PENDAHULUAN
Seperti yang diyakini banyak ahli dunia ini, tanpa kecuali sedang
mengalami proses modernisasi besar-besaran. Menurut ajaran Islam, perubahan
merupakan bagian dari Sunnatullah dan merupakan salah satu ciri umat manusia
dan alam semesta secara keseluruhan. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat,
kelompok masyarakat, dan lingkungan hidup mengalami perubahan. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan Scott Gordon tentang kemajuan, yaitu segala
sesuatu melalui evolusi, pergerakan atau perubahan. “Semuanya harus berubah,
menuju hal-hal baru dan aneh”.1
Modernisasi selalu dikaitkan dengan globalisasi dan berimplikasi pada
perubahan tatanan sosial dan intelektual, yang dibarengi dengan masuknya budaya
impor ke dalam masyarakat. Menurut Boeke, ketika budaya impor yang lebih
maju, unsur kapitalisnya bertemu dengan budaya tradisional lokal, maka akan
terjadi pergulatan antara budaya asing dan budaya lokal. Perang antara dua
1
Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science (New York: Routledge,
1991), Hal. 148-154.
budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan antagonisme, namun elemen-elemen
yang terpinggirkan pada akhirnya menjadi tidak berfungsi dan digantikan oleh
elemen-elemen baru yang dapat dimenangkan oleh Impor. Seringkali unsur-unsur
lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat adat.2
Selain masuknya budaya asing, globalisasi juga tidak lepas dari
permasalahan sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan-akan merupakan
satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur. Konsekuensinya, ajaran dan
dogmatisme agama, termasuk Islam, yang semula sakral sedikit demi sedikit
mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah mengalami
perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada dataran itu pun akhirnya
menjadi profan, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi seringkali
dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial
(pola-pola perilaku dan interaksi sosial). 3
Perubahan itu berbentuk, antara lain; perubahan tatanan hubungan
tradisional antara masyarakat, pemerintah dan agama, di mana masyarakat sakral-
integralis, yang sebelumnya diatur oleh sistem-sistem religiopolitik, bergerak
menuju transformasi baru sebagai masyarakat pluralis non-sakral. Dari kenyataan
seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah
tantangan. di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam
dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus
ditampilkan guna menghadapi modernisasi dalam kehidupan publik, sosial,
ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.
Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai
keberagaman. Keberagaman itu meliputi aneka pulau, suku bangsa, bahasa,
kebudayaan, pluralitas agama, dan sebagainya. Dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia, perbincangan mengenai peran agama dalam negara ini masih selalu
relevan dan dinamis. Sejak sebelum berdirinya negara ini, agama memainkan
peranan yang penting, baik itu menyangkut tokoh-tokoh pemikir bangsa, maupun
ideologi yang hendak ditawarkan guna dijadikan dasar negara. Zaman berganti,
2
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), Hal. 10.
3
Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Hal. 4.
persoalan seputar agama pun sedikit mengalami pergeseran. Dewasa ini, selain
upaya orientasi ideologi nasional berdasarkan agama nasional, kemajuan
peradaban dunia juga memunculkan permasalahan baru. Isu baru ini menyangkut
keberadaan dan daya tarik agama bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sejumlah
kecil masyarakat mulai meragukan peran agama dan bahkan ada yang memilih
untuk tidak menganut agama sama sekali. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh
ideologi baru seperti modernisasi, humanisme, dan sekularisasi. Masyarakat
terpelajar mulai memandang agama sebagai sesuatu yang tidak penting lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,1997),
ketaatan terhadap apa yang diberikan Nabi. Adapun modernisasi, menurut
Nurcholis Madjid merupakan rasionalisasi, yaitu upaya merasionalisasi
atau memberi makna, bukan westernisasi.5 Nurcholis Madjid, sebagai
seorang cendekiawan Muslim yang terlatih dalam ilmu-ilmu ke Islaman,
berusaha memberikan "jawaban Islam" terhadap masalah modernisasi. Inti
jawabannya terletak pada kesimpulan sikapnya. “Kami sangat yakin
bahwa modernisasi adalah rasionalisasi yang didukung oleh dimensi etika,
berdasarkan prinsip ke Imanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun,
kami juga sepenuhnya menolak pandangan itu.” Gagasan bahwa
modernisasi adalah Westernisasi, karena kami menolak Westernisasi. Dan
Westernisasi yang kita bicarakan adalah cara hidup holistik, yang elemen
terpentingnya adalah sekularisasi, dengan segala konsekuensinya“.6
Kemudian juga menjelaskan mengapa ia menolak sekularisasi,
karena dikaitkan dengan ateisme. Ateisme adalah puncak dari sekularisasi.
Sekularisasi adalah sumber akar dari segala maksiat. Pengertian
modernisasi secara sederhana adalah sama atau hampir identik dengan
pengertian rasionalisasi. Dengan demikian, modernisasi adalah proses
memikirkan kembali cara berpikir lama dan proses kerja yang tidak masuk
akal dan menggantinya dengan model berpikir dan proses kerja yang baru
yang masuk akal.
Secara umum, sekularisasi berasal dari kata dasar sekuler (Lat.
Saeculum). Lorens Bagus mengartikan kata sekuler sebagai 1) temporal,
duniawi, 2) berkaitan dengan benda-benda yang tidak dianggap sakral,
jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani.7 Sekuler berdasarkan beberapa
kategori ini dimaksud untuk mengartikan situasi dimana otonomitas
duniawi dipisahkan dari pengaruh agama. Sejak lama, peran agama terlalu
besar dalam kehidupan manusia. Akibat dari situasi ini, berbagai urusan
Hal. 654.
5
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998),
Hal. 17.
6
Ibid., Hal. 18.
7
Lorens Bagus. Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), Hal. 980.
negara diterangi dan bahkan mengikuti berbagai kaidah yang ada dalam
ajaran agama.
Berbagai pemikir zaman modern melihat tendensi yang kurang
baik dari situasi dominasi agama tersebut. Untuk itu, mereka mendesak
agar urusan negara dan agama dipisahkan. Proses untuk memisahkan
kedua hal ini dinamakan sekularisasi yang terus berlangsung hingga kini.
Sekularisasi adalah ideologi yang mengandung paham penidak-keramatan
alam dan mendekonsekrasikan nilai-nilai.8 Hal tersebut dilakukan agar
agama dapat ditempatkan sesuai dengan tujuan aslinya, yakni memenuhi
kebutuhan iman dan moral pemeluknya, tanpa mengganggu jalannya
kehidupan bernegara yang mengutamakan nasionalisme, keberagaman,
dan kebebasan. Menurut
Turner, sekularisasi adalah teori yang menjelaskan penyusutan kekuasaan
institusi gereja dan otoritasnya dalam hubungan dengan institusi sekular
(nation-state), dan keyakinan sekular (natural science). 9
Proses sekularisasi sejak awal mula dilihat sebagai musuh dari
agama. Bagi sebagian orang, sekularisasi merupakan tantangan yang
memperkecil peran agama.10 Kemapanan agama yang pernah dialami
agama dalam hidup bernegara ditantang. Bagi kaum fundamentalis, situasi
ini bukan saja memperkecil peran agama, melainkan juga dapat
menghilangkan agama dan perannya dalam dunia. Sekularitas memiliki
beberapa segi masalah seperti 1) keterasingan agama dalam kehidupan
publik, 2) kemunduran dalam hal kepercayaan dan penerapannya, 3)
perubahan cara beriman.11
8
Haedar Nashir, “Sekularisme Politik dan Fundamentalisme Agama”, dalam UNISIA NO.
45/XXV/II/2012, Hal. 155.
9
Bryan S. Turner, Religion and Modern Society: Citizenship, Secularisation and the State, (New
York: Cambridge University Press, 2011), Hal. 133.
10
M. Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
1997), Hal. 33.
11
“Once people, armed with knowledge and technological prowess, take their destinies into their
own hands, religion will disappear. This is, very roughly, the basic content of the socalled
secularization thesis. The secularization thesis” (Miroslav Volf, A Voice of One’s Own: Public
Faith in a Pluralistic World, dalam Thomas Banchoff (ed.), Democracy and the New Religious
Pluralism, New York: Oxford University Press, 2007, Hal. 271.
Konsep sekularisasi pertama kali didefinisikan oleh George
Holyoake pada tahun 1846 sedangkan ide masyarakat sekularisasi
berkembang pada masa kesadaran masyarakat sekularisasi. Britania pada
tahun 1880-an. Bagi Holyoake, sekularisasi mengacu pada tatanan sosial
yang dibedakan dari agama tanpa mencampur-adukannya ke dalam
masalah agama. Secara ekstrim, sekularisasi mendewakan peran sentral
manusia sebagai penentu hidup di dunia ini. Seperti yang dikatakan
Banchoff, prinsip dasar penganut sekularisasi adalah bahwa dengan
menguasai teknologi dan pengetahuan, manusia dapat menentukan tujuan
hidupnya. Situasi seperti ini tentu saja dilatari oleh kekecewaan manusia
akibat tertutup dunia pada kekuatan agama yang terlampau kuat.
Berdasarkan berbagai pengertian yang ada ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa sekularisasi agama adalah situasi baru akibat perkembangan zaman
dan ideologi di mana peran sentral agama semakin terkikis oleh peran
negara dan berbagai aliran globalisasi demi menjaga otonomitasnya
masing-masing sehingga tidak terjadi pembauran yang merusak cita-cita
agama dan negara sekaligus.
C. Karakteristik Modernisasi
Modernisasi sendiri dicirikan oleh tiga hal, yaitu: subjektifitas, kritik
dan kemajuan.12 Dengan konsep subjektifitas memaksudkan bahwa
manusia harus menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat
realitas. Dengan paham inilah maka abad modern ditandai oleh
menyeruaknya paham-paham antroposentrisme. Nilai-nilai yang sifatnya
antroposentris ini tidak lain adalah antitesis dari nilai-nilai lama yang
sifatnya teosentris. Dalam ranah sosial, salah satu implikasi yang nyata
kuatnya unsur subyektifitas dalam kehidupan modern adalah munculnya
individualisme. Individualisme akhirnya juga sekaligus menjadi ciri
khsusus dari kehidupan modern. Sebuah masyarakat apabila sudah
menginjak atau memasuki rimba raya modernitas maka pola kehidupannya
cenderung individualistik. Ini tentu berbeda dengan pola kehidupan
tradisionalteosentris yang di dalamnya, unsur-unsur sosialis, masih sangat
kental. Jadi dalam konteks ini, modernitas bisa berarti lahirnya otonomi
dan independensi manusia dari sesamanya dalam kehidupan.
Subjektifisme atau individualisme ini menjadi ciri khas modern,
secara simbolik ditandai dengan digaungkannya semboyan cogito ergo
sum oleh Descartes. Descartes sendiri dinobatkan sebagai bapak filsafat
modern. Dalam hal ini eksistensi manusia ditentukan unsur aku. Ada
tidaknya manusia sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh eksisnya aku
sebagai sebagai subyek berpikir. Cogito (aku berpikir) sendiri ini tidak
ditemukan dengan deduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi.
Tetapi Cogito ditemukan lewat pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali
12
Prodoyo, Skulerisasi dalam Polemik (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafika, 1993), Hal.40.
melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab suci, dongeng, pendapat orang,
prasangka dan seterusnya. Hal ini menandakan bahwa modernitas sangat
mengagung-agungkan konsep subyektifisme dan individualisme. Subyek
telah menjadi sedemikian sentralnya dalam kehidupan, sehingga menjadi
basis kesadaran seseorang tentang keberadaanya.
Selanjutnya aspek lainnya adalah kritik. Kritik ini juga masih dalam
pengertian subyektifitas tersebut, sejauh dihadapkan pada otoritas. Asumsi
dasar modernisme rasionalitas. Dimensi rasionalitas dalam kerangka kritis
ini secara konkrit terreflkesi dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Modernitas berasumsi bahwa knowledge is power. Dengan semangat kritis
ini modernitas mempunyai ambisi untuk mendekonstruksi paham-paham
tradisional yang dianggapnya menyesatkan, penuh dengan takhayul, mitos,
kejumudan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, misi utama modernisme
adalah mendobrak tradisi lama yang penuh mitologi dan takhayyul tersebut
untuk digantikan dengan tradisi baru yang berbasis rasionalitas dan ilmu
pengetahuan ilmiah, menggantikan mitos dengan logos. Dalam rangka
demitologisasi inilah, akal secara penuh difungsikan sebagai panglima
untuk mendobrak paham lama yang berada di bawah rezim agama (gereja)
dan mencoba bereksperimen menemukan tradisitradisi baru lewat metode
ilmiah. Dari sini, munculnya Galileo, yang menemukan kebenaran lewat
sains, adalah kemenangan akal atas wahyu, maka selanjutnya akal yang
diterapkan dalam masalah manusia ini adalah landasan modernitas.
17
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan (Bandung: Penerbit Mizan, 1998),
Hal. 124.
atau jama’ah-jama’ah, maka demikian pula agama di masa mendatang
memerlukan organisasi sendiri sebagi rangkanya. Dan ini lah yang sering
hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasardasar pemikiran
relegius dan ilmiah– masyarakat agama dan kehidupan individu orang–
orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran,
moral, dan perasaan.
Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata.
Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini
sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap
perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus
mampu menampung perubahan masyarakat (social change).18
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial
untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam
adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk
bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam
yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana
faktor yang paling menonjol adalah sekularisasi, sebab sekularisasi selalu
berkaitan dengan ateisme dan sekularisasi itulah sumber segala imoralitas.
18
Ibid., Hal. 125-126.
Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan
dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk
menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan
akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk
bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam.
Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi
yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
Agama adalah organisme beridentitas dalam universalitas. Ia
bergerak secara dalam multiplisitas etnis, kebudayaan, dan zaman. Agama
memiliki daya tarik yang khas yang sukar untuk diabaikan, bahkan ketika
diperhadapkan pada proses sekularisasi. Agama masih sangat bermakna
bagi manusia, di samping adanya berbagai alasan penolakan pribadi-
pribadi pada kehadiran agama. Tantangan agama yakni bagaimana ia bisa
tetap berada dalam hati manusia modern dan menawarkan nilai lebihnya
demi membawa manusia pada tujuan hidup yang sesungguhnya. Sampai
pada tahap ini, kita dapat mengatakan bahwa agama harus tetap
bersosialisasi dengan dunia untuk menentukan keunikannya serta dari
keunikannya itu, ia menarik manusia dengan penuh kekaguman. Agama
telah bertahan hidup dalam sejarah manusia.
DAFTAR PUSTAKA