Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

TEOLOGI AGAMA-AGAMA
DI
S
U
S
U
N
OLEH
Nama : Yohanes Kastera
Nim :

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BETHEL AMBON


2023
A. Pendahuluan

Studi Agama adalah studi multi-disipliner tentang keyakinan, perilaku dan lembaga

keagamaan, yang mendeskripsikan, membandingkan, menafsirkan, dan menjelaskan

agama, dari perspektif sistematik, sejarah, dan lintas-budaya. Teologi berusaha

memahami hakikat kekuatan transenden atau adikodrati. Studi agama mempelajari

perilaku dan keyakinan keagamaan di luar titik pandang agama tertentu, dengan

memanfaatkan aneka bidang dan metodologi ilmu (antropologi, sosiologi, psikologi,

filsafat, dan sejarah agama). kini, kenyataan akan adanya agama-agama lain bukan lagi

masalah di bagian dunia lain yang jauh. Kenyataan ini telah berpindah ke lingkungan

kita sendiri di seluruh pelosok dunia, terlebih lagi di Indonesia sekarang ini. Untuk

mengenal agama-agama lain kita tidak usah menjadi ilmuan atau berkeliling dunia. Kita

tinggal pergi ke tokoh buku, menonton televisi, atau mencarinya di internet. Apa yang

pernah menjadi bahan kajian para ahli kini tertulis secara populer dengan berbagai

ilustrasi menarik dalam berbagai buku agama di tokoh-tokoh buku. Tayangan pada layar

kaca televisi dapat membantu para pemirsa/ masyarakat untuk mendalami berbagai

macam agama. Keterbukaan semacam ini banyak terdapat di kampus-kampus

universitas dimana berbagai mata kulia tentang agama-agama Asia, lebih banyak

diminati daripada mata kulia yang lain yang bersifat umum.

Berbagai ajaran dan praktek agama-agama lain tentang nirwanaa atau Karma atau

Brahmana serta tao. Mereka ingin berdiskusi tentang sikap mereka terhadap agama-

aga,a lain, tentqang kebenaran didalam agama-agama lain, dan perbandingannya dengan
agama kristiani. Para mahasiswa itu mulai merasakan bahwa untuk menjadi lebih teguh

dalam agama mereka, mereka harus mengenal agama-agama lain.

Namun pengetahua tentang agama-agama lain yang hidup dan mempengaruhi umat

kristiani di barat tidak diperoleh dari buku-buku atau kuliah. Hal ini bisa diperoleh

melalui dialog dengan tetangga, teman di tempat kerja, atau melalui berbagai macam

organisasi sosial. Dalam hal ini bukan hanya terjadi pertukaran pandangan, akan tetapi

juga terjadi pertukaran manusia. Pada tahun 1960-an Wilfred Cantwell Smith

menggambarkan masalah-masalah agama yang telah berkembang lebih nyata dan

personal selama puluhan tahun, dan itu menjadi catatan sejarah yang harus di perhatikan

sebagai wahana pengembangan agama pada masa kini maupun masa yang akan datang.

B. Peta Konsep

Awalnya, Paul F Knitter berniat merevisi buku terdahulunya No Other Name? A

Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religions (1985). Dalam

prosesnya justru melahirkan buku baru Introducing Theologies of Religions yang

dibukukan dan terbit tahun 2002. Itulah mengapa kedua buku ini serupa tak sama. Yang

diresensi ini adalah buku terjemahan bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Teologi

Agama-agama. Studi model berteologi dan dialog antar iman sudah terjadi sejak lama.

Yang jamak dipakai adalah isitilah eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.

Penggunaan istilah ini dimunculkan oleh Alan Race dalam Christian and Religious

Pluralism: Patterns in Christian Theology of Religions (1982). Gavin D'Costa juga ikut

menggunakan model ini dalam bukunya Theology and Religious Pluralism: The

Challenge of Other Religions (1986). Tokoh masa kini yang masih merujuk pada model
sikap ini misalnya Marianne Moyaert dalam Fragile Indentities Towards a Theology of

Interreligious Hospitality (2011).

Paul Knitter, dalam No Other Name? masih menggunakan tiga istilah ini. Baru

dalam buku Introducing Theologies of Religions yang dijual kisaran Rp. 70.000 ini,

Knitter menggunakan istilah dan pengelompokan yang berbeda, sekaligus menandai

perkembangan teorinya. Pendahuluan langsung membelalakkan pembaca pada

pluralitas: sebuah fakta semesta dan sebuah pengalaman lekat dan dekat setiap umat

beragama! Sedekat tidur sekamar kos bareng teman yang berbeda agama, bahkan

pengalaman makan bareng dalam rumah. Diversity bahkan harus diterima sebagai fakta

melekat yang tidak terhindarkan! Tantangan dalam konteks banyak agama ialah,

bagaimana memahami ada begitu banyak jalan agama dan bagaimana memahami agama

Kristiani dalam terang berbagai jalan itu. Di mata Knitter, signifikansi buku ini

menyangkut dua hal: peringatan dan undangan. Peringatan, bahwa memiliki sikap yang

serius terhadap agama-agama lain adalah kewajiban. Umat beragama harus memiliki

religiusitas tertentu dalam interaksinya dengan agama-agama lain! Sebagai undangan,

pada semua agama, agar perjumpaan dengan agama lain dimanfaatkan bagi

pembentukan religiusitas iman sendiri. Penulis yakin, untuk menapaki jalan imannya

sendiri, seseorang perlu berjalan dengan yang lain. Mencerminkan empat model dan

sikap "Teologi Agama-agama" penulis, buku ini ditata atas empat bagian besar yang

masing-masing bagian akan dijelaskan oleh tiga bab. Bagian pertama memperkenalkan

"Model Penggantian: Hanya Satu Agama yang Benar". Bagian kedua mengupas "Model

Pemenuhan: Yang Satu Menyempurnakan yang Banyak". Bagian ketiga menjelaskan


apa itu "Model Mutualitas: Banyak Agama Terpanggil untuk Berdialog". Dan keempat,

apa yang dimaksud dengan "Model Penerimaan: Banyak Agama yang Benar, Biarlah

Begitu". Terang Injil yang ingin disampaikan kelompok ini dan patut dihargai adalah

penghargaan tertinggi dan sepenuhnya pada Injil dan Perjanjian Baru. Firman Tuhan

yang tertulis harus menjadi pusat dari kehidupan dan identitas Kekristenan. Teologi

dalam dialog dengan agama lain harus berdasarkan superioritas Injil dan Perjanjian

Baru.

C. Current Issue
Keterbukaan dan Dialog

D. Pembahasan

Sering dikatakan bahwa kalau ada perubahan dalam agama, biasanya datang dari

bawah, dari akar rumput, bukan dari atas, dari pemimpin agama dan birokrat. Dalam

hubungan degan perkembangan lanjutan tetang sikap katolik terhadap agama-agama

lain sesudah vatikan II, pandangan diatas tidak sepenuhnya benar. Memang konsili

membuka pikiran umat katolik, kemudian hati mereka, terhadap umat beragama lain

dan dengan demikian mendorong berbagai gelombang dialog antar agama di tingkat

lokal. Stimulus dan pandangan-pandangan baru terus bermunculan dalam pikiran dan

berbagai pernyataan publik dari para pastor di pusat Gereja Katolik roma. Salah satu

pendorong utama untuk terus menerus mengadakan dialog adalah sekretariat Vatikan

untuk agama-agama Non-Kristiani, yang dibentuk tahun 1964 oleh Paus Paulus VI

dengan tugas mengamalkan sikap konsili yang baru terhadap agama-agama lain secara

serius. Sebagai hasil dari penerapan visi dan pengalaman dari apa yang terjadi saat

berjumpa dan berbicara dengan mereka dari agama lain, sekretariat itu kemudian sadar
bahwa namanya harus diganti. Di tahun 1989, sekretariat berganti nama menjadi Komisi

Vatikan untuk dialog antar agama. Agama-agama Non-Kristiani seperti Hindu, Budha,

dan islam yang selama ini di pahami secara negatif kini menjadi rekan berdialog.

Namun desakan yang paling kuat dan gigih untuk lebih terbuka terhadap agama-agama

lain sejak Vatikan II datang dari Paus Yohanes Paulus II yang bertakta saat itu.

Walaupun Paus Paulus VI di juluki paus dari Dialog kelihatannya pandanganya tidak

beranjak sedikitpun dari keyakinan bahwa hanya ada satu agama yang benar, Agama

Kristiani, dan bahwa hanya didalam gereja seseorang dapat meraskan satu hubungan

yang autentik dengan Tuhan. Yohanes Paulus II melangkah melampaui ini. Hal ini

terbukti dalam apa yang dikatakannya dan lebih nyata lagi dalam apa yang

diperbuatnya. Ia terus menerus berhubungan dengan umat beragama lain, dari kegiatan-

kegiatan yang tergolong berani untuk mengumpulkan agama-agama yang berbeda untuk

bersama berdoa bagi perdamaian pada tahun 1986, sampai perjalanannya ke

palestina/Israel, dalam keadaan sakit dan lemah, menjelang akhir masa jabatannya

sebagai paus untuk mengusahakan terciptanya komunikasi dengan dan antar umat

muslim dan yahudi, dan memohon pengampunan terhadap berbagai dosa umat katolik

di masa silam.

Barangkali sumber energi utama bagi perjalanan paus untuk berdialog adalah

pemahaman, dan pengalamannya, akan Roh Kudus. Ada yang menyebut bahwa hal

yang berfokus pada roh ini adalah satu Kontribusi tunggal. Yohanes Paulus II terhadap

teologi Agama-Agama Katolik yang sedang berkembang. Bagi Yohanes Paulus, alasan

mendasar mengapa ada begitu banyak harta spiritual dalam agama-agama dunia,
mengapa dibawah permukaan perbedaan mereka yang begitu besar terdapat suatu arus

bawah persatuan, mengapa dialog antar umat beragama begitu penting dan begitu

menjanjikan, adalah kenyataan adanya satu roh yang hidup dan aktif sebelum dan

sesudah kristus, di dalam berbagai usaha dan penemuan religius umat manusia. Paus

mengingatkan sesama umat kristiani bahwa roh ini penuh dengan kejutan karena ia

bertiup kemana ia mau (Yoh. 3:8). ada banyak agama namun hanya satu roh yang

berusaha berbuah di dalam mereka semua.

E. Kata Sukar

1. Diversity

2. Fragile Indentities Towards a Theology of Interreligious Hospitality


DAFTAR PUSTAKA

Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology Of Religious pluralism ( Mariknoll,


N.Y.: Orbis Books, 1997), Halm 173

Redoptoris Hominis (1979) II,; Baca juga Jhon Paul II’s Encyclical on the Holy Spirit
Dominum et Vivincaniem (1986).

Internatinal Theological Commission “Christianity and The Word Religions” (1997)


Hal 84, 87, dalam Origins CNS Documentary Series Agust 14 1997

Anda mungkin juga menyukai