosiologi umum untuk mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.2
Dakwah dalam Perspektif Sosiologi
Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u,
da’wan, du’a, yang dapat diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai
mengajak/menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini
sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma’ruf dan nahi
munkar, mu’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan
khotbah.3
Dakwah adalah kegiatan dalam agama yang merupakan bentuk dari media
sosialisasi yang berisi ajaran-ajaran agama islam. Isi dakwah juga mencakup nasihat-
nasihat untuk umatnya. Selain itu, dakwah juga berfungsi sebagai penanaman nilai-
nilai dan norma-norma agama kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tahu bahwa
nilai-nilai dan norma-norma yang disampaikan Ustadz dalam dakwahnya dapat
berguna untuk dirinya dalam menjalani suatu kehidupan. Adanya dakwah juga dapat
mengarahkan setiap individu dalam masyarakat terhadap hal-hal yang baik. Sehingga
setiap individu memahami dan mengerti perbuatan yang baik dan buruk, serta
perbuatan yang dilarang dan tidak dilarang. Dakwah dalam perspektif sosiologi
merupakan suatu alat sosialisasi agama terhadap umatnya. Dalam proses sosialisasi
tersebut, dakwah berperan dalam pembentukan kepribadian kepada umatnya dan
mengarahkan kepada umatnya kepada hal-hal yang baik.
Fungsionalisme Struktural
Robert Merton melakukan kritik pada apa yang dilihatnya sebagai 3 postulat
dasar analisis fungsional sebagaimana dikembangkan oleh antropolog seperti
Malinowksi dan Radcliffe - Brown. Pertama adalah postulat kesatuan fungsional
masyarakat, ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya
2
D. Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. hlm. 8
3
H.M.S. Nasarudin Latief. 2005. Teori dan Praktik Dakwah Islamiah. Jakarta: PT Firma Dara. hlm. 11
5

standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu
dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai sistem sosial pasti
menunjukan tingginya level internal masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini
dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan kompleks.
Kedua, fungsionalisme universal, bahwa semua bentuk dan struktur sosial
kultural memiliki fungsi positif. Merton memiliki pendapat bahwa ini bertentangan
dengan apa yang kita temukan di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat
istiadat, gagasan, keyakinan, dan lain sebagainya, memiliki fungsi positif.
Ketiga, postulat indispensabilitas. Seluruh aspek standar masyarakat tidak
hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan. Pernyataan ini mengarah pada gagasan yaknni seluruh
struktur dan fungsi secara fungsional dipwerlukan oleh masyarakat.4
Komodifikasi Agama
Komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain berarti benda
komersial atau objek perdagangan. Jadi, komodifikasi agama adalah komersialisasi
agama atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang
dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Ketika teknologi dikombinasikan
dengan “kapitalis” maka semangat dan formula ekonomisasi memasuki ke berbagai
sektor kehidupan. Tidak lepas juga sektor budaya dan agama yang dikemas
sedemikian rupa dijadikan sebuah komoditi. Potensi pasar pada umat beragama di
Indonesia khususnya umat Islam yang sangat menjanjikan menjadikan peluang bisnis
baru dalam menjual nilai agama, tentunya dengan memiliki tampilan yang mudah
diterima.
Komodifikasi agama lahir dikarenakan adanya cunsumer ritualized symbolic
practices (konsumsi simbol keagamaan). Konsumsi simbol keagamaan mengandung
lima faktor pendukung yaitu :
a. Konsumsi simbol keagamaan menciptakan objek dari agama yang dapat dijual
dan dikonsumsi melalui proses sosial dan disebarkan dengan jaringan sosial yang
ada dalam masyarakat. Contoh sederhana adalah penjualan buku-buku agama.

4
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutahir Teori Sosial Postmodern. Bantul: LKPM. Hal 268
6

b. Konsumsi simbol keagamaan menciptakan pembelaan agama pada komunitas


sosial. Kegiatan atau ritual yang telah biasa dilakukan diobjektifikasi setelah itu
mendapat pembelaan seperti sebuah produk.
c. Konsumsi simbol keagamaan menciptakan pertunjukan/tontonan agama.
d. Konsumsi simbol keagamaan sebagai lahan pencarian keuntungan dan pencarian
ketenangan psikologi.
e. Konsumsi simbol keagamaan sebagai pengembang layanan yang rasional. Hal ini
dipengaruhi oleh teori moderenisasi seperti Mcdonalization, praktek atau
kegiatan keagamaan harus diciptakan serasional mungkin agar dapat diterima
oleh masyarakat perkotaan.5
Teori Pertukaran
Vincent Miller (2004) mencatat dua macam dinamika yang terjadi dalam
komodifikasi agama. Yang pertama adalah hasrat manusia yang tanpa batas akan
“barang” seperti yang dikemukakan oleh Campbell (1999) yang juga merupakan ciri-
ciri budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme membutuhkan obyek bagi pasar
dan menggunakan “elemen budaya yang paling siap diciptakan untuk membatasi
elemen-elemen pertukaran.” (2004:78). Hal ini membutuhkan komodifikasi musik,
gambar-gambar, dan obyek-obyek keagamaan yang terpisah dari tradisi yang
menciptakan mereka. Manusia menciptakan identitas keagamaan mereka di luar
(pemahaman akan) barang-barang yang sesat ini, mereka hanya membeli dan
mengkonsumsi apa yang menurut mereka eksotik dan menarik. Juga untuk
mengkomodifikasi sebuah obyek kebudayaan, haruslah hal-hal demikian bersifat
abstrak dan lunak agar dapat menarik perhatian orang banyak. Produk kebudayaan
yang akan dipasarkan juga tidak boleh menyinggung atau membuat marah
pembelinya.Sebuah tradisi dicomot untuk menciptakan konten simbolik (produk)
mereka, untuk kemudian dikemas ulang dan disesuaikan dengan cara membuang hal-
hal yang berbau etik, politik, dan komunal dalam tradisi aslinya. Tradisi dihargai
sebagai sumber-sumber “perumpamaan yang puitis dan imajinatif”. Sementara

5
Riezqie Hasanah. 2010. Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
7

logika, sistem doktrin, dan aturan praktik praktik mereka dihilangkan demi kekakuan
dan eksklusivitas mereka. (Miller 2004:84).
John Drane (2001) membahas isu konsumerisme agama dari sudut yang
berbeda. Berpijak pada teori Ritzer tentang McDonaldisasi (2000), ia berpendapat,
agama mendapati dirinya terperangkap dalam kerangkeng besi sistem yang rasional.
Karena sebagian besar masyarakat didasarkan pada proses-proses yang
terrasionalisasi ini, tidaklah mengejutkan jika sistem itu diterapkan dalam kehidupan
beragama,”Kami suka sistem yang dirasionalisasi, dan mencoba untuk
menerapkannya dalam segala hal, mulai dari ideologi, hingga cara kami menyambut
tamu dalam pelayanan Minggu kami (di gereja-red).” (Drane 2001: 41). Drane
melengkapi empat ciri McDonaldisasi yang berbeda untuk menggambarkan betapa
meratanya konsumerisme dalam gereja Kristen.
Praktik simbol ritual konsumen adalah cara di mana orang memperlakukan
obyek budaya sebagai komoditas untuk diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi
seperti komoditi lainnya. Komponen kunci dari praktik simbol ritual konsumen
adalah ciri-ciri kebiasan interpretasi dan keterlibatan sebuah masyarakat konsumen
yang ditemukan melalui sebuah analisis ekstensif dari sumber-sumber literatur, teori,
dan deskripsi tentang konsumerisme (telah dibahas di awal paper ini). Dinyatakan,
bahwa hal-hal yang berbeda dari praktik simbol ritual konsumen adalah tema
simbolik pokok (arti) yang ditafsirkan atau diungkapkan melalui praktik-praktik ritual
ini (ada lebih dari satu tema yang bisa diungkapkan dalam suatu ritual tertentu). Teori
yang membutuhkan pembuktian lebih jauh disajikan dengan menghubungkan tulisan-
tulisan sebelumnya tentang budaya konsumerisme dengan konsep praktik simbol
ritual konsumen. Rumusan teoretik ini akan diuji (dan direkayasa jika diperlukan)
berdasarkan penyelidikan atas organisasi keagamaan tertentu.
Lebih tepatnya, praktik simbol ritual konsumen adalah praktik-praktik ritual
di mana agama dilibatkan dalam sebuah bentuk yang sudah terkomodifikasi dan
melibatkan satu atau lebih pihak lainya.
8

1. Praktik simbol ritual konsumen membuat agama menjadi sebuah obyek


keagamaan yang terpisah dan sesat untuk dipasarkan dan dikonsumsi.
2. Praktik simbol ritual konsumen menciptakan cap keagamaan bagi komunikasi
dan konsumsi social.
3. Praktik simbol ritual konsumen membuat agama sebagai tontonan.
4. Praktik simbol ritual konsumen membuat agama sebagai celah untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi dan psikologi.
5. Praktik simbol ritual konsumen membuat agama menjadi penyedia jasa yang
terrasionalisasi.
BENTUK KOMERSIALISASI YANG DILAKUKAN OLEH USTADZ
Fenomena Ustadz yang saat ini sedang eksis di media massa khususnya
elektronik, memang sudah terjadi sejak lama. Kemunculan berbagai karakter yang
berbeda serta pembawaan dakwah yang berbeda pula membuat sebuah ciri khas
khusus untuk para Ustadz. Ustadz yang berniat baik, dan selama ini dikenal karena
tausiyah-tausiyahnya yang memotivasi dan menyejukkan hati umat, menjadi seolah
banyak yang memanfaatkan keadaan.
Kabar soal Ustadz Solmed atau biasa dipanggil SM minta tarif selangit untuk
ceramah di Hong Kong kembali memantik persoalan klasik soal etiskah tindakan
yang dilakukan oleh Ustadz Solmed tersebut. Sebagian besar dari kita tentu
menganggap komersialisasi agama tidak etis. Seorang Ustadz tak sepatutnya
memasang tarif ketika berceramah, apalagi sampai selangit seperti diungkap ibu K
seorang pemimpin majelis Thoriqul Jannah di Hong Kong yang semula berniat
mengundang Ustadz Solmed ceramah.
Tetapi yang menarik untuk dibahas juga sebenarnya adalah kenapa sampai
Ustadz Solmed yang diundang ke Hong Kong oleh majelis taklim di sana untuk
berceramah? Penjelasannya sederhana saja. Tak bisa dipungkiri Solmed seorang yang
populer. Namanya harum tak cuma di sinetron Nusantara, tapi juga sampai ke
9

warga Indonesia yang berada di Hong Kong. Mengundang Ustadz Solmed


berceramah sebetulnya adalah sebuah pilihan logis.
Seorang Ustadz populer seperti Ustadz Solmed, misalnya, pastilah
mengundang banyak hadirin yang tertarik untuk datang, ketimbang misalnya panitia
mengundang Ustadz yang tak populer. Perlu dicatat, pertimbangan logis pertama
alasan Solmed diundang adalah popularitas, bukan tingkat keilmuan. Adalah sebuah
kebanggan tersendiri bagi panitia bisa mengundang sosok tenar di tanah air. Pada titik
ini, mengundang Ustadz Solmed tak ubahnya mengundang Krisdayanti atau Anang
dan Ashanty.
Yang menjadi persoalan, rasanya tak mengapa bila ada penyanyi yang pasang
tarif selangit. Hal yang sama menjadi tak biasa bila yang meminta adalah Ustadz.
Pandangan yang umum, komersialisasi agama adalah hal yang ditabukan. Namun,
meski ditabukan komersialisasi agama sebetulnya tak bisa dihindari saat ini. Ustadz
zaman sekarang, apalagi yang sering muncul di TV dan infotainment, sejatinya
adalah selebriti seperti penyanyi, permain sinetron, atau bintang film. Ketika hendak
mengundang Ustadz seleb, penyelenggara sepatutnya sudah waspada jika akan
menemukan hal-hal semacam persoalan yang tengah terjadi ini. Penyelenggara acara
tak menjadikan popularitas Ustadz sebagai patokan utama, dan sang Ustadz
sepatutnya tak mengkomersilkan dakwahnya.
KOMERSIALISASI dan KAPITALISASI DAKWAH SEBAGAI BENTUK
KOMODIFIKASI AGAMA
Dakwah yang merupakan salah satu cara sosialisasi dalam agama mampu
memberikan jalan untuk masyarakat beragama melakukan ritual beragamanya.
Dengan adanya dakwah yang dilakukan oleh seorang Ustadz, maka terjadi suatu
internalisasi -nilai dan norma agama Islam kepada masyarakat. Sejatinya pada tataran
praktik dakwah harus melibatkan tiga unsur, yakni berupa penyampaian pesan, isi
materi atau informasi yang disampaikan, dan penerimaan pesan. Namun dakwah
mengandung arti yang lebih luas lagi dari istilah-istilah tersebut, karena istilah
10

dakwah mengandung arti sebagai aktivitas menyampaikan ajaran yang ada pada
agama islam, melarang perbuatan munkar dan memrintahkan untuk berlaku baik,
serta memberikan kabar gembira dan memberi peringatan bagi manusia.
Selain itu, da’wah juga memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat
mengenai agama yang dianutnya. Dari adanya dakwah tersebut, kemudian menjadi
suatu kebutuhan bagi masyarakat, karena isi dari dakwah tersebut mengandung
ajaran-ajaran tentang agama Islam yang berguna bagi masyarakat sebagai pedoman
dalam menjalani suatu kehidupan. Namun karena Indonesia juga merupakan Negara
yang juga dituntut untuk mengikuti arus globalisasi dan modernisasi maka rata-rata
masyarakat Indonesia membutuhkan efektifitas dan efisiensi public dalam menerima
dakwah yang disampaikan oleh para Ustadz. Hal ini dapat dilihat bahwa acara
dakwah dapat dikonsumsi secara instan sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia
melalui media elektronik. Dan ini membuat suatu keuntungan atau profit bagi pelaku
pasar dan aktor yang melakukan dakwah tersebut. Ulama saat ini berkaitan dengan
hal ekonomi dalam menjalankan dakwahnya.
Dalam kasus Ustadz Solmed yang memasang tarif selangit untuk berceramah di
Hongkong dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif sosiologi.
Pertama, dalam perspektif struktural fungsional dapat dilihat adanya disfungsi
dakwah pada saat ini. Saat ini dakwah bukan lagi sebagai sesuatu yang sakral, tetapi
dakwah merupakan alat komersialisasi agama. Ini terlihat adanya komersialisasi dan
kapitalisasi dakwah yang dilakukan oleh Ustadz Solmed. Adanya pergeseran fungsi
dakwah tersebut, disebabkan karena adanya modernisasi yang terjadi. Modernisasi
menghilangkan unsur-unsur asli dakwah. Inilah yang membuat dakwah bukan lagi
dijadikan sebagai sesuatu yang sakral, melainkan dijadikan komersialisasi oleh aktor
yang melakukan dakwah tersebut. Selain karena faktor tersebut, faktor lain yang
membuat disfungsi peran dakwah adalah menjadikan dakwah sebagai hiburan semata
bukan dijadikan kebutuhan rohani. Fungsi dakwah untuk menyebarkan ajaran agama,
melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi, dan fungsi sebagai korektif
11

yaitu untuk meluruskan akhlak dan mencegah kemungkaran seperti hanya sebagai
materi ceramah saja. Umat sebagai penonton seolah lebih banyak menginginkan
mengikuti dakwah seorang Ustadz yang populer lebih seperti mengikuti suatu trend
saat ini saja, penonton datang bukan untuk mendengarkan ceramah saja namun untuk
melihat Ustadz idola mereka berdakwah atau untuk masuk televisi saja. Dan tak
segan membayar lebih untuk hanya sekedar dapat bertemu dengan sang idola.
Kecenderungan masyarakat kota terhadap nilai keagamaan seperti dikutip pada
skripsi yang dibuat oleh Riezqy Hasanah yang berjudul “Pola Komodifikasi Agama:
Studi Tentang ESQ Leadership Center “bahwa nilai keagamaan cenderung kepada
pencarian makna kehidupan, perdebatan intelektual dan peningkatan wawansan,
sebagai solusi problem psikologis, mengikuti trend keagamaan dan komodifikasi
agama untuk kepentingan ekonomi.6 Mengenai kasus Ustadz Solmed yang
berkembang dimasyarakat bahwa Ustadz tersebut memasang tarif selangit untuk
berceramah di Hongkong merupakan bentuk dari komodifikasi agama. Disini
komodifikasi agama adalah komersialisasi dan kapitalisasi agama atau mengubah
keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan
untuk mendapat keuntungan. Ketika teknologi dikombinasikan dengan “kapitalis”
maka semangat dan formula ekonomisasi memasuki ke berbagai sektor kehidupan.
Tidak lepas juga sektor budaya dan agama yang dikemas sedemikian rupa dijadikan
sebuah komoditi. Potensi pasar ummat beragama di Indonesia lebih khusus lagi
ummat Islam yang sangat menjanjikan menjadikan peluang bisnis baru dalam
menjual nilai-nilai agama, tentunya dengan tampilan yang mudah diterima. Hal ini
dilihat sebagai keuntungan atau profit bagi pelaku pasar sehingga diciptakanlah acara
dakwah yang dapat di konsumsi secara cepat sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia.
Jadi, disini bahwa Ustadz Solmed menjadikan dakwah sebagai komersialisasi
karena memasarkan dakwahnya kepada masyarakat. Dakwah yang berisi ajaran-
ajaran tentang keagamaan Islam dijadikan sebagai alat komersialisasi. Hal ini

6
Riezqie Hasanah, Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. 2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
12

dilakukan Ustadz Solmed supaya mendapatkan keuntungan yang maksimal untuk


dirinya, dimana ia memasang tarif yang tinggi dalam berceramah. Dapat dilihat
bahwa komersialisasi dan kapitalisasi terjadi pada kegiatan ceramah atau dakwah.
Sang aktor dakwah memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin. Terlihat dari adanya kasus Ustadz Solmed memasang tarif yang
dapat dikatakan tinggi kepada pihak Majelis Taklim di Hong Kong. Dalam kasus
tersebut dapat kita lihat bahwa adanya komodifikasi agama, karena terjadi
pengkomersialisasian dakwah dengan memasang tarif yang tinggi.
Selain itu praktik-praktik ritual dakwah tersebut dilibatkan dalam sebuah
bentuk yang sudah terkomodifikasi dan melibatkan satu atau lebih pihak lainya.
Disini terlihat adanya praktik simbol ritual konsumen yang merupakan cara di mana
orang memperlakukan obyek budaya sebagai komoditas untuk diproduksi,
dipasarkan, dan dikonsumsi seperti komoditi lainnya. Dalam kasus Ustaz SM tersebut
bahwa praktik simbol ritual konsumen membuat agama menjadi sebuah obyek
keagamaan yang terpisah untuk dipasarkan dan dikonsumsi. Selain itu.
Komersialisasi dan kapitalisasi dakwah menjadikan dakwah sebagai tontonan. Ini
disebabkan karena masyarakat ingin menerima dakwah secara instan, dimana mereka
tidak harus pergi ketempat dakwah tersebut diselenggarakan. Ini bisa dilihat dari
adanya acara dakwah yang ditayangkan di TV. Ini bisa dilakukan dengan
komersialisasi dan kapitalisasi pada media elektronik.
Salah satu ciri dari media elektronik adalah budaya komersialisasi. Budaya
komersialisasi tidak bisa untuk tidak dilakukan. Dalam kasus ini dakwah yang
bintang utamanya adalah Ustadz-Ustadz yang bisa dikatakan mempunyai trik-trik
berdakwah sehingga memiliki lebih banyak hiburan meskipun terjadi pendangkalan
tema-tema dakwah. Dalam kebudayaan modern, terutama pengaruh televisi,
seseorang memilih produk karena mengenal produk tersebut bukan karena kualitas
produk tersebut. Sama halnya dengan iklan yang terus menerus diulang. Repetisi
dalam iklan itu hanya untuk memperkenalkan saja. Dalam kasus ini mubalig-mubalig
13

seperti Ustadz Solmed itu sering muncul ditelevisi yang awalnya dari Ustadz Solmed
yang bermain dalam film “cinta rock n roll” yang tayang setiap hari akhirnya Ustadz
tersebut semakin dikenal. Karena Ustadz Solmed sering muncul di televisi, maka
Ustadz itu menjadi popular bukan karena isi dakwahnya melainkan karena sering
tayang di televisi. Karena seringnya muncul di televisi membuat Ustadz Solmed di
kenal dan membuat masyarakat ingin melihat dakwahnya secara langsung. Jadi, disini
dakwah dijadikan sebagai tontonan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
secara instan.
Seperti yang dibahas hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan dahwah
untuk menghidupkan kembali hati seorang umat untuk mengikuti ajaran agamanya
dengan benar dan mendapatkan pengampunan serta menghindarkan adzab dari Allah
serta untuk menyembah tuhan selain Allah. Sayangnya tujuan seperti ini tidak lagi
diprioritaskan menjadi tujuan utama. Dalam hal ini terdapat komodifikasi dakwah
Ustadz-Ustadz di media elektronik. Tak jarang ciri khas yang dilakukan oleh
beberapa Ustadz menjadi bahan cemo’ohan dan kritikan beberapa umat muslim
bahkan non-muslim. Dakwah sejatinya adalah pelayanan kepada masyarakat
beragama. Tetapi efektifitas dan efisiensi publik akibat dari modernisasi yang
menuntut masyarakat untuk mengkonsumsi dakwah. Dakwah yang semula
merupakan aturan sosial non-pasar dipaksa untuk tunduk pada aturan pasar. Media
elektronik seperti televisi menjadikan agama yang memang tak bisa terpisahkan dari
seseorang yang beragama menjadi sebuah komoditas untuk meraih keuntungan.
Dakwah dikemas sesuai selera pasar. Dakwah menjadi saran hiburan sehingga
dakwah sekarang ini menjadi bergeser perannya. Komodifikasi terhadap dakwah ini
menimbulkan keprihatinan karena agama adalah semula itu sesuatu yang sacral
menjadi hanya sebagai pemanis dari realitas hal hal yang profan.

KESIMPULAN
14

Ustadz yang berdakwah saat ini sudah mengelami disfungsi saat menjalankan
perannya untuk melakukan dakwah tersebut. Dakwah cenderung dijadikan sebagai
alat untuk komersialisasi dan kapitalisme dengan mengatas namakan agama bukan
lagi sebagai media untuk menyebarkan sebuah ajaran agama saja. Bentuk
komodifikasi yang muncul pada saat ini contohnya dalah memasang tarif untuk
berdakwah. Hal tersebut sesungguhnya sangatlah disayangkan. Seorang umat untuk
mendapatkan sebuah sentuhan rohani dan ceramah mengenai agamanya sendiri dari
seseorang yang dianggap mengerti sepenuhnya mengenai agama justu membuat
tokoh agama tersebut seolah menunjukan sisi kapitalisnya, dalam hal ini membayar
tiket masuk untuk mendengarkan ceramah Ustadz tersebut.
Budaya komersialisasi juga berpengaruh dengan bentuk komodifikasi yang
saat ini banyak dilakukan oleh Ustadz. Kebanyakan Ustadz yang memiliki ciri khas
dalam berdakwah memiliki banyak tawaran untuk tampil diberbagai acara televisi.
Hal tersebut membuat mengubah perspektif masyarakat yang kini beranggpan bahwa
dakwah hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan karena dibanding materi ceramah
yang dibawakan terkadang Ustadz lebih banyak bercanda atau membicarakan
kehidupan pribadinya. Seperti yang dilakukan oleh Ustadz Solmed ini. Beliau hingga
dijuluki sebagi Ustadz seleb katena dibandingkan berdakwah, beliau lebih sering
muncul pada acara infotaiment. Hal tersebut yang membuat dirinya menjadi
sepopuler saat ini.
Dalam hal ini terdapat komodifikasi dakwah Ustadz-Ustadz di media
elektronik. Tak jarang ciri khas yang dilakukan oleh beberapa Ustadz menjadi bahan
cemo’ohan dan kritikan beberapa umat muslim bahkan non-muslim. Dakwah
sejatinya adalah pelayanan kepada masyarakat beragama. Tetapi efektifitas dan
efisiensi publik akibat dari modernisasi yang menuntut masyarakat untuk
mengkonsumsi dakwah. Dakwah dikemas sesuai selera pasar. Dakwah menjadi saran
hiburan sehingga dakwah sekarang ini menjadi bergeser perannya. Komodifikasi
15

terhadap dakwah ini menimbulkan keprihatinan karena agama adalah semula itu
sesuatu yang sacral menjadi hanya sebagai pemanis dari realitas hal hal yang profan.

SARAN
Media pertelevisian dan para aktor yang berperan dalam komodifikasi agama
secara dakwah ini tidak semakin berlarut-larut melakukan praktik kapitalis dengan
menkomesilkan sebuah media dakwah menjadi bagian dari hiburan pada salah satu
program acaranya. Acara yang bertajuk rohani seharusnya dijadikan sesuatu yang
sakral. Para Ustadz kini kembali menjalankan fungsinya sebagi penyebar ajaran
agama dan menjadikan umat kembali kepada jalan yang benar tanpa harus
mengharapkan imbalan berlebih dan sesuai dengan tujuan awal.
16

DAFTAR PUSTAKA

Hasanah, R. (2010). Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership


Center. Skripsi . Universitas Negeri Jakarta

Hendropuspito. (1983). Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Latief, H. M. (2005). Teori dan Praktik Dakwah Islamiah. Jakrta: PT Firma Dara.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: LKPM.

Anda mungkin juga menyukai