ARTICLE INFO A B S T R A C T
A B S T R A K
Sifat majemuk Indonesia berlangsung di dalam segala sisi. Salah satunya adalah kemajemukan di dalam
azas kepercayaan dan keberagaman di dalam menganut agama. Di tengah keberagaman seperti itu,
kekristenan dituntut untuk menjelaskan dirinya sebagai terang dan garam dunia kepada penganut agama
lain dalam semangat kerukunan dan pluralisme. Tulisan ini menyimpulkan bahwa salah satu kunci utama
membangun kerukunan adalah mengembangkan sikap dialogis yang terbuka, jujur dan saling percaya
antar-umat beragama. Dialog akan membuka pintu yang tertutup akibat sikap saling curiga dan
eksklusifisme. Dalam paper ini juga dijelaskan bahwa kerukunan umat beragama bukanlah pilihan
melainkan panggilan di dalam keyakinan kristiani untuk menjadi berkat bagi pemeluk keyakinan lain.
Analisis dan pengembangan di dalam tulisan ini dilakukan dengan model fenomenologi deskriptif.
kekuasaan seseorang. Oleh karena hal itu, istilah pluralistik. Kekristenan berjejer paralel dengan
Inggris Christiani, mendekripsikan “serdadu- sejumlah agama lain yang juga memiliki konsep
serdadu yang bertugas melayani Kristus” atau siar. Muncul pertanyaan, bagaimanakah konsep
“menjadi bagian pendukung di dalam rumah penginjilan diterapkan di dalam negara
tangga Kristus” sebagaimana dijelaskan oleh majemuk seperti Indonesia, dalam konteks
Walls (Douglas, 2007, pp. 593–594). kerukunan antar-umat beragama? Hasil
Pemakaiannya di dalam konsep agama penelitian yang dilakukan oleh Sumbulah dapat
menyebutkan Christian sebagai “pengikut dipergunakan sebagai bahan refleksi. Penelitian
Kristus”, ide yang muncul pertama kalinya di itu menemukan bahwa sebuah konsep
lingkungan gereja purba di Antiokhia, Siria kerukunan umat beragama justru dapat dicapai
sebagaimana muncul di dalam Kis. 11: 26 dengan cara memperkuat iman penganut setiap
(O‟Collins & Farrugia, 1996). agama secara internal dan mengembangkan
Secara historis, mula-mula orang Kristen di kesadaran untuk mengembangkan sikap positif
Yerusalem belum sadar akan panggilannya di dalam menyikapi pemeluk agama lainnya.
terhadap dunia, tetapi segala aniaya dari pihak Perilaku ego, klaim atas kebenaran, fanatisme
orang Yahudi menjadi alat dalam tangan Tuhan sempit, dan sikap eksklusif, ditemukan sebagai
untuk mencelikkan mata komunitas tersebut reaksi negatif yang berpotensi menjadi variabel
melihat dan melakukan tugasnya, yakni pengganggu kerukunan itu sendiri (Sumbulah,
menyebarkan injil kepada semua bangsa (Reid, 2015). Jika demikian faktanya, maka tindakan
1998, pp. 41–55). Supaya maksud itu tercapai penginjilan di dalam konsep Kristiani perlu
perlulah kaum Kristen memisahkan diri dari didefinisikan dan direposisi demi tegaknya
agama Yahudi. Pemisahan mulai terjadi sesudah semangat pluralisme. Hal ini merupakan
pembunuhan Stefanus, yang menegaskan tantangan sekaligus peluang, yang secara
bahwa taurat dan korban agama Yahudi tak deskriptif akan dianalisis di dalam paper ini.
berharga lagi oleh kedatangan Kristus (Krauter,
2011). Aniaya yang terjadi di Yerusalem oleh METODE
kelompok Sanhedrin telah menjadi faktor kunci Paper ini ditulis dalam metode kualitatif-
menyebarnya kekristenan. Melalui jalan aniaya, deskriptif dengan menggunakan sumber-
Injil bergerak keluar Yerusalem menjangkau sumber jurnal dan buku sebagai acuan primer
bangsa-bangsa, sehingga lahirlah komunitas (Steward, 2004). Pemaparan dilakukan dengan
kristen pertama di Antiokhia (Berkhof & menjelaskan konsep kerukukan umat beragama
Enklaar, 2004, pp. 8–9). Beberapa orang dari pertama-tama dalam gambaran Indonesia,
Siprus dan Kirene memberitakan Injil kepada kemudian diuraikan secara singkat bagaimana
orang-orang yang bukan Yahudi di Antiokhia, konsep itu berlangsung di dalam setiap agama.
dan akhirnya terbentuk jemaat yang besar di Analisis secara khusus diarahkan pada reposisi
luar Palestina dari kalangan orang-orang bukan penginjilan di dalam semangat kemajemukan di
Yahudi. Di Antiokhialah para pengikut Kristus Indonesia. Peluang dan tantangan sesuai
tersebut untuk pertama kalinya disebut kondisi Indonesia dibahas pada bagian akhir.
“Kristen” (Ramage & Kondoleon, 2001; Vlach, Pendekatan penelitian mengikuti model
2009; S. E. Zaluchu, 2018). fenomenologi deskriptif yang dikembangkan
Deskripsi etimologis dan historis tersebut oleh Husserl yang bertumpu pada bracketing,
membentuk kesimpulan penting terkait intuiting, analyzing dan describing (Kusumawanti
kekristenan sebagai agama siar yang menuntut & Arawindha, 2018, p. 123). Sistematika
setiap pengikutnya untuk melakukan penjelasan (describing) mengikuti pola piramida
pemberitaan. Konsep utamanya dikemukakan terbalik.
oleh Widjaja, bahwa setiap orang harus percaya
dan menerima Kristus untuk dapat di PEMBAHASAN
selamatkan (Widjaja, 2018, p. 25). Konsep ini Kemajemukan Agama di Indonesia
disebut sebagai penginjilan atau evangelism
(Escobar, 2014). Persoalannya, dalam konteks Konsep kemajemukan di Indonesia dapat
Indonesia, konsep tersebut harus dilihat dari berbagai aspek. Letak Indonesia dari
diimplementasikan ke dalam semangat Sabang sampai Merauke memperlihatkan
geografi kepulauan yang luas dengan kekayaan dikaitkan secara politis, konflik-konfik
etnis yang sangat berlimpah (Widiastuti, 2013). horizontal yang terjadi atas nama agama
Dampaknya, kekayaan alam khas untuk setiap menjadi tren belakangan ini di Indonesia.
daerah dan wilayah beragam. Secara sosiologis, Penelitian Muhtadi yang dituangkan di dalam
fakta geografis itu ikut meyebabkan bukunya berjudul Populisme, Politik Identitas
beragamnya etnik dan bahasa sesuai dan Dinamika Elektoral - Mengurai Jalan
kebudayaan masing-masing wilayah dan Panjang Demokrasi Prosedural, telah
daerah. Dari sisi manapun diamati, Indonesia membuktikan fenomena tersebut (Muhtadi,
adalah negara yang sangat penuh dengan 2019). Menguatnya politik identitas menjadi
kemajemukan. Termasuk dalam hal politik jalan terbuka bagi berbagai kepentingan di
(Rahayu, 2017) dan terlebih keagamaan, dimana tengah realitas kemajemukan Indonesia.
gereja berada di dalam kancah pluralisme Demikian penelitian yang dibuat Zaluchu dan
dengan penganut agama lain dari Katolik, Widjaja, tentang maraknya penggunaan religious
Buddha, Hindu, Islam, dan belakangan ini yang symbol di dalam politik menyatakan dengan
baru diterima sebagai agama resmi di Indonesi terang benderang bahwa agama dengan sangat
adalah Kong Hu Chu (Soesilo, 2011). mudah ditungangi oleh berbagai kepentingan
Kesimpulan yang dibuat Yewangoe sangat (S. Zaluchu & Widjaja, 2019); baik oleh
tepat, bahwa Indonesia merupakan sebuah kepentingan agama itu sendiri maupun oleh
negara majemuk dari segi manapun. Itulah yang kepentingan eksternal.
menjadi kunci identitas Indonesia yang sejati Menyadari potensi kekuatan dan
(Yewangoe, 2002). kelemahan di dalam kemajemukan berbangsa,
Berdasarkan fakta kemajemukan tersebut, bernegara, bersosialisasi dan berpolitik serta
setiap agama di Indonesia tidak dapat beragama di Indonesia, para founding father’s
memungkiri fenomena pluralitas dan bangsa ini telah menyediakan payung besar
pengaruhnya dalam kehidupan bersama sebagai bagi keberagaman alamiah Indonesia, yang
sesama warga negara. Di satu pihak, setiap disebut Pancasila (Kirom, 2016). Payung
agama dan pemeluknya, memiliki klaim tersebut menjadi platform bagi kemajemukan,
normatif dan deskripsi yang bersifat apologetik dan menyediakan payung nilai-niai luhur yang
mengenai ajaran, doktrin dan kebenaran absolut berada di atas dan melampaui perbedaan
sesuai iman dan kepercayaannya. Di sisi lain, budaya, bahasa, etnis, wilayah dan agama di
setiap agama dan pemeluknya harus Indonesia. Keberadaannya membentuk nilai dan
memposisikan dirinya di dalam kerangka karakter sehingga sebagai falsafah dasar,
kemajemukan untuk menjamin keutuhan dan perilaku orang Indonesia di dalam
indentitas keindonesiaan tersebut (Lestari, kemajemukan tetap memiliki „gaya sentrifugal‟
2015). yang mempertahankan keindonesiaan secara
Persoalannya, sebagaimana konflik etnis internal (Nishimura, 1995). Sekalipun demikian,
dan agama yang menjadi tren di dalam konflik-konflik horizontal bertemakan SARA,
kehidupan beragama di Indonesia belakangan masih tetap saja menjadi persoalan simultan dan
ini, kemajemukan tersebut selain menjadi temporar di berbagai wilayah Indonesia (Fauzi,
potensi yang baik di satu sisi juga menjadi 2017; Yunus, 2014), akibat kurangnya edukasi di
pemicu lahirnya tindakan intoleransi akibat dalam membentuk pemahaman keberagaman
sikap penganut agama yang eksklusif, fanatis berdasarkan Pancasila di dalam rumah bersama
dan merasa diri lebih dominan dibanding yang yang bernama Indonesia (Raharjo, Armawi, &
lain. Kasus-kasus yang muncul menyangkut Soerjo, 2017).
kebenaran sektarian, benturan hal-hal normatif,
fanatisme dan dominasi kekuasaan atas nama Mengembangkan Konsep Kerukunan dengan
agama, membuktikan bahwa dibalik Edukasi
kemajemukan yang terjadi, terdapat kerentanan Sila pertama dari Pancasila, adalah sebuah
yang berpotensi merusak kemajemukan itu cerminan dari adanya ruang yang sangat luas
sendiri ketika para pemeluk agama tidak bagi terciptanya kerukunan beragama di
mengikat diri dalam toleransi sehingga konflik Indonesia. Hasil penelitian Pratiwi dan Rosidi
terjadi (Halim, 2015; Tule, 2014). Terlebih jika menyatakan bahwa sesungguhnya sila pertama
Analisis Fenomenologi Deskriptif terhadap Panggilan Iman Kristen untuk Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia 47
dari Pancasila, sudah sangat cukup memberi tidak dapat ditolak atau ditiadakan. Melaluinya,
aturan yang tegas mengenai kerukunan muncul konsekuensi logis dari cara hidup orang
antarumat beragama. Adapun penyebab konflik di dalam menjalani agamanya di dalam
yang melibatkan agama, lebih dipicu oleh keberagamaan, yakni hidup berdampingan
rendahnya kesadaran para penganut agama dengan damai. Studi yang dilakukannya di
untuk mempertahankan dirinya di dalam aturan Dusun Losari, Kabupaten Magelang, yang
falsafah dasar tersebut (Pratiwi & Rosidi, 2012). memiliki tiga bangunan berdekatan tempat
Hal inilah yang menjadi tantangan bersama. ibadah dari penganut tiga agama yang berbeda
Bahwa nilai-nilai kerukunan beragama hanya yakni masjid, gereja Katolik, dan vihara
dapat ditegakkan dengan jalan edukasi. Trinarmada. Konflik horizontal tidak pernah
Menurut Jauhari, kemajemukan hanya dapat terjadi di desa tersebut. Penduduk desa
bertahan melalui pengelolaan yang benar. mengembangkan kehidupan yang rukun dan
Pendidikan menjadi sarana yang sangat tepat, komunikasi yang sehat antar-warga. Melalui
khususnya di dalam menggunakan nilai-nilai hubungan antar-warga yang saling menghargai
agama yang dinamis dan inklusif bagi setiap dan menghormati, integrasi ke dalam kesatuan
orang yang berada di dalamnya (Jauhari, 2017). terbentuk dengan mudah.
Langkah terpenting di dalam edukasi
adalah membentuk konsep yang benar tentang Rumusan Kerukunan dalam Kekristenan
kerukunan. Istilah “kerukunan” jauh lebih Dalam sudut pandang kristiani, kerukunan
positif dan dinamis ketimbang istilah merupakan panggilan iman. Konsep yang dapat
“toleransi” yang statis. Toleransi lebih dipakai untuk menjelaskannya adalah teori Eka
mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak Darmaputera yang dikutip oleh Yewangoe
untuk memberi hak hidup kepada pihak lain. dalam bukunya berjudul Agama dan
Artinya keberadaan satu pihak hanya dapat Kerukunan (Yewangoe, 2002, p. 33). Terdapat
terjadi antara pihak lain menghendakinya. tiga konsep kerukunan yang selama ini terlalu
Andaikata satu pihak tidak berkenan, maka dianggap sederhana padahal sejatinya tidak
pihak lain dapat dengan mudah dieliminasi. demikian. Pertama, kerukunan yang dipahami
Sedangkan “kerukunan” mengandung sebagai sekedar situasi tanpa konflik, sebab
pengertian bahwa walaupun saling berbeda, kadang-kadang konflik pun tidak selamanya
kedudukan dan posisinya tidak saling buruk. Yesus misalnya tidak segan-segan konflik
mengungguli, satu di atas yang lain. Kerukunan dengan orang-orang Farisi demi kebenaran
tidak mengenal istilah sub-ordinasi atas nama (Mat. 23:1-36). Namun hal itu bukanlah
agama di kalangan penganutnya. Hak-hak dan legitimasi pembenaran konflik sebab di bagian
kewajiabnya setara. Terlebih untuk hidup, di lainnya, Yesus mengajarkan pentingnya orang
dalam kerukunan, seseorang tidak perlu percaya menjadi pembawa damai (Mat. 5:9).
bergantung pada izin orang lain. Kerukunan Dalam konsep ini, kerukunan bukanlah alasan
justru mengisyaratkan konsep saling-tergantung untuk menindas atau menyembunyikan
antar individu yang bersifat menguatkan kebenaran bahkan bukan untuk
kesatuan (Mawardi, 2015; Rusydi & Zolehah, mengedepankan klaim kebenarannya sendiri.
2018). Kerukunan sejati hanya terwujud ketika semua
Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak secara bersama-sama pelaku agama
Maftukhah di dalam skripsi berjudul tumbuh di dalam imannya dengan menghargai
Kerukunan Antar-umat Beragama Dalam dan mneghormati iman orang lain. Kedua,
Masyarakat Plural dapat dijadikan acuan untuk kerukunan yang dipaksakan dari luar seperti
menarik kesimpulan (Maftukhah, 2014). melalui ancaman-ancaman atau larangan-
Pendekatan yang dipergunakannya adalah larangan dari tangan kekuasaan, hanya efektif
ekspresi keragaman yang disusun Panikkar untuk menekan konflik, namun gagal
(Juergensmeyer, Roof, & Hopkins, 2014) ke mewujudkan kerukunan pada level akar
dalam tiga kelompok, yakni eksklusivisme, rumput. Kerukunan yang dihasilkan adalah
inklusifisme, dan pluralisme. Maftukhah kerukunan semu. Kerukunan mestilah pertama-
mengusulkan pluralisme sebagai jawaban tama merupakan kesadaran internal yang
karena keberagamaan merupakan realitas yang didorong oleh kasih. Dan ketiga, kerukunan
yang menghilangkan perbedaan dan kebebasan.
Dorkas Orienti Daeli https://doi.org/10.36588/sundermann.v1i1.27
48 JCTES 1(1): 44-50