Anda di halaman 1dari 12

RESUME ANTROPOLOGI AGAMA

REVIEW BAB VIII “WORLD RELIGION ”

Oleh kelompok 8 :
1. Prasasti Kasih Setya 13040221140100
2. Amartya Ahimsa S 13040221140113
3. Widiarta br tarigan 13040221140106
4. Amara Folia Medina 13040221140101
5. Cut Fatimatuzzahra 13040221140124

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO

2022
Point 1

Dalam buku “Introducting Antropologi of Religion” dalam bab 8 mengenai religion in the world,
pada bab ini membahas mengenai keberagaman agama mulai dari universal dan
lokal.Antropologi mengenai “transformasi besar” di antara ribuan agama dunia atau dikenal
dengan istilah “agama dunia” termasuk di dalamnya ada agama Kristen, Islam, Hindu, Budha,
dan Yudaisme. Menurut Barrett et al., (2001) terdapat 11 agama dunia hingga 270 subdivisi
utama hingga ke subkelompok kecil. Studi antropologis agama-agama di dunia memunculkan
beberapa isu yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah semua
agama dalam manifestasi kehidupan lokal dalam perkembangannya menyesuaikan dengan
kondisi sosial dan lingkungan budaya sehingga memunculkan keragaman dalam beragama.

Menurut Redfield (1953) agama kecil atau lokal adalah pengalaman dari masyarakat
tertentu dari zaman dahulu yang dikenal dengan istilah “tradisi kecil” dan “tradisi besar”. Agama
menjadi benang yang dapat mengikat dan menyatukan masyarakat agar lebih mandiri. Peradaban
ditandai dengan masyarakat yang saling berhubungan (heterogen) secara sosial. Dalam
prosesnya, agama menjadi lebih profesional dengan para ahli agama dan lebih reflektif, sadar
diri, dan sistematis. Keyakinan agama mencerminkan dan memperkuat moralitas atau imperatif
dari perilaku itu sendiri yang tertanam dalam praktik budaya dan institusi sosial. Agama-agama
di dunia cenderung “individualis” dalam arti kritis, di mana tidak ada komunitas agama atau
individu yang dapat berpikir atau melakukan apa pun yang dia inginkan sehingga mereka harus
memilih untuk bergabung dengan agama dan menerima doktrinnya sebagai miliknya.

Dari sudut pandang individu, untuk berpartisipasi dalam agama baru harus berani keluar
dari tradisi lama yang dipengaruhi oleh tingkat psikologis (Nock, 1933). Elemen sistem asing
dapat diintegrasikan ke dalam agama yang sudah ada tanpa harus mengubah keseluruhan, seperti
kasus agama Romawi di mana seluruh kultus asing dapat ditambahkan ke agama yang ada untuk
sekadar menghasilkan lebih banyak agama. Sikap religius seperti itu menyebabkan penerimaan
ibadah baru sebagai suplemen yang berguna dan bukan sebagai pengganti.

Studi Murphee (1969) tentang “pertobatan” ke Kristenan Shona di selatan Rhodesia


menjelaskan bahwa tidak hanya penduduk setempat yang menafsirkan dan membangun konversi
berbeda, tetapi sekte Kristen juga menyajikannya secara berbeda. Seringkali, ritual pembaptisan
menjadi pertobatan dalam pandangan Katolik, di mana seseorang dapat dibaptis terlebih dahulu
dan dididik kemudian. Seperti yang dicatat Maia Green (2003) bahwa pada tahun 1920-an di
Tanzania selatan sebagian besar pembaptisan adalah bayi, dan hingga tahun 1950-an sebagian
besar dari “orang yang bertaubat” adalah anak-anak atau orang sekarat atau bahkan orang mati
yang telah melewati masa pengalaman konversi. Hasil tak terelakkan dari praktik “pertobatan”
ini paling tidak heterodoksi agama dan terkadang kurangnya pemahaman atau perhatian serius
terhadap hak doktrin. Murphee menemukan ada banyak orang yang bertobat lebih dari satu kali
dan dalam berbagai arah yaitu dari tradisional ke Kristen, atau dari Kristen ke tradisional, atau
dari satu arah sekte Kristen ke yang lain atau beberapa gerakan keagamaan lainnya.

Keyes (1993) menemukan bahwa orang Thailand menentang Kekristenan karena


misionaris Kristen gagal bersaing dengan agama dunia lain yaitu Buddhisme, yang didasari oleh
dua alasan. Pertama, karena pertobatan ke agama Buddha tidak mengharuskan orang secara
radikal menolak kepercayaan mereka sebelumnya.. Kedua, politik dan ekonomi lokal institusi
cukup kuat dan independen untuk mencegah penetrasi Kristen. Beberapa pandangan dunia
Kristen, mengidentifikasi unsur-unsur Kekristenan sebagai pelengkap untuk elemen analog dari
agama-agama asli.

Secara khusus selama beberapa abad terakhir, masyarakat yang sebelumnya terisolasi
telah terpapar agama-agama dunia dalam konteks kolonialisme yang jauh lebih luas, yang tidak
bertujuan untuk memperkenalkan atau memodifikasi agama saja. Perubahan agama bukanlah
hasil dari upaya untuk mengubah agama saja, tetapi untuk mengubah struktur sosial dan
pengalaman hidup. Menurut Hefner (1993: 19) keunikan dan kekuatan sifat agama-agama dunia
tidak hanya bersifat doktrinal tetapi juga sosial-organisasi. Agama-agama dunia dibidang
keagamaan, terlepas dari cita-cita pertobatan yang lengkap dan tidak ambigu pada kenyataanya
cenderung bergabung dari pada menggantika agama “tradisional” lokal disebagian bedar situasi,
yang mengarah ke bidang multireligius yang kompleks.

Agama baru, seperti kebanyakan masyarakat adalah produk dari beberapa lapisan
perubahan historis dan demografis. Individu, keluarga, dan komunitas membuat interpretasi unik
mereka mengenai tanggapan terhadap agama dunia yang menghasilkan versi lokal yang khas.
Sebuah agama dunia, pada akhirnya bukanlah sebuah global tunggal “benda” tetapi
bermacam-macam barang lokal yang beraneka ragam. Dengan demikian, setiap agama dunia
saling bertemu, berhadapan, bergabung, dan pada akhirnya beradaptasi tidak hanya dengan
agama “tradisional” dan lainnya agama-agama dunia tetapi juga dalam agamanya sendiri, belum
lagi nonreligius (termasuk modernisasi dan sekularisasi) kekuatan.

Data dan Fakta yang Dijadikan Dasar


Dalam bab delapan dari buku Introducing Anthropology of Religion, data dan fakta informasi
banyak yang berupa konsep, pengertian, dasar dari suatu fakta dan masih banyak lagi yang
berkaitan dengan antropologi dan agama diambil dari situs internet, studi kasus, buku,
pengamatan dan penelitian, serta tulisan lain dari para tokoh antropologi, seperti:

1. dari situs adherents di internet, tentang persentasi pemeluk beberapa agama di dunia
2. Dari model standar A. D. Nock terhadap konversi/perpindahan agama
3. Dari penelitian Marshall Murphree, “Study of the “conversion” to Christianity of the
Shona in southern Rhodesia”
4. Dari John dan Jean Comaroff, yang melakukan pengamatan terhadap perkembangan
kolonialisme dan konversi/perpindahan agama serta beberapa kaitan dengan budaya
5. Dari buku Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, mengenai
hubungan tentang bagaimana praktik agama Kristen dan pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi
6. Studi kasus terhadap pemeluk agama di salah satu desa di Thailand, Baan Phraan Muan
7. Studi kasus tentang hubungan antara agama Hindu dan Buddha dalam kehidupan sosial
Newar di Nepal
8. Penelitian Maia Green tentang agama Kristen dalam penduduk Tanzania
9. Studi kasus terhadap Kaum Berti di Sudan

Teori Pendekatan

1. Pendekatan Komparatif
Didalam buku ini pada bab 8 menjelaskan adanya pendekatan yang dilakukan secara
holistik. Holistik merupakan pendekatan yang praktis yang menjelaskan adanya sebuah
fenomena yang berkaitan antara tujuan (maksud dari sebuah kegiatan) dari keseluruhan
prinsip yang menjadi penentu atau pedoman dari bagian-bagiannya. Dari bab yang ada
didalam buku ini menjelaskan bahwa antropolog mnggunakan pendekatan holistik untuk
melakukan sebuah penelitian yang dimana terlihat bahwa adanya sebuah bahasan yang
memperlihatkan perubahan aspek kehidupan dalam beragama di dalam lingkup
masyarakat baik di indonesia maupun di mancanegara.
2. Pendekatan Kualitatif
Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berfokus ke dalam menganalisis
data,lalu mendeskripsikan hasil tersebut ke dalam hasil penelitian.pendekatan ini sering
digunakan oleh para peneliti. Pada buku ini terdapat pada bagian awal bab 8 yang
memperlihatkan angka atau hasil laporan dalam bentuk persen ketika peneliti melakukan
penelitian sebuah agama dari seluruh dunia.
3. Teori Evolusi Kebudayaan
Evolusi Kebudayaan merupakan sebuah teori yang menjelaskan perjalanan perubahan.
Perubahan akan terus selalu ada ditengah perjalanan waktu. Bab ini menceritakan adanya
perubahan dan penerimaan sebuah agama di dalam suatu negara bahkan dari ribuan
agama adanya hanya beberapa yang dilihat dan diakui dari keseluruhan masyarakat dari
berbagai mancanegara.

Point 4
Dalam buku “Introducting Antropologi of Religion” dalam bab 8 mengenai religion in the world,
pada bab ini membahas mengenai keberagaman agama mulai dari universal dan lokal. Terdapat 6
sub bab yang menjelaskan secara rinci mengenai agama-agama di dunia.

1. Antropologi sebagai transformasi yang besar

Pada sub bab ini membahas mengenai banyaknya agama, praktik keagamaan, mitos, dan
ritual. Selain masing-masing masyarakat mempunyai tradisi agama atau spiritual yang
berbeda antropolog juga mengedintifikasi bahwa pada waktu-waktu tertentu di
tempat-tempat tertentu karena alasan-alasan tertentu sebuah transformasi besar itu dapat
terjadi. Menurut robert terdapat agama lokal dan agama universal, agama lokal yang
disebut tradisi kecil dan universal yang disebut tradisi besar. menurutnya, agama lokal
merupakan produk atau pengalaman dari jenis masyarakat tertentu dan sistem
kekerabatan lah adalah prinsip pengorganisasian yang mendasar. Selajutnya agama
universal adalah Mereka cenderung individualistis dalam arti kritis, Ini bukan untuk
mengatakan bahwa tidak ada komunitas agama atau bahwa individu dapat berpikir atau
melakukan apapun yang dia suka.

Dengan demikian, sangat penting penting bahwa doktrin-doktrin itu jelas dan, terlebih
lagi, diterima tanpa keragaman atau perbedaan pendapat (kepercayaan yang berbeda atau
berbeda adalah "bidat"). Agama menyediakan perekat atau benang yang menyatukan
masyarakat dan membuatnya tampak perlu dan terbukti dengan sendirinya; pada
kenyataannya, agama dulu dan mungkin bergantung pada sikap tidak reflektif dan tidak
sistematis. Hasilnya adalah "komunitas moral" yang digambarkan oleh Durkheim; seperti
yang dikatakan Redfield, “tatanan esensial masyarakat, penghubung yang menyatukan
orang-orang, adalah moral” (1953:15).

2. konversi ke agama-agama dunia

Proses konversi ini dilihat tidak hanya sebagai modifikasi atau penambahan agama tapi
pergantian agama secara total. Pada titik tertentu seorang mengikuti 1 agama Kemudian
pada titik waktu yang lain juga dia mengikuti agama lain dengan konsekuensi pribadi dan
konsekuensi sosial yang lain.

Ketika orang berpindah agama dan memulai pertobatan yaitu ia tidak selalu mengikuti
kesepakatan yang mengubah hidup dengan doktrin-doktrin agama baru yang dianutnya,
namun dia masuk karena ada banyak alasan untuk pertobatan yang nyata seperti
keinginan untuk pengalaman, subjektif, nilai-nilai moral, kesadaran, keinginan hingga
gengsi.

Seperti yang ditunjukkan oleh praktik Katolik, pertobatan tidak selalu memerlukan
pelatihan sebelumnya atau penerimaan doktrin Kristen dan mungkin jarang
membutuhkan atau membuktikan pemahaman atau ortodoksi kepercayaan yang
sebenarnya, apalagi transformasi pribadi. Seringkali, ritual pembaptisan adalah
pertobatan dalam pandangan Katolik, sehingga seseorang dapat dibaptis terlebih dahulu
dan dididik kemudian. Seperti yang dicatat oleh Maia Green (2003), pada tahun 1920an
di Tanzania selatan sebagian besar pembaptisan adalah bayi, dan hingga tahun 1950-an
mayoritas “orang yang bertobat” adalah anak-anak atau orang yang sekarat—atau bahkan
orang mati, yang telah melewati masa pengalaman konversi

3. Pergantian dan kolonialisasi dari kehidupan sehari-hari

Konversi, jika dan ketika itu terjadi, adalah jenis khusus dari perubahan agama, dan
perubahan agama adalah jenis atau produk khusus dari agama atau proses keagamaan
yang dinamis. Oleh karena itu, semua proses budaya yang diidentifikasi oleh antropologi
berlaku untuknya. Ini berarti bahwa konversi adalah beragam, lokal, dipraktikkan,
dibangun, dan modular. Itu tidak perlu total atau tiba-tiba, dan itu pasti akan menjadi
bagian dari perkembangan budaya yang lebih besar dan tidak secara khusus religius.

Dalam banyak kasus selama beberapa abad terakhir, masyarakat yang sebelumnya
terisolasi telah dihadapkan pada agama-agama dunia dalam konteks kolonialisme yang
jauh lebih luas, yang tidak bertujuan untuk memperkenalkan atau memodifikasi agama
saja. Demikian pula, perubahan agama tidak dihasilkan dari upaya untuk mengubah
agama saja, tetapi untuk mengubah struktur sosial dan pengalaman hidup yang di atasnya
agama berdiri.
Sehingga Munculnya agama juga dipengaruhi oleh pengaruh kolonialisme karena dengan
adanya agama ini memberikan perubahan dalam hal struktur sosial. Karena kolonialisme
menurut John dan Jane kamarov kolonialisme memberikan perubahan dan dominasi
Aspek politik, ekonomi masyarakat, subjek agama dan kebiasaan budaya lainnya seperti
pakaian, ucapan, pernikahan, hingga peran, dalam praktek ini bukan hanya doktrin dan
ritual agama namun juga membawa pesan tentang apa yang benar dan yang buruk.

4. Agama-agama dunia dalam bidang agama

Agama-agama di dunia cenderung tergabung daripada menggantikan agama-agama atau


agama lokal. Relasi antar berbagai agama dalam bidang ini bisa bermacam-macam
bentuknya dan tentunya masing-masing agama dipengaruhi oleh gaya dan yang lain
sehingga tidak ada satu agama pun dalam ruang sosial yang sepenuhnya murni.

5. Keaneragaman dalam agama-agama dunia


Sama seperti agama dunia mana pun yang mungkin ada dalam bidang agama yang
beragam, demikian pula keragaman mungkin ada dalam agama dunia mana pun.
Sementara kita terbiasa berpikir tentang agama dunia sebagai entitas monolitik dan
homogen, kenyataannya adalah bahwa itu benar-benar bermacam-macam variasi lokal
yang kurang lebih terkait erat. Dalam setiap masyarakat tertentu, kadang-kadang dalam
setiap komunitas tertentu dalam suatu masyarakat, agama dunia akan “dibiaskan” oleh
kondisi lokal, termasuk tetapi tidak terbatas pada agama tradisional yang dimasukinya,
sekte atau denominasi tertentu yang datang, dan lain-lain. Individu, keluarga, dan
komunitas juga akan membuat interpretasi dan tanggapan unik mereka terhadap agama
dunia, menghasilkan versi lokal yang khas.

Ajaran Buddha mereka akan sangat berbeda. Dalam kasus Thailand, hampir setiap
laki-laki menjadi biksu tetapi hanya untuk sementara; di antara para Sherpa, pengikut
sekte Nyingmawa dari Buddhisme Tibet, menjadi biksu adalah komitmen seumur hidup
yang hanya dibuat oleh 2-3 persen pria. Selanjutnya, sementara biara Thailand dipisahkan
dari desa, penduduk desa datang ke sana untuk ritual dan membuat persembahan, dan
para biksu datang ke desa untuk tujuan upacara. Kuil Sherpa hampir seluruhnya. Hasil
akhirnya adalah Buddhisme Thailand yang diubah menjadi "agama sosial" sedangkan
Buddhisme Sherpa yang dipercayakan hampir semata-mata untuk fungsi keselamatan
individu

6. 2 agama terbesar di dunia


a. Kekristenan

Kekristenan tidak pernah menjadi agama monolitik yang bersatu, dan, meskipun
ada upaya untuk membangun atau mempertahankan persatuan dan ortodoksi,
agama itu tetap beragam dan terpecah-pecah hingga hari ini. Minimal dapat
dianalisis ke dalam tiga “mazhab” atau varietas utamanya— Katolik, Ortodoks
Timur, dan Protesta dan masing-masing varietas tersebut mempunyai teologi,
struktur organisasi, dan hubungannya dengan masyarakat sekitarnya yang
berbeda.

Katolik telah mencapai keberhasilan terbesar dalam melestarikan sistem terpusat


secara global; ia memiliki organisasi dan identitas pan-nasional, meskipun Katolik
lokal masih bervariasi dalam banyak hal. Ortodoksi Timur, perpecahan dari
Katolik atas perbedaan doktrinal dan politik yang berasal dari tahun 1054,
mengambil pendekatan yang lebih “nasional”, yang terdiri dari gereja-gereja
nasional yang kurang lebih otonom, seperti Ortodoks Rusia, Ortodoks Yunani,
dan seterusnya. Etika Protestanisme yang terdesentralisasi telah menyebabkan
pembentukan banyak gereja tertentu, seperti Methodist, Baptist, Lutheran,
Quaker, dan lainlain. Di dalam kelompok-kelompok ini juga terdapat variasi
“gaya” atau sikap, dari versi yang lebih “liberal” hingga yang “injili” hingga yang
“fundamentalis”.

Kekristenan telah mencolok dalam beradaptasi dengan masyarakat dan


menyesuaikan masyarakat dengannya. Pernyataan klasik tentang hubungan antara
suatu bentuk Kekristenan dan masyarakat dan ekonomi lokal adalah pernyataan
WeberEtika Protestan dan Semangat Kapitalisme, muncul pada tahun 1904.
Menurut bagi Weber, Protestantisme Calvinis memicu sikap tertentu terhadap
uang, pekerjaan, individualisme, dan kesuksesan yang membentuk kapitalisme
Eropa.

Pada akhir abad kedua puluh dan awal abad kedua puluh satu, salah satu
perkembangan yang paling penting dan menarik dalam Kekristenan global adalah
pertumbuhan Pentakostalisme, terutama tetapi tidak secara eksklusif di
daerah-daerah yang secara historis didominasi oleh Katolik. Pentakostalisme
adalah gaya Kekristenan yang menekankan “karunia Roh Kudus,” termasuk
berbicara dalam bahasa roh dan penyembuhan rohani, di samping fokus Protestan
akrab pada Alkitab

b. Islam

Sebagai agama terbesar kedua di dunia, Islam juga menampilkan variasi dan
adaptasi lokal yang luar biasa. Seperti halnya Kristen, Islam pada dasarnya
terbagi, dalam hal ini menjadi dua cabang utama yang dikenal sebagai Sunni dan
Syiah.

Islamisasi telah menjadi proses dua sisi. Di satu sisi, itu terdiri dari upaya untuk
mengadaptasi sistem ritual dan kepercayaan yang universal dalam teori yang pada
dasarnya tidak dapat diubah, dan terintegrasi dengan baik dengan realitas persepsi
lokal, bahkan individu, moral dan metafisik. Di sisi lain, ia terdiri dari perjuangan
untuk mempertahankan, dalam menghadapi fleksibilitas adaptif ini, identitas
Islam tidak hanya sebagai agama pada umumnya tetapi sebagai petunjuk khusus
yang dikomunikasikan oleh Tuhan kepada umat manusia melalui nubuatan awal
Muhammad.

Islam datang ke masyarakat dengan berbagai cara. Invasi dan penaklukan adalah
bagian dari praktik Muslim dan juga Kristen. Di lain waktu, perdagangan dan
perdagangan membawa agama dan membantu menetapkannya sebagai fenomena
transkultural—sesuatu bahwa pedagang di kedua sisi bisa berbagi. Ini adalah
komponen penting dari Islamisasi Indonesia dan Malaysia serta sebagian Afrika.

Antropologi mengenai “transformasi besar” di antara ribuan agama dunia atau dikenal dengan
istilah “agama dunia” termasuk di dalamnya ada agama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan
Yudaisme. Menurut Barrett et al., (2001) terdapat 11 agama dunia hingga 270 subdivisi utama
hingga ke subkelompok kecil. Studi antropologis agama-agama di dunia memunculkan beberapa
isu yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah semua agama dalam
manifestasi kehidupan lokal dalam perkembangannya menyesuaikan dengan kondisi sosial dan
lingkungan budaya sehingga memunculkan keragaman dalam beragama.

Menurut Redfield (1953) agama kecil atau lokal adalah pengalaman dari masyarakat
tertentu dari zaman dahulu yang dikenal dengan istilah “tradisi kecil” dan “tradisi besar”. Agama
menjadi benang yang dapat mengikat dan menyatukan masyarakat agar lebih mandiri. Peradaban
ditandai dengan masyarakat yang saling berhubungan (heterogen) secara sosial. Dalam
prosesnya, agama menjadi lebih profesional dengan para ahli agama dan lebih reflektif, sadar
diri, dan sistematis. Keyakinan agama mencerminkan dan memperkuat moralitas atau imperatif
dari perilaku itu sendiri yang tertanam dalam praktik budaya dan institusi sosial. Agama-agama
di dunia cenderung “individualis” dalam arti kritis, di mana tidak ada komunitas agama atau
individu yang dapat berpikir atau melakukan apa pun yang dia inginkan sehingga mereka harus
memilih untuk bergabung dengan agama dan menerima doktrinnya sebagai miliknya.
Dari sudut pandang individu, untuk berpartisipasi dalam agama baru harus berani keluar
dari tradisi lama yang dipengaruhi oleh tingkat psikologis (Nock, 1933). Elemen sistem asing
dapat diintegrasikan ke dalam agama yang sudah ada tanpa harus mengubah keseluruhan, seperti
kasus agama Romawi di mana seluruh kultus asing dapat ditambahkan ke agama yang ada untuk
sekadar menghasilkan lebih banyak agama. Sikap religius seperti itu menyebabkan penerimaan
ibadah baru sebagai suplemen yang berguna dan bukan sebagai pengganti.

Studi Murphee (1969) tentang “pertobatan” ke Kristenan Shona di selatan Rhodesia


menjelaskan bahwa tidak hanya penduduk setempat yang menafsirkan dan membangun konversi
berbeda, tetapi sekte Kristen juga menyajikannya secara berbeda. Seringkali, ritual pembaptisan
menjadi pertobatan dalam pandangan Katolik, di mana seseorang dapat dibaptis terlebih dahulu
dan dididik kemudian. Seperti yang dicatat Maia Green (2003) bahwa pada tahun 1920-an di
Tanzania selatan sebagian besar pembaptisan adalah bayi, dan hingga tahun 1950-an sebagian
besar dari “orang yang bertaubat” adalah anak-anak atau orang sekarat atau bahkan orang mati
yang telah melewati masa pengalaman konversi. Hasil tak terelakkan dari praktik “pertobatan”
ini paling tidak heterodoksi agama dan terkadang kurangnya pemahaman atau perhatian serius
terhadap hak doktrin. Murphee menemukan ada banyak orang yang bertobat lebih dari satu kali
dan dalam berbagai arah yaitu dari tradisional ke Kristen, atau dari Kristen ke tradisional, atau
dari satu arah sekte Kristen ke yang lain atau beberapa gerakan keagamaan lainnya.

Keyes (1993) menemukan bahwa orang Thailand menentang Kekristenan karena


misionaris Kristen gagal bersaing dengan agama dunia lain yaitu Buddhisme, yang didasari oleh
dua alasan. Pertama, karena pertobatan ke agama Buddha tidak mengharuskan orang secara
radikal menolak kepercayaan mereka sebelumnya.. Kedua, politik dan ekonomi lokal institusi
cukup kuat dan independen untuk mencegah penetrasi Kristen. Beberapa pandangan dunia
Kristen, mengidentifikasi unsur-unsur Kekristenan sebagai pelengkap untuk elemen analog dari
agama-agama asli.

Secara khusus selama beberapa abad terakhir, masyarakat yang sebelumnya terisolasi
telah terpapar agama-agama dunia dalam konteks kolonialisme yang jauh lebih luas, yang tidak
bertujuan untuk memperkenalkan atau memodifikasi agama saja. Perubahan agama bukanlah
hasil dari upaya untuk mengubah agama saja, tetapi untuk mengubah struktur sosial dan
pengalaman hidup. Menurut Hefner (1993: 19) keunikan dan kekuatan sifat agama-agama dunia
tidak hanya bersifat doktrinal tetapi juga sosial-organisasi. Agama-agama dunia dibidang
keagamaan, terlepas dari cita-cita pertobatan yang lengkap dan tidak ambigu pada kenyataanya
cenderung bergabung dari pada menggantika agama “tradisional” lokal disebagian bedar situasi,
yang mengarah ke bidang multireligius yang kompleks.

Agama baru, seperti kebanyakan masyarakat adalah produk dari beberapa lapisan
perubahan historis dan demografis. Individu, keluarga, dan komunitas membuat interpretasi unik
mereka mengenai tanggapan terhadap agama dunia yang menghasilkan versi lokal yang khas.
Sebuah agama dunia, pada akhirnya bukanlah sebuah global tunggal “benda” tetapi
bermacam-macam barang lokal yang beraneka ragam. Dengan demikian, setiap agama dunia
saling bertemu, berhadapan, bergabung, dan pada akhirnya beradaptasi tidak hanya dengan
agama “tradisional” dan lainnya agama-agama dunia tetapi juga dalam agamanya sendiri, belum
lagi nonreligius (termasuk modernisasi dan sekularisasi) kekuatan.

Point 5 ( Kritik dan Saran )

Pada penulisan artikel ini, ada beberapa kritik yang mengarah pada penulisan artikel ini,
salah satunya yakni mengenai penulisan artikel ini yang menggunakan bahasa yang sulit dan
tidak mudah dicerna oleh para pembaca. Kata-kata yang sulit itu ialah kata yang jarang kita
dengar sehingga membuat kita kebingungan dengan arti dan makna dari kata-kata tersebut.
Kebanyakan bahasa yang digunakan dalam penulisan artikel ini sulit untuk dimengerti dan
dipahami oleh pembaca. Selain daripada kritik, saran untuk artikel ini supaya semakin baik
kedepannya dengan cara lebih memperhatikan bahasa-bahasa yang dianggap itu sulit untuk
dimengerti masyarakat umum dan para pembaca supaya dibuatkan terjemahan atas kata-kata
yang sulit tersebut agar para pembaca mulai dari semua kalangan dapat dengan mudah
memahami isi dan arti serta tujuan dari penulisan artikel tersebut. Penulis harus lebih
memperhatikan istilah-istilah yang asing agar mudah dipahami pembaca. Saran pada saat
pembuatan makalah yang berisi Ke agama an di dunia Penulis menyadari bahwa banyak sekali
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. dengan sebuah pedoman yang bisa
dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki penulisan artikel
tersebut. Penulis dapat dengan mudah lebih mengakses sumber sumber lain atau peneliti

Anda mungkin juga menyukai