Anda di halaman 1dari 10

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama: Daniel Putra Tua Sihaloho


NIM: 222772012406
Semester : 1 (satu)
Mata kuliah: Kekristenan Global
Dosen Pengampu:

Laporan Bacaan
Theologies Of Religions

Imformasi Bibliografis
Pengertian Teologi Agama-agama
Teologi Agama-agama (dalambahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin
Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologiyang membahas
bagaimanakekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas
agama di luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen
memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubunganyang positif antar-
agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi. Salah satupionir di dalam teologi
agama-agama adalah teologInggrisyang bernamaAlan Race (Eksklusivisme, Inklusivisme,
Pluralisme).

Rumusan Masalah
Untuk menggali lebih dalam bangunan teologi agama-agama Paul F. Knitter, penulis
merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana pandangan Paul F.
Knitter terhadap berbagai agama yang ada? Jika ada pengakuan terhadap kebenaran agama-
agama lain, apakah hal itu berarti meninggalkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil
dan tradisi melalui Kristus? Adakah konvergensi agama-agama, dengan kata lain,
mungkinkah terdapat semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun
suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama? Karena konsep teologi agama-agama
Paul Knitter tidak terlepas dari, bahkan menitikberatkan pada upaya terwujudnya dialog
antar-umat beragama (interreligious dialog), timbul pertanyaan; bagaimana konsep dialog
antar-umat beragama yang dapat membawa kedamaian dan keharmonisan di antara sesama?
Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah untuk mengetahui rumusan teologi agama-
agama Paul F. Knitter yang meliputi pandangannya terhadap agama-agama lain, arti kesetian
terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama.
Adapun relevansinya terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah timbulnya kesadaran
terhadap kebhinekaan masyarakat terutama dalam hal agama, sehingga tercipta pola
hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap penderitaan bangsa
Indonesia.
Metodelogi Makalah
Metodologi Penelitian Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode riset
kepustakaan (library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang ada
kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku
yang ada relefansinya untuk memperoleh data kepustakaan. Oleh karena itu penulis
menggunakan sumber yang diperlukan, baik sumber primer maupun sumber sekunder.
Adapun sumber primer skripsi ini adalah karyakarya intelektual Paul F. Knitter. Di antaranya,
Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Pengantar
Teologi Agama-Agama, Menggugat Arogansi Kekeristenan, dan Mitos keunikan Agama
Kristen. Selain itu, penulis juga menggunakan karya intelektual penulis lain yang menulis
pemikiranpemikiran beliau. Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggunakan
pendekatan deskiptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan dan
dihubungkan satu sama lain kemudian penulis menganalisis data-data tersebut guna
mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. 
Sistematika Makalah
Sistematika Penulisan Agar skripsi lebih terarah, pembahasan dibagi menjadi lima
bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan yang sedikit
memaparkan masalah pluralisme agama di Indonesia yang sering menimbulkan konflik atas
nama agama, serta memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bab II,
berbicara mengenai Sikap Teologis Kristen Terhadap Berbagai Agama Lain yang terdiri dari
dua sub bab, yaitu tipologi sikap, serta sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain
sebelum dan pasca Konsili Vatikan II. Bab III, memuat biografi singkat Paul F. Knitter
beserta karya-karyanya. Adapun Bab IV, berisi pembahasan dari permasalahan skripsi ini,
yaitu pandangan Paul F. Knitter terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus,
konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama dengan beberapa
analisa yang penulis buat. Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V.
Bab II
Sikap Teologis Kristen terhadap berbagai Agama lain
Tipologi Sikap Untuk mengetahui sikap umat Kristen terhadap agama-agama lain,
perlu digambarkan terlebih dahulu tipologi sikap beragama secara umum. Paul F. Knitter,
begitu pula John Hick, membagi sikap Kristen terhadap agama-agama lain menjadi tiga
bagian, eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralism. Klasifikasi ini pertama kali digunakan
oleh Alan Race (1983) Eksklusivisme Istilah “eksklusivisme” berasal dari kata “eksklusif”.
Secara terminologi, eksklusif diartikan sebagai “terpisah dari yang lain”, “khusus”, atau
“tidak termasuk”. Sedangkan “eksklusivisme” dalam perspektif sosial berarti paham yang
mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat
Adapun Eksklusivisme dalam arti teologis merupakan paham yang memandang
bahwa hanya ada satu agama saja yang mengajarkan kebenaran dan satu-satunya jalan
menuju keselamatan dan pembebasan, yaitu agamanya. Agama lain dipandang keliru bahkan
sesat karena merupakan buatan manusia atau telah menyeleweng dari Kitab Suci sehingga
tidak ada kemungkinan kompromi dengan kebenaran agama lain. Pengikut-pengikutnya
berada di luar lingkup keselamatan dan tidak ada harapan apa pun bagi mereka.
Oleh karena itu, mereka berusaha agar umat beragama lain masuk atau memeluk apa
yang mereka yakini. Eksklusivisme dapat mengambil beragam bentuk. Ia dapat menekankan
nilai penting, keyakinan-keyakinan fundamental yang membentuk inti keselamatan dan
tanpanya orang akan merugi, ia dapat menekankan sentralisasi suatu institusi keagamaan
otoritatif yang kepadanya orang masuk ke dalam wilayah keselamatan, pada tingkat yang
lebih sosiologis ia dapat menekankan signifikasi kelompok etnisnya sendiri sebagai titik pijak
keagamaan yang benar. Jenis pertama, fundamental agama Kristen antara tahun 1912-1914
dan melahirkan istilah fundamentalisme; kedua, menemukan ekspresi klasiknya dalam
gagasan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra eclesiam nulla salus); dan ketiga,
muncul dalam batasan
batasan kasta yang dibangun dalam tradisi Hinduisme klasik, dan batasan etnik yang
dibangun dalam Yahudi klasik, sebagai umat pilihan Tuhan (God’s Chosen People). Menurut
Paul F. Knitter, eksklusivisme dalam Kristen memandang umat beragama lain yang tidak
mengenal atau tidak tertarik kepada Kristus tidak memperoleh keselamatan. Mereka
meyakini walaupun Allah adalah orang tua yang mengasihi dan merangkul semua anak-Nya,
Ia sendiri telah memilih untuk melaksanakan karya penyelamatan-Nya, yaitu mengaku dan
merespon tawaran kasih ilahi, yang tersedia hanya melalui realitas historis Kristus dan
melalui komunitas dimana berita dan kuasa keselamatan ada dalam Gereja Kristen. Contoh
model ini adalah evangelikal konservatif dan pentakosta yang bercorak eklesiosentris
(terpusat pada Gereja) dengan model kristologis “Kristus bertentangan dengan agama-agama
lain.” Dengan demikian, pengakuan terhadap adanya keselamatan dari agama selain Kristen
merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah; suatu penghinaan terhadap apa yang telah
dilakukan Allah dalam Yesus. Begitupun dalam AlKitab, agama-agama selain Kristen
dipandang sebagai usaha manusia yang sia-sia dalam mengenal Allah dan memperoleh
keselamatan. Dikatakan sia-sia karena Allah telah mewahyukan kehendak-Nya.
secara eksklusif, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat
manusia. Walaupun gereja-gereja eksklusivis berdialog dengan agama lainnya, tujuannya
tidak lain untuk membuat orang bertobat dan menerima kuasa keselamatan melalui gereja.
Menurut mereka, Allah menghendaki Buddha, Hindu, Islam dan Yahudi menjadi Kristen.
Karena hanya ada satu agama yang benar. Jika orang penganut agama lain tidak mengenal
keselamatan melalui Kristus yang bukan karena kesalahan mereka, itu adalah urusan Allah di
alam Tranhistoris, tugas misionaris adalah mengkristenkan manusia. Tokoh pendekatan ini
antara lain Karl Barth dan H. Kraemer. Sikap ini, menurut Raimundo Pannikar, telah
membawa dua dampak negatif terhadap hubungan antar-agama. Yaitu, pertama,
menimbulkan sikap intoleransi, kesombongan, dan penghinaan terhadap agama lain, kedua,
sikap ini mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi kebenaran yang
seolah logis secara murni dan tidak kritis. Kebenaran kitab suci diterima dan ditafsirkan
secara tekstual, tanpa adanya interpretasi kontekstual yang melatarbelakangi ayat-ayat
eksklusif. Terlepas dari hal tersebut, sikap ini biasanya memiliki komitmen yang teguh dalam
memelihara keyakinannya. Jadi eksklusivisme tidak selamanya

Knitter mengatakan bahwa agama-agama lain juga memiliki pandangan dan respons
mereka sendiri yang abash terhadap Misteri ini (Misteri Ilahi). Jadi mereka tidak perlu
dimasukkan dalam kekeristenan (eksklusif dan inklusif). Dengan kata lain, setiap agama
memiliki perbedaan dalam rumusan teologis, doktrin, dan ritual sebagai respon mereka
terhadap realitas Tunggal. Meskipun berbeda, setiap agama memiliki tujuan yang sama, yaitu
membawa para pengikutnya kepada keselamatan akhirat. Berbeda dengan perspektif mereka
berdua, Hick dan Knitter, Panikkar berpendapat bahwa, semua kepercayaan yang berbeda-
beda sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada eschaton, akhir kehidupan
manusia. Oleh karena itu, setiap agama merupakan jalan-jalan yang sejajar dan setiap
pemeluk agama selayaknya tidak mencampuri, mengklaim sesat atau merendahkan
ketidaksempurnaan, agama lain.
Walaupun berbeda perspektif, pluralisme/paralelisme mengindikasikan adanya
fenomena “Satu Tuhan banyak agama” yang berarti suatu sikap menerima dan menghargai
terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan, dan ini merupakan suatu keuntungan yang sangat
positif bagi hubungan antar- agama. 26 Dengan demikian tradisi-tradisi keagamaan harus
dianggap sebagai alternatif keselamatan di mana atau sepanjang semua manusia dapat
menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan di dalamnya. Kita menemukan
contoh visi keagamaan, baik inklusivis atau pluralis, yang mampu berkembang dalam
masing-masing tradisi agama-agama dunia, walaupun biasanya tidak sebagai tema sentral.
Jadi, dalam bukti baru ini tertulis bahwa logos yang berinkarnasi sebagai Yesus Kristus,
adalah "cahaya yang mencerahkan setiap orang" (Yoh 1:9).

Toleran dan merangkul agama dan kebuadayaan pribumi. Tokoh-tokoh seperti Matteo
Ricci di China, Valignano di Jepang, dan De Nobili di India merupakan tokoh-tokoh yang
mengambil sikap positif dan menegaskan bahwa iman Kristen tidak eksklusif dan tidak
mengucilkan apa yang baik dan suci dari agama serta budaya lain. Sikap positif Gereja
Katolik terhadap agama-agama lain ditegaskan pula oleh Kongregasi untuk Penyebaran Iman
(Propaganda Fide, berdiri pada 1622) dalam surat, dibuat pada 1659, yang memuat norma-
norma bagi para Uskup Eropa yang menadapat tugas memimpin Gereja-Gereja Asia. Norma-
norma tersebut berbicara mengenai desakan untuk tidak memaksa masyarakat pribumi
mengubah ritus-ritus asli, kebudayaan, dan cara-cara hidup khas mereka, kecuali jelas-jelas
bertentangan dengan agama dan moral. Ditegaskan pula agar tidak memunculkan budaya
baru seperti (sinkritisme) Prancis-China, Spanyol-Philipina, dan Portugis-Indonesia. Budaya-
budaya asli patut dipertahankan dan dilestarikan kerena mengarah pada benih-benih
keselamatan. ntuk menahan terhadap/ dapat menerima. Toleransi yang dimaksud adalah
kecenderungan untuk sabar menghadapi/ tahan terhadap keyakinan orang lain yang berbeda-
beda. Jadi, menurut penulis, walaupun tidak ada penerimaan terhadap keyakinan orang lain.
Namun masih ada sikap menerima (selain konsep teologis) dan kesediaan bekerja sama
dengan umat agama lain. Lih Philip Babcok Gove, ed., The New Grolier Webster’s
International Dictionary of The English Language, Vol II (Massachusetts: G & C. Merriam
Company Publishers, 1960), h. 1035. 35

Bab III Riwayat Hidup

  Riwayat Hidupnya Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. 1 Pada
usianya yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958
setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi menjadi
anggota “Divine Word Missionaries” (SDV, singkatan dari Societas Verbi Divini) sebagai
seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari kehidupannya yang dipengaruhi
oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses
mencari titik persamaan agama Kristen dengan agama lain 2 sebagai langkah awal misi
pertobatan. Setelah meraih gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962,
ia mulai merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain
sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya.

Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma, pada 1962,


bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober 1962. Pada 1965 Karl
Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian tempat Knitter menuntut ilmu.
Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis Knitter terhadap agama lain mulai bergeser
dari eksklusivisme menjadi lebih terbuka terhadap agama lain, inklusivisme. Setelah
memperoleh gelar lisensiat bidang teologi di Roma (1968), ia melanjutkan studi ke
Universitas Münster, Jerman (1972) dibawah bimbingan Karl Rahner dengan tesis berjudul
“Sikap Katolik Terhadap Agama-Agama Lain”. Karena ada kesamaan judul dengan disertasi
orang lain di Roma, ia disarankan untuk menulis hal yang sama dalam sudut pandang
Protestan Kontemporer. Akhirnya Knitter pindah ke Universitas Marburg, Jerman (1972) di
bawah bimbingan Prof. Carl Heinz Ratschow, Penasehat bantuan dari Prof. Rudolf Bultman,
dengan judul disertasi “Menuju Suatu Teologi Agama-Agama Protestan”. Hal tersebut
menjadikannya sebagai orang Katolik Roma pertama yang mendapatkan gelar Doktor
Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg. 4 Pada 1972
Knitter mulai mengajar mata kuliah teologi agama-agama di Teologi Union Katolik (Catholic
Theological Union), Chicago, sebagai asisten profesor studi doktrinal. Pada 1975 ia keluar
dari SDV dan pindah ke Universitas Xavier, Cincinnati, Ohio dan mengajar studi yang sama.
Dari mata kuliah yang diajarkannya dan perjumpaan dengan orang beragama lain yang lebih
baik dari orang Kristen yang dikenalnya, Knitter merasakan jembatan Rahner mulai goyah.

Oleh karena itu ia mulai mencari pedoman/perspektif baru dalam memandang


“sesuatu yang religius” di luar teori Kristen anonim Rahner. Di antara sekian banyak
pedoman yang dipercaya dan berani yang digunakannya tercermin dalam dua tokoh,
Raimundo Panikkar dan Thomas Merton sebelum akhirnya ia membaca buku Hans Küng, On
Being a Christian (1976). Menurt Knitter, kritik Küng terhadap teori Kristen anonim telah
membuatnya keluar dari jembatan Rahner, akan tetapi ia tidak sependapat dengan Küng, dan
itu dianggapnya salah, ialah mengenai finalitas Kristus. Pada 1985 Knitter menulis buku No
Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World Religions sebagai survei
kritis atas sikap Kristen. Sebelumnya pada 1984 ia dan istrinya, Cathy, menjadi anggota
“Santuary Movement”, yaitu suatu organisasi oikumenis dari berbagai gereja dan sinagoge
yang memberi bantuan dan tempat perlindungan bagi para pengungsi korban perang El
Savador, Amerika Tengah. Dari kegiatan organisasi ini, Knitter mengunjungi El Savador dan
Nikaragua dengan membawa misi kemanusiaan. Di sana ia menyaksikan langsung bagaimana
penderitaan yang dialami masyarakat El Savador. Oleh karena itu, bagi Knitter teologi
pembebasan bukan saja sebagai “metode baru”, tetapi suatu pemahaman baru tentang agama
dan kesetiaan sebagai murid Yesus dengan mendahulukan mereka yang tertindas sebagai
tuntutan. Hal ini berpengaruh terhadap cara berteologinya di mana ia tidak dapat menjalankan
teologi agama-agama kecuali ada kaitannya dengan teologi pembebasan.

Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama agama dan
teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional yang bertanggung jawab
secara global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap langkah
Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa keprihatinan
terhadap mereka yang menderita (Suffering Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan
lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan
akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan (Harvey Cox dalam “Pengantar”,
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, 6). Hal tersebut mempengaruhi
tulisannya, Toward a Liberation Theology of Religions, dalam buku yang ditulis Knitter
bersama John Hick dan beberapa teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di
antara para teolog Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a
Pluralistic Theology of Religions (1987) Sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun
CRISPAZ (Umat Kristen untuk perdamaian di El Savador), Knitter aktif dalam berbagai
kelompok perdamaian dan keadilan di Cincinnati. Ia telah mengunjungi El Savador dan
Nikaragua selama musim panas 84, 85, 86, 88, 90, 91 dan Januari 95, 96 untuk mempelajari
situsi politik dan kehidupan gereja-gereja disana.

Pada 1991 Knitter mengunjungi India selama lima bulan cutinya. Di sana ia
menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus merupakan dua segi dari agenda yang
sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu, Kristen dan Muslim yang
bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad. Disamping hal tersebut, ia juga belajar
bahwa penderitan bukan hanya meliputi manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk
bumi. Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu
dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog
antaragama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi sebagai
agenda yang paling mendesak. 9 Pada 2002 Knitter menjadi Profesor Emeritus Teologi di
Xavier University sebelum ia bergabung dengan Uni Theologi Seminary, New York pada
2007. Sebagian besar penelitian dan tulisan Knitter berkaitan dengan pluralisme agama dan
dialog antar-agama.

Sejak menulis buku No Other Name? (1985), Knitter telah menjelajahi bagaimana
komunitas beragama di dunia dapat berkerja sama dalam mempromosikan kesejahteraan
manusia dan ekologi, hal tersebut ia tuangkan dalam buku One Earth Many Religions:
Multifaith Dialogue & Global Responsbility (1995) dan Jesus and the Other Names: Christian
Mission and Global Responsibility (1996), dan survei kritis tentang pendekatan Kristen
terhadap agama lain: Introducing Theologies of Religions (Orbis Books, 2002). Pada 2005,
Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan The Myth of Religious
Superiority (Orbis Books).

Saran

Agar tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli
terhadap penderitaan bangsa Indonesia, penulis mengharapkan pemerintah bersama tokoh
agama duduk bersama mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah
hubungan antar agama yang kurang harmonis. Salah satu contohnya adalah, penguatan
fungsi, revitalisasi, FKUB dalam menyelesaikan perseteruan antar agama. Selain itu, penulis
berharap forum dialog antar umat agama ditingkatkan, mulai dari tingkat desa hingga
perkotaan yang tidak hanya berbicara tentang

Bab v

Penutup

Kesimpulan Knitter menyadari bahwa ada banyak agama yang benar dan
menyelamatkan dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah
menyentuh dan merubah dunia, sebagaimana Hick berpendapat bahwa agama-agama adalah
respon manusia terhadap Yang Nyata, namun tetap menekankan diversitas agama-agama,
bahwa agama-agama itu berbeda termasuk dalam tujuan dan keselamatan. Selain mengakui
eksistensi agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara
Kristen dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini
doktrin agama mereka masing-masing, namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut.

Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog
yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam berdialog, tidak ada
yang mendominasi agama lain. Dengan demikian ketika berdialog setiap agama tidak perlu
menanggalkan keunikannya masing-masing sebagai komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Akan tetapi, yang perlu dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap
agama. Bagi Knitter, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi kesetiaan
umat Kristen terhadap Kristus, bahkan memampukan mereka untuk mengaktualisasikan
karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu, ia
“menerjemahkan ulang” klaim kristologi tradisional tentang keunikan Yesus.

Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya,


absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru bahwa
Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satusatunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang
pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, kemudian pesan-
Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang
bermakna untuk menunjukkan Soteria dan mengembangkan kerajaan Allah. Dengan
demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga
unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersamasama dengan para juruselamat lain
yang universal. Knitter berpendapat bahwa memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi
berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak
semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi.

Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama
yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global, bagi Knitter,
merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda,
walaupun dengan respon yang tidak satu. Teologi agama-agama Knitter tidak dapat
dipisahkan dari dialog antar agama, karena dialog merupakan sarana untuk mempelajari lebih
dalam keyakian pribadi maupun keyakinan orang lain. Oleh karena itu, Knitter mengusung
suatu bentuk dialog korelasional dan bertanggung jawab global, di mana semua pihak bisa
saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-
balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia, serta bertanggung jawab terhadap
pembebasan dan keadilan eko-manusiawi. Atas dasar tersebut, suara korban yang tersingkir,
termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan, memiliki tempat
terhormat dalam dialog. Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah,
compassion, conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam
komunitas basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui
langkah-langkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama menanggapi
penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah penyalahgunaan agama

Anda mungkin juga menyukai