Anda di halaman 1dari 5

Perjumpaan Yesus dan Perempuan Siro-Fenisia (Mrk, 7: 24-30) Sebagai

Gambaran Kekristenan Yang Menerima Multikulturalisme

Inandry Adolfi Seo

Universitas Kristen Artha Wacana Kupang

E-mail: Inandry13@gmail.com

Abstract:

Tulisan ini bertujuan untuk membangun pemikiran terhadap multicultural dengan bertolak
dari Kitab Injil Markus, 7:24-30 yang mengisahkan tentang Yesus dan seorang Perempuan
Siro-Fenisia. Kisah ini kemudian dihubungkan dengan perbincangan multicultural dalam
konteks di Negara Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini
ialah penelitian kepustakaan (library researche). Metode yang digunakan ialah analisis
kualitatif melalui buku-buku tulisan Paul F. Kniter, Olaf H. Schumann dan Djohan Effendi.
Melalui dialog antar umat beragama, teks Alkitab dari Injil Markus yang berbicara mengenai
cultural ini dan juga pandangan atau teori dari beberapa ahli menumbuhkan pengetahuan
mengenai apa itu multicultural, terkhususnya di Indonesia.

Kata Kunci: Multikultural, Dialog.

Latar Belakang

Saat ini manusia hidup di era globalisasi, yang membuat segala sesuatu semakin maju dan
berkembang mengikuti keadaan. Ternyata hal ini tidak saja berkaitan dengan perkembangan
teknologi untuk semakin membuat kehidupan lebih maju, namun perkembangan ini juga
berpengaruh terhadap pola pikir manusia sehingga berdampak pula pada segala aspek dalam
kehidupan manusia. Pola pikir manusia yang berkembang ini, cenderung selalu memiliki
pikiran yang kritis untuk membuatnya semakin mencari tahu dan mengembangkan segala
sesuatu yang baru ditemui/dipelajari. Tidak hanya itu, sebab manusia sering menganggap
bahwa apa yang telah diyakini adalah satu-satunya kebenaran sehingga hal itu tidak bisa
ditentang oleh orang lain. Hal ini terealisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di mana
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau, dan juga merupakan Negara
dengan penduduk yang multicultural atau Negara yang masyarakatnya hidup dalam berbagai
perbedaan, seperti; suku, ras, budaya, agama dan bahasa.

Ada satu hal yang paling sering disorot sebagai bukti adanya multikulturalisme di Negara
Indonesia, yaitu perbedaan Agama. Warga Negara Indonesia menganut enam agama yakni;
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Masing-masing agama diyakini
oleh para penganutnya sebagai agama yang memiliki kepercayaan serta kebenarannya
tersendiri. Dengan adanya keyakinan seperti ini yang kemudian terus dipertahankan, justru
akan menimbulkan konflik antar umat beragama untuk mempertahankan ajaran dan
kebenarannya masing-masing. Konflik antar umat beragama sudah sering terjadi di Negara
Indonesia, yang kemudian tersebar melalui berbagai media sosial, misalnya; perusakkan
rumah-rumah Ibadah, perdebatan mengenai ajaran-ajaran agama, dan masih banyak lagi.

Pembahasan

Pertemuan antara Yesus dan perempuan dari Siro-Fenisia seperti yang dikisahkan dalam Injil
Markus 7:24-30, dapat dikatakan bahwa pertemuan itu adalah pertemuan yang singkat. Sebab
tindakan penyingkiran yang dilakukan Yesus adalah untuk menghindari kerumunan (lih. Mat
15:21). Ia berharap agar penyingkiran-Nya itu tidak diketahui karena Ia menyeberang ke
perbatasan antara Tirus dan Sidon. Keberadaan-Nya tidak dapat disembunyikan sebab
perempuan Siro-Fenisia ini menghampiri-Nya, dan setelah bercakap, “bersepakat”, kemudian
perempuan itu harus segera meninggalkan Dia. Menurut sejarah, bangsa Yahudi dan Yunani
memiliki pertentangan yang panjang, penghayatan mengenai ideologis dan teologis yang
sangat kuat membuat mereka sulit untuk hidup bersama.1 Orang Yahudi telah berkeras hati
untuk menolak kedatangan Yesus. Namun ketika Yesus mengunjungi Tirus (kafir) ternyata
wanita yang saat itu datang berjumpa dengan Yesus adalah seorang Yahudi. Kelihatannya
bahwa Yesus seperti menolak denegan kasar permintaan perempuan Siro-Fenisia ini. Yesus
berbicara dengan kalimat yang “kasar” hanya ingin menguji alasan mengapa perempuan ini
datang kepada-Nya. Yesus memakai istilah “anjing” yang merupakan suatu penghinaan
besar. Namun perempuan itu bersedia untuk diumpamakan sebagai seekor anak anjing yang
menerima remah-remah yang jatuh dari meja tuannya demi mendapatkan kesembuhan bagi
anaknya. Tentu dengan kepercayaannya yang sungguh bahwa Yesus bisa mengusir roh jahat

1
https://scholar.google.com/citations?
view_op=view_citation&hl+en&user=_ehABwEAAAAJ&citation_for_view=_ehAB
wEAAAAJ:d1gkVwDpl0C, hlm. 81
yang ada di tubuh anaknya. Kepercayaannya itu tidak sia-sia. Kehadiran Yesus di tanah orang
kafir ini menunjukkan bahwa Yesus terbuka dan memiliki belas kasihan kepada orang kafir.

Sebagai orang Kristen khususnya dalam masyarakat yang majemuk selalu hidup
berdampingan dengan orang-orang yang menganut agama atau keyakinan lain. Seringkali
hubungan yang terjalin hanya sekedar hidup berdampingan tanpa ada upaya untuk memahami
atau bahkan mempelajari agama orang lain. Tentunya konflik sering terjadi antara orang-
orang yang berbeda, baik itu secara ideology atau agama. Terlebih lagi apabila ada suatu
golongan yang berusaha untuk menguasai pihak yang lain, atau apabila satu agama atau
ideology dengan segala upaya henda memaksakan keinginan sendiri terhadap seluruh
masyarakat. Namun tidak hanya usaha-usaha untuk menguasai pihak lain, ada juga upaya-
upaya yang dilakukan untuk menjalin hubungan yang positif dan membangun bentuk kerja
sama untuk membina kemanusiaan. Jika kita tertutup dengan keadaan di sekitar kita dan tidak
mau menerima perbedaan-perbedaan yang ada serta hidup dalam pandangan-pandangan dan
kebiasaan yang salah, maka kita akan terus menjadi orang-orang yang tidak ingin menghargai
dan menilai orang lain berdasarkan uuran mereka masing-masing, karena menurut kita
pandangan kita adalah yang paling benar.

Pendekatan dialogis adalah pendekatan yang mengakui pengalaman-pengalaman dari agama


yang berbeda dan beragam dari semua orang dan menyingkirkan pemikiran ekslusif tentang
kebenaran tradisi atau agama. Dengan pendekatan ini, setiap agama patut untuk saling
menghargai. Semua agama memiliki unsur pembebasan dan juga unsur penindasan. Seperti
pemahaman Banks yang dikutip Labobar yang memberi pengertian bahwa antara kultur dan
agama tidak perlu dibedakan, sebab agama merupakan bagian dari kultur. 2 Dalam
pertimbangan mengenai kebebasan beragama tentunya akan menimbulkan masalah hubungan
antara agama dan Negara.3 Untuk mengembangkan pemikiran keagamaan, tentunya kita tidak
bisa menghindari relativisme daan sinkretisme.4 Dalam perjumpaan dengan agama-agama
lain, pertanyaan-pertanyaan untuk mengevaluasi diri sangat diperlukan. Misalnya; apakah
saya berbicara atau mendengarkan apapun dan berpegang kepada ajaran yang saya yakini?
Sebagaimana yang dikutip oleh Knitter dalam buku Barth yang mengi ngatkan bahwa “agama
2
https://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou/article/download/80/154 , hlm. 65
3
Olaf H. Schumann, Dialog Antar Umat Beragama: Membuka Babak Baru dalam
Hubungan Antar Umat Beragama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021, Hlm. 535

4
Djohan, Effendi. Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun
Djohan Effendi Jakarta: Demokrasi Project, 2011, hlm. xxvi
terus menghalangi apa yang hendak dikatakan Tuhan melalui penyataan-Nya, dan juga
menghalangi apa yang barangkali Tuhan katakan dalam dialog dengan sesama.” Hal ini
diperlukan secara umum bagi dialog antar agama, karena semua umat beragama yang
berjumpa dan berbicara satu dengan yang lain disebut sebagai suatu “komunitas dari
komunitas” yang baru, agar tidak melupakan karya agama sepanjang kehidupan manusia.
Kenyataan yang ditemui ialah pada masa lampau hingga sekarang ini agama mengakibatkan
banyak penderitaan bagi penganutnya dan juga telah berfungsi sebagai suatu inspirasi yang
membangun perdamaian. Pluralisme akan menimbulkan dinamika dan mendorong setiap
individu untuk menyempurnakan kepercayaannya masing-masing, dengan mengambil
pelajaran dari pengalaman dan kearifan pemeluk agama lain. Semua agama di dunia ini perlu
bersekutu bukan untuk membentuk agama yang tunggal tetapi justru membentuk dialog antar
berbagai umat beragama.5

Kesimpulan dan Refleksi

Dari Injil Markus 7:24-30, dapat dilihat bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan
sekitar seperti agama, suku, bahasa, ras, dan budaya bisa menjadi salah satu tolak ukur
seseorang diterima atau tidak di tempat, di mana ia berada. Tidak hanya itu, namun
perbedaan juga bisa menimbulkan konflik apabila perbedaan itu tidak dipahami dengan baik.
Kisah Yesus dan perempuan Siro-Fenisia ini seharusnya menjadi tolak ukur juga bagi orang-
orang Kristen di Indonesia, dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat yang pluralitas.
Yesus menerima kedatangan perempuan Siro-Fenisia itu dengan kasih dan bukan menolak
atau mengusirnya. Allah tidak hanya mengasihi orang Yahudi atau orang Kristen tetapi juga
mengasihi semua orang, dalam hal ini bahwa Kasih Allah sangatlah Universal (Yoh, 3:16).

Dialog menjadi salah satu hal penting dalam mengupayakan persatuan agama-agama. Dengan
dialog maka akan ada kebebasan untuk mengakui juga kebebasan orang lain sehingga hal ini
tidak hanya terlihat sekedar sebagai sebuah pengakuan dan penerimaan terhadap
keberagaman tetapi juga sebagai sebuah perilaku yang menunjukkan perjuangan nilai-nilai
kesetaraan dan keterlibatan peran dalam masyarakat yang multicultural.

Cerita Markus 7:24-30 juga menawarkan sebuah pemahaman yang menarik dalam konteks
pluralitas. Perjumpaan antara Yesus dan perempuan Siro-Fenisia ini menjadi refleksi bagi
kehidupan masyarakat saat ini. Menyatukan keragaman bukanlah hal yang mudah, sebab hal
itu membutuhkan kerja keras, kegigihan dan ketulusan yang tinggi. Apabila kita
5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2008, Hlm 9
menginginkan ada perdamaian atau kerukunan dalam masyarakat yang pluralitas maka
hendaknya kerendahan hati yang di miliki oleh Yesus itu juga kita kenakan agar kita mau
saling terbuka untuk mendengar dan menerima bahwa perbedaan bukanlah sebuah alasan
untuk saling menghakimi. Yesus telah memberikan suatu teladan dari apa artinya menjadi
seorang pluralis walaupun tetap menjadi seorang Yahudi yang benar-benar setia, maka
hendaknya pengikut-pengikut Yesus sekarang ini juga berarti bahwa merekapun dapat
menjadi seorang pluralis walaupun tetap menjadi orang Kristen yang setia dengan imannya.

DAFTAR PUSTAKA

Knitter, Paul. F, Pengantar Teologi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Schumann, Olaf, H. Dialog Antar Umat Beragama: Membuka Babak Baru dalam Hubungan
Antar Umat Beragama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021

Effendi, M. Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi


Jakarta: Demokrasi Project, 2011

Imanuel, T.H (2020), Pertobatan Dialogis: Analisa Postkolonial Terhadap Percakapan


Yesus dengan Perempuan Siro-Fenisia Dalam Markus 7: 24-30, Jurnal Teologi
Kristen, 2 (1). https://scholar.google.com/citations?
view_op=view_citation&hl+en&user=_ehABwEAAAAJ&citation_for_view=_ehAB
wEAAAAJ:d1gkVwDpl0C

Yuni, F. L, (2018), Gereja Di Balik Dinding: (Kajian Markus 7:24-30 dan Implikasinya bagi
Pendidikan Multikultural di Indonesia). VI (1).
https://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou/article/download/80/154

Anda mungkin juga menyukai