PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selain itu, kehidupan sosila-keagamaan pada era modern sekarang ini, ditandai
oleh semakin banyaknya pertentangan dan bentrok kultural, sosila, etnis, dan agama
yang melibatkan masyarakat sipil seperti yang terjadi di Aceh, Maluku, Poso, yang
melibatkan militer seperti yang terjadi di Israel, Checnya, Pakistan. 1 Belum lagi
serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat yang kesemuanya itu
mengatasnamakan agama.
1
M. Amin Abdulla, “Keberagamaan, Agama-agama, dan Proses menjadi Agamawan yang baik”, dalam
kata pengantar Aloy Budy Purnomo, Membangun Teologi Inklusif Pluralistik, (Jakarta: Kompas, 2003),
hlm. XVII
2
Very Verdiansyah, “Manusia Satu Umat”, Syir’ah, 49, VI (Januari 2006), (Desantara, Jakarta).
Di era globalisasi ini bukan jamannya lagi membangun gagasan teologi yang
rigid, kaku, literalistik. Sudah saatnya kita semua menciptakan teologi yang toleran,
santun dan pluralistik. Dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, teologi agama-agama
sedang mendapat perhatian besar. Dalam konteks ini, perkembangan pemikiran teologi
agama-agama yang sifatnya eklusif mendapat tantangan besar. Perkembangan tersebut
antara lain dipicu oleh semakin pentingnya mempertimbangkan kondisi pluralitas antar-
agama yang semakin tak terelakan lagi, sebagai kategori dinamis dalam beragama.
Sehingga muncul misalnya sikap keberagamaan yang toleran, tidak diskriminatif
terhadap umat agama lain.
Kesadaran ini telah ikut mendorong para pemikir agama-agama untuk, paling
tidak, mengembangkan teologi agamanya sendiri berkaitan dengan agama lain, dan
paling tidak, dalam garis inklusif, serta lebih baik dalam garis pluralis. 3 Klaim
kebenaran dan klaim keselamatan secara sosiologis dapat menimbulkan knflik sosial
politik yang selalu berujung pada konflik antar umat beragama, dan itu adalah sesuatu
yang hingga saat ini menjadi kenyataan dunia modern.
Sesungguhnya Islam diturunkan pertama kali pada masyarakat Arab yang tidak
hampa sejarah dan kebudayaan. Pada waktu itu banyak agama, suku dan kebudayaan
masyarakat Arab yang tidak bisa disatukan begitu saja. Oleh karenanya, Islam turun
tidak pada satu suku atau masyarakat, akan tetapi diturunkan kepada semua masyarakat
sebagai agama yang mencerahkan.4
BAB II
3
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), cetakan ke 1, hlm. 18
4
Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberiatif, (Jakarta: Kompas,
2004). Cetakan ke 1, hlm. 34.
PENGERTIAN PLURALISME AGAMA
Kata pluralisme berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan gabungan dari
kata plural dan isme. Kata plural diartikan dengan menunjukan lebih dari satu atau
jamak. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau
aliran. Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah pluralism. Jadi pluralisme adalah paham
atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, politik, budaya,
maupun agama.5
5
J.S. Baduah, Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Kompas 2003), hlm. 279.
6
Aloy Budy Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, op, cit, hlm. XXVI.
7
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, op,cit, hlm. V.
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama baru tersebut.8
Iman berkaitan dengan kemanusiaan, dan dalam konteks ini adalah paham
kesejajaran di antara sesama manusia. Sudah merupaka hal yang logis, jika iman juga
harus berkaitan dengan paham kemajemukan sebagai kelanjutannya. Bahkan tentang
paham pluralisme ini, dalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang dengan tegas
menekankan bahwa pluralisme adalah kepastian Allah. Sebagai ketentuan Ilahi, paham
kemajemukan itu termasuk dalam kategori sunnatullah yang tak terhindarkan karena
kepastiannya itu. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hujuraat yang artinya.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.11
Berdasarkan ayat al-Qur’an diatas dapat diketahui bahwa dijadikannya makhluk
dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan antara yang satu
dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Kepada masing-masing
dituntut untuk dapat menghargai adanya perbedaan, dalam hal in sikap kaum muslim
terhadap agama lain, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik
10
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), cetakan ke 1,
hlm. 18.
11
Hasbi Ash-Shidiqi, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 745
kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak
menjalin hubungan kerjasama.
BAB III
EKLUSIVISME dan INKLUSIVISME AGAMA
15
Ulil Absar Abdala, Menjadi Muslim Liberal, hlm. 10.
A. Eklusivisme Agama
Sikap merupakan pandangan yang dominan dari zamam ke zaman, dan terus
dianut hingga dewasa ini. Dalam Islam, sikap ini terutama dikembangkan berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an seperti, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (Q 3:19)
agama selain Islam, tidak akan diterima di akherat (Q 3:85) termasuk penafsiran atas
dasar al-Qur’an dan hadis, yang berkaitan dengan konflik kebenaran antara Islam
dengan kalangan Yahudi dan Kristiani. Salah satu ayat lain dikalangan Islam eklusif
adalah “Orang-orang Yahudi dan Kristiani tidak akan rela kepada kamu, hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (Q 2:120).
Ayat ini telah menjadi pembenaran yang kuat untuk melakukan pembedaan antara
Muslim dan non Muslim.
B. Inklusivisme Agama
Dalam pemikiran Islam, paham inklusivisme dimulai dengan penggalian
pengertian Islam, bukan sebagai agama terlembaga, tetapi menggalinya dalam arti
ruhani. Islam, artinya
Seluruh risalah samawi yang diturunkan disebut Islam yang dalam arti
umumnya berarti penyerahan diri sempurna atau ketundukan secara penuh kepada
perintah-perintah Allah. Sementara Islam yang digunakan dalam makna spesifik
mengacu kepada versi Islam terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Perbedaan antara Islam umum dan Islam khusus menerbitkan sejumlah pertanyaan yang
menarik.
Pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang menurut pandangan inklusiv
menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Karena itu, semua agama yang benar
disebut Islam. Al-Qur’an memang mengatakan bahwa Nabi Nuh mengajarkan Islam,
dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak turunannya, termasuk kepada anak turun
Ya’Qub atau Israil (Q 2: 130-132).
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa para nabi dan rasul
terdahulu mengajarkan al-Islam ini. Sehingga tidak mengherankan, kalau kemudian
dikembangkanlah suatu teologi Islam yang inklusif yang didasarkan pada al-Qur’an.
Kaum Islam inklusif menegaskan bahwa agama semua nabi pada dasarnya adalah sama
dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan
tempat khusus masing-masing nabi itu.
Pandangan inklusif ini dalam keterbukaannya menjadi fondasi untuk
berkembangnya pluralisme yang sejati. Juga sebaliknya, pandangan pluralisme yang
sejati hanya bisa dibangun dengan fondasi sikap inklusivisme semacam ini.16
16
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme hlm. 25
Dalam pandangan Islam fundamentalis, satu-satunya agama yang benar dan
diridai oleh Allah adalah Islam. Dasar kelompok ini adalah pemahaman mereka
terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti Q. 3:85 yang berbunyi, “Barang siapa yang
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”
Demikian juga Q.3:19 “sesungguhnya gama (yang diridhai) disisi Allah adalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
Menurut mereka ayat-ayat al-Qur’an ini dipahami sebagai argumentasi normatif
bahwa hanya agama Islam yang paling benar, agama yang lengkap dan sempurna,
agama yang lurus, agama pilihan, agama terbaik. Sementara agama-agama yag lain
menurut mereka pada dasarnya bukanlah agama.
BABA IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dalamkonteks negara Indonesia yang kaya akan budaya dan agama, pluralisme
tidak semata-mata kepada tentang adanya kemajemukan. Namun lebih kepada
keterlibatan aktif kepada kemajemukan tersebut. Setiap pemeluk agama juga dituntut
bukan saja untuk mengakui keberad aan hak agama lain, tetapi terlibat juga usaha untuk
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Memang semua agama berbeda, tidak ada agama yang sama. Berbeda dalam
doktrinnya, institusinya, kelembagaannya, pemimpinnya, hari besarnya. Tetapi dalam
perbedaan itu terdapat kesamaannya yaitu, keadilannya, kemanusiannya, serta segala
bentuk prilaku yang dapat merugikan umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Teologi Pluralsi Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan, Jakarta: Kompas, 2003
Hick, Jhon, Tuhan Punya Banyak Nama (terj), Amin Ma’ruf dk, Yogyakarta, Interfiei,
2006
Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-Arabi: Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995
Purnomo, Aloy Budy, Membangun Teologi Inklusif Pluralistik, Jakarta: Kompas, 2003
Rachman, Budhy Munawar, Argumen Islam Untuk Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UTS dan UAS
Mata Kuliah : New Teology (Teologi Kontemporer)
PROGRAM PASCASARJANA