PENDAHULUAN
Pada hakikatnya ulama merupakan manusia yang memiliki posisi istimewa
dalam Islam dan mempunyai wawasan mengenai keagamaan dan menjadi teladan
bagi masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap agama Islam. Keistimewaan
tersebut sangat sederhana dan dapat diketahui oleh siapapun bahwa ulama merupakan
seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang kealaman dan keagamaan.
Masyarakat Indonesia tentunya memiliki perspektif bahwa orang yang memiliki
wawasan mengenai kealaman dan keagamaan, memiliki rpotensi menjadi ulama
selagi wawasan keilmuannya dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah dan
mengakui kebesaran-Nya. Kedudukan ulama sangat penting didalam lingkungan
masyarakat, karena prilakunya akan dijadikan sebagai suri teladan umat dalam
kehidupan sehari-hari.
Tetapi dalam realitasnya, bahwa sosok ulama pada saat ini tidak seperti sosok
ulama pada saat dulu. Sebelumnya, ulama merupakan sosok yang teladan dan
menjalankan dakwahnya kepada masyarakat dengan penuh ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apapun. Ini berbeda dengan keadaan ulama saat ini.
2
Sayangnya sosok ulama pada kehidupan saat ini dalam menjalankan dakwahnya
berkaitan dengan ekonomi, seperti yang kita ketahui uang yang menjadi tolak ukur
dalam menjalankan dakwahnya. Ini disebabkan karena faktor modernisasi di dalam
kehidupan masyarakat saat ini. Intinya kehidupan masyarakat yang modern ditandai
oleh menguatnya rasionalitas dan melemahnya peran agama sehingga masyarakat kini
lebih condong kepada masyarakat sekuler. Modernisasi juga ditandai adanya
pengetahuan, teknologi, dan perkembangan ekonomi. Proses modernisasi saat ini
ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perkembangan ekonomi yang diprediksi akan mengambil peran dan posisi agama
dalam masyarakat.
Sejarah mengungkapkan bahwa agama merupakan sesuatu yang sakral.
Agama sangat dijunjung tinggi dan diposisikan sebagai hal yang sangat penting oleh
setiap orang yang menganutnya. Peran ulama pada kehidupan sosial salah satunya
melakukan ceramah rohani secara rutin, ceramah tersebut biasanya dilakukan di
ruang-ruang publik dan diberbagai acara keagamaan. Hampir pada semua
permasalahan pada aspek sosial pada saat itu yang dialami oleh masyarakat biasanya
akan diceritakan kepada ulama/ tokoh agama untuk dimintai pendapat. Para ulama
menjadi konsultan dari berbagai persoalan sosial hingga pada problem keluarga.
Modernisasi pada kehidupan manusia kemudian menggeser peran ulama. Persoalan
sosial itu kini sudah terfragmentasi kedalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan
keahlian dari pengelolaan lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu
modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan telah menggeser posisi agama.
Namun tidak semerta merta dapat diartikan bahwa agama akan kehilangan fungsi dan
menghilang dari keyakinan umat manusia. Meskipun lembaga modern dianggap lebih
berperan ketimbang para ulama atau tokoh-tokoh agama, namun nilai-nilai
kepercayaan agama tampaknya masih menjadi pijakan bagi masyarakat. Kebutuhan
manusia terhadap agama menjadi sesuatu yang inheren di dalam dirinya. Munculnya
para pendakwah muda selebritis yang sering muncul di media televisi merupakan
3
1
Riezqie Hasanah, Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. 2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
4
standar bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu
dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai sistem sosial pasti
menunjukan tingginya level internal masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini
dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan kompleks.
Kedua, fungsionalisme universal, bahwa semua bentuk dan struktur sosial
kultural memiliki fungsi positif. Merton memiliki pendapat bahwa ini bertentangan
dengan apa yang kita temukan di dunia nyata. Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat
istiadat, gagasan, keyakinan, dan lain sebagainya, memiliki fungsi positif.
Ketiga, postulat indispensabilitas. Seluruh aspek standar masyarakat tidak
hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan bagian-bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan. Pernyataan ini mengarah pada gagasan yaknni seluruh
struktur dan fungsi secara fungsional dipwerlukan oleh masyarakat.4
Komodifikasi Agama
Komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain berarti benda
komersial atau objek perdagangan. Jadi, komodifikasi agama adalah komersialisasi
agama atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang
dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Ketika teknologi dikombinasikan
dengan “kapitalis” maka semangat dan formula ekonomisasi memasuki ke berbagai
sektor kehidupan. Tidak lepas juga sektor budaya dan agama yang dikemas
sedemikian rupa dijadikan sebuah komoditi. Potensi pasar pada umat beragama di
Indonesia khususnya umat Islam yang sangat menjanjikan menjadikan peluang bisnis
baru dalam menjual nilai agama, tentunya dengan memiliki tampilan yang mudah
diterima.
Komodifikasi agama lahir dikarenakan adanya cunsumer ritualized symbolic
practices (konsumsi simbol keagamaan). Konsumsi simbol keagamaan mengandung
lima faktor pendukung yaitu :
a. Konsumsi simbol keagamaan menciptakan objek dari agama yang dapat dijual
dan dikonsumsi melalui proses sosial dan disebarkan dengan jaringan sosial yang
ada dalam masyarakat. Contoh sederhana adalah penjualan buku-buku agama.
4
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutahir Teori Sosial Postmodern. Bantul: LKPM. Hal 268
6
5
Riezqie Hasanah. 2010. Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
7
logika, sistem doktrin, dan aturan praktik praktik mereka dihilangkan demi kekakuan
dan eksklusivitas mereka. (Miller 2004:84).
John Drane (2001) membahas isu konsumerisme agama dari sudut yang
berbeda. Berpijak pada teori Ritzer tentang McDonaldisasi (2000), ia berpendapat,
agama mendapati dirinya terperangkap dalam kerangkeng besi sistem yang rasional.
Karena sebagian besar masyarakat didasarkan pada proses-proses yang
terrasionalisasi ini, tidaklah mengejutkan jika sistem itu diterapkan dalam kehidupan
beragama,”Kami suka sistem yang dirasionalisasi, dan mencoba untuk
menerapkannya dalam segala hal, mulai dari ideologi, hingga cara kami menyambut
tamu dalam pelayanan Minggu kami (di gereja-red).” (Drane 2001: 41). Drane
melengkapi empat ciri McDonaldisasi yang berbeda untuk menggambarkan betapa
meratanya konsumerisme dalam gereja Kristen.
Praktik simbol ritual konsumen adalah cara di mana orang memperlakukan
obyek budaya sebagai komoditas untuk diproduksi, dipasarkan, dan dikonsumsi
seperti komoditi lainnya. Komponen kunci dari praktik simbol ritual konsumen
adalah ciri-ciri kebiasan interpretasi dan keterlibatan sebuah masyarakat konsumen
yang ditemukan melalui sebuah analisis ekstensif dari sumber-sumber literatur, teori,
dan deskripsi tentang konsumerisme (telah dibahas di awal paper ini). Dinyatakan,
bahwa hal-hal yang berbeda dari praktik simbol ritual konsumen adalah tema
simbolik pokok (arti) yang ditafsirkan atau diungkapkan melalui praktik-praktik ritual
ini (ada lebih dari satu tema yang bisa diungkapkan dalam suatu ritual tertentu). Teori
yang membutuhkan pembuktian lebih jauh disajikan dengan menghubungkan tulisan-
tulisan sebelumnya tentang budaya konsumerisme dengan konsep praktik simbol
ritual konsumen. Rumusan teoretik ini akan diuji (dan direkayasa jika diperlukan)
berdasarkan penyelidikan atas organisasi keagamaan tertentu.
Lebih tepatnya, praktik simbol ritual konsumen adalah praktik-praktik ritual
di mana agama dilibatkan dalam sebuah bentuk yang sudah terkomodifikasi dan
melibatkan satu atau lebih pihak lainya.
8
dakwah mengandung arti sebagai aktivitas menyampaikan ajaran yang ada pada
agama islam, melarang perbuatan munkar dan memrintahkan untuk berlaku baik,
serta memberikan kabar gembira dan memberi peringatan bagi manusia.
Selain itu, da’wah juga memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat
mengenai agama yang dianutnya. Dari adanya dakwah tersebut, kemudian menjadi
suatu kebutuhan bagi masyarakat, karena isi dari dakwah tersebut mengandung
ajaran-ajaran tentang agama Islam yang berguna bagi masyarakat sebagai pedoman
dalam menjalani suatu kehidupan. Namun karena Indonesia juga merupakan Negara
yang juga dituntut untuk mengikuti arus globalisasi dan modernisasi maka rata-rata
masyarakat Indonesia membutuhkan efektifitas dan efisiensi public dalam menerima
dakwah yang disampaikan oleh para Ustadz. Hal ini dapat dilihat bahwa acara
dakwah dapat dikonsumsi secara instan sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia
melalui media elektronik. Dan ini membuat suatu keuntungan atau profit bagi pelaku
pasar dan aktor yang melakukan dakwah tersebut. Ulama saat ini berkaitan dengan
hal ekonomi dalam menjalankan dakwahnya.
Dalam kasus Ustadz Solmed yang memasang tarif selangit untuk berceramah di
Hongkong dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif sosiologi.
Pertama, dalam perspektif struktural fungsional dapat dilihat adanya disfungsi
dakwah pada saat ini. Saat ini dakwah bukan lagi sebagai sesuatu yang sakral, tetapi
dakwah merupakan alat komersialisasi agama. Ini terlihat adanya komersialisasi dan
kapitalisasi dakwah yang dilakukan oleh Ustadz Solmed. Adanya pergeseran fungsi
dakwah tersebut, disebabkan karena adanya modernisasi yang terjadi. Modernisasi
menghilangkan unsur-unsur asli dakwah. Inilah yang membuat dakwah bukan lagi
dijadikan sebagai sesuatu yang sakral, melainkan dijadikan komersialisasi oleh aktor
yang melakukan dakwah tersebut. Selain karena faktor tersebut, faktor lain yang
membuat disfungsi peran dakwah adalah menjadikan dakwah sebagai hiburan semata
bukan dijadikan kebutuhan rohani. Fungsi dakwah untuk menyebarkan ajaran agama,
melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi, dan fungsi sebagai korektif
11
yaitu untuk meluruskan akhlak dan mencegah kemungkaran seperti hanya sebagai
materi ceramah saja. Umat sebagai penonton seolah lebih banyak menginginkan
mengikuti dakwah seorang Ustadz yang populer lebih seperti mengikuti suatu trend
saat ini saja, penonton datang bukan untuk mendengarkan ceramah saja namun untuk
melihat Ustadz idola mereka berdakwah atau untuk masuk televisi saja. Dan tak
segan membayar lebih untuk hanya sekedar dapat bertemu dengan sang idola.
Kecenderungan masyarakat kota terhadap nilai keagamaan seperti dikutip pada
skripsi yang dibuat oleh Riezqy Hasanah yang berjudul “Pola Komodifikasi Agama:
Studi Tentang ESQ Leadership Center “bahwa nilai keagamaan cenderung kepada
pencarian makna kehidupan, perdebatan intelektual dan peningkatan wawansan,
sebagai solusi problem psikologis, mengikuti trend keagamaan dan komodifikasi
agama untuk kepentingan ekonomi.6 Mengenai kasus Ustadz Solmed yang
berkembang dimasyarakat bahwa Ustadz tersebut memasang tarif selangit untuk
berceramah di Hongkong merupakan bentuk dari komodifikasi agama. Disini
komodifikasi agama adalah komersialisasi dan kapitalisasi agama atau mengubah
keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan
untuk mendapat keuntungan. Ketika teknologi dikombinasikan dengan “kapitalis”
maka semangat dan formula ekonomisasi memasuki ke berbagai sektor kehidupan.
Tidak lepas juga sektor budaya dan agama yang dikemas sedemikian rupa dijadikan
sebuah komoditi. Potensi pasar ummat beragama di Indonesia lebih khusus lagi
ummat Islam yang sangat menjanjikan menjadikan peluang bisnis baru dalam
menjual nilai-nilai agama, tentunya dengan tampilan yang mudah diterima. Hal ini
dilihat sebagai keuntungan atau profit bagi pelaku pasar sehingga diciptakanlah acara
dakwah yang dapat di konsumsi secara cepat sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia.
Jadi, disini bahwa Ustadz Solmed menjadikan dakwah sebagai komersialisasi
karena memasarkan dakwahnya kepada masyarakat. Dakwah yang berisi ajaran-
ajaran tentang keagamaan Islam dijadikan sebagai alat komersialisasi. Hal ini
6
Riezqie Hasanah, Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center. 2010. Skripsi.
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
12
seperti Ustadz Solmed itu sering muncul ditelevisi yang awalnya dari Ustadz Solmed
yang bermain dalam film “cinta rock n roll” yang tayang setiap hari akhirnya Ustadz
tersebut semakin dikenal. Karena Ustadz Solmed sering muncul di televisi, maka
Ustadz itu menjadi popular bukan karena isi dakwahnya melainkan karena sering
tayang di televisi. Karena seringnya muncul di televisi membuat Ustadz Solmed di
kenal dan membuat masyarakat ingin melihat dakwahnya secara langsung. Jadi, disini
dakwah dijadikan sebagai tontonan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
secara instan.
Seperti yang dibahas hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan dahwah
untuk menghidupkan kembali hati seorang umat untuk mengikuti ajaran agamanya
dengan benar dan mendapatkan pengampunan serta menghindarkan adzab dari Allah
serta untuk menyembah tuhan selain Allah. Sayangnya tujuan seperti ini tidak lagi
diprioritaskan menjadi tujuan utama. Dalam hal ini terdapat komodifikasi dakwah
Ustadz-Ustadz di media elektronik. Tak jarang ciri khas yang dilakukan oleh
beberapa Ustadz menjadi bahan cemo’ohan dan kritikan beberapa umat muslim
bahkan non-muslim. Dakwah sejatinya adalah pelayanan kepada masyarakat
beragama. Tetapi efektifitas dan efisiensi publik akibat dari modernisasi yang
menuntut masyarakat untuk mengkonsumsi dakwah. Dakwah yang semula
merupakan aturan sosial non-pasar dipaksa untuk tunduk pada aturan pasar. Media
elektronik seperti televisi menjadikan agama yang memang tak bisa terpisahkan dari
seseorang yang beragama menjadi sebuah komoditas untuk meraih keuntungan.
Dakwah dikemas sesuai selera pasar. Dakwah menjadi saran hiburan sehingga
dakwah sekarang ini menjadi bergeser perannya. Komodifikasi terhadap dakwah ini
menimbulkan keprihatinan karena agama adalah semula itu sesuatu yang sacral
menjadi hanya sebagai pemanis dari realitas hal hal yang profan.
KESIMPULAN
14
Ustadz yang berdakwah saat ini sudah mengelami disfungsi saat menjalankan
perannya untuk melakukan dakwah tersebut. Dakwah cenderung dijadikan sebagai
alat untuk komersialisasi dan kapitalisme dengan mengatas namakan agama bukan
lagi sebagai media untuk menyebarkan sebuah ajaran agama saja. Bentuk
komodifikasi yang muncul pada saat ini contohnya dalah memasang tarif untuk
berdakwah. Hal tersebut sesungguhnya sangatlah disayangkan. Seorang umat untuk
mendapatkan sebuah sentuhan rohani dan ceramah mengenai agamanya sendiri dari
seseorang yang dianggap mengerti sepenuhnya mengenai agama justu membuat
tokoh agama tersebut seolah menunjukan sisi kapitalisnya, dalam hal ini membayar
tiket masuk untuk mendengarkan ceramah Ustadz tersebut.
Budaya komersialisasi juga berpengaruh dengan bentuk komodifikasi yang
saat ini banyak dilakukan oleh Ustadz. Kebanyakan Ustadz yang memiliki ciri khas
dalam berdakwah memiliki banyak tawaran untuk tampil diberbagai acara televisi.
Hal tersebut membuat mengubah perspektif masyarakat yang kini beranggpan bahwa
dakwah hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan karena dibanding materi ceramah
yang dibawakan terkadang Ustadz lebih banyak bercanda atau membicarakan
kehidupan pribadinya. Seperti yang dilakukan oleh Ustadz Solmed ini. Beliau hingga
dijuluki sebagi Ustadz seleb katena dibandingkan berdakwah, beliau lebih sering
muncul pada acara infotaiment. Hal tersebut yang membuat dirinya menjadi
sepopuler saat ini.
Dalam hal ini terdapat komodifikasi dakwah Ustadz-Ustadz di media
elektronik. Tak jarang ciri khas yang dilakukan oleh beberapa Ustadz menjadi bahan
cemo’ohan dan kritikan beberapa umat muslim bahkan non-muslim. Dakwah
sejatinya adalah pelayanan kepada masyarakat beragama. Tetapi efektifitas dan
efisiensi publik akibat dari modernisasi yang menuntut masyarakat untuk
mengkonsumsi dakwah. Dakwah dikemas sesuai selera pasar. Dakwah menjadi saran
hiburan sehingga dakwah sekarang ini menjadi bergeser perannya. Komodifikasi
15
terhadap dakwah ini menimbulkan keprihatinan karena agama adalah semula itu
sesuatu yang sacral menjadi hanya sebagai pemanis dari realitas hal hal yang profan.
SARAN
Media pertelevisian dan para aktor yang berperan dalam komodifikasi agama
secara dakwah ini tidak semakin berlarut-larut melakukan praktik kapitalis dengan
menkomesilkan sebuah media dakwah menjadi bagian dari hiburan pada salah satu
program acaranya. Acara yang bertajuk rohani seharusnya dijadikan sesuatu yang
sakral. Para Ustadz kini kembali menjalankan fungsinya sebagi penyebar ajaran
agama dan menjadikan umat kembali kepada jalan yang benar tanpa harus
mengharapkan imbalan berlebih dan sesuai dengan tujuan awal.
16
DAFTAR PUSTAKA
Latief, H. M. (2005). Teori dan Praktik Dakwah Islamiah. Jakrta: PT Firma Dara.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2011). Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: LKPM.