Anda di halaman 1dari 44

PLURALISME UNTUK MERAJUT PERDAMAIAN UMAT BERAGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Struktur masyarakat ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik.1 Unik dalam hal

horizontal dalam artian kesatuan dalam berbagai suku, agama, ras, golongan dan

vertikal dalam hal jarak perbedaan golongan atas dan golongan bawah 2 Secara

horizontal masyarakat Indonesia plural dan heterogen. Pluralitas mengindikasikan

terdiri dari kejamakan, artinya dalam masyarakat Indonesia dapat dijumpai pelbagai sub

kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan dengan yang lainnya3

Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula sekuler, artinya agar

menampung seluruh aspirasirakyat dalam ragam agamanya. Dasar negara Pancasila

Pancasila yang menampung seluruh aspirasi ajaran-ajaran agama dan bukan agama

1
Putu Mambal. Ida Bagus, Hindu, Pluralitas dan Kerukunan Umat Beragama,
Al-AdYaN/Vol.XI, No.1/Januari-Juni/2016, hal 2
2
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 28.
3
Kusumohamidjojo. Budiono,Kebhinekaan Masyarakat Indonesia; Suatu Problematik Filsafat
Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 45.

1
tertentu4 Dan dilindungi oleh praturan perundang-undagan yang berlaku khususnya

dalam hal bebas memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.5

Perlu dipahami bahwa setiap penganut agama apa pun selalu memiliki tiga

dimensi dalam kehidupan keberagamaannya yaitu, dimensi sakralitas, spritualitas dan

moralitas. Setiap orang berupaya sekuat tenaga dan dayanya untuk memperjuangkan

ketiga dimensi dimaksud secara murni. Adanya kenyataan penganut agama tertentu

memperlihatkan ekses negatif melahirkan fundamentalisme yang sering menyulut

permasalahan.6 Sejatinya, perdamaian agama adalah hal yang mutlak dalam suatu

masyarakat. Tetapi Pluralisme seringkali dilihat sebagai peruntuh upaya berteologi.

Sebab kebenaran yang dimiliki dan yang diwarisi gereja sebelumnya akan

dipertanyakan dan mencari kebenaran-kebenaran baru secara bersama-sama dengan

agama lain. Pada akhirnya kebenaran diterima sebagai kebenaran jika kebenaran

diterima secara bersama-mutual understanding.7 Sikap seperti ini biasanya melahirkan

4
Kementerian Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat
Beragama (Jakarta: Balitbang, 2007), h. 12-15
5
Kitab Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1-2
6
Sudiarja, A, Dialog Intra Religius. Raimundo Panikkar, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)., hl. 18-
19. Di dalam semua agama hal ini bisa terjadi ketika merasa bahwa agamanya adalah absolut
yakni sikap yang mau membela kepentingan Allah. Sikap ini adalah berbanding terbalik,
kelihatan bukan ajaran agamanya lagi yang mau menjamin keselematan tetapi adalah diri
sendiri yang mau menjamin keselamatan ajaran agamanya karena takut atas rongrongan
berbagai aliran kepercayaan dari luar agamanya.
7
Lumbantobing, Darwin, Teologi Di Pasar Bebas, Pematangsiantar:L-SAPA, 2007, ., hlm. 276.
Sikap positif yang dimiliki oleh prinsip pluralisme ini adalah menghindari sikap fanatisme
sempit, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, membangun toleran dan kerukunan. Sikap
terbuka mendorong pemahaman betapa pentingnya pelayanan sosial. Perbedaan dilihat sebagai
peluang yang bisa menjadi alat pengokoh iman bukan sebagai ancaman atau bahaya.

2
intoleransi, kesombongan, tertutup, bahkan menghina orang lain. Konflik horizontal di

tengah-tengah masyarakat yang plural sering dipicu oleh perbedaan, saling mengklaim.

Pluralisme pada akhirnya terpanggil mengatasi hal dimaksud.

BAB II Etimologi dan Terminologi Pluralisme dan Perdamaian Umat Beragama

2.1 ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI PLURALISME

Berbagai penjelasan tentang pluralisme yang dapat membantu kita dalam

menelitinya. Beberapa hal tersebut adalah menerjemahkan pluralisme berasal dari kata

pluralis artinya jamak, lebih dari satu, atau pluralizzing yaitu jumlah lebih dari satu,

atau lebih dari dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan

atau paham dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system social

politiknya sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat8

Dalam istilah lain plualisme adalah sama dengan doktrin yang menyatakan

bahwa kekuasaan, pemerintahan di suatu negara harus dibagi bagikan antara berbagai

gelombang karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan9

Pluralisme agama juga diartikan suatu konsep yang mempunyai makna yang luas,

8
Hasan. Fuad Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai Pustaka,1990),777
9
Digdo. Prigoo Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius,1990),893

3
berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda dan dipergunakan

dalam cara yang berlainan pula10

The Oxford English Dictionary menyebutkan bahwa pluralisme ini dipahami

sebagai :(1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya,

mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang

mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat

Pluralisme11 juga diartikann artinya suatu paham yang mengakui, menghargai,

menghorhati dan memelihara bahkan mengembangkan keadaan yang bersifat jamak,

plural, yang bersifat beranekaragam. Dampak dari paham ini lahirlah kebijakan atau

pandangan hidup yang mendukung pemelihara perbedaan kelompok yang berbeda

dalam setiap bidang kehidupan seperti agama, budaya, etnik, ilmu, asal usul, dll.

Pandangan hidup tersebut bisa menjadi semacam doktrin yang akhirnya menjadi suatu

kepercayaan yang pada gilirannya akan meningkat membentuk sikap dan perilaku

masyarakat yang disebut keberagamaan. Paham tersebut menunjuk kepada sikap yang

menerima, mengakui dan memelihara perbedaan agama-agama.12 Di dalam paham ini

tidak ada prinsip mempengaruhi orang lain supaya murtad atas agamanya, malah

mendorong supaya setia terhadap ajaran gamanya.


10
Bagus. LorensKamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2006),853
11
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamu Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995)., hlm. 777.,Bnd. Th. Kobong, “Pluralitas Dan Pluralisme” di
dalam Tim Balitbang PGI, Agama dalam Dialog, (Jakarta: BPK-GM, cet.ke-3, 2003)., hlm. 123
12
Lumbangtobing. Darwin, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar:L-SAPA, 2007)., hlm.
275.

4
Bagi orang tertentu pluralisme ini cukup mengancam dan berbahaya sebab

menghadirkan pemahaman bahwa kebenaran universal menggantikan kebenaran yang

partikular. Kebenaran partikular mengklaim yang partikular lainnya menjadi absolut-

universal. Kemandirian dependency digantikan dengan saling ketergantungan-

interdefendency. Sikap eksklusif diganti dengan sikap inklusif. Agama pun disarankan

supaya inklusif-dialogis.13

2.2 ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI PERDAMAIAN UMAT BERAGAMA

Jika ditinjau dari arti bahasa gramatikalnya, agama berarti tidak kacau balau,

diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang menunjuk pada sistem kepercayaan dalam

Hinduisme dan Budhisme di India14. Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian

dengan iman, sistem kepercayaan, atau kadang-kadang mengatur tugas.15

Selain itu, istilah religi juga dikenal dalam bahasa Inggris, religion atau agama

dalam bahasa Latin, al-din dalam bahasa Arab dan Dien dalam bahasa Semit. kata-kata

ini memiliki arti yang mirip dengan kata "agama" yang berasal dari bahasa Sansekerta.
13
Lumbantobing. Darwin Ibid., hlm. 276., Bnd. Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme
Religius.Menelaah gagasan Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor,2006)., hlm. 155. Sementara
universalitas kebenaran dicurigai sebagai bentuk kolonialisme yang cenderung intoleran
terhadap kebenaran partikular lainnya. Selain itu jika kelompokminoritas bisa bersatu akan
mendominasi yang manyoritas sehingga kelompok manyoritas akan kehilangan jabatan,
kedudukan, privilese dalam berbagai bidang kehgidupan. Di sisi lain kekuatan tersembunyi dari
kelompok minoritas akan membentuk kekuatan sentral di mana pada satu ketika menemukan
kebangkitan pada saat yang tepat lewat celah-celah kelemahan yang tidak disadari oleh
golongan manyoritas. Kelompok minoritas akan semakin tekun menyebarkan agamanya.
14
Kamaruddin Rahmat, http://www.penaraka.com/2012/04/pengertian-agama.html, diakses 18
Nopember 2022
15
Kant, Immanuel (2001). Religion and Rational Theology. Cambridge University Press.
hlm. 177 ISBN 9780521799980,

5
Religius (dalam bahasa Inggris) berarti kesalehan, kesalehan atau sesuatu yang sangat

dalam dan berlebihan. Yang lain berpendapat bahwa agama adalah:

(1) Kepercayaan kepada Tuhan atau kekuatan super yang dipuja sebagai

pencipta dan penguasa alam semesta;

(2) sistem kepercayaan dan peribadatan tertentu.16

Menurut Olaf Scuhman, baik religi maupun religi berasal dari akar kata yang

sama, yaitu religare yang berarti “mengikat kembali” atau dari kata relegere yang berarti

“penghapusan, pengabdian, melalui”. Makna kedua, relegere, direkomendasikan oleh

para penyair seperti filsuf Romawi Cicero dan teolog Protestan Karl Barth, yang

karenanya melihat agama sebagai upaya manusia untuk memaksa Tuhan melakukan

sesuatu yang menyebabkan manusia menjauhkan diri lagi.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pluralisme Dalam Perspektif Teologi Kristen

Sejak jaman PL, umat Israel sebagai pilihan Allah hidup berdampingan di

tengah-tengah dunia yang terdiri dari berbagai agama-agama. 17 Pemilihan Israel tersebut

bukan memutus kasihNya terhadap agama-agama lain. Meskipun terkadang cara Allah
16
Kamaruddin Rahmat, pengertian-agama....diakses 18 Nop 202
17

6
membentuk mereka terkesan “partikular”. Tetapi misinya jelas, yang diterjemahkan

dengan “Missio Dei”. Sebab Allah Yahweh adalah Allah universal.

Keselamatan bersifat universal oleh sebab itu misi gereja juga harus universal (1

Tim 2:3-4), baik pemahamannya, model dan metode serta penangannya. Yesus

membuat begitu banyak kiasan terkait dengan kelompok atau komunitas Israel, murid-

murid, atau umat Allah di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Baru, Allah

menggunakan misalnya “Kawanan (domba)” (Luk.12:32; Mrk.14:27), “Bangunan

Allah” (Mat. 5:14); “Keluarga” (Mrk. 10:29). Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak

memfokuskan keselamatan itu kepada orang, atau kelompok tertentu, tetapi siapapun

yang ingin dan percaya. Pemanggilan kedua belas murid dari berbagai latar belakang

merupakan simbol dari suatu perjanjian yang telah dibarui di dalam Kerajaan Allah.

Tetapi Kerajaan Allah yang dimaksud bukan soal geografis dan etnis melainkan justru

sebuah komunitas semua bahasa dan suku bangsa yang mau ikut nilai-nilai Kerajaan

Allah yang diproklamirkan Tuhan Yesus18

Dalam mencoba menggambarkan posisi misi Kristen di tengah agama-agama

lain, Kirk mengangkat pendapat Paul Markinson bahwa tantangan besar bagi orang

Kristen bukan pertama-tama pluralism di luar agama Kristen tetapi pluralis di dalam dan

18
Kirk J. Andrew, What is Mission?: Theological Exploration, Augusburg: Fortress
Press, 2000

7
di antara orang Kristen sendiri. Tetapi apapun itu, realitas agama-agama lain menjadi

realitas kekristenan. Terhadap realitas itu Kirk mengemukakan titik tolak agama

Kristen adalah pengalaman atau visi dan misi agama-agama lain apakah sejalan. Titik

tolak lain adalah pluralitas agama menunjukkan bahwa Allah juga hadir dalam agama-

agama lain serta kesadaran bahwa ada tantangan bersama yang harus dihadapi yaitu

sekularisme serta persoalan keadilan dan pembebasan. Pada landasan inilah agama-

agama bertemu, seperti yang dikemukakan Hans Kung dalam bukunya yang terkenal

Etika Global.19

3.2. Pluralisme Dalam Perspektif Islam

Dalam tinjauan normatif, pluralitas agama dalam al-Qur’an dirangkum pada

ayat-ayat yang menunjukkan pada nilai-nilai pluralisme, teks al-Qur’an berisi;“

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamudisisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal.”Qs. Al-Hujarat (49);1320

19
Huns Kung, Global Responsibility –In Search of The a New World Ethich (New York: The Continum
Publishing Companny, 1993), XV
20
Alquran, 1998

8
Dalam ayat tersebut terdapat katalita’arofuu, bukan hanya berarti berinteraksi,

tapi berinteraksi positif, juga terwakili dari kata “maruf” menurut Alwi Shihab 21.

Selanjutnya, dalam bukunya Anggukan retmis kaki pakkyai Emha Ainun Najib

menguraikan bahwa ditengah pluralitas sosial dan agama di era modern saat ini menjadi

lahan untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan keIslaman22. Pendapat ini

didasarkan pada teks Alquran :

“…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNyasatu


umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadappemberianNya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allahlah kembali kmu semuanya, laludiberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkanitu.” (Al.Maidah (5);48)23.
Dapat kita simpulkan bahwa Islam menafsirkan pluralisme adalah sebagai

berikut : mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum

waliyadin). Pluralisme diorientasikan untuk menghilangkan konflik, perbedaan dan

identitas agama-agama yang ada.

Selanjutnya pluralisme dalam kajian seorang tokoh Sayyed Husein Nasr

menjelaskan pluralisme dalam perspektif Islam, ke-EsaanTuhan tidak berimplikasi pada

pengakuan pada satu nabi saja,melainkan justru pada banyak dan beragam nabi, karena

21
Shihab. Alwi, “Nilai-nilai pluralisme dalam islam;bingkai gagasan yang beerserak”
ed.sururin, yahun 2005 hal.16.
22
Najib. Emha Ainun ”Anggukan retmis kaki pak kyai” Risalah gustiSurabaya, 1995. hal 79
23
Alquran... (Al.Maidah (5);48)

9
Tuhan tidak terbatas menciptakan dunia didalamnya terdapat keragamantermasuk

tatanan manusia24

3.3. Pluralisme Dalam Perspektif Hindu/Buddha

3.3.1. Pluralisme Dalam Perspektif Hindu


Pengakuan Hindu terhadap pluralitas kehidupan sebanding

denganpenghargaannya terhadap pluralitas itu sendiri. Dalam konteks Weda:

1) Pluralitas horizontal : Janam bibhrati bahudha vivacasamnanadharmanam prthivi

yathaukasam sahasram dhara dravinasya me duhamdhruveva dhenur anapasphuranti.

Atharvaveda XII.1.4 5 25

2) Pluralitas vertikal :Rucam no dhehi brahmanesurucam rajasu nas krdhirucam

visyesu sudresumayi dhehi ruca rucam. Yajurveda XVIII.48Ya Tuhan Yang Maha Esa,

bersedialah memberikan kemuliaan pada para brahmana, para ksatriya, para vaisya dan

para sudra. Semoga engkau melimpahkan anugrah-Mu.26

3) Pluralitas religius: Ye yatha mam prapadyantetams tathaiva bhajamy ahammama

vartmanuvartantemanusyah partha sarvasahBhagawad Gita 4.11Bagaimanapun (jalan)

24
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan universal Islam untuk kemanusiaan,
diterjemahkan dari judul aslinya The Heart of Islam Enduring Valuesn for humanity oleh
Nurasiah Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003). hlm 20
25
Titib. I Made, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan),(Surabaya: Paramita, 1998),
h. 423.
26
Titib. I Made,... 424

10
manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada

segala jalan.27

Hindu merespon pluralitas manusia memberikan kebebasan dalam rangkain

internalisasi dan mengekspresikan Sang Adi Kodrati. Agama Hindu tidak mendoktrin

satu jalan, satu Tuhan yang benar, satu kitab suci, satu dogma bagi semua orang.

Keanekaragaman jalan yang disediakan menyebabkan tumbuhnya keberagaman bentuk

ritual atau ibadah, sesuai dengan tempat, waktu dan suasana bertumbuh. Ibadah atau

ritual itu harus mengakomodasi budaya setempat (local genius).28 Konsep sadhana

dalam Hindu diwujudkannya nilai-nilai kebenaran dan kemuliaan agama dalam

tindakan. Kebajikan dan spiritualitas tertinggi dalam Hinduisme adalah sirnanya

kebencian, kekerasan, menyakiti (Ahimsa Paramo Dharma), dan terwujud kasih sayang.

dalam hati. Loka-sangraham, merupakan kewajiban setiap manusia. Hindu untuk

mewujudkan keselarasan dan harmoni dalam kehidupannya (pluralitas sosial).29

Dalam konteks kerukunan beragama, konsep Ahimsa tiada lain adalah lenyapnya

hasrat untuk melecehkan, menghina, dan menistakan keyaninan atau agama yang lain;

dan 4) Santi, yang diartinya kedamaian. Dalam konteks pluralisme santi dimaknai

27
G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancama Veda), (Surabaya: Paramita,
1999), h. 112
28
Putu Mambal, Hindu... hal 8
29
Siwananda, Sri Swami Intisari Ajaran Hindu (Surabaya: Paramita,
2003), h. 10.

11
sebagai sikap yang senantiasa menunjukkan perdamaian, persaudaraan dalam interaksi

keberagamaan, sehingga harmoni beragama akan tercipta.

3.3.2. Pluralisme Dalam Perspektif Buddha


Ajaran Buddha dalam Prasasti Raja Asoka.“Janganlah kita menghormati agama

kita sendiri dengan mencela agama lain. Sebaliknya agama lainpun hendaknya

dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita

sendiri berkembang, selain menguntungkan pula agama lain. Jika kita berbuat

sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama lain. Oleh

karena itu, Barangsiapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain,

semata-mata terdorong oleh rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan pikiran

’Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, justru ia akan merugikan

agamanya sendiri. Karena itu kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah semua

orang mendengar dan menghormati ajaran yang dianut orang lain.”30

Nasihat Sang Buddha seperti yang disebutkan dalam Kālāma Sutta (A.I.188-

193), inti ajrannya adalah untuk menerima ajaran agama bukan hanya dari faktor iman

semata, tetapi juga memakai rasionalitas tetapi memahami ajaran tanpa prasangka.Tidak

hanya dalam Brahmajala Sutta, dalam Upali Sutta Buddha memberikan nasehat nasehat

bagaimana memelihara kedamaian Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang

berasal dari keyakinan lain meskipn sudah menjadi pengikut Buddha mereka harus
30
Wijoyo. Hadion, , Jurnal Ilmu Agama dan Pendidikan Agama Buddha Vol. 3, No. 1, Maret 2021,
hal 4

12
tetapmenghormat guru-gurunya terdahulu dengan menerima dana makan (meminta dana

makanan dengan mendatangi rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak

zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikku Buddhis). (M.I.371-3).31

4. Pendekatan Teologis untuk Memahami Pluralisme

3.2.1. Pendekatan Teosentris

Allah dipahami dapat menyatakan diriNya melalui atau tidak melalui agama-

agama. Kehendak bebasNya mampu menjalin hubungan kepada setiap orang.

Pendekatan teosentris adalah sebuah upaya teologis untuk menjelaskan kebebasan Allah

sekaligus menghindari pemusatan yang terkesan eksklusif di dalam diri Yesus Kristus

yang menimbulkan ketegangan hubungan kepada agama-agama lain. 32 John Hick

melalui teori revolusi astronomi Copernikus menjelaskannya seperti berikut ini :

a. John Hick

31
Wijoyo, Jurnal... hal 5
32
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).,
hlm. 53. Tujuannya ”supaya segala sesuatu telah ditaklukkan dibawah kuasa Yesus Kristus,
maka Ia sendiri sebagai anak Allah akan menaklukkan diriNya dibawah Allah, yang telah
menaklukkan segala sesuatu dibawahNya supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor
15: 28). Pendekatan model ini membuka jalan untuk berdialog kepada agama Yahudi-agama
Islam-agama Hindu, dll. Sebab Allah mengikat perjanjianNya dengan Abrahan, Ishak, Yakub,
Nuh, Musa, dll yang dipahami berlaku untuk semua manusia karena mereka semua adalah
nenek monyang semua umat manusia. Pendekatan ini menguraikan pernyataan Yesus yang
bersifat teosentris tanpa mengabaikan keilahianNya. Misalnya, Yesus menyatakan Allah sebagai
BapaNya dan menempatkan diriNya lebih rendah dari Allah (Yoh. 14:28). Prioritas Allah
sebagai pribadi yang telah meninggikan Yesus selalu diungkapkan.

13
Teori Copernikus, melihat bahwa bukan bumi sebagai pusat dari planet jagad

raya ini tetapi adalah matahari. Namun demikian cahaya kehidupan dari matahari

tersebut diperoleh oleh planet lain ketika cahaya matahari tersebut sudah dipantulkan ke

bumi. Tidak ubahnya antara Allah dengan agama-agama lain di mana Allah sebagai

sumber terang kehidupan akan sampai ke agama-agama lain ketika cahaya kehidupan

tersebut dipantulkan kepada Yesus Kristus. Teori ini mencoba menghindarkan

kemutlakan kekristenan menuju kepada kewajaran agama Kristen sebagai terang baru.

Agama-agama lain melihat dirinya menjadi sama dan setara dengan agama Kristen tidak

ada yang lebih super dan asing dari yang lain. Langkah ini menggeser apriori

superioritas absolut kristen menuju kepada kewajaran.

Pergerakan inklusivisme menuju kepada pluralisme agama. Tradisi kristen yang

merasa dirinya pusat beralih kepada Allah adalah pusat di dalam Yesus Kristus untuk

semua agama-agama tanpa terkecuali. Keselamatan melalui gereja kini tidak mutlak lagi

dipertahankan karena semua agama-agama ditembus oleh cahaya Allah.33

b. Paul F. Knitter

John Hick, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam John Hick dan Paul F. Knitter (ed),
33

Mitos Keunikan Agama Kristen, (Jakarta:BPK-GM, 2001)., hlm. 35-37., Bnd. Harold Coward,
Op.Cit., hlm. 57-60. Allah adalah matahari asali dari segala berkat dan bahaya yang
diekspresikan oleh semua agama-agama menurut cara mereka masing-masing. Dengan
pemahaman ini Allah tercermin di dalam aneka ragam peradaban yang nyata di dalam agama-
agama. Allah terlihat dalam cetak biru jiwa manusia (pressing in upon the human spirit) yang
berbeda.

14
Mengusulkan dialog normatif dan teosentis terhadap agama-agama lain atas

dasar pengalaman religius bersama. Ia memahami bahwa Allah adalah pusat

keselamatan. Oleh karena itu Kristen tidak harus berkeras bahwa Yesus Kristus adalah

norma yang final atas semua kebenaran. Biarlah semua agama bertemu di dalam

perbedaan pandangan mereka terhadap Allah sumber matahari terang Yang Maha

Tinggi. Konsekuensi logisnya terbentuk suatu arah pendekatan multi-normatif-

teosentris yang berpusat pada keselamatan dan kesejahteraan global menyangkut

manusia dan lingkungan.34

Melangkah jauh dari pendekatan John Hick dan Paul F.Knitter ini berpendapat

semua agama adalah sama di hadapan Allah. Pemahaman ini berpeluang untuk menjalin

dialog merajut kerukunan antar umat beragama sampa membangun komunitas damai

dalam masyarakat plural.

3.2.2. Pendekatan Kristosentris

a. Karl Rahner : Karl Rahner35 , memberi pemahamannya atas hasil Konsili

Vatikan II, dalam dokumen Nostra Aetate suatu deklarasi tentang agama yang

34
Knitter, Paul F, Satu Bumi Banyak Agama. Dialog Multi-Agama Dan Tanggung Jawab
Global,(Jakarta:BPK-GM, cet.ke-3, 2006), hlm. 6, 22. Ia adalah murid Karl Rahner pemilik ide
bahwa agamaagama yang lain adalah “Sah” dan “Jalan Keselamatan”.
35
Lumbantobing, Darwin. Ibid., hlm. 264-285. Pemahaman ini dapat sambutan hangat oleh
berbagai pihak khususnya yang berpihak kepada pluralisme dan hal ini dijadikan sebagai pintu
masuk untuk memahami agama dan kepercayaan lain di luar agama kristen.Pemahaman ini
didasari dengan pembedaan iman dan agama. Iman berarti hubungan manusia secara batin
dengan Tuhan yang sifatnya sangat pribadi dan agama adalah tempat manusia untuk
mengespresikan imannya kepada Tuhan memalui sarana yang dibutuhkan.

15
bukan kristen menyimpulkan bahwa di dalam agama-agama lain terdapat unsur

preparatio evangelica-persiapan untuk Injil. Dokumen itu memberi arti bahwa di

dalam nilai-nilai keimanan seseorang terhadap Tuhan sudah pasti mengandung

pengenalan dan pengalaman bersama dengan Tuhan, tuntutan etis dan perilaku

agama lain sama dengan ajaran gereja di dalam kehidupan seharihari. Artinya,

agama-agama lain ada yang hidup dan berperilaku yang sesuai dengan injili.

Mereka disebut anonymous christianity-kristen tanpa nama. Berpijak dari

pemahaman ini penganut agama-agama lain sama dengan agama kristen sebab di

dalam agama mereka ada nilai-nilai Injil sekalipun mereka bukan kristen.

Bertitik tolak dari pemahaman Rahner sangat baik digunakan dalam dialog

untuk merajut kerukunan antar umat beragama pada semua tingkatan sosial

kehidupan masyarakat. Ide ini sangat penting diperhatikan karena stand point

yang dicari adalah konsep dasar dalam rangka membangun kerukunan di tengah

masyarakat yang plural seperti di Indonesia ini.

b. Paul Tillich

Paul Tillich, memiliki pandangan yang cukup tajam dalam rangka merangkul

agama-agama lain sebagai sesama atau saudara setara dengan orang kristen melalui

penyaliban Yesus Kristus yang tidak terbatas hanya untuk orang kristen (Gal. 5:14).

Menurut dia sesaat Yesus Kristus tersalib dunia dan semua lapisannya telah termasuk

dalam ciptaan baru (Gal. 8:15). Bertitik tolak dari pemikirannya itu pemahaman

16
partikularistik agama harus runtuh baik di dalam internal kristen maupun agama di luar

kristen. Pembaharuan telah dilakukanNya dan semua berpartisipasi di dalamnya baik

Yahudi, non-Yahudi, orang kafir sekalipun.36 Pemahaman ini memperbaharui pikiran

fanatik sempit orang kristen yang sebelumnya mengurung diri Yesus Kristus sekitar

agama Kristen melalui Gereja. Refleksi teologis Paul Tillich membongkar kekakuan

pemahaman orang kristen melihat agama-agama lain. Pemahaman Tillich ini cukup baik

dipakai merekrut non-Kristen dalam berdialog untuk merajut kerukunan. Karena di

dalam Yesus Kristus tidak ada pembedaan agama dan suku. Semua memperoleh

kesempatan untuk dibenarkan dan diselamatkan-Nya.

c. Hans Kung

Hans Kung, memberi pendekatan teologinya untuk memahami keberadaan

agama lain pertama dari teosentris kemudian beralih kepada kristosentris. Di mana

Yesus Kristus datang bukan hanya untuk menyelamatkan orang Kristen saja tetapi

untuk menyelamatkan semua manusiadunia ini. Kristus adalah norma normans normata-

Kristus adalah di atas segala norma yang ada. Konsekuensi logisnya bahwa kristen

harus memperkenalkan Kristus ke seluruh dunia demi untuk keselamatan dunia. Inilah

alasan Hans Kung mengapa dia kurang setuju atas ide (anonymous christiany) Karl

Rahner, ide itu akan menutup kemungkinan untuk membangun semangat dialog dengan

agama-agama lain karena mereka tetap dipaksakan melihat gereja sebagai sesuatu yang

36
Lumbantobing, Darwin, Ibid., hlm. 283-284.

17
eksklusif, super. Konsekuensinya mereka tidak mau mendengar pemberitaan gereja.37

Kesimpulan, kristologi Hans Kung menekankan bahwa Yesus Kristus bukan terbatas

untuk kelompok yang dibangun atas nama agama. Tetapi Dia adalah untuk semua orang

yang membangun kehidupannya atas dasar iman. Oleh karena itu siapapun orangnya

dan apa pun latarbelakang agamanya jika imannya dibangun di atas dasar Yesus Kristus

dia diselamatkan. Tititik point penting bahwa di dalam Kristus tidak ada pemahaman

eksklusif kekristenan. Kristologi Kung berpeluang merajut kerukunan di tengah

pluralitas agama.

3.2.3 Memahami Pluralisme dari Sudut Dogma Kristen

Sikap kekristenan terhadap agama-agama lain sejak sejarah kuno dalam teks

Alkitab sudah menunjukkan hormat dan setara dalam maksud dan rencana Tuhan,

seperti pada teks Kejadian 9:6 (kesegambaran Allah dengan manusia)38 . Dengan

rumusan ini sumber P hendak menekankan bahwa Allah diterima secara bersama-sama

oleh semua manusia. Bentuk pluralis ini mensyaratkan bahwa meskipun terdapat

berbagai agama tetapi tidak ada lagi kafir atau penyembah berhala dan dengan demikian

semua bangsa menyembah Allah yang benar.39 Elohim adalah nama bagi Allah Pencipta

Kesegambaran semua manusia dengan Allah inilah salah satu unsur yang dapat
37
Lumbantobing, Darwin, Ibid., hlm.284-287. Sementara gereja diharapkan harus mampu
mencari formulasi dialog untuk membwa makna Injil Kistus kepada agama-agama lain .
38
Alkitab, Kejadian 9:6, LAI, 2020
39
Albert DE PURY, Gottesname, Gottesbezeichnung und Gottesbegriff. ’Elohim als Indiz zur
Entstehungsgeschichte des Pentateuch, dalam: Jan Christian Gertz/Konrad Schmid/Markus
Witte (Eds), Abschied vom Jahwisten. Die Komposition des Hexateuch in der jüngsten
Diskussion, Berlin – New York, BZAW 315, 2002, 25-47.

18
mempertemukan agama-agama secara khusus dalam memahami dirinya sebagai ciptaan

Allah

Terkait hal tersebut penting dipahami sikap teologis umat Allah atau Gereja

terhadap agama-agama lain tersebut, yaitu:

1. Hidup Praktis yang Inklusif

Sikap praktis hidup sosial dan keberagamaan orang kristen harus terbuka dan

dialogis. Pemahaman ini bertitik tolak dari misi keselamatan yang dibawa oleh Tuhan

Yesus ke dunia ini yang bukan hanya untuk satu golongan, atau satu agama saja. Tetapi

Ia datang untuk keselamatan dunia (Yoh.3:16) tanpa harus semua orang secara resmi

masuk ke gereja. Terkait dengan hal itu Alkitab menyaksikan bahwa Allah telah

menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus. Di dalam diriNya manusia dimungkinkan

memperoleh pembenaran Allah. Yaitu melalui Allah yang telah mereposisi diriNya dari

Allah yang menuntut korban keselamatan menjadi korban keselamatan di dalam diri

Yesus Kristus. Dalam kaitan ini keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus sangat

terbuka untuk umum termasuk kepada orang yang berada di luar gereja karena mereka

sama dengan orang yang ada di dalam gereja tetap berdosa-like sinners can be saved by

justification, diselamatkan di dalam diri Yesus Kristus (Gal. 3:22-24). Sementara yang

di dalam gereja simul iutus et peccator (berdosa sekaligus dibenarkan).40

LumbanTobing, Darwin ”Gereja di Tengah Kepelbagaian Agama” di dalam Pdt. Ir. Thomson
40

M.P.Sinaga, dkk (ed),Pelayanan yang Kritis di Alam Demokrasi. Buku Pengucapan Syukur 50

19
Mengacu kepada sebahagian isi Konsili Vatikan II (thn. 1963-1965) dengan

jelas menolak extra ecclesiam nulla salus dengan pernyataan bahwa di luar gereja yang

kelihatan ada juga keselamatan. Hal ini mendapat perhatian dan sambutan hangat dari

dunia agama-agama lain dan dikuatkan lagi oleh ensiklik pertama Paus Yohanes Paulus

II, Redemptor Hominis manusia-tanpa kecuali telah ditebus oleh Kristus. Muncul

kecenderungan meninggalkan eksklusivisme dan beralih kepada inklusvisme yang

pemurah. Di mana non-Kristen dapat diselamatkan secara diam tanpa mereka ketahui

walaupun gereja sudah mengetahuinya karena dianggap sebagai sarana

memperkenalkan penebusan Allah.41

2. Iman yang Ekslusif

Pernyataan dan kesaksian iman Kristen harus eksklusif, doktrik Katolik Roma

extra ecclesia nulla salus, Kristen Protestan-bahwa di luar agama kristen tidak ada

keselamatan (out side the Church no salvation),42paham ini mendorong gerakan

Tahun Pdt. W.T.P.Simarmata, MA., (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006)., hlm. 73-76)., Bnd.
John Hick ““Ketidak Mutlakan Agama Kristen” Op.Cit., hlm. 33. Di sisi lain Alkitab bersaksi
bahwa kejatuhan manusia dalam dosa beresiko universal merasuk kepada semua manusia
menghadapi penghukuman (Rom. 5:12).
41
Hick. Jhon, Ibid., hlm.33-34. Hal ini berawal dari kesadaran pada abab ke-20 bahwa ada nilai-
nilai yang benar pada diri tradiri-tradisi besar dunia lainnya selain di dalam kristen, dan ada sisi
gelap dan berbahaya didalam absolutisme atau eksklusivisme kristen. Menghindari bahaya
klaim itu prinsip kemungkinan keselamatan seara resmi diperluas kepada seluruh dunia.
42
John Hick. Jhon and Brian Hebblethwaite (ed), Christianity and other Religions,
(Philadelphia: Fortress Press, 1988)., 177., Bnd. F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama Dalam
Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1995)., lm. 25-27. Menyebutkan bahwa
istilah extra ecclesiam nulla salus sebenarnya bersifa apologetis dan bukan eksklusif. Dalam
perkembangan berikutnya istilah itu meluas dan disalah artikan. Pada hakikatnya Cyprianus
hendak mengatakan babtisan yantg diberikan oleh para bidah adalah sesat dan tidak membawa
keselamatan. Hanya dalam Gereja Katolik yang ada babtisan keselamatan di luar itu tidak ada

20
pengutusan misionaris yang tidak segan-segan menampilkan heroisme-sikap berjuang

sampai mati-kemartiran untuk menyelamatkan jiwa-jiwa non-kristen ke seluruh penjuru

dunia karena dipahami bahwa hanya agama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang

Allah dan menjadi sarana penerus penyataan diri Allah.

Ada hal yang bertolak belakang di mana kejahatan meraja lela, sikap

keterbukaan orang kristen berubah menjadi eksklusif, tertutup, mengucil. Agama

Kristen tercatat memiliki cacat dalam sejarah, tidak bisa mengatasi dan menebus

kejahatan. Tetapi tetap menyatakan diri sebagai agama satu-satunya yang didirikan oleh

Allah di muka bumi ini. Sikap eksklusif dan gambaran buruk tersebut sangat

kontaproduktif sehingga menjadi faktor utama mempertimbangkan ulang keabsolutan

agama kristen yang sebelumnya berkemampuan khas untuk mengubah sifat manusia

menjadi lebih baik. merusak kebersamaan dengan agama agama lain. Keunikannya

menjadi tidak lebih dari sebuah arogansi.43

Tom F. Driver menyebutkan, bahwa kenyataan tersebut dilahirkan dari sebuah

kekaisaran koloni kecil Roma, memantapkan dirinya sebagai agama resmi negara

kolonial. “Dunia Kristen”, diwujudkan dengan usaha perluasan agama Kristen disertai

babtisan keselamatan. Sehingga yang memisahkan diri dari Gereja Katolik otomatis tidak
memiliki keselamatan. Dengan kata lain ungkapan itu adalah sebagai pagar bagi kesatuan dan
persatuan umat Kristen yang pada masa itu amat memperihatinkan. Ungkapan itu sekaligus mau
mencegah supaya jangan keluar dari ajaran yang benar di pihak lain ingin meyakinkan
kesesatan pandangan bidah-bidah dan gnostisisme. Pandangan ini menjadi sangat populer
hingga mnjelang konsili Vatikan II. Dapat dibayangkan betapa lama Gereja masuk dalam sikap
yang salah paham atas ungkapan yang menjeruskan kepada sikap eksklusif.
43
Hikc. Jhon, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam, Op.Cit., hlm. 27-28.

21
mentalitas penjajahan, kolonialis. Agama-agama lain yang dijumpai Kristen dalam

ekspansinya harus ditaklukan44 Eksklusivisme kristen yaitu paham yang membangun

kepercayaan bahwa dalam agama kristen ada terang dan agama-agama lain masih

berada dalam kegelapan. Model kristen yang memandang umat beragama lainnya belum

dan tidak mengenal, tidak tertarik kepada Kristus sebagai kebenaran.

Saat itu dialog diartikan sebagai alat untuk membuat orang bertobat yang tidak

lebih seperti seorang dokter yang mau menyembuhkan pasiennya. 45 Prinsip adaptasi

misioner walaupun berkonotasi baik tetapi membuktikan bahwa agama-agama lain di

hadapan kristen dianggap masih memerlukan terang keselamatan dari agama kristen

yang sudah menerima terang.46

3.2.4 Dialektika Keunikan Yesus Kristus Menuju Eksklusivisme

Teks Yoh 14:6 dan Kisah Rasul 4:12, menurut teologi Karl Barth atas Agama-

agama lain yaitu bahwa Religion its unglaube (Religion as Unbelief; agama adalah

bentuk ketidakpercayaan). Dalam paragaf The Revelation of God as the abolition of

Religion. Ringkasnya Barth memunculkan dialektika bahwa kebenaran dan keselamatan

44
Driver. Tom F.”Masalah Seputar Pluralisme”, di dalam J. Hick dan P. F. Knitter (ed), Mitos
Keunikan Agama Kristen (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001), hlm. 320. Ketika agama-agama
setempat tidak bisa diletakkan di bawah panji Kristen dan bila ada kekuasaan agama-agama lain
dilenyapkan, dilakukan penghancuran lambang-lambang serta penyiksaan dan pembantaian
terhadap orang-orang yang dianggap kafir. Praktekpraktek etika yang bertentangan dengan
kebiasaan para misionaris tidak dilakukan dan tidak diupayakan dalam pemaknaan etika lokal.
45
Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)., hlm. 29-
30.
46
Knitter, Paul F. Satu Bumi…, Op.Cit., hlm. 4-6, 37. Adaptasi misioner artinya, tidak ada
kegelapan total di dalam agama-agama lain

22
itu diberikan hanya di dalam Yesus Kristus. Agama yang dibenarkan hanya ada di

dalam diriNya di mana hal tersebut tidak ditegaskan di agama-agama lain kecuali di

dalam agama kristen Namun mereka tidak akan dibenarkan/diselamatkan jika

mengandalkan kebaikan dan keunggulannya. Barth dituduh a priori bahkan dijuluki

memproduksi sebuah teologi menara gading. Intinya eksklusif-arogan.47

Agama di luar Kristus dianggap tak bermakna (meaningless), tak bertuhan

(godlessness)-Extra Christum Nulla revelation-di luar Kristus tidak ada keselamatan. 48

47
Adiprasetya, Joas, Mencari Dasar Bersama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002)Op.Cit., hlm.
53-55., Bnd. Paul F.Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides Toward
the World Religion, (New York: Orbis Books, 1985)., hlm.82-86. Karl Barth memberi
penjelasan; Pertama, Penyataan Allah adalah manifestasi diri sendiri dan melalui penyataanNya
Allah menyingkapkan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah dan Tuhan. Inisiatif muncul dari
Allah sendiri. Ia dapat dikenal karena dia menyediakan diriNya untuk dikenal dan untuk disapa.
Bukan berdasarkan kemampuan, usaha manusia sendiri. Tanpa penyataanNya usaha manusia
mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri menjadi sebuah upaya yang sama sekali sia-sia.
Lebih tegas lagi, upaya itu menunjukkan suatu bentuk ketidakpercayaan Kedua, Barth juga
menegaskan bahwa sebagai pemberian diri dan manifestasi diri Allah, penyataan tersebut
merupakan tindakan di dalam dan melalui anugerah (in grace and by grace). Ia mendamaikan
manusia dengan diriNya sendiri melalui Yesus Kristus. Implikasi teologis atas pengakuan
manusia terhadap anugerah Allah untuk keselamatan secara simultan, keduanya
menggambarkan ketidak mampuan manusia untuk menyelamatkan diri sendiri maupun
pengakuan atas ketidak berdayaan manusia. Sehingga agama yang merupakan usaha manusia
untuk mencari kebenaran dan mencari keselamatan diri dipandang sebagai usaha ketidak
percayaan. Berkaitan dengan itu, kekristenan menjadi benar sejauh berpusat pada Penyataan
Allah dalam Yesus Kristus (Christomonism). Barth berpendapat bahwa kekristenan sebenarnya
tidak lebih dari agamaagama lain. Namun demikian dialektika Barth menjelaskan bahwa
kebenaran dan keselamatan itu diberikan hanya di dalam Yesus Kristus. Agama yang
dibenarkan hanya yang ada di dalam diriNya. Posisi Barth ini dijelaskannya dengan analogi
“Matahari”. Seperti halnya sinar matahari menyinari satu sisi bumi dan tidak menyinari sisi
lainnya, menerangi satu bagian dan meninggalkan yang lain dalam kegelapan, demikian pula
terang Kristus yang satu itu membuat satu agama menjadi benar dan yang lain salah.
48
Sumartana, Th”Sekelumit pemikiran Tentang Theologia Religionum”, W.S. Aminah,dkk (ed),
Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-agama, (Yogyakarta:Dian, 2005), hlm. 131.

23
Th.Kobong, memberikan penilaiannya atas yang eksklusif tidak kurang dari sikap

arogan terhadap agama lain.49

Keunikan Kristus dan agama kristen yaitu sesuatu yang dimiliki Yesus Kristus

yang terus berlangsung dan tidak berubah dalam diriNya membuat Dia berbeda dengan

yang lain. Orang lain tidak akan mungkin dapat melihat sesuatu tanpa menggunakan

kacamata dan bahasa yang diberikanNya. Interpretasi yang diusulkan oleh teologi

pluralistik atas keunikan ini bahwa Yesus memang benar-benar Ilahi dan Juruselamat,

namun tidak perlu bersikeras bahwa Dia Satu-satunya (solely) Ilahi dan Juruselamat. Ia

benar-benar, namun bukan Satu-satunya. Umat kristen perlu juga terbuka terhadap

kemungkinan bahwa ada juga Pribadi Lain yang bisa diakui oleh umat Kristen sebagai

Anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan mensyaratkan umat

kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus namun sekaligus bisa terbuka

terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya

dengan Kristus. Gereja yang universal dan relevan penting mendengar pesan-pesan lain

dari sumber-sumber berbeda yang bisa bermanfaat dan penting secara universal.50

Paham eksklusivisme kristen dikritik keras oleh Knitter, dia menyebutkan

supaya sikap kristiani tidak bertahan dalam klaim keeksklusivan yang berpusat pada

49
Kobong, Th, ”Pluralitas Dan Pluralisme”, di dalam Balitbang PGI, Op.Cit., hlm. 131. Agama
tidak lagi menampakkan titik orientasinya yang transendental, melainkan menjadi imanen-
antroposentris. Sikap yang membatasi kasih Allah yang tak terbatas itu, mengurung Allah di
dalam sistem nilai-nilai yang dibuat oleh manusia. Agama menjadi kriteria menentukan kasih
Allah dan bukan sebaliknya, teologi pun menjadi antropologi.
50
Knitter. Paul F. Menggugat..Op.Cit., hlm. 170-171.,Bnd. Paul F. Knitter, Satu...Op.Cit., hlm. 51.

24
superioritasnya. Sebab kekristenan yang sebenarnya adalah kasih yaitu hasil

pengalaman bersama Tuhan yang bukan berpusat pada diri sendiri.51

Knitter yang mengkritisi pemahaman eksklusif Kristen membatasi keunikan

Yesus Kristus, jalan pemikiran yang mengundang kecurigaan yang berujung kepada

arogansi yang tidak membangun tanggung jawab untuk mengurusi kesejahteraan

manusia dan bumi yang dirundung keruwetan ini secara bersama. Oleh karena itu kritik

Knitter tersebut menurut menghantarkan rasa nyaman lintas religiositas untuk menjamin

komunitas damai di tengah masarakat majemuk. Teologinya dipakai orang yang ingin

menyelamatkan Ekosistem dan Bumi ini sebagai acuan untuk membangun perdamaian

global. Ide Knitter membuka peluang buat agama-agama lain merumuskan pusat

pemahaman teologinya yang sejajar dengan Yesus Kristus. Dia mengatakan bahwa ”kita

orang Kristen” mesti terbuka terhadap kemungkinan bahwa dalam agama-agama lain

ada responnya yang absah terhadap Misteri Ilahi yang tidak harus dimasukkan dalam

kekristenan52 Untuk menjaga keseimbangan pemahaman tersebut harus

dipertimbangkan pemahaman teks alkitab yang inklusif atas Kristus terlebih di dalam

konteks masyarakat plural demi membangun dialog yang korelasional dan membangun

kerukunan komunitas damai.

51
Knitter. Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides Toward the World Religion,
(New York: Orbis Books, 1985)., hlm. 38-41
52
Knitter. Paul F, Satu Bumi….Op.Cit., hlm. 11.

25
BAB IV

3.2.5 Membangun Kerukunan dalam Masyarakat Pluralis

1. Dasar dan Tujuan Teologi Pluralisme Agama-Agama

Bertitik tolak dari adanya pengalaman baru secara bersama-sama yang sungguh-

sungguh dirasakan setiap agama-agama hal itu bisa mengacu kepada keterbukaan.

Pengalaman tersebut dapat dimetaforakan dengan seorang ”penari” dan ”tarian”.

Diharapkan setiap agama menempatkan dirinya sebagai salah satu penari. Tujuannya

agama tersebut survive di konteks tantangan kontemporer yang berdampak pada

resistensi masyarakat. Sebab pluralisme telah menjadi esensi dunia dan masyarakat

sekarang. Dunia telah menjadi satu kampung kecil di dalamnya umat manusia hidup

bersama dengan penuh perbedaan. Masyarakat terkecil sekalipun sudah saling

berhubungan, saling tergantung sebab jaringan komunikasi telah menembus tembok-

tembok kelompok-kelompok dan agama-agama yang tadinya mengisolasi satu dengan

yang lain.

Dengan kata lain pluralisme sekarang harus (sangat) aktif jika tidak diperdulikan

akan membilas dan terlintas. Implikasi sosialnya bahwa setiap agama tidak mungkin

lagi hidup eksklusif seperti anak tunggal dan anak sulung yang merasa super dan

26
absolut lalu menghindar dari perjuangan kebutuhan sesama di konteks yang plural. 53

Dalam konteks agama Kristen, orientasi nilai yang disumbangkan untuk konteks

majemuk bisa bertitik tolak dari sikap ”Orang Samaria yang baik hati”, memahami

dirinya sebagai sesama.

Dari sisi sosiologis sikap ini lolos uji sebagai orientasi nilai dan penyuburan

komunitas hidup rukun dan toleransi aktif. Dari kedalaman iman kristiani ada nilai yang

mencitrakan bahwa orang kristen adalah mitra seperjalanan dengan sesama agama lain

dalam ziarahnya di dunia ini.54 Pola hidup bersama seperti ini menurut terasa mendesak

karena realitas objektif keanekaragaman yang tidak bisa dihindari dan diingkari.

Sekaligus menolak cara-cara patologis yang menutup diri dalam ghetto fundamentalistik

sambil mengklaim diri pemilik kebenaran absolut sembari mengkafirkan dan

menyesatkan yang lain. Teologi kolerasional disebut juga liberatif berangkat dari

kebutuhan dan tanggung jawab moral yang membebaskan atas penderitaan banyak

orang. Tujuannya, untuk mencapai kesejahteraan manusia dan Bumi. Penderitaan orang
53
Sumartana. Th, “Theologi Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas Jalan Teologi
Agama-agama diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 18.
Kesaksian agama justru akan semakin dihargai dan di dengar kalau dia mampu menampakkan
kapasitasnya dalam merumuskan diri secara baru danotentik. Kaitannya, sikap melemahkan dan
merendahkan agama lain harus dihindarkan sebaliknya harus mengajak agama lain untuk
menyemarakkan tarian yang menyuburkan kegairahan bersama. Oleh karena itu kesaksian satu
agama harus diuji dengan pandangan lain terkait sejauh mana agama itu mampu untuk memberi
orientasi nilai, penyuburan, menyemarakkan, kebebasan dan penyembuhan dalam perjalanan
hidup manusia.
54
Sinaga. Martin Lukito, ”Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. Theologi
Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia.
Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 2-3. Alam pemikiran di atas dibingkai
dalam satu teologi yang disebut teologi rerigionum.

27
banyak dipandang sebagai tanggung jawab bersama secara global karena menyangkut

penderitaan bumi sebagai tempat manusia. Kalau dicari apa sebenarnya dasar dari

dialog dalam konteks tanggung jawab global maka dasar dari dialog itu adalah

penderitaan dan nilai-nilai religius ”yang lain” yang sudah mengglobal. Oleh karena itu

dialog yang bertanggung jawab secara global bertujuan untuk menanggapi dan

mengatasi penderitaan yang terus bertambah-tambah, yang menakutkan, menyakitkan,

menyusahkan Bumi ini.55

2. Tidak Ada Kerukunan Tanpa Perdamaian Intrareligius dan Intereligius

Sangat logis jika dikatakan bahwa tidak ada perjumpaan agama untuk merajut

kerukunan tanpa perdamaian di antara sesama penganut agama. Dalam kaitan ini

Panikkar menyatakan betapapentingnya perdamaian intrareligius melalui dialog

intrareligius sendiri karena itulah awal untuk merajut perdamaian intereligius (dialog

external).56Arti intrareligius mengacu kepada pemahaman pribadi secara indidual

terhadap ajaran agamanya atau tradisinya sendiri. Sebab perjumpaan antara dua agama

atau dua kebudayaan itu terjadi dan berlangsung di dalam diriku sendiri. Hal ini terjadi

jika ada refleksi pribadi terhadap pengalaman keberagamaanku secara kritis dan menilai

kembali pengalaman keberagamaan itu dan membuka tabir benteng pemisah dengan

pengalaman keberagamaan lainnya plus mampu melihat kebaikan, kebenaran dan

55
Paul F. Knitter,Satu Bumi...,Op.Cit., hlm. 52-53.
56
Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius . Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar,
(Jakarta: Obor, 2005)., hlm 90.

28
keindahan agama yang lain.57 Pengalaman religius seperti inilah yang dimaksud dalam

istilah Passing Over- ”melintas” batas yang harus diiukuti dengan sikap Coming

back-”pulangkembali”. Arti ”melintas batas” berarti berani melakukan pengembaraan

spiritual ke dalam agama lain. ”Kembali” berarti pulang dan membawa pandangan baru

yang memperkaya pemahaman agama sendiri. Proses pengembaraan itu di mulai dari

”tanah air” agama sendiri, melintasi ”negeri ajaib” agama yang lain dan berakhir di

”tanah air” yaitu agamanya sendiri.58 Dalam koteks alam pemikiran seperti ini Darwin

Tobing menyebutkan bahwa dimensi kebenaran sakralitas, spiritualitas dan moralitas

yang berdasarkan satu agama sangat digugat oleh penganut pluralisme. Sebab sakralitas,

spiritualitas dan moralitas yang benar menurut paham ini adalah yang berdasarkan atas

pengalaman bersama dari berbagai agama-agama yang ada. Oleh karena itu amatlah

penting gerakan masing-masing penganut agama menjelajahi penghayatan ketiga

dimensi agama tersebut di dalam agama lain-passing over dan pada gilirannya dapat

dihayati di dalam agamanya sendiri.59 Quraish Sihab, sepertinya berada di ranah

pemikiran ini karena beliau dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama Kabinet

Pembangunan VII pernah memyebutkan bahwa malapetaka dapat tejadi bukan saja

57
B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama” di dalam Tim Balitbang
PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-
GM, 2000)., hlm. 45.
58
Noer. Kautsar Azhari, ”Passing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan”, di dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas Batas Agama, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Uatama, 1998)., hlm. 281-282.
59
Lumbantobing. Darwin, Op.Cit., hlm. 277-278. Untuk sebagian orang inilah yang menjadi
masalah besar. Oleh karena itu banyak orang yang menolak paham pluralisme agama.

29
karena umat beragama tidak memahami agama orang lain tetapi juga karena

ketidakmampuannya mengerti agamanya sendiri.60 Apalagi untuk memahami agama

orang lain.

Hal itu membuktikan di dalam merajut perdamaian di antara umat beragama

betapa pentingnya peran penghayatan individual terhadap agamanya sendiri yang

diperkaya dengan pemahaman religius yang baik dari agama lain. Ziarah seperti ini

sangat berpengaruh dalam merangkai kerukunan, membangun komunitas damai di

dalam masyarakat plural. Pengalaman individu mendasari dialog dapat dilakukan.

Aksentuasi (penitik beratan) terdalam penyanggah perdamaian di dalam agama adalah

dialog intrareligius-dialog diri sendiri yang berarti bahwa perjumpaan itu terjadi secara

internal di dalam hati, inti setiap pribadi sebelum terjadi perjumpaan yang eksternal

(intereligius).61 Dialog intrareligius ini disebut pertemuan dua dunia, two world view

atau dua topoi (tempat) sekaligus dalam diri seseorang.

Dengan kata lain dialog intereligius untuk membangun perdamaian antar agama-

agama bisa terjadi jika didasari dialog intrareligius.62 Perdamaian antara agama-agama

dalam pemikiran Hans Kung sangat berpotensi untuk memelihara dan menentukan

kerukunan maupun arah perjalanan satu bangsa. Selanjutnya menurut dia tidak ada

60
Yewangoe. A.A, Agama dan Krukunan, (Jakarta: BPK-GM, cet.ke-3, 2006)., hlm. 44.
61
B.J.Banawiratma, Op.Cit., hlm. 98.
62
Ibid., hlm. 102. Sungguh membutuhkan keterbukaan tanpa syarat, ketulusan, kejujuran dalam
dialog intrareligius sebagai dasar dialog intereligius. Dan selanjutnya dialog itulah yang
mendukung terjadinya dialog intereligius.

30
perdamaian antara agama-agama tanpa dialog antara agama-agama.63Dialog antara

agama-agama tidak akan tercapai tanpa investigasi dan kesadaran atas ajaran agama-

agama masing-masing. Dalam ranah pemikiran Kung ini diingatkan kembali betapa

pentingnya dialog intrareligius yang memungkinkan setiap orang berziarah-passiong

over ke “negeri/agama lain” untuk mengetahui sesuatu yang baru yang pada gilirannya

akan dihayatinya di dalam agama sendiri.

3.2.6Tidak Ada Perdamaian Agama-Agama Tanpa Dialog

Pluralisme membutuhkan dialog dengan tujuan menjembatani jurang ketidak

tahuan dan kesalah pahaman timbal balik di antara budaya-budaya atau agama-agama

dunia yang berbedabeda. Membuka peluang untuk saling mengungkapkan

pandangannya dalam bahasanya sendiri. Pluralisme berdiri antara pluralitas yang tidak

saling berhubungan dan dalam satukesatuan yang monolitik (mempunyai satu sifat yang

kuat). Sebaliknya pluralisme harus menghindari praduga yang mau mengalahkan yang

lain atau untuk mencapai kesepakatan penuh atau mau membentuk suatu agama

universal,64 bukan mau membentuk suatu agama tunggal tetapi hendak menuju suatu

komunitas inklusif-dialogis dari atara berbagai komunitas.65 Sebab keragaman agama


63
Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, (New York:Continuum,
1991)., hlm. 108-109.
64
Sudiarja. A, Op.Cit.,hlm. 33-34.
65
Knitter. Paul A, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008)., hlm. 9.,
Bnd. Paul. F. Knitter, Satu Bumi…Op.Cit.,53. Tujuan dialog adalah untuk memampukan umat
mendengar, memahami perbedaan dan keberlainan. Untuk mencapai tujuan itu perlu suatu kunci
hermeneutis (penafsiran) untuk mendengar, memahami keberlainan dan perbedaan-perbedaan
jalan rohani yang berbeda itu. Hal ini menjadi landasan kuat menyusun teologi agama-agama
yang berpusat pada soteria bukan pada eklesiologi, kristologi atau pneumatologis

31
bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan tetapi suatu kekayaan yang harus

diterima, dipelihara dan dinikmati karena semua agama-agama memiliki kebenaran

agamis yang pada gilirannya bisa dipahami oleh agama lain. 66 Oleh karena itu sangat

perlu berziarah ke negeri agama lain. Untuk mencari meeting point. Di mana bisa

bertemu, bersatu, bersama-sama, untuk mengadakan aksi bersama-sama sebab di situlah

kerukunan itu terjadi. Seperti di dalam keprihatinan sosial, ajaran tentang kasih. Agama-

agama memang tidak bisa rukun dan tidak bisa diperdamaikan namun demikian agama

tidak berati apa-apa kalau tidak ada umatnya. Antar umat beragama itulah yang harus

dirukunkan tanpa mempertentangkan perbedaan kendatipun itu ada. Karena ada

perbedaan yang sangat mendasar misalnya antara Islam-Kristen menyangkut inkarnasi

Allah di dalam diri Yesus Kristus walaupun status kenabian Yesus mereka akui. Tetapi

untuk menjembatani jurang antara Allah dan manusia bagi mereka Yesus Kristus terlalu

besar.67 Sejak semula manusia diciptakan sebagai mahkluk yang dialogis, di dalamnya

ada Roh Allah oleh karena itu manusia tidak pernah hidup jika Roh Allah yang

memberikan kehidupan tidak menyertainya. Hidup berarti berkreasi, berpikir dan

berdialog dengan dirinya sendiri dengan sesamanya, dengan alam lingkungannya dan

bersama Roh Allah sendiri. Manusia sebagai mahkluk yang dialogis membutuhkan

Ibid., hlm 9. Ide ini telah dimaknai oleh para tokoh agama besar sedunia dalam Worl
66

Parliament of Religion di Chicago thn. 1993, di Cape Town thn. 1999 dan di Barcelona thn.
2004, mereka saling mendengar dalam satu komunitas yang dialogis dalam rangka
memperteguh sikap dan praktek tentang pentingnya sikap saling mehami dan saling menerima
antara agama-agama dunia. Satu citra yang bisa dilakukan di tingkat lokal .
67
Coward. Harold Op.Cit., hlm. 46.

32
kehadiran yang lain, melalui dialog dengan-dan-berada bersama orang lain dalam

rangka pertumbuhnya menjadi dirinya sendiri.68

Setiap manusia memilik perbedaan yang unik, di mana keunikannya itu akan

bertumbuh bersama dengan keunikan yang lain. Mereka harus hidup bersama dalam

perbedaan itu, kebersamaan mereka adalah dalam perbedaan itu. Oleh karena itu orang

yang tidak bisa menghargai dan menerima keunikan itu dan gagal melebur diri dalam

proses dialog itulah orang yang tidak mampu menerima dirinya sendiri.69

Pemahaman tersebut menghantarkan bahwa orang yang sehat akal pikirannya

akan mampu berdialog yang menghasilkan sikap inklusif di dalam konteks plural yang

membentuknya menjadi pluralisme. Oleh karena itu iman yang dialogis tersebut

seharusnya mampu menggeser eksklusivisme ke arah yang inklusif dan kemudian

masuk dalam ranah pluralis dan ketika itulah antar umat beragama itu akan saling

menguatkan. Karena yang didialogkan adalah reflesi tentang kasih. Kasih Tuhan Allah

yang tanpa batas-simbol-agama, yang merindukan komunitas damai di antara sesama

umatNya.

3.2.7Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Kristen

Dalam bahasa Indonesia, kata rukun menuju kepada hubungan baik, serasi,

selaras dan seimbang antar pribadi dan golongan. Dalam hubungan tersebut yang
68
Hidayat. Komaruddin, “ Membangun Teologi Dialogis dan Inkluvistik” di dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama,
1998)., hlm.42,45.
69
Ibid., hlm. 43.

33
ditonjolkan adalah saling melengkapi, saling membutuhkan, saling memberi. Dalam

kaitan itu mereka menjalin kebersamaan yang saling; menyuburkan, menghidupkan dan

menopang. Hal ini menghasilkan sikap saling asah, asih dan asuh dalam perilaku

masyarakat.70

Kata rukun (bhs. Arab) artinya, tiang (tgl), jamaknya arkan berarti tiang-tiang

penopang sebuah bangunan rumah yang dihuni oleh sekelompok keluarga. Oleh karena

itu kata rukun dimaksud adalah menunjuk bangunan atau tatanan yang disebut umat

atau ummah. Di mana ummat tersebut terdiri dari satu kesatuan iman yang bermaksud

untuk menumbuh kembangkan hidup keagamaan orang-orang percaya dari segala

bangsa dan bahasa. Oleh sebab itu seluruh umat manusia adalah keluarga besar Allah-

familia Dei. Dalam kaitan ini kerukunan adalah kebutuhan keluarga. Sebab itu dialog

dalam pengertian aslinya adalah percakapan orang di antara dua atau lebih yang

berkeluarga. Kerukunan adalah soal iman dalam keluarga besar bukan soal politik.

Dalam iman kristiani hubugan kasih merupakan hal yang sangat senteral dan hakiki.71

Ide seperti pemaparan tersebut di atas sangat mendukung upaya dalam menjalin

kerukunan di antara umat beragama.

70
Sairin. Weinata, Victor Immanuel Tanja, Eka Darmaputera, “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat
Beragama”, di dalam Weinata Sairin (Peny), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa
Butir-Butir Pemikiran, (Jakarta: BPK-GM, 2002)., hlm. 15.
71
Tanja. Victor Immanuel ”Anatomi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosial
Budaya”, di dalam Weinata Sairin, (Peny), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa
ButirButir Pemikiran, (Jakarta: BPK-GM, 2002)., hlm 43.., Bnd. Weinata Sirin, Victor Immanel Tanja, Eka
Darmaputera, ” “Berbagai....” di dalam Weiantara Sirin (Peny) Op.Cit., hlm. 15., Bnd. A.A.Yewangoe,
Op.Cit., hlm. 48.

34
Umat Manusia sebagai Keluarga Allah

Sesama umat manusia adalah keluarga Kerajaan Allah, pemahaman atas hal ini

sangat kuat untuk mendukung upaya pembangunan komutas damai untuk semua orang.

Persoalannya bahwa perkataan Kerajaan Allah yang diterjemahkan dari istilah God’s

Kingship (Yun. Basileia tou Theou) , arti sebenarnya adalah situasi kehidupan luas yang

meliputi seluruh kehidupan di mana di dalamnya Allah memerintah sebagai Raja,

Pencipta dan Pemilik seluruh kehidupan.

Tanda-tanda kehadiran pemerintahan itu telah dan akan dinyatakan oleh Yesus

Kristus kepada semua orang tanpa memandang latarbelakang sosial, budaya dan agama.

Untuk memelihara kerukunan dari pandangan universal seperti itu di dalam konteks

pluralisme masyarakat masa kini dibutuhkan peran dialog. Karena dialog merupakan

cara terbaik untuk melaksanakan misi, karena misi yang benar adalah dialog

(Yoh.3:4).72 Kerukunan sejati hanya dapat terlahir melalui penghayatan akan kesamaan

hakiki (bukan persamaan). Kerukunan yang autentik lahir dari iman dan keyakinan

agama masing-masing. Hal ini membawa arti bahwa kerukunan antar umat beragama

tersangkut pemahaman teologis yang kuat.73


72
bid., hlm. 49-50.
73
Sairin. Weinata, Victor Immanuel Tanja, Eka Darmaputera, “Berbagai ….” Di dalam Weinata Sairin
(Peny), Op.Cit., hlm. 27. Dari kecenderungan yang eksklusif dan partikularistik, alkitab juga menekankan
keuniversalan kasih dan keperdulian Allah. Tindakan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus
mencerminkan kesamaan hakiki sesama manusia tanpa membedakan satu dan lainnya yang sudah pasti
mampu merajut kerukunan di antara umat beragama. i. Kesamaan sebagai makhluk ciptaan Allah
sebagai citraNya (Kej. 1,2).,ii. Kesamaan sebagai manusia yang berdosa (Kej. 3; Rm. 5:12).,iii. Kesamaan
sebagai objek pemeliharaan Allah (Kej.8:8-17; Mat.5:45).,iv. Kesamaan sebagai objek kasih Allah (Yoh.
3:16) dan penerima tawaran pembenaran dan keselamatan Allah (Rm.5:18-19).,v. Kesamaan sebagai

35
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari pemahaman berharga di atas ada dua kesimpulan yang berbeda yaitu :

Pertama, dari sikap yang ekslusif jauh lebih menekankan dogmatika kristen yang

tidak punya harga tawar terhadap iman kristiani yang harus menyaksikan Yesus Kristus

sebagai Injil Keselamatan kepada seluruh mahkluk di dunia ini. Semua umat manusia

adalah ciptaan Tuhan namun demikian tidak semua umat dimaksud akan selamat tanpa

menerima Tuhan Yesus sebagai wujud pernyataan Allah. Dia yang telah menyediakan

DiriNya untuk disapa dan dikenal manusia di dunia ini. Teknik, cara dan ajaran untuk

menyapaNya telah diajarkan melalui ajaran kristen. Penganut agama-agama lain diakui

adalah domba Allah juga namun tidak satu kandang dengan orang Kristen. Supaya

mereka tidak menjadi domba yang liar dibutuhkan upaya untuk membawa berita

keselamatan yang dari Yesus Kristus kepada semua orang.

Kedua, dari sisi pandangan iklusif terhadap pemahaman Pluralisme di atas lebih

menekankan nilai-nilai sosialnya tanpa mengesampingkan nilai-nilai Misteri-Ilahi

agama-agama. Karena pada dasarnya pluralisme agama itu bukan mau memaksakan

orang lain supaya menjadi ”agama kristen”. Pluralistas adalah sebuah kenyataan yang

tidak bisa dipungkiri. Dalam rangka menjaga keseimbangan hidup mereka perlu ada

yang akan dihakimi oleh Allah (Rm. 14:12).

36
pemahaman bersama bahwa mereka adalah sama-sama mahluk ciptaan Tuhan. Sebagai

masyarakat sosial yang hidup di tengah-tengah kemajemukan perlu memahami,

menerima, mengakui, membangun antara satu dengan yang lain. Lebih dari hal itu

setiap orang perlu berziarah, menjelajah, passing over-melintasi batas pemahaman

agama lain. Sebab setiap agama memeliki sesuatu nilai ”Yang Ilahi” ”Yang Lain”,

”Yang Baik”, ”Yang Benar”,”Yang Mutlak”, dll., yang tidak dimiliki oleh agama lain.

Oleh karena itu setiap orang perlu membuka diri dan mengevaluasi tembok-tembok

rahasia mitologi keagamaannya dan merendahkan diri untuk memahami paham atau

agama orang lain. Sikap intrareligius seperti itu akan membuka wacana baru dan lebih

membentuk sikap yang melihat kesetaraan di antara sesama manusia, saling terbuka

inklusif-dialogis yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat yang berpaham

saling menerima, saling mengakui danmemelihara perbedaan (Pluralisme). Jika ada

terbentuk sikap seperti itu akan lebih mudah membangun komutas damaia untuk semua

orang.

4.2 Saran

Dalam kondisi masyarakat yang jamak seperti di Indonenesia menurut saya

pemahaman pluralisme agama semestinya mendapat perhatian ganda demi menjaga

kerukunan antara umat beragama. Hal tersebut bisa dicapai dengan metode dialogis-

inklusif. Di mana dalam kaitan ini dialog dipahami merupakan pintu, momen penting

untuk penginjilan. Tipologi seperti ini mengacu kepada Allah yang berupaya

37
meninggalkan ke IlahianNya dan masuk menjadi manusia, malah menjadi sama seperti

seorang Hamba ( lih. Filippi 2:5-7) dalam rangka menyelamatkan semua makhluk di

dunia. Inisiatif Allah yang seperti ini dipahami tidak ubahnya seperti suatu upaya dialog

antara Allah dengan manusia di dalam atau melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

menjadi mediator di dalam proses perdamaian antar Allah dan manusia. Dalam kaitan

ini dialog bukan berarti Juruselamat tetapi sebuah metode pendekatan untuk

menjembatani ketegangan dan perbedaan paham di tengah-tengah masyarakat plural.

Tujuannya untuk menerobos tembok perbedaan dan membangun keterbukaan menuju

komunitas rukun dan damai. Berdamai antara sesama manusia, berdamai antara manusia

dan lingkungannya. Perdamaian seperni ini adalah menjadi tanggung jawab global yang

didalamnya semua umat secara korelasional terlibat aktif tanpa terkecuali.

Daftar Isi
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah............................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3

38
ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI PLURALISME DAN PERDAMAIAN UMAT
BERAGAMA....................................................................................................................3
2.1 Etimologi Dan Terminologi Pluralisme...................................................................3
2.2 Etimologi Dan Terminologi Perdamaian Umat Beragama.....................................5
BAB III..............................................................................................................................7
PLURALISME DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN......................................7
3.1. Pluralisme Dalam Perspektif Teologi Kristen........................................................7
3.2. Pluralisme Dalam Perspektif Islam.........................................................................8
3.3. Pluralisme Dalam Perspektif Hindu/Buddha........................................................10
4. Pendekatan Teologis untuk Memahami Pluralisme.................................................13
BAB IV............................................................................................................................26
MEMBANGUN KERUKUNAN DALAM MASYARAKAT PLURALIS...................26
Dasar dan Tujuan Teologi Pluralisme Agama-Agama................................................26
4.2. Tidak Ada Perdamaian Agama-Agama Tanpa Dialog.........................................31
4.3. Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Kristen...............................34
BAB V.............................................................................................................................36
PENUTUP.......................................................................................................................36
5.1. Kesimpulan...........................................................................................................36
5.2. Saran.....................................................................................................................38

Daftar Pustaka

1. Adiprasetya, Joas, Mencari Dasar Bersama (BPK Gunung Mulia, Jakarta,


2002)Op.Cit., hlm. 53-55., Bnd. Paul F.Knitter, No Other Name? A Critical

39
Survey of Christisn Attitides Toward the World Religion, (New York: Orbis
Books, 1985)., hlm.82-86.
2. Albert DE PURY, Gottesname, Gottesbezeichnung und Gottesbegriff. ’Elohim
als Indiz zur Entstehungsgeschichte des Pentateuch, dalam: Jan Christian
Gertz/Konrad Schmid/Markus Witte (Eds), Abschied vom Jahwisten. Die
Komposition des Hexateuch in der jüngsten Diskussion, Berlin – New York,
BZAW 315, 2002, 25-47.
3. Alkitab, Kejadian 9:6, LAI, 2020
4. B.J. Banawiratma, SJ., “Mengembangkan Teologi Agama-Agama” di dalam
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia.
Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000)., hlm. 45.
5. Bagus. Lorens. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2006),853
6. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamu Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)., hlm. 777.,Bnd. Th. Kobong, “Pluralitas
Dan Pluralisme” di dalam Tim Balitbang PGI, Agama dalam Dialog, (Jakarta:
BPK-GM, cet.ke-3, 2003)., hlm. 123
7. Digdo. Prigoo Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius,1990),893
8. Driver. Tom F.”Masalah Seputar Pluralisme”, di dalam J. Hick dan P. F.
Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen (BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2001),
9. G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancama Veda), (Surabaya: Paramita,1999), h. 112
10. Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, (New
York:Continuum, 1991)., hlm. 108-109.
11. Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989)., John Hick, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam

40
John Hick dan Paul F. Knitter (ed), Mitos Keunikan Agama Kristen,
(Jakarta:BPK-GM, 2001)., hlm. 35-37.,
12. Hasan. Fuad Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke II (Jakarta: Balai
Pustaka,1990),777
13. Hidayat. Komaruddin, “ Membangun Teologi Dialogis dan Inkluvistik” di
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintas
Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama, 1998)., hlm.42,45.
14. Huns Kung, Global Responsibility –In Search of The a New World Ethich
(New York: The Continum Publishing Companny, 1993), XV
15. John Hick. Jhon and Brian Hebblethwaite (ed), Christianity and other
Religions, (Philadelphia: Fortress Press, 1988)., 177., Bnd. F.X.E. Armada
Riyanto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995).,Hikc. Jhon, “Ketidak Mutlakan Agama Kristen” di dalam,
Op.Cit., hlm. 27-28.
16. Kamaruddin Rahmat, http://www.penaraka.com/2012/04/pengertian-
agama.html, diakses 18 Nopember 2022
17. Kamaruddin Rahmat, pengertian-agama....diakses 18 Nop 202
18. Kant, Immanuel (2001). Religion and Rational Theology. Cambridge
University Press. hlm. 177 ISBN 9780521799980,
19. Kementerian Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan
Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Balitbang, 2007), h. 12-15
20. Kirk J. Andrew, What is Mission?: Theological Exploration, Augusburg:
Fortress
21. Kitab Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1-2, Jakarta, 2020
22. Knitter, Paul F, Satu Bumi Banyak Agama. Dialog Multi-Agama Dan
Tanggung Jawab Global,(Jakarta:BPK-GM, cet.ke-3, 2006),

41
23. Knitter, Paul F. Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius,
2005).
24. Knitter. Paul A, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
2008)., hlm. 9., Bnd.
25. Knitter. Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christisn Attitides
Toward the World Religion, (New York: Orbis Books, 1985)., hlm. 38-41
26. Kobong, Th, ”Pluralitas Dan Pluralisme”, di dalam Balitbang PGI, Op.Cit.,
27. Kusumohamidjojo. Budiono,Kebhinekaan Masyarakat Indonesia; Suatu
Problematik Filsafat Kebudayaan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 45.
28. LumbanTobing, Darwin ”Gereja di Tengah Kepelbagaian Agama” di dalam
Pdt. Ir. Thomson M.P.Sinaga, dkk (ed),Pelayanan yang Kritis di Alam
Demokrasi. Buku Pengucapan Syukur 50 Tahun Pdt. W.T.P.Simarmata, MA.,
(Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006)., hlm. 73-76).,
29. Lumbantobing, Darwin, Teologi Di Pasar Bebas, Pematangsiantar:L-SAPA,
2007

30. Martin Lukito, ”Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. Theologi


Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas Jalan Teologi Agama-agama
diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta: BPK-GM, 2000).,
31. Najib. Emha Ainun ”Anggukan retmis kaki pak kyai” Risalah gustiSurabaya,
1995. hal 79
32. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 28.
33. Noer. Kautsar Azhari, ”Passing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan”,
di dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over
Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama, 1998)., hlm. 281-
282.

42
34. Putu Mambal. Ida Bagus, Hindu, Pluralitas dan Kerukunan Umat Beragama,
Al-AdYaN/Vol.XI, No.1/Januari-Juni/2016, hal 2
35. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Pesan-pesan universal Islam untuk
kemanusiaan, diterjemahkan dari judul aslinya The Heart of Islam Enduring
Valuesn for humanity oleh Nurasiah Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan,
2003). hlm 20
36. Shihab. Alwi, “Nilai-nilai pluralisme dalam islam;bingkai gagasan yang
beerserak” ed.sururin, yahun 2005 hal.16.
37. Silvester Kanisius, Allah dan Pluralisme Religius . Menelaah Gagasan
Raimundo Panikkar, (Jakarta: Obor, 2005)., hlm 90.
38. Siwananda, Sri Swami Intisari Ajaran Hindu (Surabaya: Paramita,2003), h. 10.
39. Sudiarja, A, Dialog Intra Religius. Raimundo Panikkar, (Yogyakarta: Kanisius,
1994).

40. Sumartana, Th”Sekelumit pemikiran Tentang Theologia Religionum”, W.S.


Aminah,dkk (ed), Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-agama,
(Yogyakarta:Dian, 2005),
41. Sumartana. Th, “Theologi Religionum” di dalam Tim Balitbang, Meretas
Jalan Teologi Agama-agama diIndonesia. Theologi Religionum, (Jakarta:
BPK-GM, 2000)., hlm. 18. Sinaga.
42. Tanja. Victor Immanuel ”Anatomi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia:
Sebuah Tinjauan Sosial Budaya”, di dalam Weinata Sairin, (Peny), Kerukunan
Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa ButirButir Pemikiran,
(Jakarta: BPK-GM, 2002).,
43. Titib. I Made, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan),(Surabaya:
Paramita, 1998),

43
44. Wijoyo. Hadion, , Jurnal Ilmu Agama dan Pendidikan Agama Buddha Vol. 3,
No. 1, Maret 2021, hal
45. Yewangoe. A.A, Agama dan Krukunan, (Jakarta: BPK-GM, cet.ke-3, 2006).,

44

Anda mungkin juga menyukai