BAB I
PENDAHULUAN
Struktur masyarakat ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik.1 Unik dalam hal
horizontal dalam artian kesatuan dalam berbagai suku, agama, ras, golongan dan
vertikal dalam hal jarak perbedaan golongan atas dan golongan bawah 2 Secara
terdiri dari kejamakan, artinya dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai pelbagai sub
kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan dengan yang lainnya3
Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula sekuler, artinya agar
Pancasila yang menampung seluruh aspirasi ajaran-ajaran agama dan bukan agama
1
Putu Mambal. Ida Bagus, Hindu, Pluralitas dan Kerukunan Umat Beragama,
Al-AdYaN/Vol.XI, No.1/Januari-Juni/2016, hal 2
2
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 28.
3
Kusumohamidjojo. Budiono,Kebhinekaan Masyarakat Indonesia; Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 45.
1
tertentu4 Dan dilindungi oleh praturan perundang-undagan yang berlaku khususnya
Perlu dipahami bahwa setiap penganut agama apa pun selalu memiliki tiga
moralitas. Setiap orang berupaya sekuat tenaga dan dayanya untuk memperjuangkan
ketiga dimensi dimaksud secara murni. Adanya kenyataan penganut agama tertentu
permasalahan.6 Sejatinya, perdamaian agama adalah hal yang mutlak dalam suatu
Sebab kebenaran yang dimiliki dan yang diwarisi gereja sebelumnya akan
agama lain. Pada akhirnya kebenaran diterima sebagai kebenaran jika kebenaran
4
Kementerian Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat
Beragama (Jakarta: Balitbang, 2007), h. 12-15
5
Kitab Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1-2
6
Sudiarja, A, Dialog Intra Religius. Raimundo Panikkar, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)., hl. 18-
19. Di dalam semua agama hal ini bisa terjadi ketika merasa bahwa agamanya adalah absolut
yakni sikap yang mau membela kepentingan Allah. Sikap ini adalah berbanding terbalik,
kelihatan bukan ajaran agamanya lagi yang mau menjamin keselematan tetapi adalah diri
sendiri yang mau menjamin keselamatan ajaran agamanya karena takut atas rongrongan
berbagai aliran kepercayaan dari luar agamanya.
7
Lumbantobing, Darwin, Teologi Di Pasar Bebas, Pematangsiantar:L-SAPA, 2007, ., hlm. 276.
Sikap positif yang dimiliki oleh prinsip pluralisme ini adalah menghindari sikap fanatisme
sempit, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, membangun toleran dan kerukunan. Sikap
terbuka mendorong pemahaman betapa pentingnya pelayanan sosial. Perbedaan dilihat sebagai
peluang yang bisa menjadi alat pengokoh iman bukan sebagai ancaman atau bahaya.
2
intoleransi, kesombongan, tertutup, bahkan menghina orang lain. Konflik horizontal di
tengah-tengah masyarakat yang plural sering dipicu oleh perbedaan, saling mengklaim.
menelitinya. Beberapa hal tersebut adalah menerjemahkan pluralisme berasal dari kata
pluralis artinya jamak, lebih dari satu, atau pluralizzing yaitu jumlah lebih dari satu,
atau lebih dari dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan
atau paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system social
Dalam istilah lain plualisme adalah sama dengan doktrin yang menyatakan
bahwa kekuasaan, pemerintahan di suatu negara harus dibagi bagikan antara berbagai
Pluralisme agama juga diartikan suatu konsep yang mempunyai makna yang luas,
8
Hasan. Fuad Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai Pustaka,1990),777
9
Digdo. Prigoo Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius,1990),893
3
berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda dan dipergunakan
sebagai :(1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya,
plural, yang bersifat beranekaragam. Dampak dari paham ini lahirlah kebijakan atau
dalam setiap bidang kehidupan seperti agama, budaya, etnik, ilmu, asal usul, dll.
Pandangan hidup tersebut bisa menjadi semacam doktrin yang akhirnya menjadi suatu
kepercayaan yang pada gilirannya akan meningkat membentuk sikap dan perilaku
masyarakat yang disebut keberagamaan. Paham tersebut menunjuk kepada sikap yang
tidak ada prinsip mempengaruhi orang lain supaya murtad atas agamanya, malah
4
Bagi orang tertentu pluralisme ini cukup mengancam dan berbahaya sebab
interdefendency. Sikap eksklusif diganti dengan sikap inklusif. Agama pun disarankan
supaya inklusif-dialogis.13
Jika ditinjau dari arti bahasa gramatikalnya, agama berarti tidak kacau balau,
diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam
Selain itu, istilah religi juga dikenal dalam bahasa Inggris, religion atau agama
dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab dan Dien dalam bahasa Semit. kata-kata
ini memiliki arti yang mirip dengan kata "agama" yang berasal dari bahasa Sansekerta.
13
Lumbantobing. Darwin Ibid., hlm. 276., Bnd. Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme
Religius.Menelaah gagasan Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor,2006)., hlm. 155. Sementara
universalitas kebenaran dicurigai sebagai bentuk kolonialisme yang cenderung intoleran
terhadap kebenaran partikular lainnya. Selain itu jika kelompokminoritas bisa bersatu akan
mendominasi yang manyoritas sehingga kelompok manyoritas akan kehilangan jabatan,
kedudukan, privilese dalam berbagai bidang kehgidupan. Di sisi lain kekuatan tersembunyi dari
kelompok minoritas akan membentuk kekuatan sentral di mana pada satu ketika menemukan
kebangkitan pada saat yang tepat lewat celah-celah kelemahan yang tidak disadari oleh
golongan manyoritas. Kelompok minoritas akan semakin tekun menyebarkan agamanya.
14
Kamaruddin Rahmat, http://www.penaraka.com/2012/04/pengertian-agama.html, diakses 18
Nopember 2022
15
Kant, Immanuel (2001). Religion and Rational Theology. Cambridge University Press.
hlm. 177 ISBN 9780521799980,
5
Religius (dalam bahasa Inggris) berarti kesalehan, kesalehan atau sesuatu yang sangat
(1) Kepercayaan kepada Tuhan atau kekuatan super yang dipuja sebagai
Menurut Olaf Scuhman, baik religi maupun religi berasal dari akar kata yang
sama, yaitu religare yang berarti “mengikat kembali” atau dari kata relegere yang berarti
para penyair seperti filsuf Romawi Cicero dan teolog Protestan Karl Barth, yang
karenanya melihat agama sebagai upaya manusia untuk memaksa Tuhan melakukan
BAB III
PEMBAHASAN
Sejak jaman PL, umat Israel sebagai pilihan Allah hidup berdampingan di
tengah-tengah dunia yang terdiri dari berbagai agama-agama. 17 Pemilihan Israel tersebut
bukan memutus kasihNya terhadap agama-agama lain. Meskipun terkadang cara Allah
16
Kamaruddin Rahmat, pengertian-agama....diakses 18 Nop 202
17
6
membentuk mereka terkesan “partikular”. Tetapi misinya jelas, yang diterjemahkan
Keselamatan bersifat universal oleh sebab itu misi gereja juga harus universal (1
Tim 2:3-4), baik pemahamannya, model dan metode serta penangannya. Yesus
membuat begitu banyak kiasan terkait dengan kelompok atau komunitas Israel, murid-
murid, atau umat Allah di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Baru, Allah
Allah” (Mat. 5:14); “Keluarga” (Mrk. 10:29). Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak
memfokuskan keselamatan itu kepada orang, atau kelompok tertentu, tetapi siapapun
yang ingin dan percaya. Pemanggilan kedua belas murid dari berbagai latar belakang
merupakan simbol dari suatu perjanjian yang telah dibarui di dalam Kerajaan Allah.
Tetapi Kerajaan Allah yang dimaksud bukan soal geografis dan etnis melainkan justru
sebuah komunitas semua bahasa dan suku bangsa yang mau ikut nilai-nilai Kerajaan
lain, Kirk mengangkat pendapat Paul Markinson bahwa tantangan besar bagi orang
Kristen bukan pertama-tama pluralism di luar agama Kristen tetapi pluralis di dalam dan
18
Kirk J. Andrew, What is Mission?: Theological Exploration, Augusburg: Fortress
Press, 2000
7
di antara orang Kristen sendiri. Tetapi apapun itu, realitas agama-agama lain menjadi
realitas kekristenan. Terhadap realitas itu Kirk mengemukakan titik tolak agama
Kristen adalah pengalaman atau visi dan misi agama-agama lain apakah sejalan. Titik
tolak lain adalah pluralitas agama menunjukkan bahwa Allah juga hadir dalam agama-
agama lain serta kesadaran bahwa ada tantangan bersama yang harus dihadapi yaitu
sekularisme serta persoalan keadilan dan pembebasan. Pada landasan inilah agama-
agama bertemu, seperti yang dikemukakan Hans Kung dalam bukunya yang terkenal
Etika Global.19
19
Huns Kung, Global Responsibility –In Search of The a New World Ethich (New York: The Continum
Publishing Companny, 1993), XV
20
Alquran, 1998
8
Dalam ayat tersebut terdapat katalita’arofuu, bukan hanya berarti berinteraksi,
tapi berinteraksi positif, juga terwakili dari kata “maruf” menurut Alwi Shihab 21.
Selanjutnya, dalam bukunya Anggukan retmis kaki pakkyai Emha Ainun Najib
menguraikan bahwa ditengah pluralitas sosial dan agama di era modern saat ini menjadi
pengakuan pada satu nabi saja,melainkan justru pada banyak dan beragam nabi, karena
21
Shihab. Alwi, “Nilai-nilai pluralisme dalam islam;bingkai gagasan yang beerserak”
ed.sururin, yahun 2005 hal.16.
22
Najib. Emha Ainun ”Anggukan retmis kaki pak kyai” Risalah gustiSurabaya, 1995. hal 79
23
Alquran... (Al.Maidah (5);48)
9
Tuhan tidak terbatas menciptakan dunia didalamnya terdapat keragamantermasuk
tatanan manusia24
Atharvaveda XII.1.4 5 25
visyesu sudresumayi dhehi ruca rucam. Yajurveda XVIII.48Ya Tuhan Yang Maha Esa,
bersedialah memberikan kemuliaan pada para brahmana, para ksatriya, para vaisya dan
24
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan universal Islam untuk kemanusiaan,
diterjemahkan dari judul aslinya The Heart of Islam Enduring Valuesn for humanity oleh
Nurasiah Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003). hlm 20
25
Titib. I Made, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan),(Surabaya: Paramita, 1998),
h. 423.
26
Titib. I Made,... 424
10
manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada
segala jalan.27
internalisasi dan mengekspresikan Sang Adi Kodrati. Agama Hindu tidak mendoktrin
satu jalan, satu Tuhan yang benar, satu kitab suci, satu dogma bagi semua orang.
ritual atau ibadah, sesuai dengan tempat, waktu dan suasana bertumbuh. Ibadah atau
ritual itu harus mengakomodasi budaya setempat (local genius).28 Konsep sadhana
kebencian, kekerasan, menyakiti (Ahimsa Paramo Dharma), dan terwujud kasih sayang.
Dalam konteks kerukunan beragama, konsep Ahimsa tiada lain adalah lenyapnya
hasrat untuk melecehkan, menghina, dan menistakan keyaninan atau agama yang lain;
dan 4) Santi, yang diartinya kedamaian. Dalam konteks pluralisme santi dimaknai
27
G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancama Veda), (Surabaya: Paramita,
1999), h. 112
28
Putu Mambal, Hindu... hal 8
29
Siwananda, Sri Swami Intisari Ajaran Hindu (Surabaya: Paramita,
2003), h. 10.
11
sebagai sikap yang senantiasa menunjukkan perdamaian, persaudaraan dalam interaksi
kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lainpun hendaknya
dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita
sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat
sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh
karena itu, Barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain,
semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran
agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua
Nasihat Sang Buddha seperti yang disebutkan dalam Kālāma Sutta (A.I.188-
193), inti ajrannya adalah untuk menerima ajaran agama bukan hanya dari faktor iman
semata, tetapi juga memakai rasionalitas tetapi memahami ajaran tanpa prasangka.Tidak
hanya dalam Brahmajala Sutta, dalam Upali Sutta Buddha memberikan nasehat nasehat
berasal dari keyakinan lain meskipn sudah menjadi pengikut Buddha mereka harus
30
Wijoyo. Hadion, , Jurnal Ilmu Agama dan Pendidikan Agama Buddha Vol. 3, No. 1, Maret 2021,
hal 4
12
tetapmenghormat guru-gurunya terdahulu dengan menerima dana makan (meminta dana
makanan dengan mendatangi rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak
zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikku Buddhis). (M.I.371-3).31
Allah dipahami dapat menyatakan diriNya melalui atau tidak melalui agama-
Pendekatan teosentris adalah sebuah upaya teologis untuk menjelaskan kebebasan Allah
sekaligus menghindari pemusatan yang terkesan eksklusif di dalam diri Yesus Kristus
a. John Hick
31
Wijoyo, Jurnal... hal 5
32
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).,
hlm. 53. Tujuannya ”supaya segala sesuatu telah ditaklukkan dibawah kuasa Yesus Kristus,
maka Ia sendiri sebagai anak Allah akan menaklukkan diriNya dibawah Allah, yang telah
menaklukkan segala sesuatu dibawahNya supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor
15: 28). Pendekatan model ini membuka jalan untuk berdialog kepada agama Yahudi-agama
Islam-agama Hindu, dll. Sebab Allah mengikat perjanjianNya dengan Abrahan, Ishak, Yakub,
Nuh, Musa, dll yang dipahami berlaku untuk semua manusia karena mereka semua adalah
nenek monyang semua umat manusia. Pendekatan ini menguraikan pernyataan Yesus yang
bersifat teosentris tanpa mengabaikan keilahianNya. Misalnya, Yesus menyatakan Allah sebagai
BapaNya dan menempatkan diriNya lebih rendah dari Allah (Yoh. 14:28). Prioritas Allah
sebagai pribadi yang telah meninggikan Yesus selalu diungkapkan.
13
Teori Copernikus, melihat bahwa bukan bumi sebagai pusat dari planet jagad
raya ini tetapi adalah matahari. Namun demikian cahaya kehidupan dari matahari
tersebut diperoleh oleh planet lain ketika cahaya matahari tersebut sudah dipantulkan ke
bumi. Tidak ubahnya antara Allah dengan agama-agama lain di mana Allah sebagai
sumber terang kehidupan akan sampai ke agama-agama lain ketika cahaya kehidupan
kemutlakan kekristenan menuju kepada kewajaran agama Kristen sebagai terang baru.
Agama-agama lain melihat dirinya menjadi sama dan setara dengan agama Kristen tidak
ada yang lebih super dan asing dari yang lain. Langkah ini menggeser apriori
merasa dirinya pusat beralih kepada Allah adalah pusat di dalam Yesus Kristus untuk
semua agama-agama tanpa terkecuali. Keselamatan melalui gereja kini tidak mutlak lagi
b. Paul F. Knitter
John Hick, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed),
33
Mitos Keunikan Agama Kristen, (Jakarta:BPK-GM, 2001)., hlm. 35-37., Bnd. Harold Coward,
Op.Cit., hlm. 57-60. Allah adalah matahari asali dari segala berkat dan bahaya yang
diekspresikan oleh semua agama-agama menurut cara mereka masing-masing. Dengan
pemahaman ini Allah tercermin di dalam aneka ragam peradaban yang nyata di dalam agama-
agama. Allah terlihat dalam cetak biru jiwa manusia (pressing in upon the human spirit) yang
berbeda.
14
Mengusulkan dialog normatif dan teosentis terhadap agama-agama lain atas
keselamatan. Oleh karena itu Kristen tidak harus berkeras bahwa Yesus Kristus adalah
norma yang final atas semua kebenaran. Biarlah semua agama bertemu di dalam
perbedaan pandangan mereka terhadap Allah sumber matahari terang Yang Maha
Melangkah jauh dari pendekatan John Hick dan Paul F.Knitter ini berpendapat
semua agama adalah sama di hadapan Allah. Pemahaman ini berpeluang untuk menjalin
dialog merajut kerukunan antar umat beragama sampa membangun komunitas damai
Vatikan II, dalam dokumen Nostra Aetate suatu deklarasi tentang agama yang
34
Knitter, Paul F, Satu Bumi Banyak Agama. Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab
Global,(Jakarta:BPK-GM, cet.ke-3, 2006), hlm. 6, 22. Ia adalah murid Karl Rahner pemilik ide
bahwa agamaagama yang lain adalah “Sah” dan “Jalan Keselamatan”.
35
Lumbantobing, Darwin. Ibid., hlm. 264-285. Pemahaman ini dapat sambutan hangat oleh
berbagai pihak khususnya yang berpihak kepada pluralisme dan hal ini dijadikan sebagai pintu
masuk untuk memahami agama dan kepercayaan lain di luar agama kristen.Pemahaman ini
didasari dengan pembedaan iman dan agama. Iman berarti hubungan manusia secara batin
dengan Tuhan yang sifatnya sangat pribadi dan agama adalah tempat manusia untuk
mengespresikan imannya kepada Tuhan memalui sarana yang dibutuhkan.
15
bukan kristen menyimpulkan bahwa di dalam agama-agama lain terdapat unsur
pengenalan dan pengalaman bersama dengan Tuhan, tuntutan etis dan perilaku
agama lain sama dengan ajaran gereja di dalam kehidupan seharihari. Artinya,
agama-agama lain ada yang hidup dan berperilaku yang sesuai dengan injili.
pemahaman ini penganut agama-agama lain sama dengan agama kristen sebab di
dalam agama mereka ada nilai-nilai Injil sekalipun mereka bukan kristen.
Bertitik tolak dari pemahaman Rahner sangat baik digunakan dalam dialog
untuk merajut kerukunan antar umat beragama pada semua tingkatan sosial
kehidupan masyarakat. Ide ini sangat penting diperhatikan karena stand point
yang dicari adalah konsep dasar dalam rangka membangun kerukunan di tengah
b. Paul Tillich
Paul Tillich, memiliki pandangan yang cukup tajam dalam rangka merangkul
agama-agama lain sebagai sesama atau saudara setara dengan orang kristen melalui
penyaliban Yesus Kristus yang tidak terbatas hanya untuk orang kristen (Gal. 5:14).
Menurut dia sesaat Yesus Kristus tersalib dunia dan semua lapisannya telah termasuk
dalam ciptaan baru (Gal. 8:15). Bertitik tolak dari pemikirannya itu pemahaman
16
partikularistik agama harus runtuh baik di dalam internal kristen maupun agama di luar
fanatik sempit orang kristen yang sebelumnya mengurung diri Yesus Kristus sekitar
agama Kristen melalui Gereja. Refleksi teologis Paul Tillich membongkar kekakuan
pemahaman orang kristen melihat agama-agama lain. Pemahaman Tillich ini cukup baik
dalam Yesus Kristus tidak ada pembedaan agama dan suku. Semua memperoleh
c. Hans Kung
agama lain pertama dari teosentris kemudian beralih kepada kristosentris. Di mana
Yesus Kristus datang bukan hanya untuk menyelamatkan orang Kristen saja tetapi
untuk menyelamatkan semua manusiadunia ini. Kristus adalah norma normans normata-
Kristus adalah di atas segala norma yang ada. Konsekuensi logisnya bahwa kristen
harus memperkenalkan Kristus ke seluruh dunia demi untuk keselamatan dunia. Inilah
alasan Hans Kung mengapa dia kurang setuju atas ide (anonymous christiany) Karl
Rahner, ide itu akan menutup kemungkinan untuk membangun semangat dialog dengan
agama-agama lain karena mereka tetap dipaksakan melihat gereja sebagai sesuatu yang
36
Lumbantobing, Darwin, Ibid., hlm. 283-284.
17
eksklusif, super. Konsekuensinya mereka tidak mau mendengar pemberitaan gereja.37
Kesimpulan, kristologi Hans Kung menekankan bahwa Yesus Kristus bukan terbatas
untuk kelompok yang dibangun atas nama agama. Tetapi Dia adalah untuk semua orang
yang membangun kehidupannya atas dasar iman. Oleh karena itu siapapun orangnya
dan apa pun latarbelakang agamanya jika imannya dibangun di atas dasar Yesus Kristus
dia diselamatkan. Tititik point penting bahwa di dalam Kristus tidak ada pemahaman
pluralitas agama.
Sikap kekristenan terhadap agama-agama lain sejak sejarah kuno dalam teks
Alkitab sudah menunjukkan hormat dan setara dalam maksud dan rencana Tuhan,
seperti pada teks Kejadian 9:6 (kesegambaran Allah dengan manusia)38 . Dengan
rumusan ini sumber P hendak menekankan bahwa Allah diterima secara bersama-sama
oleh semua manusia. Bentuk pluralis ini mensyaratkan bahwa meskipun terdapat
berbagai agama tetapi tidak ada lagi kafir atau penyembah berhala dan dengan demikian
semua bangsa menyembah Allah yang benar.39 Elohim adalah nama bagi Allah Pencipta
Kesegambaran semua manusia dengan Allah inilah salah satu unsur yang dapat
37
Lumbantobing, Darwin, Ibid., hlm.284-287. Sementara gereja diharapkan harus mampu
mencari formulasi dialog untuk membwa makna Injil Kistus kepada agama-agama lain .
38
Alkitab, Kejadian 9:6, LAI, 2020
39
Albert DE PURY, Gottesname, Gottesbezeichnung und Gottesbegriff. ’Elohim als Indiz zur
Entstehungsgeschichte des Pentateuch, dalam: Jan Christian Gertz/Konrad Schmid/Markus
Witte (Eds), Abschied vom Jahwisten. Die Komposition des Hexateuch in der jüngsten
Diskussion, Berlin – New York, BZAW 315, 2002, 25-47.
18
mempertemukan agama-agama secara khusus dalam memahami dirinya sebagai ciptaan
Allah
Terkait hal tersebut penting dipahami sikap teologis umat Allah atau Gereja
Sikap praktis hidup sosial dan keberagamaan orang kristen harus terbuka dan
dialogis. Pemahaman ini bertitik tolak dari misi keselamatan yang dibawa oleh Tuhan
Yesus ke dunia ini yang bukan hanya untuk satu golongan, atau satu agama saja. Tetapi
Ia datang untuk keselamatan dunia (Yoh.3:16) tanpa harus semua orang secara resmi
masuk ke gereja. Terkait dengan hal itu Alkitab menyaksikan bahwa Allah telah
menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus. Di dalam diriNya manusia dimungkinkan
memperoleh pembenaran Allah. Yaitu melalui Allah yang telah mereposisi diriNya dari
Allah yang menuntut korban keselamatan menjadi korban keselamatan di dalam diri
Yesus Kristus. Dalam kaitan ini keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus sangat
terbuka untuk umum termasuk kepada orang yang berada di luar gereja karena mereka
sama dengan orang yang ada di dalam gereja tetap berdosa-like sinners can be saved by
justification, diselamatkan di dalam diri Yesus Kristus (Gal. 3:22-24). Sementara yang
LumbanTobing, Darwin ”Gereja di Tengah Kepelbagaian Agama” di dalam Pdt. Ir. Thomson
40
M.P.Sinaga, dkk (ed),Pelayanan yang Kritis di Alam Demokrasi. Buku Pengucapan Syukur 50
19
Mengacu kepada sebahagian isi Konsili Vatikan II (thn. 1963-1965) dengan
jelas menolak extra ecclesiam nulla salus dengan pernyataan bahwa di luar gereja yang
kelihatan ada juga keselamatan. Hal ini mendapat perhatian dan sambutan hangat dari
dunia agama-agama lain dan dikuatkan lagi oleh ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus
II, Redemptor Hominis manusia-tanpa kecuali telah ditebus oleh Kristus. Muncul
pemurah. Di mana non-Kristen dapat diselamatkan secara diam tanpa mereka ketahui
Pernyataan dan kesaksian iman Kristen harus eksklusif, doktrik Katolik Roma
extra ecclesia nulla salus, Kristen Protestan-bahwa di luar agama kristen tidak ada
Tahun Pdt. W.T.P.Simarmata, MA., (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006)., hlm. 73-76)., Bnd.
John Hick ““Ketidak Mutlakan Agama Kristen” Op.Cit., hlm. 33. Di sisi lain Alkitab bersaksi
bahwa kejatuhan manusia dalam dosa beresiko universal merasuk kepada semua manusia
menghadapi penghukuman (Rom. 5:12).
41
Hick. Jhon, Ibid., hlm.33-34. Hal ini berawal dari kesadaran pada abab ke-20 bahwa ada nilai-
nilai yang benar pada diri tradiri-tradisi besar dunia lainnya selain di dalam kristen, dan ada sisi
gelap dan berbahaya didalam absolutisme atau eksklusivisme kristen. Menghindari bahaya
klaim itu prinsip kemungkinan keselamatan seara resmi diperluas kepada seluruh dunia.
42
John Hick. Jhon and Brian Hebblethwaite (ed), Christianity and other Religions,
(Philadelphia: Fortress Press, 1988)., 177., Bnd. F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama Dalam
Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1995)., lm. 25-27. Menyebutkan bahwa
istilah extra ecclesiam nulla salus sebenarnya bersifa apologetis dan bukan eksklusif. Dalam
perkembangan berikutnya istilah itu meluas dan disalah artikan. Pada hakikatnya Cyprianus
hendak mengatakan babtisan yantg diberikan oleh para bidah adalah sesat dan tidak membawa
keselamatan. Hanya dalam Gereja Katolik yang ada babtisan keselamatan di luar itu tidak ada
20
pengutusan misionaris yang tidak segan-segan menampilkan heroisme-sikap berjuang
dunia karena dipahami bahwa hanya agama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang
Ada hal yang bertolak belakang di mana kejahatan meraja lela, sikap
Kristen tercatat memiliki cacat dalam sejarah, tidak bisa mengatasi dan menebus
kejahatan. Tetapi tetap menyatakan diri sebagai agama satu-satunya yang didirikan oleh
Allah di muka bumi ini. Sikap eksklusif dan gambaran buruk tersebut sangat
agama kristen yang sebelumnya berkemampuan khas untuk mengubah sifat manusia
menjadi lebih baik. merusak kebersamaan dengan agama agama lain. Keunikannya
kekaisaran koloni kecil Roma, memantapkan dirinya sebagai agama resmi negara
kolonial. “Dunia Kristen”, diwujudkan dengan usaha perluasan agama Kristen disertai
babtisan keselamatan. Sehingga yang memisahkan diri dari Gereja Katolik otomatis tidak
memiliki keselamatan. Dengan kata lain ungkapan itu adalah sebagai pagar bagi kesatuan dan
persatuan umat Kristen yang pada masa itu amat memperihatinkan. Ungkapan itu sekaligus mau
mencegah supaya jangan keluar dari ajaran yang benar di pihak lain ingin meyakinkan
kesesatan pandangan bidah-bidah dan gnostisisme. Pandangan ini menjadi sangat populer
hingga mnjelang konsili Vatikan II. Dapat dibayangkan betapa lama Gereja masuk dalam sikap
yang salah paham atas ungkapan yang menjeruskan kepada sikap eksklusif.
43
Hikc. Jhon, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam, Op.Cit., hlm. 27-28.
21
mentalitas penjajahan, kolonialis. Agama-agama lain yang dijumpai Kristen dalam
kepercayaan bahwa dalam agama kristen ada terang dan agama-agama lain masih
berada dalam kegelapan. Model kristen yang memandang umat beragama lainnya belum
Saat itu dialog diartikan sebagai alat untuk membuat orang bertobat yang tidak
lebih seperti seorang dokter yang mau menyembuhkan pasiennya. 45 Prinsip adaptasi
hadapan kristen dianggap masih memerlukan terang keselamatan dari agama kristen
Teks Yoh 14:6 dan Kisah Rasul 4:12, menurut teologi Karl Barth atas Agama-
agama lain yaitu bahwa Religion its unglaube (Religion as Unbelief; agama adalah
44
Driver. Tom F.”Masalah Seputar Pluralisme”, di dalam J. Hick dan P. F. Knitter (ed), Mitos
Keunikan Agama Kristen (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001), hlm. 320. Ketika agama-agama
setempat tidak bisa diletakkan di bawah panji Kristen dan bila ada kekuasaan agama-agama lain
dilenyapkan, dilakukan penghancuran lambang-lambang serta penyiksaan dan pembantaian
terhadap orang-orang yang dianggap kafir. Praktekpraktek etika yang bertentangan dengan
kebiasaan para misionaris tidak dilakukan dan tidak diupayakan dalam pemaknaan etika lokal.
45
Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)., hlm. 29-
30.
46
Knitter, Paul F. Satu Bumi…, Op.Cit., hlm. 4-6, 37. Adaptasi misioner artinya, tidak ada
kegelapan total di dalam agama-agama lain
22
itu diberikan hanya di dalam Yesus Kristus. Agama yang dibenarkan hanya ada di
dalam diriNya di mana hal tersebut tidak ditegaskan di agama-agama lain kecuali di
47
Adiprasetya, Joas, Mencari Dasar Bersama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002)Op.Cit., hlm.
53-55., Bnd. Paul F.Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides Toward
the World Religion, (New York: Orbis Books, 1985)., hlm.82-86. Karl Barth memberi
penjelasan; Pertama, Penyataan Allah adalah manifestasi diri sendiri dan melalui penyataanNya
Allah menyingkapkan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah dan Tuhan. Inisiatif muncul dari
Allah sendiri. Ia dapat dikenal karena dia menyediakan diriNya untuk dikenal dan untuk disapa.
Bukan berdasarkan kemampuan, usaha manusia sendiri. Tanpa penyataanNya usaha manusia
mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri menjadi sebuah upaya yang sama sekali sia-sia.
Lebih tegas lagi, upaya itu menunjukkan suatu bentuk ketidakpercayaan Kedua, Barth juga
menegaskan bahwa sebagai pemberian diri dan manifestasi diri Allah, penyataan tersebut
merupakan tindakan di dalam dan melalui anugerah (in grace and by grace). Ia mendamaikan
manusia dengan diriNya sendiri melalui Yesus Kristus. Implikasi teologis atas pengakuan
manusia terhadap anugerah Allah untuk keselamatan secara simultan, keduanya
menggambarkan ketidak mampuan manusia untuk menyelamatkan diri sendiri maupun
pengakuan atas ketidak berdayaan manusia. Sehingga agama yang merupakan usaha manusia
untuk mencari kebenaran dan mencari keselamatan diri dipandang sebagai usaha ketidak
percayaan. Berkaitan dengan itu, kekristenan menjadi benar sejauh berpusat pada Penyataan
Allah dalam Yesus Kristus (Christomonism). Barth berpendapat bahwa kekristenan sebenarnya
tidak lebih dari agamaagama lain. Namun demikian dialektika Barth menjelaskan bahwa
kebenaran dan keselamatan itu diberikan hanya di dalam Yesus Kristus. Agama yang
dibenarkan hanya yang ada di dalam diriNya. Posisi Barth ini dijelaskannya dengan analogi
“Matahari”. Seperti halnya sinar matahari menyinari satu sisi bumi dan tidak menyinari sisi
lainnya, menerangi satu bagian dan meninggalkan yang lain dalam kegelapan, demikian pula
terang Kristus yang satu itu membuat satu agama menjadi benar dan yang lain salah.
48
Sumartana, Th”Sekelumit pemikiran Tentang Theologia Religionum”, W.S. Aminah,dkk (ed),
Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-agama, (Yogyakarta:Dian, 2005), hlm. 131.
23
Th.Kobong, memberikan penilaiannya atas yang eksklusif tidak kurang dari sikap
Keunikan Kristus dan agama kristen yaitu sesuatu yang dimiliki Yesus Kristus
yang terus berlangsung dan tidak berubah dalam diriNya membuat Dia berbeda dengan
yang lain. Orang lain tidak akan mungkin dapat melihat sesuatu tanpa menggunakan
kacamata dan bahasa yang diberikanNya. Interpretasi yang diusulkan oleh teologi
pluralistik atas keunikan ini bahwa Yesus memang benar-benar Ilahi dan Juruselamat,
namun tidak perlu bersikeras bahwa Dia Satu-satunya (solely) Ilahi dan Juruselamat. Ia
benar-benar, namun bukan Satu-satunya. Umat kristen perlu juga terbuka terhadap
kemungkinan bahwa ada juga Pribadi Lain yang bisa diakui oleh umat Kristen sebagai
Anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan mensyaratkan umat
kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus namun sekaligus bisa terbuka
terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya
dengan Kristus. Gereja yang universal dan relevan penting mendengar pesan-pesan lain
dari sumber-sumber berbeda yang bisa bermanfaat dan penting secara universal.50
supaya sikap kristiani tidak bertahan dalam klaim keeksklusivan yang berpusat pada
49
Kobong, Th, ”Pluralitas Dan Pluralisme”, di dalam Balitbang PGI, Op.Cit., hlm. 131. Agama
tidak lagi menampakkan titik orientasinya yang transendental, melainkan menjadi imanen-
antroposentris. Sikap yang membatasi kasih Allah yang tak terbatas itu, mengurung Allah di
dalam sistem nilai-nilai yang dibuat oleh manusia. Agama menjadi kriteria menentukan kasih
Allah dan bukan sebaliknya, teologi pun menjadi antropologi.
50
Knitter. Paul F. Menggugat..Op.Cit., hlm. 170-171.,Bnd. Paul F. Knitter, Satu...Op.Cit., hlm. 51.
24
superioritasnya. Sebab kekristenan yang sebenarnya adalah kasih yaitu hasil
Yesus Kristus, jalan pemikiran yang mengundang kecurigaan yang berujung kepada
manusia dan bumi yang dirundung keruwetan ini secara bersama. Oleh karena itu kritik
Knitter tersebut menurut menghantarkan rasa nyaman lintas religiositas untuk menjamin
komunitas damai di tengah masarakat majemuk. Teologinya dipakai orang yang ingin
menyelamatkan Ekosistem dan Bumi ini sebagai acuan untuk membangun perdamaian
global. Ide Knitter membuka peluang buat agama-agama lain merumuskan pusat
pemahaman teologinya yang sejajar dengan Yesus Kristus. Dia mengatakan bahwa ”kita
orang Kristen” mesti terbuka terhadap kemungkinan bahwa dalam agama-agama lain
ada responnya yang absah terhadap Misteri Ilahi yang tidak harus dimasukkan dalam
dipertimbangkan pemahaman teks alkitab yang inklusif atas Kristus terlebih di dalam
konteks masyarakat plural demi membangun dialog yang korelasional dan membangun
51
Knitter. Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides Toward the World Religion,
(New York: Orbis Books, 1985)., hlm. 38-41
52
Knitter. Paul F, Satu Bumi….Op.Cit., hlm. 11.
25
BAB IV
Bertitik tolak dari adanya pengalaman baru secara bersama-sama yang sungguh-
sungguh dirasakan setiap agama-agama hal itu bisa mengacu kepada keterbukaan.
Diharapkan setiap agama menempatkan dirinya sebagai salah satu penari. Tujuannya
resistensi masyarakat. Sebab pluralisme telah menjadi esensi dunia dan masyarakat
sekarang. Dunia telah menjadi satu kampung kecil di dalamnya umat manusia hidup
yang lain.
Dengan kata lain pluralisme sekarang harus (sangat) aktif jika tidak diperdulikan
akan membilas dan terlintas. Implikasi sosialnya bahwa setiap agama tidak mungkin
lagi hidup eksklusif seperti anak tunggal dan anak sulung yang merasa super dan
26
absolut lalu menghindar dari perjuangan kebutuhan sesama di konteks yang plural. 53
Dalam konteks agama Kristen, orientasi nilai yang disumbangkan untuk konteks
majemuk bisa bertitik tolak dari sikap ”Orang Samaria yang baik hati”, memahami
Dari sisi sosiologis sikap ini lolos uji sebagai orientasi nilai dan penyuburan
komunitas hidup rukun dan toleransi aktif. Dari kedalaman iman kristiani ada nilai yang
mencitrakan bahwa orang kristen adalah mitra seperjalanan dengan sesama agama lain
dalam ziarahnya di dunia ini.54 Pola hidup bersama seperti ini menurut terasa mendesak
karena realitas objektif keanekaragaman yang tidak bisa dihindari dan diingkari.
Sekaligus menolak cara-cara patologis yang menutup diri dalam ghetto fundamentalistik
menyesatkan yang lain. Teologi kolerasional disebut juga liberatif berangkat dari
kebutuhan dan tanggung jawab moral yang membebaskan atas penderitaan banyak
orang. Tujuannya, untuk mencapai kesejahteraan manusia dan Bumi. Penderitaan orang
53
Sumartana. Th, “Theologi Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas Jalan Teologi
Agama-agama diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 18.
Kesaksian agama justru akan semakin dihargai dan di dengar kalau dia mampu menampakkan
kapasitasnya dalam merumuskan diri secara baru danotentik. Kaitannya, sikap melemahkan dan
merendahkan agama lain harus dihindarkan sebaliknya harus mengajak agama lain untuk
menyemarakkan tarian yang menyuburkan kegairahan bersama. Oleh karena itu kesaksian satu
agama harus diuji dengan pandangan lain terkait sejauh mana agama itu mampu untuk memberi
orientasi nilai, penyuburan, menyemarakkan, kebebasan dan penyembuhan dalam perjalanan
hidup manusia.
54
Sinaga. Martin Lukito, ”Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. Theologi
Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia.
Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 2-3. Alam pemikiran di atas dibingkai
dalam satu teologi yang disebut teologi rerigionum.
27
banyak dipandang sebagai tanggung jawab bersama secara global karena menyangkut
penderitaan bumi sebagai tempat manusia. Kalau dicari apa sebenarnya dasar dari
dialog dalam konteks tanggung jawab global maka dasar dari dialog itu adalah
penderitaan dan nilai-nilai religius ”yang lain” yang sudah mengglobal. Oleh karena itu
dialog yang bertanggung jawab secara global bertujuan untuk menanggapi dan
Sangat logis jika dikatakan bahwa tidak ada perjumpaan agama untuk merajut
kerukunan tanpa perdamaian di antara sesama penganut agama. Dalam kaitan ini
intrareligius sendiri karena itulah awal untuk merajut perdamaian intereligius (dialog
terhadap ajaran agamanya atau tradisinya sendiri. Sebab perjumpaan antara dua agama
atau dua kebudayaan itu terjadi dan berlangsung di dalam diriku sendiri. Hal ini terjadi
jika ada refleksi pribadi terhadap pengalaman keberagamaanku secara kritis dan menilai
kembali pengalaman keberagamaan itu dan membuka tabir benteng pemisah dengan
55
Paul F. Knitter,Satu Bumi...,Op.Cit., hlm. 52-53.
56
Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius . Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar,
(Jakarta: Obor, 2005)., hlm 90.
28
keindahan agama yang lain.57 Pengalaman religius seperti inilah yang dimaksud dalam
istilah Passing Over- ”melintas” batas yang harus diiukuti dengan sikap Coming
spiritual ke dalam agama lain. ”Kembali” berarti pulang dan membawa pandangan baru
yang memperkaya pemahaman agama sendiri. Proses pengembaraan itu di mulai dari
”tanah air” agama sendiri, melintasi ”negeri ajaib” agama yang lain dan berakhir di
”tanah air” yaitu agamanya sendiri.58 Dalam koteks alam pemikiran seperti ini Darwin
yang berdasarkan satu agama sangat digugat oleh penganut pluralisme. Sebab sakralitas,
spiritualitas dan moralitas yang benar menurut paham ini adalah yang berdasarkan atas
pengalaman bersama dari berbagai agama-agama yang ada. Oleh karena itu amatlah
dimensi agama tersebut di dalam agama lain-passing over dan pada gilirannya dapat
pemikiran ini karena beliau dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama Kabinet
Pembangunan VII pernah memyebutkan bahwa malapetaka dapat tejadi bukan saja
57
B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama” di dalam Tim Balitbang
PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-
GM, 2000)., hlm. 45.
58
Noer. Kautsar Azhari, ”Passing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan”, di dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas Batas Agama, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Uatama, 1998)., hlm. 281-282.
59
Lumbantobing. Darwin, Op.Cit., hlm. 277-278. Untuk sebagian orang inilah yang menjadi
masalah besar. Oleh karena itu banyak orang yang menolak paham pluralisme agama.
29
karena umat beragama tidak memahami agama orang lain tetapi juga karena
orang lain.
diperkaya dengan pemahaman religius yang baik dari agama lain. Ziarah seperti ini
dialog intrareligius-dialog diri sendiri yang berarti bahwa perjumpaan itu terjadi secara
internal di dalam hati, inti setiap pribadi sebelum terjadi perjumpaan yang eksternal
(intereligius).61 Dialog intrareligius ini disebut pertemuan dua dunia, two world view
Dengan kata lain dialog intereligius untuk membangun perdamaian antar agama-
agama bisa terjadi jika didasari dialog intrareligius.62 Perdamaian antara agama-agama
dalam pemikiran Hans Kung sangat berpotensi untuk memelihara dan menentukan
kerukunan maupun arah perjalanan satu bangsa. Selanjutnya menurut dia tidak ada
60
Yewangoe. A.A, Agama dan Krukunan, (Jakarta: BPK-GM, cet.ke-3, 2006)., hlm. 44.
61
B.J.Banawiratma, Op.Cit., hlm. 98.
62
Ibid., hlm. 102. Sungguh membutuhkan keterbukaan tanpa syarat, ketulusan, kejujuran dalam
dialog intrareligius sebagai dasar dialog intereligius. Dan selanjutnya dialog itulah yang
mendukung terjadinya dialog intereligius.
30
perdamaian antara agama-agama tanpa dialog antara agama-agama.63Dialog antara
agama-agama tidak akan tercapai tanpa investigasi dan kesadaran atas ajaran agama-
agama masing-masing. Dalam ranah pemikiran Kung ini diingatkan kembali betapa
over ke “negeri/agama lain” untuk mengetahui sesuatu yang baru yang pada gilirannya
tahuan dan kesalah pahaman timbal balik di antara budaya-budaya atau agama-agama
pandangannya dalam bahasanya sendiri. Pluralisme berdiri antara pluralitas yang tidak
saling berhubungan dan dalam satukesatuan yang monolitik (mempunyai satu sifat yang
kuat). Sebaliknya pluralisme harus menghindari praduga yang mau mengalahkan yang
lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau mau membentuk suatu agama
universal,64 bukan mau membentuk suatu agama tunggal tetapi hendak menuju suatu
31
bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan tetapi suatu kekayaan yang harus
agamis yang pada gilirannya bisa dipahami oleh agama lain. 66 Oleh karena itu sangat
perlu berziarah ke negeri agama lain. Untuk mencari meeting point. Di mana bisa
kerukunan itu terjadi. Seperti di dalam keprihatinan sosial, ajaran tentang kasih. Agama-
agama memang tidak bisa rukun dan tidak bisa diperdamaikan namun demikian agama
tidak berati apa-apa kalau tidak ada umatnya. Antar umat beragama itulah yang harus
Allah di dalam diri Yesus Kristus walaupun status kenabian Yesus mereka akui. Tetapi
untuk menjembatani jurang antara Allah dan manusia bagi mereka Yesus Kristus terlalu
besar.67 Sejak semula manusia diciptakan sebagai mahkluk yang dialogis, di dalamnya
ada Roh Allah oleh karena itu manusia tidak pernah hidup jika Roh Allah yang
berdialog dengan dirinya sendiri dengan sesamanya, dengan alam lingkungannya dan
bersama Roh Allah sendiri. Manusia sebagai mahkluk yang dialogis membutuhkan
Ibid., hlm 9. Ide ini telah dimaknai oleh para tokoh agama besar sedunia dalam Worl
66
Parliament of Religion di Chicago thn. 1993, di Cape Town thn. 1999 dan di Barcelona thn.
2004, mereka saling mendengar dalam satu komunitas yang dialogis dalam rangka
memperteguh sikap dan praktek tentang pentingnya sikap saling mehami dan saling menerima
antara agama-agama dunia. Satu citra yang bisa dilakukan di tingkat lokal .
67
Coward. Harold Op.Cit., hlm. 46.
32
kehadiran yang lain, melalui dialog dengan-dan-berada bersama orang lain dalam
Setiap manusia memilik perbedaan yang unik, di mana keunikannya itu akan
bertumbuh bersama dengan keunikan yang lain. Mereka harus hidup bersama dalam
perbedaan itu, kebersamaan mereka adalah dalam perbedaan itu. Oleh karena itu orang
yang tidak bisa menghargai dan menerima keunikan itu dan gagal melebur diri dalam
proses dialog itulah orang yang tidak mampu menerima dirinya sendiri.69
akan mampu berdialog yang menghasilkan sikap inklusif di dalam konteks plural yang
membentuknya menjadi pluralisme. Oleh karena itu iman yang dialogis tersebut
masuk dalam ranah pluralis dan ketika itulah antar umat beragama itu akan saling
menguatkan. Karena yang didialogkan adalah reflesi tentang kasih. Kasih Tuhan Allah
umatNya.
Dalam bahasa Indonesia, kata rukun menuju kepada hubungan baik, serasi,
selaras dan seimbang antar pribadi dan golongan. Dalam hubungan tersebut yang
68
Hidayat. Komaruddin, “ Membangun Teologi Dialogis dan Inkluvistik” di dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama,
1998)., hlm.42,45.
69
Ibid., hlm. 43.
33
ditonjolkan adalah saling melengkapi, saling membutuhkan, saling memberi. Dalam
kaitan itu mereka menjalin kebersamaan yang saling; menyuburkan, menghidupkan dan
menopang. Hal ini menghasilkan sikap saling asah, asih dan asuh dalam perilaku
masyarakat.70
Kata rukun (bhs. Arab) artinya, tiang (tgl), jamaknya arkan berarti tiang-tiang
penopang sebuah bangunan rumah yang dihuni oleh sekelompok keluarga. Oleh karena
itu kata rukun dimaksud adalah menunjuk bangunan atau tatanan yang disebut umat
atau ummah. Di mana ummat tersebut terdiri dari satu kesatuan iman yang bermaksud
bangsa dan bahasa. Oleh sebab itu seluruh umat manusia adalah keluarga besar Allah-
familia Dei. Dalam kaitan ini kerukunan adalah kebutuhan keluarga. Sebab itu dialog
dalam pengertian aslinya adalah percakapan orang di antara dua atau lebih yang
berkeluarga. Kerukunan adalah soal iman dalam keluarga besar bukan soal politik.
Dalam iman kristiani hubugan kasih merupakan hal yang sangat senteral dan hakiki.71
Ide seperti pemaparan tersebut di atas sangat mendukung upaya dalam menjalin
70
Sairin. Weinata, Victor Immanuel Tanja, Eka Darmaputera, “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat
Beragama”, di dalam Weinata Sairin (Peny), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa
Butir-Butir Pemikiran, (Jakarta: BPK-GM, 2002)., hlm. 15.
71
Tanja. Victor Immanuel ”Anatomi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosial
Budaya”, di dalam Weinata Sairin, (Peny), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa
ButirButir Pemikiran, (Jakarta: BPK-GM, 2002)., hlm 43.., Bnd. Weinata Sirin, Victor Immanel Tanja, Eka
Darmaputera, ” “Berbagai....” di dalam Weiantara Sirin (Peny) Op.Cit., hlm. 15., Bnd. A.A.Yewangoe,
Op.Cit., hlm. 48.
34
Umat Manusia sebagai Keluarga Allah
Sesama umat manusia adalah keluarga Kerajaan Allah, pemahaman atas hal ini
sangat kuat untuk mendukung upaya pembangunan komutas damai untuk semua orang.
Persoalannya bahwa perkataan Kerajaan Allah yang diterjemahkan dari istilah God’s
Kingship (Yun. Basileia tou Theou) , arti sebenarnya adalah situasi kehidupan luas yang
Tanda-tanda kehadiran pemerintahan itu telah dan akan dinyatakan oleh Yesus
Kristus kepada semua orang tanpa memandang latarbelakang sosial, budaya dan agama.
Untuk memelihara kerukunan dari pandangan universal seperti itu di dalam konteks
pluralisme masyarakat masa kini dibutuhkan peran dialog. Karena dialog merupakan
cara terbaik untuk melaksanakan misi, karena misi yang benar adalah dialog
(Yoh.3:4).72 Kerukunan sejati hanya dapat terlahir melalui penghayatan akan kesamaan
hakiki (bukan persamaan). Kerukunan yang autentik lahir dari iman dan keyakinan
agama masing-masing. Hal ini membawa arti bahwa kerukunan antar umat beragama
35
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari pemahaman berharga di atas ada dua kesimpulan yang berbeda yaitu :
Pertama, dari sikap yang ekslusif jauh lebih menekankan dogmatika kristen yang
tidak punya harga tawar terhadap iman kristiani yang harus menyaksikan Yesus Kristus
sebagai Injil Keselamatan kepada seluruh mahkluk di dunia ini. Semua umat manusia
adalah ciptaan Tuhan namun demikian tidak semua umat dimaksud akan selamat tanpa
menerima Tuhan Yesus sebagai wujud pernyataan Allah. Dia yang telah menyediakan
DiriNya untuk disapa dan dikenal manusia di dunia ini. Teknik, cara dan ajaran untuk
menyapaNya telah diajarkan melalui ajaran kristen. Penganut agama-agama lain diakui
adalah domba Allah juga namun tidak satu kandang dengan orang Kristen. Supaya
mereka tidak menjadi domba yang liar dibutuhkan upaya untuk membawa berita
Kedua, dari sisi pandangan iklusif terhadap pemahaman Pluralisme di atas lebih
agama-agama. Karena pada dasarnya pluralisme agama itu bukan mau memaksakan
orang lain supaya menjadi ”agama kristen”. Pluralistas adalah sebuah kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri. Dalam rangka menjaga keseimbangan hidup mereka perlu ada
36
pemahaman bersama bahwa mereka adalah sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Sebagai
menerima, mengakui, membangun antara satu dengan yang lain. Lebih dari hal itu
agama lain. Sebab setiap agama memeliki sesuatu nilai ”Yang Ilahi” ”Yang Lain”,
”Yang Baik”, ”Yang Benar”,”Yang Mutlak”, dll., yang tidak dimiliki oleh agama lain.
Oleh karena itu setiap orang perlu membuka diri dan mengevaluasi tembok-tembok
rahasia mitologi keagamaannya dan merendahkan diri untuk memahami paham atau
agama orang lain. Sikap intrareligius seperti itu akan membuka wacana baru dan lebih
membentuk sikap yang melihat kesetaraan di antara sesama manusia, saling terbuka
terbentuk sikap seperti itu akan lebih mudah membangun komutas damaia untuk semua
orang.
4.2 Saran
kerukunan antara umat beragama. Hal tersebut bisa dicapai dengan metode dialogis-
inklusif. Di mana dalam kaitan ini dialog dipahami merupakan pintu, momen penting
untuk penginjilan. Tipologi seperti ini mengacu kepada Allah yang berupaya
37
meninggalkan ke IlahianNya dan masuk menjadi manusia, malah menjadi sama seperti
seorang Hamba ( lih. Filippi 2:5-7) dalam rangka menyelamatkan semua makhluk di
dunia. Inisiatif Allah yang seperti ini dipahami tidak ubahnya seperti suatu upaya dialog
antara Allah dengan manusia di dalam atau melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus
menjadi mediator di dalam proses perdamaian antar Allah dan manusia. Dalam kaitan
ini dialog bukan berarti Juruselamat tetapi sebuah metode pendekatan untuk
komunitas rukun dan damai. Berdamai antara sesama manusia, berdamai antara manusia
dan lingkungannya. Perdamaian seperni ini adalah menjadi tanggung jawab global yang
Daftar Isi
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah............................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
38
ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI PLURALISME DAN PERDAMAIAN UMAT
BERAGAMA....................................................................................................................3
2.1 Etimologi Dan Terminologi Pluralisme...................................................................3
2.2 Etimologi Dan Terminologi Perdamaian Umat Beragama.....................................5
BAB III..............................................................................................................................7
PLURALISME DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN......................................7
3.1. Pluralisme Dalam Perspektif Teologi Kristen........................................................7
3.2. Pluralisme Dalam Perspektif Islam.........................................................................8
3.3. Pluralisme Dalam Perspektif Hindu/Buddha........................................................10
4. Pendekatan Teologis untuk Memahami Pluralisme.................................................13
BAB IV............................................................................................................................26
MEMBANGUN KERUKUNAN DALAM MASYARAKAT PLURALIS...................26
Dasar dan Tujuan Teologi Pluralisme Agama-Agama................................................26
4.2. Tidak Ada Perdamaian Agama-Agama Tanpa Dialog.........................................31
4.3. Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Kristen...............................34
BAB V.............................................................................................................................36
PENUTUP.......................................................................................................................36
5.1. Kesimpulan...........................................................................................................36
5.2. Saran.....................................................................................................................38
Daftar Pustaka
39
Survey of Christisn Attitides Toward the World Religion, (New York: Orbis
Books, 1985)., hlm.82-86.
2. Albert DE PURY, Gottesname, Gottesbezeichnung und Gottesbegriff. ’Elohim
als Indiz zur Entstehungsgeschichte des Pentateuch, dalam: Jan Christian
Gertz/Konrad Schmid/Markus Witte (Eds), Abschied vom Jahwisten. Die
Komposition des Hexateuch in der jüngsten Diskussion, Berlin – New York,
BZAW 315, 2002, 25-47.
3. Alkitab, Kejadian 9:6, LAI, 2020
4. B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama” di dalam
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia.
Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 45.
5. Bagus. Lorens. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2006),853
6. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamu Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)., hlm. 777.,Bnd. Th. Kobong, “Pluralitas
Dan Pluralisme” di dalam Tim Balitbang PGI, Agama dalam Dialog, (Jakarta:
BPK-GM, cet.ke-3, 2003)., hlm. 123
7. Digdo. Prigoo Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius,1990),893
8. Driver. Tom F.”Masalah Seputar Pluralisme”, di dalam J. Hick dan P. F.
Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen (BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2001),
9. G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancama Veda), (Surabaya: Paramita,1999), h. 112
10. Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, (New
York:Continuum, 1991)., hlm. 108-109.
11. Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989)., John Hick, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam
40
John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen,
(Jakarta:BPK-GM, 2001)., hlm. 35-37.,
12. Hasan. Fuad Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai
Pustaka,1990),777
13. Hidayat. Komaruddin, “ Membangun Teologi Dialogis dan Inkluvistik” di
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas
Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama, 1998)., hlm.42,45.
14. Huns Kung, Global Responsibility –In Search of The a New World Ethich
(New York: The Continum Publishing Companny, 1993), XV
15. John Hick. Jhon and Brian Hebblethwaite (ed), Christianity and other
Religions, (Philadelphia: Fortress Press, 1988)., 177., Bnd. F.X.E. Armada
Riyanto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995).,Hikc. Jhon, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam,
Op.Cit., hlm. 27-28.
16. Kamaruddin Rahmat, http://www.penaraka.com/2012/04/pengertian-
agama.html, diakses 18 Nopember 2022
17. Kamaruddin Rahmat, pengertian-agama....diakses 18 Nop 202
18. Kant, Immanuel (2001). Religion and Rational Theology. Cambridge
University Press. hlm. 177 ISBN 9780521799980,
19. Kementerian Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan
Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Balitbang, 2007), h. 12-15
20. Kirk J. Andrew, What is Mission?: Theological Exploration, Augusburg:
Fortress
21. Kitab Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1-2, Jakarta, 2020
22. Knitter, Paul F, Satu Bumi Banyak Agama. Dialog Multi-Agama Dan
Tanggung Jawab Global,(Jakarta:BPK-GM, cet.ke-3, 2006),
41
23. Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius,
2005).
24. Knitter. Paul A, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
2008)., hlm. 9., Bnd.
25. Knitter. Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides
Toward the World Religion, (New York: Orbis Books, 1985)., hlm. 38-41
26. Kobong, Th, ”Pluralitas Dan Pluralisme”, di dalam Balitbang PGI, Op.Cit.,
27. Kusumohamidjojo. Budiono,Kebhinekaan Masyarakat Indonesia; Suatu
Problematik Filsafat Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 45.
28. LumbanTobing, Darwin ”Gereja di Tengah Kepelbagaian Agama” di dalam
Pdt. Ir. Thomson M.P.Sinaga, dkk (ed),Pelayanan yang Kritis di Alam
Demokrasi. Buku Pengucapan Syukur 50 Tahun Pdt. W.T.P.Simarmata, MA.,
(Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006)., hlm. 73-76).,
29. Lumbantobing, Darwin, Teologi Di Pasar Bebas, Pematangsiantar:L-SAPA,
2007
42
34. Putu Mambal. Ida Bagus, Hindu, Pluralitas dan Kerukunan Umat Beragama,
Al-AdYaN/Vol.XI, No.1/Januari-Juni/2016, hal 2
35. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan universal Islam untuk
kemanusiaan, diterjemahkan dari judul aslinya The Heart of Islam Enduring
Valuesn for humanity oleh Nurasiah Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan,
2003). hlm 20
36. Shihab. Alwi, “Nilai-nilai pluralisme dalam islam;bingkai gagasan yang
beerserak” ed.sururin, yahun 2005 hal.16.
37. Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius . Menelaah Gagasan
Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor, 2005)., hlm 90.
38. Siwananda, Sri Swami Intisari Ajaran Hindu (Surabaya: Paramita,2003), h. 10.
39. Sudiarja, A, Dialog Intra Religius. Raimundo Panikkar, (Yogyakarta: Kanisius,
1994).
43
44. Wijoyo. Hadion, , Jurnal Ilmu Agama dan Pendidikan Agama Buddha Vol. 3,
No. 1, Maret 2021, hal
45. Yewangoe. A.A, Agama dan Krukunan, (Jakarta: BPK-GM, cet.ke-3, 2006).,
44