O
L
E
H
KELOMPOK III
ISRAEL IRVAN ADU
CINDY SALINDEHO
SEMESTER V
SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN LANTERA BANGSA MANADO
2023
Abstract : Israel .I.A, the finality of Christ as an objective standard of truth for believers in
the era of globalization. From era to era, human perspectives on the person and role of the
Lord Jesus Christ change. Shifts in beliefs and diverse ways of thinking about Christianity
are also occurring in the Western world and even in Indonesia. Nowadays, skepticism
regarding the possibility of knowing the truth is growing among society. To respond to the
various perspectives and phenomena of beliefs and teachings that are focused on Indonesian
society regarding the finality of Jesus Christ, it is deemed necessary to present a written
presentation to answer them. By studying several aspects of relevance, both related to
Christianity and issues of time, meaning of teaching and context, it is hoped that there will be
a correct understanding of the values of finality in a pluralist society in Indonesia.
Keywords”: The finality of Christ, the finality of Christ in the era of globalization.
Abstrak : Israel .I.A, finalitas kristus sebagai standar kebenaran yang obyektif Bagi orang
percaya di Era globalisasi . Dari zaman ke zaman Sudut pandang manusia terhadap pribadi
dan peran Tuhan Yesus Kristus berubah-ubah. Pergeseran Kepercayaan dan dari cara
pemikiran yang beragam tentang kekristenan juga terjadi di dunia Barat dan bahkan di
Indonesia. Masa kini skeptisme mengenai kemungkinan untuk mengetahui kebenaran
kebenaran semakin berkembang di kalangan masyarakat. Untuk Menyikapi berbagai
perspektif dan fenomena keyakinan serta ajaran yang ada di focus kan pada masyarakat
Indonesia mengenai finalitas Yesus Kristus ini maka dipandang perlu untuk menghadirkan
sebuah pemaparan tertulis untuk menjawabnya. Dengan mempelajari beberapa aspek aspek
relevansi, baik berkaitan dengan kekristenan maupun masalah waktu, makna pengajaran dan
konteks maka diharapkan ada pemahaman nilai nilai finalitas yang benar yang di dalam
masyarakat pluralis di Indonesia.
Namun tanpa disadari metode tolerasi (dialog lintas agama) yang dikembangkan oleh
Gereja di Indonesia secara khusus dan dunia secara umum telah merubah arti dan hakekat
dari iman Kristen itu sendiri. Metode dialog antar umat beragama yang pada mulanya hanya
sekedar wadah persekutuan dan sebagai ekspresi saling menghargai dan menghormati. Dalam
perkembangannya berubah menjadi usaha dari masing-masing agama dan antar umat
beragama yang lainnya untuk saling mempelajari kesamaan-kesamaan kebenaran yang
mereka anut, sampai taraf dimana mereka dapat saling menerima keabsahan dan kebenaran
semua agama (Pluralisme Agama).
Jadi gerakan pluralisme agama dan Teologi Religionum ini adalah suatu gerakan
yang sangat berbahaya di dalam menghancurkan identitas iman Kristen dan juga menjadi
tantangan bagi iman Kristen. Teologi Religionum ini bukanlah sekedar suatu konsep
sosiologis, antropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bukan bertolak dari Alkitab,
melainkan dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi dan di dukung oleh
keberadaan social-politik yang mendukung kemajemukan etnis, budaya dan agama, serta
disponsori oleh semangat globalisasi, filsafat relativisme dan filsafat postmodernisme. 4
METODE
Untuk membahas topik ini, penulis melakukan sebuah kajian dari beberapa sumber
pustaka.Kajian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji sumber-sumber pustaka
sebagai sumber data yang kemudian diuraikan dalam sebuah uraian sistematis sesuai dengan
kerangka berpikir yang penulis kemukakan. Penulis memilih beberapa sumber pustaka yang
berkaitan dengan topik bahasan dan disertai beberapa pendapat para teolog yang mengajar
pada beberapa Perguruan Tinggi Teologi di Indonesia maupun di luar negeri maupun juga
lewat seumber sumber yang ada untuk mendukung pembahasan topik. Sumber utama dalam
penelitian ini adalah Finalitas Kristus, Finalitas Kristus di Era globalisasi.
3
Paul F. Knitter, No Other Name (New York: Orbis Books, 1985), hlm. 37
4
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia – Theologia Religionum (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003). Tokoh yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan pemikiran teologi religionum adalah
Martin Sinaga dan Th. Sumartana, dll.
Pengertian Relevansi
Secara umum, arti dari relevansi adalah kecocokan. Relevan adalah bersangkut paut,
berguna secara langsung. Relevansi berarti kaitan, hubungan Menurut Green (1995:16),
relevansi ialah sesuatu sifat yang terdapat pada dokumen yang dapat membantu pengarang
dalam memecahkan kebutuhan akan informasi. Dokumen dinilai relevan bila dokumen
tersebut mempunyai topik yang sama, atau berhubungan dengan subjek yang diteliti (topical
relevance). Pada berbagai tulisan mengenai relevance,topicality (topik) merupakan faktor
utama dalam penilaian kesesuaian dokumen. Froelich dalam Green (1995:16) menyebutkan
bahwa inti dari relevance adalah topicality. Joan M. Reitz (2004:606) mengemukakan bahwa
“relevance the extent to which information retrieved in a search of a library collection or
other resource, such as an online catalog orbibliographic database, is judged by to user to
beapplicable to (about) the subject of the query. Pendapat ini menyatakan bahwa relevansi
merupakan sejumlah informasi terpanggil dalam sebuah pencarian pada koleksi perpustakaan
atau sumber lainnya,seperti catalog online atau basis data bibliografi, yaitu informasi yang
diberikan sesuai dengan subjek pada query dan relevan dengan kebutuhan pengguna.5
Teologi Alkitabiah
Walaupun serangan terhadap pribadi Yesus dilancarkan dari abad ke abad, namun
ada satu fakta yang tidak dapat disangkal oleh semua orang di dalam sejarah kehidupan
manusia di planet bumi, itu adalah mengenai Yesus sebagai pusat sejarah. Tentang hal ini,
Stott menulis: Yesus adalah pusat dari sejarah. Sedikitnya satu porsi besar umat manusia
terus membagi sejarah menjadi Sebelum Masehi dan Sesudah Masehi dengan merujuk
kepada kelahiran-Nya. Pada tahun 2000, populasi dunia mencapai 6.000 juta jiwa, sedangkan
jumlah orang Kristen diperkirakan sebesar 1.700 juta jiwa, atau sekitar 28 persen. Maka
hampir sepertiga umat manusia mengaku mengikut Dia.8
6
N.n. Universitas Sumatera Utara, 1.
7
Ajith Fernando, Supremasi Kristus (Surabaya:
Momentum, 2006), xiii.
8
John Stott, Kristus yang Tiada Tara (Surabaya:
Momentum, 2007), 1.
tertentu di dalam sejarah.9 Von Rad menerangkan,“Sejarah ini dapat disebut sebagai sejarah
penyelamatan Heilsgeschichte karena, sebagaimana yang disajikan, penciptaan itu sendiri
dipahami sebagai tindakan penyelamatan dari Allah dan karena menurut apa yang
dinubuatkan oleh para nabi, kehendak Allah untuk menyelamatkan adalah untuk mencapai
sasaran itu, sekalipun ada banyak tindakan penghakiman. Jadi, telah jelas bahwa von Rad
memakai pemahamannya tentang sejarah Perjanjian Lama sebagai suatu skema hermeneutis
untuk menafsirkan Perjanjian Lama.
Teolog-teolog seperti Bengel, Beck dan von Hofmann menerangkan hubungan antara
kedua Perjanjian dalam arti rencana keselamatan Allah yang lengkap dan berkesinambungan.
Sedangkan teologi Alkitab modern, pada segi lain, menekankan ketidaksinambungan, baik
dalam Perjanjian Lama sendiri maupun di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Von
Rad menolak pandangan ekstrem tentang kesinambungan dan ketidaksinambungan yang
demikian dan mengusulkan adanya kesatuan antara kedua Perjanjian dengan pengertian
bahwa “tujuan sebenarnya hubungan Allah dengan Israel adalah kedatangan Yesus Kristus”.
Ia berpendapat bahwa ada suatu “analogi struktural” antara peristiwa-peristiwa penyelamatan
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Peristiwa-peristiwa Perjanjian Lama dimengerti
dalam konteks karya Allah dalam sejarah, yang digenapi dalam Yesus Kristus. Sesungguhnya
hanya dalam peristiwa Kristus, analogi dan penyesuaian dengan peristiwa-peristiwa
sebelumnya menjadi sungguh-sungguh berarti: Kedatangan Yesus Kristus secara nyata dalam
sejarah tidak memberi pilihan bagi penafsir; penafsir harus menafsirkan Perjanjian Lama
sebagai kitab yang menunjuk pada Kristus, sehingga Kristus harus dipahami dalam cahaya
Perjanjian Lama. Kristus perlu sekali untuk memahami Perjanjian Lama dan Perjanjian Lama
perlu sekali untuk memahami Kristus. Tanpa peristiwa penyelamatan Perjanjian Baru,
Perjanjian Lama hanya akan dimengerti secara tidak sempurna; dan tanpa Perjanjian Lama,
kesaksian Perjanjian Baru terhadap Kristus terpaksa ditafsirkan ulang secara radikal. 10
Kristus Sebagai Pusat Pemberitaan Perjanjian Baru Tujuan utama Perjanjian Baru
ialah bersaksi tentang suatu peristiwa sejarah, yakni kelahiran, pelayanan, kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus. Peristiwa ini unik, sebab di dalamnya Allah sendiri telah campur
tangan di dunia untuk menyelamatkan manusia; tetapi peristiwa ini tidak terisolasi, sebab
merupakan titik tengah suatu sejarah yang berlanjut dari penciptaan dunia hingga akhir
zaman. Pada segi lain, Perjanjian Baru menghubungkan Yesus dengan sejarah masa lalu,
menunjukkan Dia sebagai puncak karya Allah dalam penciptaan dan dalam sejarah Israel.
Perjanjian Baru menegaskan bahwa akhir zaman sudah mulai dalam Yesus Kristus,
yang menunjukkan makna peristiwa-peristiwa Perjanjian Lama sepenuhnya dengan memberi
konteksnya yang lengkap. Jadi penafsiran Perjanjian Lama secara Kristen adalah akibat
9
Gerhard F. Hasel, Teologi Perjanjian Lama
(Malang: Gandum Mas, 1992), 129.
10
David L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian
(Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 163-163.
langsung dari iman kepada Yesus Kristus. Di dalam Kristus setiap peristiwa Perjanjian Lama
mendapat konteks eskatologis sehingga arti sepenuhnya menjadi terang, dan sekaligus
peristiwa itu menerangi peristiwa pokok sejarah keselamatan (kedatangan Kristus). Dalam
peristiwa kedatangan Kristus, Allah telah menggenapi janji janji dan memenuhi tuntutan-
tuntutan Perjanjian Lama. Oleh karena itu, inti hubungan antara kedua Perjanjian
menyangkut sejarah, bukan ajaran; suatu hubungan antara dua rangkaian peristiwa dalam
rencana sejarah keselamatan yang saling melengkapi, bukan antara dua kumpulan kebenaran
yang kekal.11
Kata “Plural” berasal dari kata bahasa Inggris yang artinya “jamak” dan ketika kata ini
ditambah akhirannya menjadi “Pluralitas” ini berarti “kemajemukan”. Dan jika akhir dari kata
11
Ibid, 182.
12
Ibid, 182.
“plural” ini ditambah dengan kata “isme” ini berarti ada ajaran-ajaran/isme-isme di dalam
kemajemukan agama. Jadi arti “Pluralisme Agama” adalah gerakan yang berupaya untuk
mempersatukan agama-agama agar kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling
mengisi dan melengkapi. Jadi dengan kata lain mereka saling membuka diri untuk saling dapat
menerima semua keberadaan agama-agama yang lainnya, 13dengan tidak membicarakan atau
mempertajam keberbedaan pengajaran mereka masing-masing.
Kata “Teologi” berasal dari Yunani “Theos” dan “Logos”. Kata Theos artinya Allah, dan
kata logos sendiri artinya Firman/Kebenaran yang dinyatakan. Jadi “Teologi“ artinya suatu
peryataan atau interprestasi kebenaran tentang Allah. Jadi “Theology is taught by God,
teaches of God, and leads to God.14
Sedangkan kata “Religionum“ berasal dari bahasa Inggris “Religions“ yang artinya
agama-agama. Jadi pada waktu kata ini digabung menjadi teologi religionum (Theology of
Religions) secara umum pengertian ini oke-oke saja. Tetapi secara khusus saya tidak setuju
karena jika ke dua kata ini dilihat dari iman Kristen, ini tidak mungkin dapat digabung, mari kita
ulas. Pengertian teologi secara umum dimengerti sebagai bentuk studi tentang Tuhan (Atribut-
atribut-Nya dan sifat-sifat-Nya) yang telah Ia nyatakan melalui Alkitab sebagai wahyu khusus.
Jika istilah kata “teologi“ digabung dengan kata “religionum“ menjadi “teologi religionum“ ini
artinya kita mengakui adanya Tuhan yang benar di dalam agama-agama yang lain, di luar
kekristenan. Jika demikian arti teologi religionum adalah suatu gerakan yang berupaya untuk
mempersatukan agama-agama yang ada dengan spirit menolak semua klaim agama yang
bersifat ekslusif, absolute, unik dan final. Mereka memiliki cita-cita untuk melahirkan suatu
konsep agama yang baru dan agama ini saya sebut sebagai agama bersama (Together
Religion). 15
1. Perjanjian Lama
13
Barclay M. Newman, A Consice Greek-English Dictionary of the New Testament (Stuttgart: Deutsche
Bibelgesellschaft, …), hlm.100.
14
D.F. Wright, “Theology,” New Dictionary of Theology, ed. by Sinclair B. Ferguson (Leicester: Inter-Varsity
Press, 1994), hlm. 681
15
Theology yang benar dibangun dengan prinsip “The Christology from Above” yaitu teologi yang dibangun dari
atas ke bawah. Berteologi dengan cara ini sangat mementingkan teks dibandingkan dengan konteks dan bersifat
ontological.
Ketika Tuhan memanggil Abraham sebagai Bapa orang Israel untuk keluar dari
Urkasdim. Panggilan Tuhan ini disertai dengan penyataan khusus (Special Revelation) dari
Allah. Panggilan khusus inilah yang menjadi asal-muasal agama orang Israel, yaitu agama
yang lahir dari atas (Tuhan) ke bawah (manusia). Sedangkan agama-agama lain di luar Israel
adalah agama-agama yang lahir dari manusia sebagai ekspresi terhadap wahyu umum
(General Revelation).
Ketika dua sumber agama ini hadir di PL, berarti pada saat itu sudah ada persoalan
dalam kemajemukan agama yaitu agama penyataan khusus dan agama penyataan umum.
Dimana agama penyataan umum berusaha untuk membuang keunikan iman bangsa Israel,
supaya dapat beribadah dengan agama mereka yang menyembah berhala-berhala. Sebagai
contoh ketika raja Israel yaitu Ahab menikah dengan Izebel anak raja Tirus, maka akhirnya
raja Ahab dipengaruhi istrinya untuk menyembah Baal dari Tirus, agar dijadikan sebagai resmi
di Israel. Tetapi upaya Izebel ini di lawan oleh nabi Elia (1 Raja 18) dengan cara menantang
para nabi-nabi palsu mereka. Dan Elia pada saat itu membuktikan bahwa Allah Yahweh
adalah Allah yang sejati yang layak untuk disembah dan bukan berhala-berhala (Kel 20:2-5).
Jadi di PL Allah sangat mengecam dan tidak kompromi dengan kegiatan-kegiatan ibadah dari
ilah-ilah asing untuk masuk dalam komunitas umat-Nya (dengan sikap Eksklusif).
Allah memang mengajarkan umat-Nya agar memiliki sikap yang eksklusif terhadap
agama-agama asing yang tidak mempercayai Allah Yahweh atau Allah yang esa (Ul 6:4).
Agama-agama asing yang ada pada saat itu sangatlah tidak cukup untuk mengerti wahyu
umum karena sifatnya mereka hanya dapat berespon terhadap wahyu umum. Oleh karena itu
mereka sangat membutuhkan “penerangan dari kepercayaan bangsa Israel“ dan penerangan
itu di dapat hanya melalui pengenalan terhadap Allah Yahweh, sebagai agama resmi bangsa
Israel pada saat itu.16
2. Perjanjian Baru
Kemajemukan agama di dalam era Perjanjian Baru sangat nampak terjadi. Hal ini
nyata dengan adanya agama-agama rakyat yang tersebar di berbagai tempat pada era
pemerintahan kaisar Romawi (Pantheon Greko Romawi).17
Mereka pada saat itu menyembah kepada “Realitas Ilahi“ yang tidak berpribadi,
namun ada dan diam di alam semesta dan diri manusia (Pantheisme & dualisme), misalnya
kepada dewi Diana di Korintus, dewi Isis dan Osiris di Mesir, para Baal di Siria, dewa Mitras di
Persia dan dewi Kybele di Asia kecil. Hal ditambah lagi dengan agama rakyat Yunani yang
percaya pada Jupiter (Zeus), Juno (Hera), Neptune (Posedon), Marcury (Hermes).
16
Richard S. Hess, Pluralisme agama di Israel Kuno “Satu Allah Satu Tuhan” (Jakarta: BPK Gunung Mulai,
1997), hlm. 32.
17
Pantheon Greko Romawi artinya pemujaan yang bebas terhadap banyak dewa.
Selain berhadapan dengan kemajemukan agama pada saat itu. Gereja mula-mula
juga berhadapan dengan kemajemukan iman yang pada saat itu ada, yaitu: penyembahan
kepada Kaisar, Agama Yudaisme dan Filsafat Helenistik. 18 Penyembahan kepada kaisar pada
saat itu bersifat mutlak dan tidak dapat di tawar-tawar lagi. Mereka percaya bahwa kaisar
merupakan titisan dewa yang memiliki kuasa ilahi karena berasal dari dunia metafisik.
Penyembahan kepada kaisar ini juga merupakan ekspresi kesetiaan rakyat kepada kaisar.
Oleh karena jika para pengikut Kristus pada saat menolak untuk menyembah Kaisar dan tetap
mempertahankan imannya kepada Yesus, mesti resikonya mengalami penganiayaan dan
hukuman mati (band. Kol 2:18-19). Mereka tetap setia kepada Kristus dan tetap bersikap
Ekslusifitas.
Sikap gereja saat menghadapi kemajemukan agama pada saat itu tetap eksklusif.
Pengikut Kristus pada saat itu disebut sebagai “Kristen”. Kata ini saja sudah menjelaskan
sikap yang eksklusif dan special (Kis 11:26, 26:28 & I Pet 4:16). Sebutan kata “Kristen” ini
sering dipakai oleh mereka yang tidak percaya kepada Kristus sebagai bentuk kata
pengejekan. Walaupun demikian orang-orang Kristen pada saat itu tetap bangga dengan
kepercayaannya kepada Kristus dan menolak agama-agama lain di luar Kristus. Walaupun
orang-orang Kristen pada saat itu bersikap eksklusif bukan berarti mereka tidak bergaul
dengan mereka (Yudaisme dan Helenistik, dll). Sebagai contoh, ketika Barnabas dan Paulus
berhadapan dengan agama-agama lain, yang memuja dewa Zeus dan Hermes. Mereka
menghadapinya dengan sopan, arif dan menghargai. Maksudnya tidak ada sikap untuk
menghakimi kepercayaan mereka itu. (KPR 14). Jemaat di Korintus juga hidup berdampingan
dengan agama-agama lain (1 Kor 8-11).
Contoh yang lainnya adalah tentang latar belakang dari penulis Injil Matius yang
mengalamatkan Injilnya pada orang-orang Kristen Yahudi, dengan tidak mengambil
pengajaran Yudaisme. Demikian juga dengan penulis Injil Lukas dan Injil Yohanes, yang
mengalamatkan suratnya kepada orang Kristen Yunani. Baik Lukas dan Yohanes tidak
memakai pemikiran Helenistik di dalam tulisannya, kecuali penggunaan istilah. Sikap para
penulis Injil menunjukkan kepada kita bahwa sikap eksklusif sangat Alkitabiah.
Di dalam Sejarah
18
Tim Dowley (ed), The History of Christianity (Oxford: A Lion Book, 1977), hlm. 21.
Clement (150-215) berpendapat bahwa “pengenalan akan Allah bagi orang Yahudi adalah
melalui “Torat”, sedangkan bagi orang Yunani adalah melalui filsafat inspirasi “Logos”.
Origenes juga berpendapat bahwa “pada akhirnya, semua mahluk akan diselamatkan,
termasuk setan. Pandangan mereka ini mempunyai dampak sampai abad pertengahan19.
Johann Wilhelm Peterson (1649-1717) & Ernest Christoph Hockmann (1670-1721). Ke dua
tokoh ini mengajarkan mengenai konsep pemulihan akhir dari jiwa-jiwa kepada Allah.
Pengajaran mereka ini sampai membangkitkan “Universalisme” di Amerika.
Pengaruh konsep universalisme sangat mempengaruhi pemikiran Friedric S dan tokoh ini
sering disebut sebagai bapak Teologi Liberal karena konsep-konsep pemikirannya yang
radikal. Ia berani mengkritik Alkitab, bahkan menghasilkan suatu konsep yang menyatakan
bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan, tulisan Injil-injil bukanlah laporan tentang Yesus yang
histories, melainkan Yesus yang di percayai (diimani). Maksudnya para penulis Injil tidak
menulis Yesus yang sesungguhnya, yaitu Yesus yang histories yang sungguh-sungguh
pernah ada. Jadi bagi Schleirmacher para penulis Injil hanya menulis Yesus berdasarkan apa
yang mereka tangkap dengan iman dan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Bahkan ia
percaya ada unsure rekaan dari para penulis Injil. Karena ada jurang pemisah antara waktu
Yesus hidup dengan waktu penulisan Injil itu sendiri. Oleh karena itu bagi Schleirmacher
setiap para penafsir Alkitab harus menyingkirkan mitos-mitos, khususnya yang berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa mujijat yang tidak rasional seperti apa yang dilakukan oleh Yesus
dan karya-karya-Nya. 20
Melalui konsili ini sikap katholik yang tadinya eksklusif berubah menjadi inklusif. Mereka
memutuskan bahwa “Kebenaran bukan hanya milik orang Kristen saja.“ Keputusan konsili ini
menjadi pijakan baru di dalam menjawab tuntutan dalam hidup bersama dengan agama-
agama lain. Konsili melahirkan konsep demikian:
“Mereka (agama-agama lain) juga dapat memperoleh keselamatan yang kekal, yang bukan
karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Injil Kristen atau gerejanya, namun toh dengan
tulus ikhlas mencari Allah dan tergerak oleh anugerah, berupaya dengan perbuatan-perbuatan
mereka melakukan kehendak-Nya sebagaimana diketahui melalui hati nuraninya.21
19
N.T. Wright, Universalism “New Dictionary of Theology”, Sinclair B. Ferguson (ed) , hlm. 702
20
J.B. Webster, Friedrich Schleiermacher “ New Dictionary of Theology“, hlm. 619.
21
Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm 275.
D. Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia di Uppsala (1968)
Sidang ini berhasil merumuskan sikap teologis dari kalangan protestan terhadap
agama-agama lain yang harus terbuka. Misalnya, aspek Perintah Amanat Agung (PI)
dihilangkan di dalam tugas gereja dan diarahkan pada dialog lintas agama. Konsep
keselamatan, diubah menjadi keselamatan manusia dari penderitaan di dunia, konsep berita
Injil diubah menjadi “Social Gospel.22
Sidang di Uppsala ini menjadi benih awal, terbuka protestan terhadap agama-agama lain dan
juga konsep teologis tentang misi dan hakekat gereja. Dan rumusan-rumusan Uppsala menjadi pemicu
dan pendorong untuk teologi religionum berkembang di gereja-gereja di dunia dan juga di Indonesia.23
Hink adalah seorang dosen di “Claremont School of Theology, USA“. Sekolah ini
sangat terkenal di Amerika sebagai sekolah yang Liberal. John Hick sangat dipengaruhi oleh
pemikiran “Johann Wilhelm Peterson (1649-1717) & Ernest Christoph Hockmann (1670-1721)“
tentang “Universalisme“.
22
Roger Hedlund, “Document Seventeen, Section II of the Uppasala Report”, Roots of the Great Debate in
Mission (Bangalore: Theological Book Trust, 1997), hlm. 243.
23
Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif, ....hlm. 70. dan juga, Olaf Schumann, Dialog antar
Umat Beragama, Di manakah kita berada kini? (Jakarta: LPS-DGI, 1980), hlm. 57.
24
Bong Rin Ro, “Salvation In Asia Contexts,” Salvation, Some Asian Perspective, edKen Gnanakan di dalam bukunya “Pluralist Predicament”
(Banglore: Theological Trust Book, 1992). Ia melihat tiga sikap pendekatan gereja di dalam memahami agama-agama lain. Pertama,
Eksklusivisme; Kedua, Inklusif-Sinkretisme; Ketiga, Pluralisme-Relativisme.
25
John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1985), hlm. 35.
Hick apa yang tercatat di dalam Injil mitos atau lagenda sifatnya termasuk juga tentang pribadi dan
karya Yesus. Hick berani menyerukan agar untuk setiap orang Kristen untuk membuka diri untuk
mencari pengertian yang baru tentang Yesus di dalam sejarah dan di dalam konteks sekarang.26
Ia adalah teolog dari Taiwan yang beraliran Pluralisme. Bagi Song “Semua sejarah
adalah sejarah Allah dan sekaligus sejarah keselamatan dan tidak ada sejarah, bahkan
sejarah Cina atau Vietnam yang berada di luar sejarah Allah. Sejarah ada di dalam Allah dan
kembali kepada Allah.27khususnya ia menolak adanya wahyu khusus di dalam dan melalui
Yesus Kristus. Bagi Song orang Kristen yang menyembah Yesus sebagai Allah yang hidup,
mereka ini sedang hidup dalam penyembahan berhala. Bagi Song Yesus sendiri tidak
memahami diri-Nya sebagai Allah dan Yesus justru memberitakan tentang Allah Bapa dan
bukan diri-Nya sebagai Allah.28 Song berusaha juga untuk membuang konsep “Sentrisme“ yang
sudah berakar dalam pemahaman doktrin Kristen, bahwa Yesus Tuhan dan Juruselamat. 29 Ia juga
tidak percaya bahwa bahwa Israel, Yesus Kristus dan Gereja-Nya sebagai pusat sejarah keselamatan,
yang dimulai dari penciptaan sampai penggenapan akhir.30 Song sangat dipengaruhi oleh sidang
raya gereja-gereja se-dunia di Upsalla (1968) dan hal ini nyata melalui konsep-konsepnya.
Song menekankan bahwa sejarah keselamatan bukan hanya menyangkut aspek keselamatan
yang bersifat rohani saja, melainkan juga berkaitan dengan keselamatan manusia dari
dehumanisasinya karena masalah sosial, politik dan ekonomi. Bagi Song semua sejarah umat
manusia merupakan penyataan Allah.
26
John Hick, The Metaphore of God Incarnat: Christology in Pluralistic Age (Philadelphia: Westminster/John
Knox, 1993), hlm. 163.
27
Choan Seng Song, The Compassionate God, ….. hlm. 57.
28
Choan Seng Song, Jesus and the Reign of God (Minneapolis: Fortress Press, 1993), hlm. 31.
29
Choan Seng Song, The Compassionate God, ….. hlm. 16.
30
Ibid., hlm. 25.
Keberadaan negara Indonesia yang memiliki keragaman (kemajemukan) budaya,
suku, bahasa dan agama. Dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang memayungi
dan mengayomi secara hukum adanya keberagaman agama ini. Sangat mendorong di dalam
perkembangan teologi religionum di Indonesia.
Isi surat gembala Majelis Sinode Am GPI di atas sangat kental nuansa “Pluralisme”.
Dan hal ini hanya sedikit contoh yang ada dan nyata, belum lagi yang belum ketahuan tetapi
secara diam-diam ajaran dan sikap pluralisme sudah masuk ke dalam gereja secara halus dan
mulus.Agama-agama dan kerukunannya ditengah-tengah kemajemukan dan keunikan agama,
memang sangat didukung oleh undang-undang dan kesadaran akan perlunya toleransi. Oleh
karena itulah toleransi antar umat beragama di Indonesia sangat tumbuh subur di Indonesia.
Namun tolerasi ini yang pada mulanya dalam bentuk dialog lintas agama. Dalam
perkembangannya berubah ke arah saling menerima ajaran-ajaran dan mengakuinya sebagai
kebenaran yang dari Tuhan dan membuang semua keunikan, keabsolutan, finalitas dari ajaran
agama-agama lain. Dan yang lebih ekstrim lagi mereka (yang bersikap: Inklusivisme
Relativisme, Akomodasi, Pluralisme) merindukan adanya gerakan untuk menghadirkan
konsep agama yang baru yaitu agama bersama (Together Religions) dengan basic teologi
adalah “Teologi Religionum”.Perkembangan gerakan teologi religionum di Indonesia yang
pesat ini bukan begitu saja berkembang. Tetapi sudah melalui proses waktu 15-20 tahun
terakhir ini. Apalagi semakin gencar-gencarnya konflik antara agama yang terjadi di
Indonesia, yang menuntut adanya pertemuan-pertemuan antara para pemimpin agama di
31
Surat Gembala “Majelis Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia”, yang bersidang di Jemaat GPIB Paulus dari
tgl 30 Juli sampai 2 Agustus 2005, sungguh menggumuli dan membahas tentang berbagai persoalan yang
menjadi kelemahan serta tantangan Gereja dalam pelayanannya ke masa depan….Persoalan yang krusial
adalah menyangkut kinerja dan partisipasi Gereja Prostestan di Indonesia di tengah kemajemukan masyarakat
Indonesia dalam krisis multidimensional.
Indonesia. Membuat para pemikir kristiani untuk mencoba merefleksikan ulang tentang teologi
yang tepat pada konteks Indonesia yang majemuk ini.
Kekristenan adalah Kristus dan Kristus adalah pusat dari kekristenan. Mengapa
demikian? Karena segala sesuatu tentang kekristenan ditentukan oleh pribadi dan pekerjaan
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Bahkan seluruh kehidupan dan sifat
kekristenan sampai hal-hal yang sederhana juga ditentukan oleh Yesus Kristus. Kristuslah
asal mula adanya kekristenan dan yang akan menggenapkan seluruh rencana keselamatan
bagi umat manusia.
Finalitas Kristus ada pada diri-Nya sendiri dan tidak tergantung pada apapun juga,
seperti teologi Kristen, Pengakuan Iman Gereja, dan Apologetika Kristen. Walaupun hal itu
penting, namun finalitas Kristus melampui semuanya itu karena Dia Allah yang Omniprence,
Omnipotence, Omniscience dan Immutability. Maksudnya Finalitas Kristus tidak tercipta di
dalam proses waktu karena Ia adalah yang awal (Alfa) dan yang akhir (Omega).
Jati diri Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat ada karena Ia sendiri yang
menyatakan-Nya. Yesus berkata :
“Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?“ Maka jawab Simon Petrus: ”Engkau adalah
Mesias, Anak Allah yang hidup!“ Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin
Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di
sorga.32
Jika kita mengaku sebagai seorang Kristen, tetapi salah di dalam pengenalan kita
akan Yesus, maka hal ini akan berakibat fatal dalam keseluruhan hidup kita. Kefatalan ini akan
tersingkap di dalam hal bersikap, berpikir, berbicara dan bertingkah laku yang tidak sesuai
32
Matius 16:15-17
dengan prinsip-prinsip yang Yesus ajaran. Demikianpun dengan penganut teologi religionum
yang menolak finalitas Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya. Walaupun
Alkitab sudah jelas-jelas menyaksikan bahwa Yesus Tuhan dan Juruselamat satu-satunya.
Yesus berkata,
“Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, tidak seorangpun datang kepada Bapa
kecuali melalui Aku.33
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab dibawah
kolong langit ini tidak ada nama lain. Yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan.34
“Dengan adanya sub-ordinasionisme fungsional di dalam Injil Yohanes, penulis Injil ini
(Yohanes) memandang figur “Anak Manusia” sebagai suatu “oknum” atau “hakikat” adikodrati
yang lebih rendah kedudukan-Nya dari Allah, yang dalam ketaklukan-Nya kepada Allah
menerima tugas pengutusan untuk turun ke dalam dunia. Kedudukan Anak Manusia yang
“lebih rendah“ ini menyiratkan bahwa oknum “Anak Manusia“ itu adalah oknum atau suatu
hakikat adikodrati yang terpisah dari Allah.36
Apa yang tercatat di di dalam Injil Yohanes justru tidak sama dengan apa yang
dipaparkan oleh Ioanes. Jadi mana yang salah, yach sudah jelas adalah Ioanes dan Alkitab itu
tidak salah di dalam penyataannya. Seluruh isi dari Injil Yohanes yang mempunyai tujuan
yaitu:
“Supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.“37
33
Yohanes 14:6
34
Kisah Para Rasul 4:12
35
Paul F. Knitter, No Other Name? …, hlm 158.
36
Ioanes Rakhmat, “Kristologi Anak Manusia,” di dalam Injil Yohanes dan Monotheisme Yahudi, Dalam kumpulan
Allah Kumpulan Karangan dalam Rangka Dies Natalis STT Jakarta ke-60, 1990, hlm. 63. Ioanes juga setuju
dengan dengan konsep “Teosentris” dan bukan “Christosentris”. Dalam hal ini ia sama konsepnya dengan John
Hick. Hick juga menganggap Yesus di dalam Injil adalah Mitos dan akhirnya berubah menjadi “inkarnasi Metafor“.
37
Yohanes 20:30-31
“Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.38
Dan lebih jauh lagi penyataan ajaran Yohanes tentang “Ego Emi“ yang diikuti predikat:
“Akulah Pintu“41
Setelah kita melihat tujuh predikat “Ego Emi“ diatas, Injil Yohanes mencatat ada lagi
“Ego Emi“ yang tidak diikuti predikat, misalnya: “Sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa
Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu. 46 “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia,
barulah kamu tahu, bahwa ’Akulah Dia’47
38
Yohanes 14:6
39
Yohanes 6:35,48
40
Yohanes 8:12, 9:5
41
Yohanes 10:7
42
Yohanes 10:11
43
Yohanes 11:25
44
Yohanes 14:6
45
Yohanes 15:1
46
Yohanes 8:24
47
Yohanes 8:28 band. Yes 43:10
48
Kata “Absolute“ itu berasal dari bahasa Latin “Ab-Solvere“ artinya “dibebaskan dari“. Jadi keberadaan Yesus itu
tidak bergantung kepada interprestasi manusia di dalam sejarah dan juga tanggapan-tanggapan agama-agama
lain.
B. Yesus Kristus adalah Pencipta
Firman Tuhan berkata bahwa Yesus Kristus adalah Pencipta, Pemelihara dan
Penopang alam semesta ini. Untuk lebih jelasnya mari kita memperhatikan ayat-ayat yang
menyatakannya: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang
telah jadi dari segala yang telah dijadikan.49“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud
Allah dan menopang segala yang ada dengan Firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia
selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang
tertinggi.50
Tokoh Pluralisme Asia yaitu Choan Seng Song sangat tidak menyetujui jika orang
Kristen menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Karena bagi dia tindakan
itu adalah penyembahan kepada berhala.53
Bagi Song Yesus sendiri bukan Tuhan dan Yesus tidak pernah menyatakan diri-Nya
Tuhan. Saya kira Song dan tokoh-tokoh Inklusive-Relativisme (Paul F. Knitter, Lesslie
Newbigin & Raimundo Pannikar, dll) yang lainnya tidak mempercayai penyataan Alkitab yang
bersifat absolute (mutlak), khusus dan tidak ada salahnya dalam isinya (Infallibility). Karena
sudah jelas-jelas ayat-ayat yang kita bahas di atas menunjukan Yesus Kristus itu Tuhan dan
Juruselamat.
Para tokoh-tokoh teologi Religionum ini selalu mempunyai presuposisi bahwa semua
sejarah dalam dunia ini adalah penyataan Allah dan kebenaran Allah, termasuk di dalamnya
aspek keselamatan. Dengan pandangan yang seperti ini mereka menganggap Yesus hanya
manusia biasa yang ada dalam sejarah dan tidak unik. Karena bagi mereka Yesus sama
dengan tokoh-tokoh dari pendiri agama yang lain. Mereka lupa bahwa Yesus Kristus itu
adalah Allah Pencipta.
49
Yohanes 1:3
50
Ibrani 1:3
51
Yohanes 20:28-29
52
Matius 4:10 (band. Ulangan 6:13 “Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau
beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah.”)
53
Choan Seng Song, Jesus and the Reign of God (Minneapolis: Fortress Press, 1993), hlm. 31.
Kita percaya bahwa Allah ada di dalam sejarah dan diatas sejarah. Yang mengontrol
sejarah dan yang melampaui sejarah. Tokoh-tokoh teologi religionum tidak memisahkan
antara sejarah dunia sebagai bentuk Kronos dan sejarah kebenaran sebagai penyataan Allah
yang bersifat khusus sebagai bentuk Kairos. Jadi bagi mereka semua sejarah di dalam proses
waktu keberadaannya sama dan tidak ada yang unik. Dengan demikian mereka juga tidak
dapat membedakan mana tindakan Iblis dan juga tindakan Allah, bagi mereka semuanya ini
dapat campur aduk.
Yesus Kristus sudah ada sebelum dunia dijadikan dan sebelum Ia turun ke dunia
menjadi serupa dengan manusia. Kristus tidak pernah “menjadi” Anak Allah, pada saat
kelahiran-Nya di dunia dan pada saat Ia hidup di dunia ini (Inkarnasi). Pada mulanya “Dahulu”
sampai “Sekarang” Yesus Kristus tetap adalah Anak Kekal Allah, yang ada dan kekal
bersama-sama dengan Allah Bapa. Yesus Kristus berani berkata bahwa:
Perkataan Yesus ini tidak mungkin bohong, karena apa yang dilakukan Yesus di
dalam karya-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat dapat membuktikan bahwa ia bukan penipu
(pembohong) dan juga bukan orang yang berkata-kata seperti orang gila saja.
Menurut John Hick dan Paul F. Knitter Yesus bukanlah Anak Allah dan Mesias.
Karena menurut mereka Yesus tidak mengatakan hal itu secara langsung. Jika ada orang-
orang Kristen yang mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah, Kristus, dan oknum ke dua dari
Allah Tritunggal. Hal ini dikarenakan kesalahan para penulis Injil yang telah menambahkannya
menurut iman dan pemikiran mereka sendiri tentang Yesus. Jadi bagi mereka semuanya itu
hanya mitos dari para penulis Injil.55
Pandangan mereka ini sangat tidak sesuai dengan apa yang Yesus katakan sendiri,
siapa Dia (Yesus) sesungguhnya. Di dalam Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah, hal itu
disampaikannya dengan jelas dan tuntas. Yesus berkata:
Perkataan Yesus ini merupakan perkataan yang revolusioner pada saat itu karena tidak
pernah mereka mendengar perkataan yang seperti itu. Sehingga pada waktu para pemimpin agama
54
Yohanes 8:58
55
Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (Maryknoll:
Orbis Books, 1985)
56
Yohanes 10:30
mendengar perkataan ini. Yesus dianggap menghujat karena Ia menganggap diri-Nya Anak 57Allah.
Ketika persidangan berlangsung Imam besar bertanya kepada Yesus,
“Katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak“
Yesus berkata dengan benar bahwa Ia adalah Allah, tetapi penyataan Yesus ini tidak
dapat diterima oleh para pemimpin agama pada saat itu. Dan berdasarkan kalimat Yesus ini
mereka sepakat untuk menyalibkan Yesus. Ketika Yesus dipersalahkan, Ia tetap
menghadapinya dengan keanggunan dan kesabaran. Tindakan Yesus ini menunjukan bahwa
Ia merupakan pribadi yang agung dan memiliki mutual hidup yang berbeda dari manusia
biasa. Jikalau Yesus bukan Allah bagaimana Ia dapat melalui semuanya itu dengan baik dan
mendoakan orang-orang yang menyalibkan diri-Nya di kayu salib.59
Keunikan Yesus Kristus sebagai Tuhan, juga Ia nyatakan melalui hak istimewa dan
wewenang Allah yang Ia miliki, 60yaitu:
Yesus juga memiliki sifat-sifat yang hanya Allah miliki sendiri. Misalnya, Yesus menyatakan bahwa Ia
itu Mahakuasa dan memiliki segala kuasa. Sebagai contoh:64
“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut
merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah telah dicobai,
hanya tidak berbuat dosa.74
66
Yohanes 2:7-11
67
Markus 3:10
68
Lukas 4:35
69
Yohanes 11:43-44
70
Efesus 1:20-22
71
Markus 2:8 & Yohanes 2:25
72
Matius 28:20.
73
Ibrani 2:18
74
Ibrani 4:15
Walaupun keberadaan Yesus di dalam kandungan Maria hadir secara supranatural, tetapi
proses persalinannya normal sebagaimana seorang anak lahir dari rahim ibunya. 75 Yesus sebagai
anak yang tumbuh dengan normal juga mengalami pertumbuhan secara jasmani dan mental.
Firman Tuhan berkata:
“Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat…Dan Yesus makin
bertambah besar dan bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan makin
dikasihi oleh Allah dan manusia.76
Yesus juga memiliki tubuh dan jiwa, sama seperti layaknya manusia. Yesus dapat
merasakan lapar77 dan haus. Yesus dapat mengalami kelelahan karena perjalanan yang
78
jauh79,Ia memerlukan tidur80. Yesus memiliki belas kasihan dan kasih. Yesus dapat marah
81
kepada orang-orang yang menajiskan rumah Bapa-Nya dan kepada mereka yang menolak
82
kebenaran Allah83. Yesus dapat menangis dan bersedih. Puncaknya pada waktu Ia mengalami
penderitaan dan jiwanya mengalami kesusahkan yang luar biasa ketika di kayu Salib84.
Alkitab mencatat 72 kali di dalam empat Injil Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak
Allah. Pada waktu Yesus menyebut dirinya Anak Allah, saat yang bersamaan Ia juga
menyatakan diri-Nya sebagai Allah, kepada kita sebagai anak-anak-Nya. Kemanusian dan
keallahan Yesus tidak saling bercampur, walaupun ada di dalam keberadaannya. Oleh karena
itulah kemanusiaan Yesus itu sangat unik dan sempurna. Mengapa saya katakan demikian,
karena sebagai manusia,
“Yesus tidak mempunyai dosa keturunan dan juga tidak pernah berbuat dosa“
“Yesus tidak pernah memberikan persembahan korban dan meminta pengampunan dosa
bagi diri-Nya sendiri“
“Yesus mengajarkan supaya setiap orang bertobat dan perlu mengalami kelahiran kembali,
kecuali diri-Nya tidak“
“Yesus menantang orang-orang untuk menunjukan dosa sekecil apapun yang pernah Ia
lakukan, jika memang ada“
75
Matius 1:18 (band. Kej 3:15 & Ibra 2:16)
76
Lukas 2:40,52
77
Matius 4:2; 8:2
78
Yohanes 19:28
79
Yohanes 4:6
80
Matius 8:24
81
Matius 9:36
82
Matius 21:13
83
Markus 3:5
84
Yohanes 12:27
Jadi kemanusia Yesus itu sungguh-sungguh (100%), demikian juga dengan
keallahan-Nya (100%). Ke dua esensi ini harus kita percayai dan kita pertahankan dari serang-
serangan “Defective Theology“ termasuk juga teologi religionum. Dan kita juga tidak perlu
memperdebatkan manakah dari ke dua tabiat Yesus ini yang lebih besar atau lebih super dan
akhirnya mengorbankan keunikan jati diri Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.85
John Hick sebagai tokoh teologi religionum menolak konsep inkarnasi Yesus datang ke dunia sebagai
manusia. Di dalam bukunya “The Myth of God Incarnate“86ia percaya bahwa peristiwa inkarnasi Yesus
adalah “mitos”. Setelah tidak puas dengan pemikirannya ini, lalu ia mengeluarkan buku baru yaitu “The
Metaphor of God Incarnate”87 Di dalam buku ini Hick berubah konsepnya tentang “inkarnasi sebagai
mitos dan ke inkarnasi sebagai metaphor”. Semua ini dilakukan untuk mengkritik kaum eksklusif yang
percaya peristiwa inkarnasi Yesus adalah sebagai peristiwa supranatural. Bagi Hick keselamatan
manusia tidak memerlukan perantara seperti Yesus dan juga tidak perlu pengampunan dari Yesus.
Karena Yesus hanya manusia biasa yang mau membawa manusia untuk memohon pengampunan
kepada Bapa. Pendapat Hick ini didukung oleh pandangannya tentang Doa Bapa Kami yang diajarkan
Yesus dimana kita diminta untuk meminta pengampunan kepada Bapa dan juga tentang perumpamaan
anak yang hilang, dimana pengampunan tidak memerlukan perantara.88 Bagi Hick semuanya
menjelaskan bahwa pusat dari kekristen dan keselamatan adalah Bapa dan bukan Kristus.
Hick tidak melihat teks dalam konteks yang tepat di dalam keseluruhan Alkitab, sehingga
bangunan Kristologinya berantakan dan bersifat partsial. Hick tidak melihat Alkitab secara
menyeluruh tentang Kristologi. Sebagai contoh Alkitab berkata:
“Hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa
penumpahan darah tidak ada pengampunan.89
Kesimpulan
85
Sebelum teologi religionum tampil,
86
John Hick, ed, The Myth of God Incarnate (London: SCM Press, 1977)
87
John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christology in a Pluralistic Age (Louisville:
Westminster Press, 1993)
88
Ibid., hlm 127.
89
Ibrani 9:22
finalitas Kristus sebagai Juru Selamat. Setiap orang percaya, senantiasa dituntut
dalam mempertanggung jawabkan iman mereka dan senantiasa bermisi kepada
mereka yang belum percaya kepada Kristus melalui kehidupan dan kesaksian Kristus
dalam iman mereka.90
paradigma berpikir dan sikap yang kritis terhadap pola pikir dan prinsip-
prinsip modernisme telah menghilangkan cara-cara atau pendekatan yang digunakan
masyarakat era modern untuk memahami hakikat dan kebenaran agama, karena
agama hanya berperan dalam sistem formal belaka, luput dari pencarian makna
spiritual mendasar yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan realitas tersebut, maka
konsep cara berfikir ini telah mengubah ciri dan model tatanan baru kehidupan
manusia berbasis cara berpikir yang bebas. Cara berpikir bebas ini dianggap sebagai
eksistensi dan kepribadian manusia yang lebih segar dan lebih bergerak. Tatanan baru
ini yang kemudian pada gilirannya memberi peluang bagi bangkitnya gerakan agama
baru pula. Fakta ini diperkuat oleh penalaran postmodern yang subyektif, anti
keseragaman, cenderung sinkretis-pluralis pada sektor agama. Penalaran antithesis
posmodern yang menabur benih relativisme, subjektivisme, pluralisme, dan
‘kegemarannya’ medekonstruksi hal-hal yang sudah mapan di masa lalu
menjadikannya lahan subur bagi tumbuhnya gerakan-gerakan agama baru.
90
Jurnal Teologia Pentakosta , isu relativisme agama,ivo Arbie Mauclau Kalis Stevanus.hal.52
91
https://www.neliti.com/id/publications/500780/pentingnya-memahami-finalitas-kristus-sebagai-dasar-iman-
yang-menyelamatkan-dite di kutip pada tgl.10/17/2023
DAFTAR PUSTAKA
_________Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-abu, ed., (Malang: Gandum Mas, 2004), hlm.
14
_________Enggar Objantoro, “Pluralisme Agama-Agama:
Tantangan Bagi Teologi Kristen”, Jurnal Simpson: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama
Kristen, Volume 1,
Nomor 1, Juli 2014: 61. http://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/Js/article/view/3/2.
_________Paul F. Knitter, No Other Name (New York: Orbis Books, 1985), hlm. 37
_________Ibid, 182.
_________Barclay M. Newman, A Consice Greek-English Dictionary of the New Testament
(Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, …), hlm.100.
_________D.F. Wright, “Theology,” New Dictionary of Theology, ed. by Sinclair B.
Ferguson (Leicester: Inter-Varsity Press, 1994), hlm. 681
_________Theology yang benar dibangun dengan prinsip “The Christology from Above”
yaitu teologi yang dibangun dari atas ke bawah. Berteologi dengan cara ini sangat
mementingkan teks dibandingkan dengan konteks dan bersifat ontological.
_________Richard S. Hess, Pluralisme agama di Israel Kuno “Satu Allah Satu Tuhan”
(Jakarta: BPK Gunung Mulai, 1997), hlm. 32.
_________Pantheon Greko Romawi artinya pemujaan yang bebas terhadap banyak dewa.
_________m Dowley (ed), The History of Christianity (Oxford: A Lion Book, 1977), hlm.
21.
__________Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm 275.
__________Roger Hedlund, “Document Seventeen, Section II of the Uppasala Report”,
Roots of the Great Debate in Mission (Bangalore: Theological Book Trust, 1997), hlm. 243.
__________Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif, ....hlm. 70. dan juga,
Olaf Schumann, Dialog antar Umat Beragama, Di manakah kita berada kini? (Jakarta: LPS-
DGI, 1980), hlm. 57.
__________Bong Rin Ro, “Salvation In Asia Contexts,” Salvation, Some Asian Perspective,
edKen Gnanakan di dalam bukunya “Pluralist Predicament” (Banglore: Theological Trust
Book, 1992). Ia melihat tiga sikap pendekatan gereja di dalam memahami agama-agama lain.
Pertama, Eksklusivisme; Kedua, Inklusif-Sinkretisme; Ketiga, Pluralisme-Relativisme.
__________John Hick, Philosophy of Religion (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1985), hlm.
35.
__________John Hick, The Metaphore of God Incarnat: Christology in Pluralistic Age
(Philadelphia: Westminster/John Knox, 1993), hlm. 163.
__________Choan Seng Song, The Compassionate God, ….. hlm. 57.
__________Choan Seng Song, Jesus and the Reign of God (Minneapolis: Fortress Press,
1993), hlm. 31.
__________Choan Seng Song, The Compassionate God, ….. hlm. 16.
__________Matius 16:15-17
__________Yohanes 14:6
__________Kisah Para Rasul 4:12
__________Paul F. Knitter, No Other Name? …, hlm 158.
__________Yohanes 20:30-31
__________Yohanes 14:6
__________Yohanes 6:35,48
__________Yohanes 8:12, 9:5
__________Yohanes 10:7
__________Yohanes 10:11
__________Yohanes 11:25
__________Yohanes 14:6
__________Yohanes 15:1
__________Yohanes 8:24
__________Yohanes 8:28 band. Yes 43:10
__________Kata “Absolute“ itu berasal dari bahasa Latin “Ab-Solvere“ artinya “dibebaskan
dari“. Jadi keberadaan Yesus itu tidak bergantung kepada interprestasi manusia di dalam
sejarah dan juga tanggapan-tanggapan agama-agama lain.
__________Yohanes 1:3
__________Ibrani 1:3
__________Yohanes 20:28-29
__________Matius 4:10 (band. Ulangan 6:13 “Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu;
kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah.”)
__________Choan Seng Song, Jesus and the Reign of God (Minneapolis: Fortress Press,
1993), hlm. 31.
__________Yohanes 8:58
___________Yohanes 8:58
___________Kata “Unik” berasal dari kata bahasa Inggris “Unique” yang artinya “berbeda,
tidak sama tetapi memiliki kualitas dari yang lainnya.”
___________Markus 2:10
___________Markus 16:42
________________
Yohanes 5:22
___________Yohanes 6:39,40,54; 10:17,18)
Matius 28:18
___________Markus 4:39
___________Yohanes 2:7-11
___________Markus 3:10
___________Lukas 4:35
___________Yohanes 11:43-44
___________Efesus 1:20-22
___________Markus 2:8 & Yohanes 2:25
___________Matius 28:20.
___________Ibrani 2:18
___________Ibrani 4:15
___________Matius 1:18 (band. Kej 3:15 & Ibra 2:16)
___________Lukas 2:40,52
___________Matius 4:2; 8:2
___________Yohanes 19:28
___________Yohanes 4:6
___________Matius 8:24
___________Matius 9:36
___________Matius 21:13
___________Markus 3:5
___________Yohanes 12:27
___________Sebelum teologi religionum tampil,
___________John Hick, ed, The Myth of God Incarnate (London: SCM Press, 1977)
___________https://www.neliti.com/id/publications/500780/pentingnya-memahami-
finalitas-kristus-sebagai-dasar-iman-yang-menyelamatkan-dite di kutip pada tgl.10/17/2023