1, Oktober 2020
Abstract
Amid the revivals of world religions, the Protestant Christian bodies (mainly the ecumenical
and the evangelical ones) are fragmentally divided into different attitudes toward other faiths.
They propose three positions in dealing with this issue: pluralist, the inclusivist, and exclusivist.
Any choice taken may result in varying levels of openness toward other faiths. The article aims
to acquaint the readers with both ecumenical and ecumenical such attitudes. At the core, it will
also explore the underlying theological as well as practical issues behind such attitudes. To
achieve the goal, the author will use a historical-theological comparative analysis. The result
of the analysis shows that various views on certain aspects (like hermeneutics, revelation,
salvation, and the gospel) have contributed to the disparities of both ecumenical and
evangelical attitudes toward other religions. In the end, this analysis expectedly will enable
every Christian to show a proper attitude toward other religions, in-line with the characteristics
of the Kingdom of God.
Abstrak
Di tengah kebangkitan agama-agama dunia, berbagai tubuh Kristen Protestan (utamanya kaum
ekumenikal dan evangelikal) secara fragmentatis terbagi dalam sikap-sikap yang berbeda
terhadap iman-iman yang lain. Mereka mengajukan tiga posisi dalam menghadapi isu ini:
pluralis, inklusif, dan eksklusif. Setiap pilihan berakibat pada tingkat keterbukaan yang berbeda
kepada iman yang lain. Artikel ini bertujuan untuk mengakrabkan para pembaca kepada sikap-
sikap ini. Pada intinya, artikel ini juga akan mengekplorasi baik isu-isu teologis maupun praktis
yang secara integral di balik sikap-sikap tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, penulis akan
memakai analisis perbandingan historis-teologis. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
berbagai pandangan dalam aspek-aspek tertentu (seperti hemeneutika, pewahyuan,
keselamatan, dan injil) telah berkontribusi kepada disparitas sikap evangelikal dan ekumenikal
terhadap agama-agaman lain. Akhirnya, analisis ini diharapkan akan memampukan setiap
orang Kristen untuk bersikap yang tepat terhadap agama-agama lain, yang sejalan dengan
karakteristik-karakteristik Kerajaan Allah.
1
Dalam Megatrends 2000 (Jakarta: Binarupa Teologiese Studies73, no. 6 (2017): 1-18, https://doi.
Aksara, 1990), 254, John Naisbit dan Patricia org/10.4102/hts.v73i6.4880.
3
Aburden memprediksikan bahwa, pada fajar Ketiga sikap ini secara dialogis didiskusikan dalam
millenium ketiga, terdapat tanda-tanda yang jelas Four Views on Salvation in A Pluralistic World, ed.
dari kebangkitan agama multi-denominasional di Dennis L. Okholm and Timothy R. Phillips (Grand
seluruh dunia. Bahkan, dalam perkembangan Rapids, MI: Zondervan, 1996), 17-26. Ulasan yang
kekinian kebangkitan juga terjadi dalam aliran yang lebih beragam, kompleks, dan terkini tentang
tidak beragama seperti sekularisme dan ateisme. Lih. berbagai paradigma teologi agama-agama, seperti
Simon Glendinning, “Japheth's World: The Rise of Eclesiocentrism, Christocentrism (1-2-3),
Secularism and the Revival of Religion Today,” The Theocentrism, dan Ecclesiocentrism, dilakukan oleh
European Legacy 14, no. 4 (2009): 409-426, https:// Veli-Matti Kärkkäinen. Lih. An Introduction to the
doi.org/10.1080/10848770902999500. Theology of Religions: Biblical, Historical and
2
Jaco Beyers, “A Historical Overview of the Study Contemporary Perspectives (Downers Grove, IL:
of the Theology of Religions,” Hervormde InterVarsity, 2014).
(“pluralis” di kalangan liberal dan sebagian teologis untuk memahami berbagai argu-
lain, dan, bahkan, varian-varian sikap yang Analisis perbandingan teologis ini mirip
ada di dalam keduanya juga. Di bagian dengan analisis perbandingan agama, meski
awal, penulis akan menggunakan pendekat- penekanannya berfokus pada titik ber-
menjelaskan apa dan bagaimana sikap- hanya satu dan tidak setara.5 Dalam analisis
sikap ekumenikal dan evangelikal terhadap ini, Clooney menjelaskan, berbagai pan-
agama lain. Menurut Mahoney, pendekatan dangan religious lain secara dialektis dan
ini adalah sebuah pengujian yang bersifat konstruktif akan diperbandingkan sehingga
komparatif-historis terhadap literatur (com- dapat memperkaya akar tradisi yang satu
parative-historical literature) terkait, yang dan tidak setara itu.6 Dengan pendekatan
tujuan akhirnya adalah untuk memahami yang sama, penulis mencoba memper-
konsep(-konsep) tertentu secara deskriptif.4 sempit cakupan dari perbandingan agama-
Dari pengertian ini, diskusi akan diarahkan agama ke perbandingan teologi-teologi
kepada usaha membandingkan berbagai dalam sebuah agama: ekumenikalisme dan
4
James Mahoney, “Comparative Historical Zuo’an, “Religious Harmony: A Fresh Concept in
Methodology,” Annual Review of Sociology 30 the Age of Globalization,” Procedia–Social and
(2004): 84-101, Behavioural Studies 77 (2013): 210-213,
https://doi.org/10.1146/annurev.soc. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.03.080.
30.012703.110507. Lih. juga uraian James Mahoney 6
Francis X. Clooney, “Comparative Theology: A
dan Dietrich Rueschemeyer sebelumnya tentang Review of Recent Books (1989–1995),” Theological
analisis ini dalam Comparative-Historical Analysis Studies 56, no. 3 (1995): 521–550,
in Social Sciences (Cambridge: Cambridge https://doi.org/10.1177/004056399505600306; dan
University Press, 2003). Comparative Theology: Deep Learning Across
5
Di sini, asumsinya adalah bahwa bahwa agama- Religious Borders (Chichester: Wiley-Blackwell,
agama yang secara sistematis dan mutual 2010).
diperbandingkan tersebut adalah setara (Bdk. Wang
7
Lih. Brian Stanley, The World Missionary Concept of Ecumenical Movement its Model and
Conference, Edinburgh 1910 (Grand Rapids, MI: Contemporary Problems,” International Journal of
Eerdmans, 2009), 49-72. Applied Sociology 2, no. 5 (2012): 47-51, https://doi.
8
Kasomo Daniel, Ombachi Nicholas, Musyoka org/10.5923/j.ijas.20120205.01
Joseph, and Naila Napoo, “Historical Survey of the
Lausanne pada 1927 dengan fokus untuk mempertobatkan orang-orang dalam aga-
meninjau masalah-masalah doktrinal yang ma-agama yang lain?10
dihadapi oleh anggota-anggota DGD; dan Jawaban terhadap pertanyaan di atas
ketiga Gerakan Life and Work, yang cukup bervariasi dan kontroversial. Pada
berfokus kepada usaha persatuan gereja awalnya, sikap gerakan ekumenikal ter-
untuk melayani dunia. hadap agama-agama lain masih mencer-
Di kemudian hari, masalah hu- minkan pandangan tradisionil, yang meng-
bungan kekristenan dengan agama-agama anggap bahwa orang-orang dalam agama-
lain telah menjadi pokok pembicaraan yang agama lain adalah tergolong “bangsa kafir”
hangat dalam gerakan ekumenikal. Secara dan perlu untuk dikristenkan.11 Namun,
khusus, ini berkaitan dengan soal apakah dalam perkembangannya, pandangan tra-
hubungan gerakan misi dunia dan agama- disionil ini semakin ditinggalkan. Realitas
agama lain. Dalam beberapa pertemuan kemajemukan agama, khususnya di Asia,
penting IMC, seperti di Edinburgh (1910), menuntut suatu pemikiran ulang (rethink-
Yerusalem (1928), Tambaram (1938), dan ing) baik dalam berteologi, bermisi dan
New Delhi (1961), isu-isu pluralisme dalam hidup bersama. Kekristenan yang
agama selalu muncul secara konsisten, dan pada masa lalu dipahami sebagai agama
isu-isu ini kebanyakan disuarakan oleh “Barat” dan “Kolonial,” sekarang harus
gereja-gereja ekumenikal di Asia yang mendapat pemahaman yang baru dan lebih
memang sedang berada dalam dan ber- universal. Pemahaman yang baru ini ber-
gumul dengan konteks agama-agama secara akhir pada wujud ganda yang kontroversial,
majemuk.9 Gereja-gereja Asia secara serius pertama, agama-agama lain dilihat sebagai
menanyakan apa arti misi atau sikap agama persiapan untuk menjadi Kristen, dan
Kristen di tengah agama-agama yang lain. kedua, agama-agama dilihat sebagai sarana
Apakah ini berarti gereja akan tetap Allah menyatakan diri, sama seperti Ia hadir
mengambil bentuk misi yang berusaha
9
Bdk. S. Wesley Ariarajah, “Interfaith Dialogue Generation [New York: Student Volunteer
Milestones of the Past and Prospects for the Future,” Movement for Foreign Missions, 1900]), tugas misi
Ecumenical Review 17, no. 5 (2019): 17-88, https:// harus dilaksanakan oleh gereja dan dalam hal ini
doi.org /10.1111/erev.12467. harus mencakup pengkristenan seluruh dunia. Lih.
10
Richard A. D. Siwu, Misi dalam Pandangan Gene Zubovich, “The Protestant Search for ‘the
Ekumenikal dan Evangelikal Asia 1910-1991 Universal Christian Community’ between
(Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 97. Decolonization and Communism,” Religions 8, no.
11
Menurut salah satu tokoh ekumenikal awal, John 17 (2017): 1-12, https://doi.org/10.3390/rel8020017.
R. Mott (The Evangelization of the World in This
dan berkarya dalam agama Kristen.12 dalam agama-agama non-Kristen. Ini juga
Dengan demikian, kedua pandangan ter- berarti bahwa keunikan Kristus menjadi
akhir ini menjadi cukup kontroversial: relatif, hanya siginifikan bagi orang
pandangan yang pertama masih meng- Kristen.14 Dalam beberapa dasawarsa ini,
usahakan unsur-unsur eksklusivitas, semen- kontroversi pewahyuan telah menjadi
tara pandangan yang kedua sudah berusaha spektrum tersendiri, di mana teolog-teolog
menghilangkan eksklusivitas kekristenan. gerakan ekumenikal menetapkan pendirian
Salah satu penyebab utama kontro- mereka. Coward mengidentifikasikan bah-
versi ini terletak pada perbedaan teologi wa kontroversi ini telah menimbulkan
tentang diskontinuitas dan kontinuitas kekacauan dialektis: ada yang berusaha
pewahyuan. Diskontinuitas pewahyuan ber- bertahan dalam spektrum tertentu, ada yang
arti wahyu Allah tidak berlanjut, terputus, berusaha berdiri di antaranya, dan ada pula
setelah puncak penyataan diri-Nya di dalam yang berusaha melepaskan diri dari
Yesus Kristus. Wahyu yang sesungguhnya kekacauan tersebut, sehingga menghasilkan
hanya ada di dalam Kristus. Agama, jika teologi gado-gado, tanpa satu pemecahan
tidak berhubungan dengan Kristus, adalah masalah yang jelas.15
sebuah ketidakpercayaan dan pemberon- Di kalangan gereja-gereja ekume-
takan.13 Di sisi lain, kontinuitas pewahyuan nikal Indonesia, pengaruh kontroversi ini
dipahami sebagai adanya kesinambungan cukup kuat. Ini dibuktikan melalui pe-
bahkan kesamaan antara pernyataan Allah mahaman dan sikap yang berbeda-beda
yang khusus di dalam Yesus Kristus dan tentang agama-agama lain. Secara resmi
dalam agama-agama lain. Hal ini gerakan ekumenikal di Indonesia, yang
dibuktikan dengan masih adanya nilai-nilai terlembaga dalam Persekutuan Gereja-
12
Bdk. Ans van der Bent, “The Concept of WCC yang sangat berpengaruh baik di seluruh dunia
Conversion in the Ecumenical Movement: A maupun di Indonesia. Lih. Siwu, Misi dalam
Historical and Documentary Survey,” The Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal Asia 1910-
Ecumenical Review 44, no. 4 (1992): 380-390, 1991, 74.
https://doi.org/10.1111/j.1758-6623.1992.tb02801. 14
Kosuke Koyama menegaskan, “The religious life
x. is one of commitment: Christians are Christians
13
Karl Barth menggunakan istilah “ketidak- because they hold Christianity to be true, and so are
percayaan dan pemberontakan” ini dalam bagian Muslims, and so on” (“A Theological Reflection on
“The Revelation of God as the Abolition of Religous Pluralism,” Ecumenical Review 51, no. 2
Religion” dari Church Dogmatics-nya (Lih. Sven (1999): 162 (160-171), https://doi.org/10.1111/j.175
Ensminger, Karl Barth’s Theology as a Resource for 8-6623.1999.tb00025.x.
15
a Christian Theology of Religions (Bloomsbury: Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi
T&T Clark, 2014). Pandangan Barth ini kemudian Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 52.
mempengaruhi Hendrik Kraemer salah satu tokoh
gereja di Indonesia (PGI), masih berpegang yang ditujukan kepada agama-agama lain.
kepada diskontinuitas pewahyuan. Dalam Jika dahulu, agama-agama dipahami dan
Lima Dokumen Keesaan Gereja, pema- disikapi sebagai agama “non-Kristen”
haman iman bersama tentang Allah, sekarang sebagai “agama lain,” yang dalam
penyelamatan, dan kerajaan Allah secara konsep tertentu setara dengan kekristenan.
eksplisit masih menyatakan keunikan dan Sebagai agama-agama yang setara, mereka
16
finalitas Yesus Kristus. Namun demikian, memiliki akses untuk dapat berbicara
dalam perkembangannya, akhir-akhir ini tentang kepentingan bersama yang lebih
ada usaha yang cukup serius untuk umum, yang menurut Rieger, berbentuk
mengembangkan suatu teologi agama- membagi pengalaman religius untuk mem-
agama (theologia religionum), yang lebih perkaya spiritualitas atau mengatasi
menitikberatkan pada universalitas dari- berbagai masalah kemanusiaan, kemiskin-
pada partikularitas, atau pada teologis, an, keterbelakangan, ketidakadilan, demo-
antropologi dan soteriologi (yang pneu- krasi dan kemajemukan agama.18 Jadi,
matologis) yang lebih bersifat universal dialog di sini dipahami sebagai suatu
daripada kristologi tradisional yang bersifat pencarian terhadap kebenaran-kebenaran
partikular. Usaha untuk mengembangkan yang bersifat umum secara religius atau
teologi agama-agama menunjukkan keter- humanis, bagi kesejahteraan hidup umat
bukaan terhadap kontinuitas pewahyuan, manusia.
dan ini akan memberikan implikasi yang
Gerakan Evangelikal dan Isu-isu tentang
positif pada gagasan keselamatan yang ada
Agama-agama Lain
dalam agama-agama lain.17
Melalui perkembangan pemahaman Secara historis dan doktrinal, ge-
dan sikap teologis yang dinamis ini, rakan evangelikal memiliki sejarah yang
gerakan ekumenikal mencoba mengon- panjang. Ini dapat ditelusuri mulai dari
sepkan usaha misi yang bersifat dialogis, gereja apostolik di abad pertama, bapa-bapa
16
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Lima 17
Th. Sumartana, “Theologia Religionum,” Meretas
Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, diedit
1996), 45-58; Karel Steenbrink, “From Internal oleh Tim Balitbang PGI (Jakarta: Gunung Mulia,
Christian towards Multireligious Ecumenical 1999), 23-25.
Arrangements in Indonesia,” Hong Kong Journal of 18
Joerg Rieger, “Restructuring Interreligious
Catholic Studies 9 (2018): 259-284, http://catholic Dialogue from the Bottom Up through the Lenses of
3.crs.cuhk.edu.hk/ch/wp-content/uploads/sites/3/20 Deep Solidarity and the Multitude,” Ecumenical
19/01/Journal-9_Karel-STEENBRINK.pdf. Diakses Review 71, No. 5 (2019): 628-241, https://doi.org/
pada 23 Maret 2020. 10.1111/erev.12468.
19
Mark A. Noll, “What Is ‘evangelical’?” in The Missionary Research 20, No. 4 (1996): 160-162,
Oxford Handbook of Evangelical Theology, edited https://doi.org/10.1177/239693 939602000 405.
21
by Gerald R. McDermott (New York: Oxford Alister McGrath menyatakan bahwa salah satu dari
University Press, 2010); dan The Rise of keenam keyakinan injili adalah the majesty of Christ,
Evangelicalism: The Age of Edwards, Whitefield, ia mengatakan, “the whole point of the Christian
and the Wesleys (Downers Grove, IL: InterVarsity, faith is that God has chosen to make himself
2003). graciously known ini and through scripture,
20
W. Harold Fuller, “From the Evangelical Alliance especeially throughj its focal point, Jesus Christ,”
to the World Evangelical Fellowship: 150 Years of dalam Evangelicalism and the Future of Christianity
Unity with a Mission,” International Bulletin of (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1995), 65-68.
nyembah Dia dan akan mengakui Asia (ATA: Asian Theological Associa-
Dia Tuhan.22
tion) oleh International Council for Evan-
gelical Theological Education (ICETE) —
Dari pemahaman ini, tampak bahwa ge-
rakan evangelikal telah membuat garis sebuah badan di bawah naungan the World
pemisah yang tegas antara general reve- Evangelical Alliance (WEA) — pada
lation dan special revelation. Wahyu Allah 1970.25 Organisasi ini kemudian secara
secara umum diakui dapat membawa ma- berkala dan akademis melakukan kegiatan-
nusia berdosa kepada pemahamam terhadap kegiatan konsultasi teologis untuk mendis-
eksistensi Allah, tetapi tidak dapat mem- kusikan isu-isu di sekitar pergumulan gereja
22
Seperti yang dikutip oleh Coward dalam 25
Bong Rin Ro, “A History of Evangelical
Pluralisme, 69-70. Theological Education in Asia (ATA): 1970–1990,”
23
Bdk. Daniel Strange, Their Rock is not Our Rock: Torch Trinity Journal 11, no. 1 (2008): 24-44, http://
A Theology of Religions (Grand Rapids, MI: www.ttgst.ac.kr/upload/ttgst_resources13/2012423
Zondervan, 2014), 103-105. 0.pdf. Diakses pada 24 Maret 2020.
24
Lih. Ho Jin Jun, “Evangelical Challenges to 26
Bong Rin Ro and Ruth Eshenauer, eds., The Bible
Religious Pluralism in Asian Contexts,” Torch and Theology in Asian Context: An Evangelical
Trinity Journal 1, no. 1 (1998): 29-61, http://www. Perspective on Asian Theology (Bangalore: ATA
ttgst.ac.kr/upload/ttgst_resources13/20123-123.pdf. Publications, 1984).
Diakses pada 24 Maret 2020.
27
John Sanders menyebutkan bahwa keterbukaan Who Do Not Hear of Jesus [Grand Rapids, MI:
seperti ini sudah ada sejak zaman Bapa-bapa Gereja Baker, 1996]), dan di Asia, Ken Gnanakan (bdk.
Yunani (The Greek Fathers), dan kemudian Pluralistic Predicament [Bangalore: Theological
dilanjutkan oleh Arminius, John Wesley, C.S. Book Thrust, 1992]).
28
Lewis, dan lainnya. Lih. No Other Name? An Pinnock menjelaskan bahwa Perjanjian Lama (PL)
Investigation into the Destiny of the Unevangelized dan Perjanjian Baru (PB) secara cukup konsisten
(Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1992). Di Barat dan menunjukkan keuniversalitasan Allah yang
Timur sekarang ini, bermunculan tokoh evangelikal menghendaki supaya banyak orang diselamat-kan
yang bersikap terbuka terhadap agama-agama lain (The Wideness of God’s Mercy, 17-35).
seperti Clark H. Pinnock (lih. The Wideness in God’s 29
Robert Boyd, Approaching the World’s Religions,
Mercy [Grand Rapids, MI: Zondervan, 1992]), vol. 2 of An Evangelical Theology of Religions
Millard J. Erickson, seorang partikularis sejati (lih. (Eugene, OR: Cascade, 2017), 96-98.
How They Shall Be Saved? The Destiny of Those
30
McGrath, Evangelicalism and the Future of Toward World Religions [Wheaton, IL: Lausanne
Christianity 72-75. Committee for World Evangelization, 1987] 93).
31
Pendekatan evangelistic dialogue ini pernah 32
Lih. Emilio Castro, “Ecumenism and Evange-
diajukan oleh seorang tokoh injili Asia dari Sri licalism: Where are We?” Ecumenical Review 70,
Lanka, Ajith Fernando (lih. Christian’s Attitude no. 1 (2018): 54-62, https://doi.org/10.1111/erev.12
331.
jaga ortodoksi warisan teologi dan Pada awalnya, gerakan ini sangat ketat
misiologi Barat, yang setia berpegang pada mempercayai diskontinuitas, Yesus Kristus
sehingga apa pun yang berbeda atau Namun, dalam perkembangannya, bebe-
berlawanan dengan kebenaran tersebut rapa orang dalam gerakan ekumenikal
akan selalu dikonfrontasi secara aktif. mulai meninggalkan pandangan ini. Mereka
Dalam hal ini, konflik dan kompetisi kemudian beralih kepada pandangan yang
dengan mereka yang bukan Kristen akan merangkul keduanya, kontinuitas dan dis-
menjadi salah satu karakteristik utama- kontinuitas, artinya ada keterbukaan untuk
nya.34 Jadi, kesetiaan kepada teks (sesuai percaya, bahwa dalam pengertian atau
doktrin: Alkitab adalah firman Allah) selalu kadar tertentu, ada pewahyuan ilahi dalam
akan menjadi prioritas utama dibandingkan
33
Christiaan Jacobs-Vandegeer, “The Finality of theology that views their belief system as being in
Christ and the Religious Alternative,” Theological conflict and competition with non-Christians” (“The
Studies 78, no. 2 (2017): 348-368, https://doi.org/ Challenge of Religious Pluralism: The Association
10.1177%2F0040563917698557. between Interfaith Contact and Religious Pluralism”
34
R. Khari Brown dan Ronald E. Brown Review of Religious Research 53, no.3 (2011): 323-
menegaskan, “Evangelicals tend to embrace a 340, https://doi.org/10.1007/s13644-011-0014-5.
agama lain.35 Dalam gerakan ini, bahkan ke sorga, melalui Yesus dan karya
ada juga pandangan yang sudah cukup kuat keselamatan-Nya di kayu salib. Di sisi lain,
mempercayai kontinuitas pewahyuan, dan kelompok evangelikal yang lebih terbuka
menolak diskontinuitas (telah menjadi dan inklusif berusaha mencari keseim-
“pluralis kuat”).36 Dengan demikian, ke- bangan antara keduanya. Di satu sisi,
lompok ini memiliki keterbukaan yang percaya kepada diskontinuitas dalam arti
besar kepada kemajemukan agama-agama. bahwa memang Yesus adalah finalitas
Bagi mereka, tidak ada faktor penentu yang wahyu Allah. Di sisi lain, ada kontinuitas di
absolut atau mutlak dalam agama-agama. mana “ada kemungkinan” Allah juga
Pendekatan dan sikap yang diambil oleh bekerja dalam agama-agama lain di luar
kepercayaan yang demikian adalah mencari wahyu khusus.38 Agama-agama lain ber-
“wilayah pijakan bersama” (common peran untuk menyiapkan orang-orang
ground) dalam agama-agama untuk mem- menerima injil Kristus, yang di dalamnya
bangun suatu teologi bersama. kepenuhan keselamatan didapat. Dengan
Sementara itu, di dalam gerakan kata lain, tradisi keagamaan lain dapat
evangelikal, timbul juga variasi pendapat berfungsi sebagai jalan persiapan bagi
yang berbeda tentang isu pewahyuan ini. kedatangan injil.39 Yang menjadi pokok
Kelompok evangelikal yang eksklusif ber- pemikiran dan perhatian di sini adalah
pegang pada diskontinuitas pewahyuan bukan “diskontinuitas atau kontinuitas,”
ilahi, dan menolak semua bentuk pewah- tetapi “diskontinuitas dan kontinuitas.”
yuan yang bersifat salvific dalam agama-
agama lain.37 Hanya ada satu jalan menuju
35
Ada trayektori sikap dari yang eksklusif menjadi F. Knitter (lih. No Other Name? [Maryknoll, NY:
inklusif. Pelintasan ini didukung oleh semua elemen Orbis, 1985]) dan tokoh-tokoh pluralis lainnya.
37
utama ekumenikal: Protestan dan Roma Katolik. Di Bdk. Strange, Their Rock is not Like Our Rock, 36-
kalangan Roma Katolik, puncaknya adalah pada 38.
38
keputusan konsili Vatican II (1962-1965) tentang Di sini, terjadi pergerakan trayektoris, dari ekslusif
sikap inklusivisme tersebut (Donald Norwood, menuju ke inklusif. Ada posisi evengelikal yang
“Vatican II: The Most Catholic Council?” masih melihat kemungkin ini, yang disebut sebagai
Ecumenical Review 66, no. 2 (2014): 421-432, “open-partikularisme” (Lih. Henry E. Lie, “Open
https://doi.org/10.1111/erev.121 19. Particularism: An Evangelical Alternative to Meet
36
Pandangan “pluralis kuat” seperti ini dipengaruhi the Challenge of Religious Pluralism in the Asian
oleh teologi agama-agama John Hick (lih. A Context” [Ph.D. diss., Trinity Evangelical Divinity
Christian Theology of Religions [Louisville, KY: School, 1998]).
Westminster John Knox, 1995]), bersama Brian 39
Alister McGrath, “Response to Clark H. Pinnock,”
Hebblewaite (lih. Chrsitianity and Other Religions Four Views on Salvation in a Pluralistic World, 130.
[Great Britain: Fount Paperbacks, 1980]), dan Paul
Isu Eksklusif-Inklusifitas dan Inklusif- dalam bentuk apa pun (eksklusif atau
Pluralitas: Satu Pelangi, Dua Campuran inklusif), selalu akan menjadi skandal bagi
Warna agama-agama lain.41
Dalam kubu yang lain, sikap
Isu eksklusif, inklusif dan plularis
adalah isu yang berhubungan dengan sikap. evangelikal terhadap agama-agama telah
Bagaimana kekristenan bersikap terhadap terbagi menjadi dua: tertutup dan terbuka.
agama-agama lain. Sikap-sikap ini banyak Di satu sisi, kelompok evangelikal yang
dipengaruhi oleh kedua isu yang sudah sangat eksklusif bersikap tertutup, apriori
kontinuitas). Pergereseran posisi dan sikap Sikap ini kemudian berimplikasi pada
tidak terjadi secara kaku (rigid) atau bahwa, pada prinsipnya, dialog semacam
berlaku secara mutlak. Ini dibuktikan ini bertentangan dengan keyakinan kaum
dengan masih adanya perbedaan di dalam evangelikal tentang “keunikan Kristus” dan
tubuh ekumenikal sendiri. Meski tidak kecemasannya terhadap sinkretisme dalam
menjadi sangat tertutup, ada di antara perjumpaan dengan agama-agama lain
gerakan ini yang masih percaya kepada (mis. antara Kristen-Islam).42
keunikan dan finalitas Kristus sambil tetap Namun, di sisi lain, seperti yang
berusaha untuk terbuka kepada agama- sudah dijelaskan di atas, ada juga kelompok
agama lain. Sementara itu, sebagian kecil dalam tubuh evangelikal yang lebih inklusif
yang lain, ada juga yang sudah tidak lagi yang bersikap lebih terbuka, objektif dan
memegang keunikan dan finalitas Kristus. respektif terhadap agama-agama lain.
40 Belakangan ini, misalnya, ada dari kaum
Fonner menjelaskan bahwa hal ini terjadi
karena penekanan terhadap Kristologi evangelikal yang sudah lebih terbuka
40 41
Posisi-posisi semacam ini direpresentasikan Ini ditegaskan oleh Michael G. Fonner,
dengan istilah-istilah “inklusivisme lunak” (soft “Christology: The Central Issue in Christian
inclusivism) dan “inklusivisme keras” (hard Theology of Religions,” Asia Journal of Theology
inclusivism). Lih. D. A. Carson, Gagging of God: 2/2 (1988), 333.
Christianity Confronts Pluralism (Grand Rapids: 42
Lih. John Azumah, “Evangelical Christians Views
Zondervan, 1996), 279-80. Grenz menggunakan and Attitudes Toward Muslim-Christian Dialogue,”
istilah inklusivisme “negatif” and “positif.” Bdk. Transformation: An International Journal of
Stanley Grenz, “Toward an Evangelical Theology of Mission Studies 29, no. 2 (2012): 128-138,
Religions,” Journal of Ecumenical Studies 31, no. 1- https://doi.org/10.1177%2F0265378812439946.
2 (1994): 49-65.
tepatnya misi Allah (Missio Dei). Kedua yang intinya adalah keselamatan jiwa
laksanakan misi ilahi ini, untuk mem- Jika didalami, Injil yang dipahami
beritakan kabar keselamatan dan kedatang- oleh kedua gerakan adalah injil yang satu
an kerajaan Allah kepada manusia yang saja. Karena itu, pemahaman kedua gerakan
menderita secara fisik dan rohani.44 Namun, sama-sama memiliki nilai kebenaran dalam
injil ini, keduanya memiliki perspektif yang keduanya, menyangkut baik aspek ke-
43
Mis. Gerald McDermott dan Harold Netland yang Misiologi Kontemporer: Merentang Horison
melihat dialog sebagai sesuatu yang harus dilakukan Panggilan Kristen, ed. Rappan Paledung, Nindyo
kaum evangelikal karena alasan untuk membangun Sasongko, dan Indah Sriuline (Jakarta: Gunung
respek, kepercayaan yang mutual, persahabatan, Mulia-Asosiasi Teologi Indonesia, 2018), 99-118.
kasih dan perlakuan yang baik terhadap orang-orang 45
Kwabena Asamoah-Gyadu, et al., “The Church as
(dalam agama-agama) lain (A Trinitarian Theology Mission in Its Very Life Toward Common Witness
of Religions: An Evangelical Proposal [New York: to Christ and Visible Unit,” International Review of
Oxford University Press, 2014], 277-283). Mission 101, no. 1 (2012): 105-131,
44
Ferry Y. Mamahit, “Perjanjian Lausanne 1974: https://doi.org/10.1111/j. 1758-6631.2012. 00090.x
Revitalisasi Missio Dei Evangelikal,” dalam 46
Lima Dokumen Keesaan Gereja, 51-52.
Keduanya adalah seperti dua sisi uang koin. agama dengan pendekatan dialogis.
Secara teologis, keselamatan itu selalu Emmanuel memahami pendekatan ini
berdimensi utuh (holistis). Secara praktis, sebagai sebuah pergeseran orientasi dan
kedua aspek injil ini tidak dapat dipisahkan komunikasi dari klaim-klaim kebenaran,
satu dengan yang lain, sebab transformasi ketepatan dan pembenaran “diri sendiri”
hidup harus terjadi dalam seluruh aspek kepada hal-hal yang sama dari “orang
hidup manusia. Kedua gerakan dapat lain.”48 Tujuan dialog di sini adalah bukan
memahami Injil dalam perspektif ini, untuk menjadikan orang dalam agama-
sehingga optimisme terhadap kuasa Injil agama lain berpindah agama, tetapi untuk
yang mengubah kehidupan manusia dan memahami dan mencari kesamaan-kesama-
kebudayaannya (di mana agama merupakan an dalam agama-agama lain yang bersifat
salah satu bentuknya) akan terus di- umum dan fundamental dalam dimensi
perkuat.47 praktis sosial, ritual-religius, doktrinal,
perziarahan kehidupan beriman, dan spiri-
Isu Penginjilan dan Dialog: Satu Misi,
tualitas-religiositas.49
Dua Pendekatan
Sementara itu, pendekatan evan-
Keyakinan dan sikap kedua gerakan
gelikal yang eksklusif masih berorientasi
cukup berpengaruh kepada pendekatan kepada penginjilan (evangelization) dalam
praktis atau kontak langsung terhadap arti memenangkan jiwa bagi Kristus. Kalau
orang-orang dalam agama-agama lain. pun ada pendekatan dialog, itu tetap
Walaupun memiliki misi yang sama, dilakukan dengan tujuan untuk memenang-
melayani orang lain, namun keduanya kan jiwa. Sebaliknya, kaum evangelikal
berbeda dalam metodologi atau pendekatan. yang lebih bersifat inklusif - dengan
Gerakan ekumenikal mendekati agama- sikapnya yang lebih respektif terhadap
47
Model The Conversionist yang menekankan karya Agama dalam Dialog Agama dalam Dialog:
Kristus yang mempengaruhi dan mengubah Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan:
kebudayaan (model transformatif Niebuhr: Christ Punjung Tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert
the Transformer of Culture). Lih. H. Richard Schumann, disunting oleh Panitia Penerbitan Buku
Niebuhr yang menekankan optimisme yang Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann,
demikian dalam Christ and Culture (New York: Balitbang PGI [Jakarta: Gunung Mulia, 1999], 83-
Harper and Row, 1951). 102). Dalam buku yang sama, Sumartana
48
Dominic Emmanuel, Challenges of Christian menambahkan beberapa tema lain seperti pendekat-
Communication and Broadcasting: Monologue or an historis-sosiologis, doa dan ibadah bersama, etika
Dialogue? (London: Palgrave Macmillan, 1999), sosial keagamaan, dan dialog antar manusia sebagai
35-54. pribadi (Lih. “Beberapa Tema Dialog antar-Agama
49
Dimensi-dimensi ini diusulkan oleh Ioanes Kontemporer,” Ibid., 111-121).
Rakhmat (“Bangunan Agama dan Toleransi,”
50
McDermott dan Netland, A Trinitarian Theology of
Religions, 283-292.
mang tidak sempurna.51 Bahkan, hal itu di mana kekristenan akan selalu berada
memiliki kelemahan, sebab melalui pem- (konteks). Dengan mengambil pendekatan
bagian spektrum seperti ini, ada kecen- dialektis antara teks dan konteks, diskonti-
derungan untuk memaksa orang Kristen nuitas dan kontinuitas, Injil keselamatan
untuk memilih salah satu spektrum (dan dan Injil keutuhan (sepenuh), penginjilan
menolak spektrum yang lain) dengan segala dan dialog, diharapkan sikap dan tindakan
resiko yang terkandung di dalamnya. kekristenan (gereja-gereja Protestan eku-
Namun demikian, analogi sikap yang menikal-evangelikal) terhadap agama-
diajukan di atas sedikitnya, menolong untuk agama lain akan lebih seimbang dan positif.
mengevaluasi secara umum, di mana kedua DAFTAR PUSTAKA
gerakan itu berada dan bagaimana kedua
Ariarajah, S. Wesley. “Interfaith Dialogue
gerakan itu bersikap terhadap agama-agama Milestones of the Past and Prospects
lain. for the Future.” Ecumenical Review
17, no. 5 (2019): 17-88.
KESIMPULAN https://doi.org /10.11 11/erev.12467.
Asamoah-Gyadu, Kwabena, et al. “The
Gerakan ekumenikal maupun ge- Church as Mission in Its Very Life
rakan evangelikal harus dapat menge- Toward Common Witness to Christ
and Visible Unit.” International
valuasi diri bukan hanya sikap-sikapnya Review of Mission 101, no. 1 (2012):
terhadap agama-agama lain, tetapi ke- 105-131.
https://doi.org/10.1111/j.1758-
yakinan-keyakinan teologis di balik sikap- 6631.20 12. 00090.x
sikap yang diambil tersebut. Ekstremitas Azumah, John. “Evangelical Christians
akan selalu membawa kerugian bukan Views and Attitudes Toward Muslim-
Christian Dialogue.” Transformation:
hanya dari sisi doktrinal, tetapi juga dari sisi An International Journal of Mission
praktikal. Karena itu, setiap gerakan perlu Studies 29, no. 2 (2012): 128-138.
https://doi.org/10.1177%2F0265378
mencari titik keseimbangan (equilibrium) 812439946.
di dalam pemahaman teologis mereka, Beyers, Jaco. “A Historical Overview of the
khususnya dalam mencari paradigma baru Study of the Theology of Religions.”
Hervormde Teologiese Studies 73,
dalam usaha menghubungkan kebenaran no. 6 (2017): 1-18.
fundamental (teks) dengan situasi konkret
51
Bahkan pemakaian istilah “ekumenikal” dan tentangan/beroposisi satu dengan yang lain. Lih. T.
“evangelikal” sendiri dianggap kurang tepat dan V. Philip, Edinburgh to Salvador: Twentieth
akurat secara teologis. Apalagi, di kemudian hari Century Ecumenical Missiology: A Historical Study
penggunaan kedua istilah itu berujung pada of the Ecumenical Discussions on Mission (Delhi:
simbolisasi posisi dan pemisahan yang saling ber- CSS and ISPCK, 1999).