Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejarah agama-agama di dunia begitu penuh dengan kisah-kisah yang


mengerikan tentang penyiksaan dan intoleransi. Seringkali ketidaksepakatan suatu
kalangan terhadap keyakinan kalangan lain dimanfaatkan untuk kepentingan kaum
kolonial. Hal itu pernah dilakukan oleh kaum kristen eropa terhadap penduduk asli
Amerika. Oleh karenanya, bukan hal yang mengejutkan jika dengan semakin
terbukanya kesadaran terhadap sejarah ini juga terhadap keyakinan dan kepercayaan
orang lain.

Selain itu, kehidupan sosila-keagamaan pada era modern sekarang ini, ditandai
oleh semakin banyaknya pertentangan dan bentrok kultural, sosila, etnis, dan agama
yang melibatkan masyarakat sipil seperti yang terjadi di Aceh, Maluku, Poso, yang
melibatkan militer seperti yang terjadi di Israel, Checnya, Pakistan. 1 Belum lagi
serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat yang kesemuanya itu
mengatasnamakan agama.

Kasusu-kasus tersebut disadari atau tidak, sebenarnya telah menunjukan


terjadinya krisis moral keagamaan secara universal mengenai ajaran dan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan. Padahal, inti dari semua ajaran agama adalah penghargaan
atas hak-hak dasar manusia untuk menentukan pilihan hajat hidupnya, secara teologis
maupun sosilogis. Dalam hal ini Very Verdiansyah mengatakan, semua agama
menganjurkan agar mencintai sesama, menghormati tetangga, berbelas kasih pada yang
lemah dan miskin, menyerukan perbuatan baik, dan melarang perbuatan yang
merugikan orang lain. Setiap agama melarang aksi-aksi kekerasan apalagi pembunuhan
secara disengaja, seperti kausus bom bunuh diri.2

1
M. Amin Abdulla, “Keberagamaan, Agama-agama, dan Proses menjadi Agamawan yang baik”, dalam
kata pengantar Aloy Budy Purnomo, Membangun Teologi Inklusif Pluralistik, (Jakarta: Kompas, 2003),
hlm. XVII
2
Very Verdiansyah, “Manusia Satu Umat”, Syir’ah, 49, VI (Januari 2006), (Desantara, Jakarta).
Di era globalisasi ini bukan jamannya lagi membangun gagasan teologi yang
rigid, kaku, literalistik. Sudah saatnya kita semua menciptakan teologi yang toleran,
santun dan pluralistik. Dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, teologi agama-agama
sedang mendapat perhatian besar. Dalam konteks ini, perkembangan pemikiran teologi
agama-agama yang sifatnya eklusif mendapat tantangan besar. Perkembangan tersebut
antara lain dipicu oleh semakin pentingnya mempertimbangkan kondisi pluralitas antar-
agama yang semakin tak terelakan lagi, sebagai kategori dinamis dalam beragama.
Sehingga muncul misalnya sikap keberagamaan yang toleran, tidak diskriminatif
terhadap umat agama lain.

Kesadaran ini telah ikut mendorong para pemikir agama-agama untuk, paling
tidak, mengembangkan teologi agamanya sendiri berkaitan dengan agama lain, dan
paling tidak, dalam garis inklusif, serta lebih baik dalam garis pluralis. 3 Klaim
kebenaran dan klaim keselamatan secara sosiologis dapat menimbulkan knflik sosial
politik yang selalu berujung pada konflik antar umat beragama, dan itu adalah sesuatu
yang hingga saat ini menjadi kenyataan dunia modern.

Sesungguhnya Islam diturunkan pertama kali pada masyarakat Arab yang tidak
hampa sejarah dan kebudayaan. Pada waktu itu banyak agama, suku dan kebudayaan
masyarakat Arab yang tidak bisa disatukan begitu saja. Oleh karenanya, Islam turun
tidak pada satu suku atau masyarakat, akan tetapi diturunkan kepada semua masyarakat
sebagai agama yang mencerahkan.4

Dari pemaparan latar belakang diatas penulis akan memaparkan tentang


pengertian dari pluralisme agama, penjelasan Johon Hick tentang keragaman agama,
prinsip-prinsip teologis pluralisme agama, ekslusivisme dan inklusivisme agama. Serta
penjelasan kelompok yang anti pluralisme agama,

BAB II
3
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Raja Grafindo,
2004), cetakan ke 1, hlm. 18
4
Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberiatif, (Jakarta: Kompas,
2004). Cetakan ke 1, hlm. 34.
PENGERTIAN PLURALISME AGAMA

A. Pengertian Pluralisme Agama

Kata pluralisme berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan gabungan dari
kata plural dan isme. Kata plural diartikan dengan menunjukan lebih dari satu atau
jamak. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau
aliran. Sedangkan dalam bahasa Inggris adalah pluralism. Jadi pluralisme adalah paham
atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, politik, budaya,
maupun agama.5

Pemikiran keagamaan yang bercorak pluralistik adalah pola pikir keagamaan


baru era multikultural-multireligius yang hanya dapat dibangun lewat pendekatan
fenomenologi agama dengan cara selalu mempertimbangakan, mendekatkan,
mendialogkan, dan menyatu padukan dimensi absolusitas dan relativitas dalam satu
keutuhan pola pikir dan satu tarikan nafas kehidupan sosial keagamaan.6

Menurut Budhy Munawar Rachman, tantangan teologi paling besar dalam


kehidupan beragama di jaman modern ini, adalah bagaimana seorang beragama bisa
mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau istilah lebih teknis yang biasa
dalam literatur teologi kontemporer bagaimana berteologi dalam konteks agama-agama.
Dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya
pertemuan agama-agama itu, walaupun kita juga menyadari bahwa pertemuan itu
kurang diisi dengan segi-segi dialogis antar iman.7

Menurut Mohammad Shofan, pluralisme tidak semata tentang kemajemukan,


namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kemajemukan tersebut.
Pengertian pluralisme agama adalah tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Pluralisme agama juga
bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan agama baru dengan memadukan unsur

5
J.S. Baduah, Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Kompas 2003), hlm. 279.
6
Aloy Budy Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, op, cit, hlm. XXVI.
7
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, op,cit, hlm. V.
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama baru tersebut.8

Pada tingkatan teologis yang merupakan dasar dari agama, muncul


kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah agama-agama yang juga eksis dan punya keabsahan.
Padahal teologi lama telah di set-ap dan sejarah kemudian mengekstrimkannya dalam
suatu agama yang nonpluralitas. Bahwa hanya agamakulah yang paling benar, dan lain
salah atau menyimpang. Belum lagi soal sosial politik yang kadang-kadang
memunculkan ketegangan dan kekerasan dalam penampakan konflik antar agama.

B. Penjelasan John Hick tentang Keragaman Agama


Banyak jalan menuju Tuhan, itulah mungkin yang dikatakan oleh John Hick
tentang keragaman agama. Seandainya hanya ada satu aga saja. Suatu kali, ketika
terlibat didalam sebuah proses kehidupan religius dalam suatu tradisi tertentu, kita
biasanya mengakui hanya ada satu agama saja, yakni agama kita sendiri. tapi ketika kita
menjaga jarak dari keterlibatan yang erat didalam kehidupan komunitas kita sendiri dan
mencoba menengok keluar melampaui batas-batasnya, tak terelakan lagi kita untuk
mengakui bahwa agama kita hanyalah salah satu dari agama-agama lain Budha, Islam,
Hindu, Kristen, dan lain-lain. Ibaratnya kita adalah serombongan orang yang berbaris
menuruni satu lembah yang panjang, menyanyikan lagu kita sendiri, memelihara
semboyan dan cerita kita sendiri selama berabad-abad, tidak peduli bahwa dibalik bukit
ada lembah lain dengan serombongan orang agung lainnya yang berbaris dengan tujuan
yang sama tetapi sudah berabad-abad mengembangkan gagasan, cerita, nyanyian dan
bahasa mereka sendiri; dan dibalik bukit yang lain walaupun ada sekelompok barisan
lainnya masing-masing tidak mengetahui tentang keberadaan yang lain. Akan tetapi
suatu hari mereka semua muncul di dataran yang sama, dataran yang diciptakan oleh
komunikasi global modern sehingga bisa melihat satu sama lain serta ingin tahu apa
yang sama-sama dilakukan.9
Hick mengambi contoh orang-orang buta yang tak bisa melihat lalu
menggambarkan bentuk gajah (yang satu meraba belalainya dan mengklaim bahwa ia
seperti ular, yang lainnya meraba kakinya dan berkata bahwa binatang tersebut seperti
8
Moh. Shofan, Pluralisme: Menyelamatkan Agama-agama, (Yohyakarta: Samudra Biru, 2011), cetaka ke
1, hlm. 50-51.
9
John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, (Yogyakarta: Interfidei, 2006), cetakan ke 1, hlm. 40.
pohon, dan sebagainya.) dari Maulawi Jalaludin Rumi dan menyatakan bahwa
kedudukan kita sama dengan orang-orang buta itu, yeng penggambarannya tentang
gajah yang merupakan realitas mutlak itu dituturkan dalam bentuk-bentuk yang terbatas
dalam berbagai agama. Berlawanan dengan hal ini, pernah dibahas bahwa jika kita
memang salah satu dari orang-orang buta itu dan kita dihadapkan pada berita-berita
yang bermacam-macam, kita seharusnya menyimpulkan bahwa semua berita itu tidak
menggambarkan gajah yang sama, tetapi bahwa berita itu semuanya salah.

C. Prinsip-Prinsip Teologis Pluralisme Agama

Secara teologis pluralisme berarti, manusia harus menangani perbedaan-


perbedaan mereka dengan cara terbaik secara maksimal, sambil menaruh penilaian akhir
mengenai kebenaran akhir kepada Tuhan. Karena tidak ada satu cara pun yang bisa
digunakan secara obyektif untuk mencapai kesepakatan mengenai kebenarn yang
mutlak ini.10

Iman berkaitan dengan kemanusiaan, dan dalam konteks ini adalah paham
kesejajaran di antara sesama manusia. Sudah merupaka hal yang logis, jika iman juga
harus berkaitan dengan paham kemajemukan sebagai kelanjutannya. Bahkan tentang
paham pluralisme ini, dalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang dengan tegas
menekankan bahwa pluralisme adalah kepastian Allah. Sebagai ketentuan Ilahi, paham
kemajemukan itu termasuk dalam kategori sunnatullah yang tak terhindarkan karena
kepastiannya itu. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hujuraat yang artinya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.11
Berdasarkan ayat al-Qur’an diatas dapat diketahui bahwa dijadikannya makhluk
dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan antara yang satu
dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Kepada masing-masing
dituntut untuk dapat menghargai adanya perbedaan, dalam hal in sikap kaum muslim
terhadap agama lain, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik
10
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, (Jakarta: Grasindo, 2010), cetakan ke 1,
hlm. 18.
11
Hasbi Ash-Shidiqi, dkk, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 745
kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak
menjalin hubungan kerjasama.

Dengan dialog, umat manusia mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi


dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog
tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba ilmu tentang agama
mitra dialog, dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak
dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup
rukun dalam suatu masyarakat.12

Tuhan tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal,


keragaman agama dimasudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa
banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama
disuruh bersaing dengan agama yang lain dalam memberikan kontribusi kepada
kemanusiaan, semua agama itu kembali kepada Allah SWT.13
Tuhan mempunyai beraneka ragam nama. Nama-nama Tuhan yang beraneka
nama tersebut menunjuk kepada satu Tuhan saja. Jadi Tuhan yang satu disebut dengan
banyak nama, atau melihat yang satu dalam yang banyak dan melihat yang banyak
dalam yang satu. Kalau dalam Islam disebut Allah, dalam Kristen disbut Yahwe dan
lain-lain. Begitu juga penyembahan terhadap-Nya oleh para pemeluk agama dilakukan
dengan bayak cara.14
Keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawah
oleh Nabi Muhammad SAW. Yang dimaksud di luar Islam adalah orang-orang
terdahulu yang beriman kepada Allah sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Atau
sebelum agama Islam formal. Adanya keselamatan dalam agama-agama apapun
agamanya baik, Islam, Kristen, Hindu, Budha yang tergantung pada tiga nilai universal
yakni, beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh berlaku untuk semua
agama.
Dengan demikian semua agama tepat berada pada jalan panjang menuju yang
Maha Benar, semua agama benar dengan variasi, tingkat dan kadar yang berbeda-beda
12
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999) cetakan ke
7, hlm. 41.
13
Jalaludin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta, Serambi, 2006)
cetakan ke 2, hlm.33.
14
Kautsar Azhari Noer, Ibnu al-Arabi (Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan), (Jakarta: Paramadina, 1995)
cetakan ke 1, hlm. 74.
dalam menghayati jalan religiusitas. Semua agama ada dalam keluarga besar yang sama
yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. 15

BAB III
EKLUSIVISME dan INKLUSIVISME AGAMA

15
Ulil Absar Abdala, Menjadi Muslim Liberal, hlm. 10.
A. Eklusivisme Agama
Sikap merupakan pandangan yang dominan dari zamam ke zaman, dan terus
dianut hingga dewasa ini. Dalam Islam, sikap ini terutama dikembangkan berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an seperti, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (Q 3:19)
agama selain Islam, tidak akan diterima di akherat (Q 3:85) termasuk penafsiran atas
dasar al-Qur’an dan hadis, yang berkaitan dengan konflik kebenaran antara Islam
dengan kalangan Yahudi dan Kristiani. Salah satu ayat lain dikalangan Islam eklusif
adalah “Orang-orang Yahudi dan Kristiani tidak akan rela kepada kamu, hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (Q 2:120).
Ayat ini telah menjadi pembenaran yang kuat untuk melakukan pembedaan antara
Muslim dan non Muslim.

B. Inklusivisme Agama
Dalam pemikiran Islam, paham inklusivisme dimulai dengan penggalian
pengertian Islam, bukan sebagai agama terlembaga, tetapi menggalinya dalam arti
ruhani. Islam, artinya
Seluruh risalah samawi yang diturunkan disebut Islam yang dalam arti
umumnya berarti penyerahan diri sempurna atau ketundukan secara penuh kepada
perintah-perintah Allah. Sementara Islam yang digunakan dalam makna spesifik
mengacu kepada versi Islam terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Perbedaan antara Islam umum dan Islam khusus menerbitkan sejumlah pertanyaan yang
menarik.
Pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang menurut pandangan inklusiv
menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Karena itu, semua agama yang benar
disebut Islam. Al-Qur’an memang mengatakan bahwa Nabi Nuh mengajarkan Islam,
dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak turunannya, termasuk kepada anak turun
Ya’Qub atau Israil (Q 2: 130-132).
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa para nabi dan rasul
terdahulu mengajarkan al-Islam ini. Sehingga tidak mengherankan, kalau kemudian
dikembangkanlah suatu teologi Islam yang inklusif yang didasarkan pada al-Qur’an.
Kaum Islam inklusif menegaskan bahwa agama semua nabi pada dasarnya adalah sama
dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai dengan zaman dan
tempat khusus masing-masing nabi itu.
Pandangan inklusif ini dalam keterbukaannya menjadi fondasi untuk
berkembangnya pluralisme yang sejati. Juga sebaliknya, pandangan pluralisme yang
sejati hanya bisa dibangun dengan fondasi sikap inklusivisme semacam ini.16

C. Respon Kelompok yang anti terhadap Pluralisme Agama


Berikut ini akan dipaparkan bagaimana pandangan yang sangat progresif
mengenai Islam dan pluralisme di atas ditanggapi oleh kalangan Islam yang konsevatif,
fundamentalis, bahkan radikal.
Dari sudut pandang fatwa MUI, pluralisme dianggap sebagai ancaman teologis
teologis terhadap Islam. Menurut Din Syamsudin seperti yang dikutip oleh Budhy
Munawar Rachman bahwa, pengharaman MUI terhadap pluralisme agama
sesungguhnya didasarkan pada anggapan bahwa hal tersebut sama dengan relitivisme
agama. Adian Husaini mengatakan bahwa pluralisme sebenarnya merupakan agama
baru, di mana sebagai agama dia punya kitab sendiri, Tuhan sendiri, Nabi sendiri, dan
ritual keagamaan sendiri. Sebagaimana humanisme juga merupakan agama, dan
Tuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut kalangan konservatif, konsep teologi semacam ini memberikan
legitimasi kepada pembenaran semua agama, bahwa pemeluk agama apa pun layak
disebut sebagai orang yang beriman, dengan makna orang yang percaya dan menaruh
percaya kepada Tuhan.
Masih menurut Adian Husaini baha, gagasan kesatuan agama bpasanya diajukan
sebagai alternatif untuk membangun kerukunan antar umat beragama, logika itu justru
saling bertentangan. Jika seseorang sudah menganut paham bahwa semua agama sama,
maka tidak ada lagi yang perlu dirukunkan antar umat beragama. sebab, semuanya
sudah sama, sudah satu, tidak perlu lagi yang namanya toleransi, sebab semua sudah
sama.

16
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme hlm. 25
Dalam pandangan Islam fundamentalis, satu-satunya agama yang benar dan
diridai oleh Allah adalah Islam. Dasar kelompok ini adalah pemahaman mereka
terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti Q. 3:85 yang berbunyi, “Barang siapa yang
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”
Demikian juga Q.3:19 “sesungguhnya gama (yang diridhai) disisi Allah adalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
Menurut mereka ayat-ayat al-Qur’an ini dipahami sebagai argumentasi normatif
bahwa hanya agama Islam yang paling benar, agama yang lengkap dan sempurna,
agama yang lurus, agama pilihan, agama terbaik. Sementara agama-agama yag lain
menurut mereka pada dasarnya bukanlah agama.

BABA IV
PENUTUP

Kesimpulan

Pluralisme agama bukan berarti menyamakan agama atau menycampuradukan


ajaran semua agama. Plurasime agama juga bukanlah menganjurkan orang untuk pindah
agama, akan tetapi pluralisme lebih didasarkan bahwa kita adalah masyarakat majemuk.
Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
keadabaan. Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia
dan keselamatan agama-agama.

Dalamkonteks negara Indonesia yang kaya akan budaya dan agama, pluralisme
tidak semata-mata kepada tentang adanya kemajemukan. Namun lebih kepada
keterlibatan aktif kepada kemajemukan tersebut. Setiap pemeluk agama juga dituntut
bukan saja untuk mengakui keberad aan hak agama lain, tetapi terlibat juga usaha untuk
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.

Dalam al-Qur’an sendiri dengan mudah mendukung etika perbedaan, toleransi


dan pluralisme. Al-Qur’an tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan
keragaman dan perbedaan di dalam suatu mayarakat. Oleh sebab itu dijadikannya
manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan antara
yang satu dengan lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif.

Memang semua agama berbeda, tidak ada agama yang sama. Berbeda dalam
doktrinnya, institusinya, kelembagaannya, pemimpinnya, hari besarnya. Tetapi dalam
perbedaan itu terdapat kesamaannya yaitu, keadilannya, kemanusiannya, serta segala
bentuk prilaku yang dapat merugikan umat beragama.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Teologi Pluralsi Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan, Jakarta: Kompas, 2003

Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif,


Jakarta: Kompas, 2004

Hick, Jhon, Tuhan Punya Banyak Nama (terj), Amin Ma’ruf dk, Yogyakarta, Interfiei,
2006

Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-Arabi: Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995

Purnomo, Aloy Budy, Membangun Teologi Inklusif Pluralistik, Jakarta: Kompas, 2003

Rachman, Budhy Munawar, Argumen Islam Untuk Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010

Rahmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme, Jakarta: Serambi 2006

Shofan, Moh, Pluralisme: Menyelamatkan Agama-agama, Yogyakarta: Samudra Biru,


2011
PLURALISME AGAMA

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UTS dan UAS
Mata Kuliah : New Teology (Teologi Kontemporer)

Oleh : Mohammad Hasan Ma’arif

PROGRAM PASCASARJANA

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT ISLAM SADRA


JAKARTA
2019

Anda mungkin juga menyukai