Anda di halaman 1dari 7

JURNAL SUNDERMANN

pISSN : 1979-3588 | eISSN : xxxx-xxxx


https://jurnal.sttsundermann.ac.id

Analisis Fenomenologi Deskriptif terhadap Panggilan Iman Kristen untuk


Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Christian Faith in Inter-religious Relations in Indonesia: A Phenomenology Analysis

Dorkas Orienti Daeli1, Sonny Eli Zaluchu2

1 STT Banua Niha Keriso Protestan Sundermann Nias. E-mail: dorkasdaeli@sttsundermann.ac.id


2 Sekolah Tinggi Teologia Baptis Indonesia Semarang. E-mail: sonnyzaluchu@stbi.ac.id

ARTICLE INFO A B S T R A C T

The pluralistic nature of Indonesia takes place on all sides.


Submitted: November 15, 2019
One of them is pluralism in the principle of belief and
Review: November 18, 2019
diversity in adhering to the religion. Amid such diversity,
Accepted: November 21, 2019
Christianity is required to explain itself as the light and salt of
Published: November 23, 2019
the world to adherents of other religions in the spirit of
harmony and pluralism. This paper concludes that one of the
KEYWORDS
primary keys to building harmony is to develop an open,
honest, and trusting dialogue between religious communities.
Christianity, tolerance, faith, pluralism,
The dialogue will open closed doors due to mutual suspicion
religion society
and exclusivity. In this paper also explained that religious
harmony is not a choice but a call in the Christian faith to be a
CORRESPONDENCE
blessing for the followers of other faiths. Analysis and
Phone : development in this paper used a descriptive
E-mail : phenomenological model.
dorkasdaeli@sttsundermann.ac.id

A B S T R A K
Sifat majemuk Indonesia berlangsung di dalam segala sisi. Salah satunya adalah kemajemukan di dalam
azas kepercayaan dan keberagaman di dalam menganut agama. Di tengah keberagaman seperti itu,
kekristenan dituntut untuk menjelaskan dirinya sebagai terang dan garam dunia kepada penganut agama
lain dalam semangat kerukunan dan pluralisme. Tulisan ini menyimpulkan bahwa salah satu kunci utama
membangun kerukunan adalah mengembangkan sikap dialogis yang terbuka, jujur dan saling percaya
antar-umat beragama. Dialog akan membuka pintu yang tertutup akibat sikap saling curiga dan
eksklusifisme. Dalam paper ini juga dijelaskan bahwa kerukunan umat beragama bukanlah pilihan
melainkan panggilan di dalam keyakinan kristiani untuk menjadi berkat bagi pemeluk keyakinan lain.
Analisis dan pengembangan di dalam tulisan ini dilakukan dengan model fenomenologi deskriptif.

Kata kunci: kekristenan, kerukunan, iman, pluralistik, umat beragama

PENDAHULUAN jamak yang berakhir -iani. Kata benda yang


dimaksud berarti seorang serdadu yang
S ecara etimologis, kata Kristen di dalam
„kekristenan‟ merujuk sebuah konsep dalam
bahasa Latin sebagai sebuah nama kata benda
mendapat tugas secara khusus, atau mirip
dengan pasukan khusus karena mendukung
Analisis Fenomenologi Deskriptif terhadap Panggilan Iman Kristen untuk Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia 45

kekuasaan seseorang. Oleh karena hal itu, istilah pluralistik. Kekristenan berjejer paralel dengan
Inggris Christiani, mendekripsikan “serdadu- sejumlah agama lain yang juga memiliki konsep
serdadu yang bertugas melayani Kristus” atau siar. Muncul pertanyaan, bagaimanakah konsep
“menjadi bagian pendukung di dalam rumah penginjilan diterapkan di dalam negara
tangga Kristus” sebagaimana dijelaskan oleh majemuk seperti Indonesia, dalam konteks
Walls (Douglas, 2007, pp. 593–594). kerukunan antar-umat beragama? Hasil
Pemakaiannya di dalam konsep agama penelitian yang dilakukan oleh Sumbulah dapat
menyebutkan Christian sebagai “pengikut dipergunakan sebagai bahan refleksi. Penelitian
Kristus”, ide yang muncul pertama kalinya di itu menemukan bahwa sebuah konsep
lingkungan gereja purba di Antiokhia, Siria kerukunan umat beragama justru dapat dicapai
sebagaimana muncul di dalam Kis. 11: 26 dengan cara memperkuat iman penganut setiap
(O‟Collins & Farrugia, 1996). agama secara internal dan mengembangkan
Secara historis, mula-mula orang Kristen di kesadaran untuk mengembangkan sikap positif
Yerusalem belum sadar akan panggilannya di dalam menyikapi pemeluk agama lainnya.
terhadap dunia, tetapi segala aniaya dari pihak Perilaku ego, klaim atas kebenaran, fanatisme
orang Yahudi menjadi alat dalam tangan Tuhan sempit, dan sikap eksklusif, ditemukan sebagai
untuk mencelikkan mata komunitas tersebut reaksi negatif yang berpotensi menjadi variabel
melihat dan melakukan tugasnya, yakni pengganggu kerukunan itu sendiri (Sumbulah,
menyebarkan injil kepada semua bangsa (Reid, 2015). Jika demikian faktanya, maka tindakan
1998, pp. 41–55). Supaya maksud itu tercapai penginjilan di dalam konsep Kristiani perlu
perlulah kaum Kristen memisahkan diri dari didefinisikan dan direposisi demi tegaknya
agama Yahudi. Pemisahan mulai terjadi sesudah semangat pluralisme. Hal ini merupakan
pembunuhan Stefanus, yang menegaskan tantangan sekaligus peluang, yang secara
bahwa taurat dan korban agama Yahudi tak deskriptif akan dianalisis di dalam paper ini.
berharga lagi oleh kedatangan Kristus (Krauter,
2011). Aniaya yang terjadi di Yerusalem oleh METODE
kelompok Sanhedrin telah menjadi faktor kunci Paper ini ditulis dalam metode kualitatif-
menyebarnya kekristenan. Melalui jalan aniaya, deskriptif dengan menggunakan sumber-
Injil bergerak keluar Yerusalem menjangkau sumber jurnal dan buku sebagai acuan primer
bangsa-bangsa, sehingga lahirlah komunitas (Steward, 2004). Pemaparan dilakukan dengan
kristen pertama di Antiokhia (Berkhof & menjelaskan konsep kerukukan umat beragama
Enklaar, 2004, pp. 8–9). Beberapa orang dari pertama-tama dalam gambaran Indonesia,
Siprus dan Kirene memberitakan Injil kepada kemudian diuraikan secara singkat bagaimana
orang-orang yang bukan Yahudi di Antiokhia, konsep itu berlangsung di dalam setiap agama.
dan akhirnya terbentuk jemaat yang besar di Analisis secara khusus diarahkan pada reposisi
luar Palestina dari kalangan orang-orang bukan penginjilan di dalam semangat kemajemukan di
Yahudi. Di Antiokhialah para pengikut Kristus Indonesia. Peluang dan tantangan sesuai
tersebut untuk pertama kalinya disebut kondisi Indonesia dibahas pada bagian akhir.
“Kristen” (Ramage & Kondoleon, 2001; Vlach, Pendekatan penelitian mengikuti model
2009; S. E. Zaluchu, 2018). fenomenologi deskriptif yang dikembangkan
Deskripsi etimologis dan historis tersebut oleh Husserl yang bertumpu pada bracketing,
membentuk kesimpulan penting terkait intuiting, analyzing dan describing (Kusumawanti
kekristenan sebagai agama siar yang menuntut & Arawindha, 2018, p. 123). Sistematika
setiap pengikutnya untuk melakukan penjelasan (describing) mengikuti pola piramida
pemberitaan. Konsep utamanya dikemukakan terbalik.
oleh Widjaja, bahwa setiap orang harus percaya
dan menerima Kristus untuk dapat di PEMBAHASAN
selamatkan (Widjaja, 2018, p. 25). Konsep ini Kemajemukan Agama di Indonesia
disebut sebagai penginjilan atau evangelism
(Escobar, 2014). Persoalannya, dalam konteks Konsep kemajemukan di Indonesia dapat
Indonesia, konsep tersebut harus dilihat dari berbagai aspek. Letak Indonesia dari
diimplementasikan ke dalam semangat Sabang sampai Merauke memperlihatkan

Dorkas Orienti Daeli https://doi.org/10.36588/sundermann.v1i1.27


46 JCTES 1(1): 44-50

geografi kepulauan yang luas dengan kekayaan dikaitkan secara politis, konflik-konfik
etnis yang sangat berlimpah (Widiastuti, 2013). horizontal yang terjadi atas nama agama
Dampaknya, kekayaan alam khas untuk setiap menjadi tren belakangan ini di Indonesia.
daerah dan wilayah beragam. Secara sosiologis, Penelitian Muhtadi yang dituangkan di dalam
fakta geografis itu ikut meyebabkan bukunya berjudul Populisme, Politik Identitas
beragamnya etnik dan bahasa sesuai dan Dinamika Elektoral - Mengurai Jalan
kebudayaan masing-masing wilayah dan Panjang Demokrasi Prosedural, telah
daerah. Dari sisi manapun diamati, Indonesia membuktikan fenomena tersebut (Muhtadi,
adalah negara yang sangat penuh dengan 2019). Menguatnya politik identitas menjadi
kemajemukan. Termasuk dalam hal politik jalan terbuka bagi berbagai kepentingan di
(Rahayu, 2017) dan terlebih keagamaan, dimana tengah realitas kemajemukan Indonesia.
gereja berada di dalam kancah pluralisme Demikian penelitian yang dibuat Zaluchu dan
dengan penganut agama lain dari Katolik, Widjaja, tentang maraknya penggunaan religious
Buddha, Hindu, Islam, dan belakangan ini yang symbol di dalam politik menyatakan dengan
baru diterima sebagai agama resmi di Indonesi terang benderang bahwa agama dengan sangat
adalah Kong Hu Chu (Soesilo, 2011). mudah ditungangi oleh berbagai kepentingan
Kesimpulan yang dibuat Yewangoe sangat (S. Zaluchu & Widjaja, 2019); baik oleh
tepat, bahwa Indonesia merupakan sebuah kepentingan agama itu sendiri maupun oleh
negara majemuk dari segi manapun. Itulah yang kepentingan eksternal.
menjadi kunci identitas Indonesia yang sejati Menyadari potensi kekuatan dan
(Yewangoe, 2002). kelemahan di dalam kemajemukan berbangsa,
Berdasarkan fakta kemajemukan tersebut, bernegara, bersosialisasi dan berpolitik serta
setiap agama di Indonesia tidak dapat beragama di Indonesia, para founding father’s
memungkiri fenomena pluralitas dan bangsa ini telah menyediakan payung besar
pengaruhnya dalam kehidupan bersama sebagai bagi keberagaman alamiah Indonesia, yang
sesama warga negara. Di satu pihak, setiap disebut Pancasila (Kirom, 2016). Payung
agama dan pemeluknya, memiliki klaim tersebut menjadi platform bagi kemajemukan,
normatif dan deskripsi yang bersifat apologetik dan menyediakan payung nilai-niai luhur yang
mengenai ajaran, doktrin dan kebenaran absolut berada di atas dan melampaui perbedaan
sesuai iman dan kepercayaannya. Di sisi lain, budaya, bahasa, etnis, wilayah dan agama di
setiap agama dan pemeluknya harus Indonesia. Keberadaannya membentuk nilai dan
memposisikan dirinya di dalam kerangka karakter sehingga sebagai falsafah dasar,
kemajemukan untuk menjamin keutuhan dan perilaku orang Indonesia di dalam
indentitas keindonesiaan tersebut (Lestari, kemajemukan tetap memiliki „gaya sentrifugal‟
2015). yang mempertahankan keindonesiaan secara
Persoalannya, sebagaimana konflik etnis internal (Nishimura, 1995). Sekalipun demikian,
dan agama yang menjadi tren di dalam konflik-konflik horizontal bertemakan SARA,
kehidupan beragama di Indonesia belakangan masih tetap saja menjadi persoalan simultan dan
ini, kemajemukan tersebut selain menjadi temporar di berbagai wilayah Indonesia (Fauzi,
potensi yang baik di satu sisi juga menjadi 2017; Yunus, 2014), akibat kurangnya edukasi di
pemicu lahirnya tindakan intoleransi akibat dalam membentuk pemahaman keberagaman
sikap penganut agama yang eksklusif, fanatis berdasarkan Pancasila di dalam rumah bersama
dan merasa diri lebih dominan dibanding yang yang bernama Indonesia (Raharjo, Armawi, &
lain. Kasus-kasus yang muncul menyangkut Soerjo, 2017).
kebenaran sektarian, benturan hal-hal normatif,
fanatisme dan dominasi kekuasaan atas nama Mengembangkan Konsep Kerukunan dengan
agama, membuktikan bahwa dibalik Edukasi
kemajemukan yang terjadi, terdapat kerentanan Sila pertama dari Pancasila, adalah sebuah
yang berpotensi merusak kemajemukan itu cerminan dari adanya ruang yang sangat luas
sendiri ketika para pemeluk agama tidak bagi terciptanya kerukunan beragama di
mengikat diri dalam toleransi sehingga konflik Indonesia. Hasil penelitian Pratiwi dan Rosidi
terjadi (Halim, 2015; Tule, 2014). Terlebih jika menyatakan bahwa sesungguhnya sila pertama
Analisis Fenomenologi Deskriptif terhadap Panggilan Iman Kristen untuk Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia 47

dari Pancasila, sudah sangat cukup memberi tidak dapat ditolak atau ditiadakan. Melaluinya,
aturan yang tegas mengenai kerukunan muncul konsekuensi logis dari cara hidup orang
antarumat beragama. Adapun penyebab konflik di dalam menjalani agamanya di dalam
yang melibatkan agama, lebih dipicu oleh keberagamaan, yakni hidup berdampingan
rendahnya kesadaran para penganut agama dengan damai. Studi yang dilakukannya di
untuk mempertahankan dirinya di dalam aturan Dusun Losari, Kabupaten Magelang, yang
falsafah dasar tersebut (Pratiwi & Rosidi, 2012). memiliki tiga bangunan berdekatan tempat
Hal inilah yang menjadi tantangan bersama. ibadah dari penganut tiga agama yang berbeda
Bahwa nilai-nilai kerukunan beragama hanya yakni masjid, gereja Katolik, dan vihara
dapat ditegakkan dengan jalan edukasi. Trinarmada. Konflik horizontal tidak pernah
Menurut Jauhari, kemajemukan hanya dapat terjadi di desa tersebut. Penduduk desa
bertahan melalui pengelolaan yang benar. mengembangkan kehidupan yang rukun dan
Pendidikan menjadi sarana yang sangat tepat, komunikasi yang sehat antar-warga. Melalui
khususnya di dalam menggunakan nilai-nilai hubungan antar-warga yang saling menghargai
agama yang dinamis dan inklusif bagi setiap dan menghormati, integrasi ke dalam kesatuan
orang yang berada di dalamnya (Jauhari, 2017). terbentuk dengan mudah.
Langkah terpenting di dalam edukasi
adalah membentuk konsep yang benar tentang Rumusan Kerukunan dalam Kekristenan
kerukunan. Istilah “kerukunan” jauh lebih Dalam sudut pandang kristiani, kerukunan
positif dan dinamis ketimbang istilah merupakan panggilan iman. Konsep yang dapat
“toleransi” yang statis. Toleransi lebih dipakai untuk menjelaskannya adalah teori Eka
mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak Darmaputera yang dikutip oleh Yewangoe
untuk memberi hak hidup kepada pihak lain. dalam bukunya berjudul Agama dan
Artinya keberadaan satu pihak hanya dapat Kerukunan (Yewangoe, 2002, p. 33). Terdapat
terjadi antara pihak lain menghendakinya. tiga konsep kerukunan yang selama ini terlalu
Andaikata satu pihak tidak berkenan, maka dianggap sederhana padahal sejatinya tidak
pihak lain dapat dengan mudah dieliminasi. demikian. Pertama, kerukunan yang dipahami
Sedangkan “kerukunan” mengandung sebagai sekedar situasi tanpa konflik, sebab
pengertian bahwa walaupun saling berbeda, kadang-kadang konflik pun tidak selamanya
kedudukan dan posisinya tidak saling buruk. Yesus misalnya tidak segan-segan konflik
mengungguli, satu di atas yang lain. Kerukunan dengan orang-orang Farisi demi kebenaran
tidak mengenal istilah sub-ordinasi atas nama (Mat. 23:1-36). Namun hal itu bukanlah
agama di kalangan penganutnya. Hak-hak dan legitimasi pembenaran konflik sebab di bagian
kewajiabnya setara. Terlebih untuk hidup, di lainnya, Yesus mengajarkan pentingnya orang
dalam kerukunan, seseorang tidak perlu percaya menjadi pembawa damai (Mat. 5:9).
bergantung pada izin orang lain. Kerukunan Dalam konsep ini, kerukunan bukanlah alasan
justru mengisyaratkan konsep saling-tergantung untuk menindas atau menyembunyikan
antar individu yang bersifat menguatkan kebenaran bahkan bukan untuk
kesatuan (Mawardi, 2015; Rusydi & Zolehah, mengedepankan klaim kebenarannya sendiri.
2018). Kerukunan sejati hanya terwujud ketika semua
Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak secara bersama-sama pelaku agama
Maftukhah di dalam skripsi berjudul tumbuh di dalam imannya dengan menghargai
Kerukunan Antar-umat Beragama Dalam dan mneghormati iman orang lain. Kedua,
Masyarakat Plural dapat dijadikan acuan untuk kerukunan yang dipaksakan dari luar seperti
menarik kesimpulan (Maftukhah, 2014). melalui ancaman-ancaman atau larangan-
Pendekatan yang dipergunakannya adalah larangan dari tangan kekuasaan, hanya efektif
ekspresi keragaman yang disusun Panikkar untuk menekan konflik, namun gagal
(Juergensmeyer, Roof, & Hopkins, 2014) ke mewujudkan kerukunan pada level akar
dalam tiga kelompok, yakni eksklusivisme, rumput. Kerukunan yang dihasilkan adalah
inklusifisme, dan pluralisme. Maftukhah kerukunan semu. Kerukunan mestilah pertama-
mengusulkan pluralisme sebagai jawaban tama merupakan kesadaran internal yang
karena keberagamaan merupakan realitas yang didorong oleh kasih. Dan ketiga, kerukunan
yang menghilangkan perbedaan dan kebebasan.
Dorkas Orienti Daeli https://doi.org/10.36588/sundermann.v1i1.27
48 JCTES 1(1): 44-50

Upaya menghilangkan perbedaan dengan beragama khususnya di dalam menyelesaikan


memaksakan keseragaman justru merusak konflik.
esensi kerukunan itu sendiri. Menurut rasul
Paulus, ekspresi kerukunan sejati adalah “jika Pentingnya Dialog
satu anggota menderita, semua anggota turut
Salah satu pengungkapan konkret
menderita; jika satu anggota dihormati, semua
kerukunan antar-umat beragama adalah
anggota turut bersukacita” (1 Kor. 12:26).
menjalankan dan membuka pintu ke arah dialog
Perihal kerujukan yang sejati, Yewangoe
teologis (Yasin, 2011). Dialog dapat berlangsung
mengusukan dua konsep yakni adanya
karena berbagai faktor. Pertama pengetahuan
kerukunan yang otentik dan dinamis dan
dan pemahaman terhadap agama-agama makin
adanya konsep kebebasan di dalam kerukunan
lama makin luas dan menyeluruh terutama
tersebut (Yewangoe, 2002). Kerukunan yang
akibat makin canggihnya alat-alat komunikasi.
autentik dan dinamis adalah kerukunan yang
Kedua muncul angkatan masyarakat majemuk di
dibangun dari hati yang tulus dan murni.
seluruh dunia. Homogenitas yang merupakan
Kehidupan yang dijalani, bukan sekedar hidup
ciri masyarakat tradisional sudah mulai
berdampingan secara damai. Melainkan secara
ditinggalkan. Ketiga disatu pihak dominasi barat
proaktif dan dinamis membangun interaksi
sudah berakhir dengan kemunculan kembali
yang intens dan terus menerus, demi kebenaran
agama dan kebudayaan yang semula ditekan
yang lebih tinggi, sehingga kesepakatan-
oleh superiotas Barat, yakni kearifan lokal. Oleh
kesepakatan bersama yang lebih berkualitas di
sebab itu, pengembangan hubungan ke arah
dalam komunitas, dapat dirumuskan dengan
dialog menjadi pilihan yang tak terhindarkan
mudah. Demikian halnya dengan kebebasan.
(Mukaromah, 2014).
Konsepnya adalah hadirnya keseimbangan
dinamis antara kerukunan dan kebebasan. Dialog merupakan proses komunikasi
Kerukunan memancarkan kebebasan, bukan yang sangat penting dalam relasi kemajemukan.
justru mematikan atau melumpuhkan. Hanya Kesalahpahaman antar agama dapat
dari kebebasan sejati terlahir kerukunan yang diselesaikan dengan cara saling terbuka dan
sejati. Teologi Kristen memandang khas saling menyampaikan ide dan gagasan dalam
kebebasan sebagai bagian dari ketaatan dan semangat kebersamaan (tidak dalam suasana
sebaliknya ketaatan Kristen dilaksanakan dalam intimidatif). Meskipun dalam satu pihak
kebebasan. Perpaduan dari keduanya itulah sebagian masyarakat menutup diri untuk tidak
disebut sebagai “tanggungjawab”. Salah satu berdialog terhadap yang lain dengan alasan
perwujudan dari tanggungjawab itu adalah bahwa dialog dapat menghamburkan identitas
menjaga dan memelihara kesejahteraan hidup kelompok, namun di sisi lain, dialog mampu
bersama. menghilangkan sikap saling mencurigai. Dan
terlebih lagi, dialog bukan saja untuk
Secara praktis Yewangoe mengusulkan
membangun sikap saling pengertian, melainkan
sejumlah hal berikut ini untuk
untuk saling memahami pandangan, sikap dan
mengimplementasikan konsep kerukunan
posisi masing-masing. Itulah sebabnya, dialog
kristiandi di dalam komunitas plural. Berikut
di dalam konteks kerukunan hidup umat
poin-poinnya (Yewangoe, 2002) secara singkat,
beragama, perlu didorong ke arah dialog yang
(1) membudayakan iklim saling menghormati
menjunjung tinggi keterbukaan, rasa hormat,
dan menghargai di dalam konsep dialogis; (2)
komunikatif, penuh kesabaran, reflektif, sikap
membuka keran komunikasi untuk mengikis
untuk menerima perbedaan, korektif, serta taat
potensi kesalahpahaman; (3) menghindari
atas kebenaran dan kebaikan (Darajat, 1996, p.
kecenderungan melakukan stigmatisasi,
145).
pandangan atau negative judgement terhadap
agama dan pemeluk agama tertentu; (4) Sikap dialogis sudah semestinya menjadi
berjuang agar agama-agama tidak diperalat sikap bersama dan dipertahankan sebagai
untuk berbagai kepentingan eksternal; (5) bagian dari pergaulan. Namun demikian tujuan
pemimpin-pemimpin agama perlu dialog bukan untuk meleburkan diri terhadap
mengembangkan sikap yang jujur dan rendah agama dan keyakinan pihak lain. Tetapi
hati; (6) membangun kerjasama antar-umat tujuannya adalah membangun pengertian yang
lebih baik terhadap kepercayaan pihak lain.
Analisis Fenomenologi Deskriptif terhadap Panggilan Iman Kristen untuk Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia 49

Dialog dilakukan bukan semata-mata untuk and evangelism in changing landscapes.


menghindari konflik, melainkan membicarakan International Bulletin of Missionary Research,
partisipasi agama dalam perubahan masyarakat 38(4), 193–195.
ke arah yang lebih baik. Dialog adalah suatu hal https://doi.org/10.1177/23969393140380040
yang azasi dalam mengubah sikap negatif dan 9
menciptakan suatu suasana yang didalamnya Fauzi, A. (2017). Agama, Pancasila dan Konflik
para pemeluk agama saling memberi, Sosial di Indonesia. E-Journal Lentera Hukum.
menerima, mendengarkan dan memberitakan https://doi.org/10.19184/ejlh.v4i2.5295
Gulo, Y. (2002). Dialog Agama. STT BNKP
(Gulo, 2002).
Sundermann, 4, 141–144.
Halim, A. (2015). PLURALISME DAN DIALOG
KONKLUSI
ANTAR AGAMA. TAJDID: Jurnal Ilmu
Dalam konteks kemajemukan, setiap orang Ushuluddin, 14(1), 35–62.
Kristen harus menyadari panggilan imannya https://doi.org/10.30631/tjd.v14i1.21
untuk mewujudkan kerukunan terhadap umat Jauhari, M. I. (2017). Pendidikan Islam Berbasis
beragama lainnya. Perlu diketahui bahwa Allah Multikultural dan Konstruksi Sosial
mengharapkan suatu pertemuan seluruh umat Pancasila. Al-I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam,
3(1), 1–16. Retrieved from
yang memperkuat perubahan-perubahan
http://journal.stkipnurulhuda.ac.id/index.p
bermakna yang mana melaluinya orang Kristen
hp/JPIA/article/view/197
dapat menjadi saksinya ditengah-tengah dunia
Juergensmeyer, M., Roof, W., & Hopkins, S. P.
yang penuh dengan keragaman. Mewujudkan (2014). Panikkar, Raimon (Raimundo) (1918–
kerukunan umat beragama tidak harus harus 2010). In Encyclopedia of Global Religion.
dilakukan dalam sebuah gerakan yang besar https://doi.org/10.4135/9781412997898.n555
yang formal dan frontal. Konsep ini justru perlu Kirom, S. (2016). FILSAFAT ILMU DAN ARAH
dijadikan gaya hidup dalam keseharian saat PENGEMBANGAN PANCASILA:
menjalani interaksi sosial di market place. Di RELEVANSINYA DALAM MENGATASI
situlah digenapi konsep dasar panggilan orang PERSOALAN KEBANGSAAN. Jurnal Filsafat,
Kristen sebagai garam dan terang dunia. 21(2), 99–117.
Khususnya di tengah dunia yang sekarang https://doi.org/10.22146/jf.3111
sedang mengalami perubahan sangat drastis Krauter, S. (2011). The Martyrdom of Stephen. In
dimana batas-batas dan sekat sosial meluruh Contextualising Early Christian Martyrdom (pp.
dengan kehadiran platform internet, revolusi 45–74).
industri 4.0 telah mengubah wajah manusia, Kusumawanti, N., & Arawindha, U. (2018). Desain
identitasnya dan caranya membangun Riset Penelitian Fenomenologi. In S. Kholifah
komunikasi dengan sesama. Pendekatan & I. W. Suyadnya (Eds.), Metodologi Penelitian
dialogis di dalam budaya digital cultural perlu Kualitatif - Berbagi Pengalaman dari Lapangan
(1st ed.). Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
dipikirkan sebagai terobosan baru dengan
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika :
memanfaatkan media digital sebagai wadah
Khasanah Multikultural. Jurnal Pendidikan
pemberitaan dan kesaksian. Kerukunan umat
Pancasila Dan Kewarganegaraan, 1(Februari),
beragama bukanlah pilihan melainkan
31–37.
panggilan di dalam keyakinan pribadi untuk Maftukhah, U. (2014). KERUKUNAN ANTAR
menjadi berkat bagi pemeluk keyakinan lain. UMAT BERAGAMA DALAM
MASYARAKAT PLURAL (StudiKerukunan.
Skripsi Uin SUnan Kalijaga, 1, 62–88.
REFERENSI Mawardi. (2015). Reaktualisasi Kerukunan Antar
Umat Beragama Dalam Kemajemukan Sosial.
Berkhof, H., & Enklaar, I. H. (2004). Sejarah Gereja. Substantia, 17(April), 55–66.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. Muhtadi, B. (2019). Populisme, Politik Identitas, dan
Darajat, Z. (1996). Perbandingan Agama. Jakarta: Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang
Bumi Aksara. Demokrasi Prosedural by Burhanuddin Muhtadi
Douglas, J. . (2007). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini | Goodreads (1st ed.). Malang: Intrans
Jilid 1 A-L. (J. D. Douglas, Ed.). Jakarta: Publishing.
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Mukaromah, M. (2014). Dialog Antar Agama dan
Escobar, S. (2014). Together towards Life: Mission Kerukunan Umat Beragama. Badan Litbang

Dorkas Orienti Daeli https://doi.org/10.36588/sundermann.v1i1.27


50 JCTES 1(1): 44-50

Dan Diklat Kementerian Agama RI, 17–40. in Indonesia. Antropologi Indonesia.


Retrieved from https://doi.org/10.7454/ai.v0i63.3404
http://eprints.walisongo.ac.id/3915/3/1043 Vlach, M. J. (2009). Penal Substitution in Church
11013_Bab2.pdf History. The Master’s Seminary Journal, 20(2),
Nishimura, S. (1995). The development of 199–214.
Pancasila moral education in Indonesia. Widiastuti. (2013). Keragaman budaya indonesia.
Southeast Asian Studies (Kyoto), 33(3), 303–316. Jurnal Ilmiah Widya, 1.
O‟Collins, G., & Farrugia, E. G. (1996). Kamus Widjaja, F. I. (2018). Misiologi Antara Teori, Fakta
Teologi (1st ed.). Yogyakarta: Kanisius. dan Pengalaman (1st ed.). Yogyakarta:
Pratiwi, H. I., & Rosidi, A. (2012). Kerukunan umat Penerbit ANDI.
beragama dipandang dari pancasila sila Yasin, T. H. (2011). Membangun Hubungan antar
pertama stmik amikom yogyakarta. Karya Agama Mewujudkan Dialog dan Kerjasama.
Ilmiah Mahasiswa S1 Teknik Informatika 2011: Jurnal Substantia, 12(1).
Pancasila. Yewangoe, A. A. (2002). Agama dan Kerukunan.
Raharjo, R., Armawi, A., & Soerjo, D. (2017). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Penguatan Civic Literacy Dalam Yunus, F. M. (2014). Konflik Agama Di Indonesia
Pembentukan Warga Negara Yang Baik Problem Dan Solusi Pemecahannya.
(Good Citizen) Dan Implikasinya Terhadap Substantia, 16(2), 217–228. Retrieved from
Ketahanan Pribadi Warga Negara Muda http://substantiajurnal.org
(Studi Tentang Peran Pemuda HMP PPKn Zaluchu, S. E. (2018). Analisis Kisah Para Rasul 15
Demokratia pada Dusun Binaan Mutiara Tentang Konflik Paulus dan Barnabas serta
Ilmu di Jebres, Surakarta, Jawa Tengah. Jurnal Kaitannya dengan Perpecahan Gereja. Kurios
Ketahanan Nasional. (Vol. 4). Retrieved from
https://doi.org/10.22146/jkn.26457 http://www.sttpb.ac.id/e-
Rahayu, M. (2017). Keragaman di Indonesia dan journal/index.php/kurios
Politik Pengakuan (Suatu Tinjauan Kristis). Zaluchu, S., & Widjaja, F. (2019). A
Jurnal Pemikiran Sosiologi, 4(2), 1. Phenomenology Approach: Religious
https://doi.org/10.22146/jps.v4i2.28577 Significance of Mandala in Ancient Nias
Ramage, A., & Kondoleon, C. (2001). Antioch: The Culture. In Proceedings of the Proceedings of the
Lost Ancient City. American Journal of 1st Seminar and Workshop on Research Design,
Archaeology, 105(3), 560. for Education, Social Science, Arts, and
https://doi.org/10.2307/507391 Humanities, SEWORD FRESSH 2019, April 27
Reid, A. (1998). Introduction to Evangelism (1st ed.). 2019, Surakarta, Central Java, Indonesia. EAI.
Nashville, Tennessee: Broadman and Holman Retrieved from
Publishers. Retrieved from http://eudl.eu/doi/10.4108/eai.27-4-
http://www.amazon.com/dp/0805411437 2019.2286915
Rusydi, I., & Zolehah, S. (2018). Makna Kerukunan
Antar Umat Beragama Dalam Konteks
Keislaman Dan Keindonesian. Journal for
Islamic Studies, 1(1), 170–181.
https://doi.org/10.5281/zenodo.1161580
Soesilo, Y. (2011). Gereja dan Pluralisme Agama
dalam Konteks di Indonesia. Jurnal Antusias,
1(2), 81–93. Retrieved from
http://sttintheos.ac.id/e-
journal/index.php/antusias/article/view/88
/87
Steward, B. (2004). Writing a literature review.
British Journal of Occupational Therapy.
https://doi.org/10.1177/03080226040670110
5
Sumbulah, U. (2015). PLURALISME DAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA. Analisa:
Journal of Social and Religion, 22(1), 1–13.
Tule, P. (2014). Religious Conflicts and a Culture of
Tolerance: Paving the Way for Reconciliation

Anda mungkin juga menyukai