Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

IMAN DAN PLURALITAS DALAM MASYARAKAT

Di susun oleh:
-Patricia Putri Santoso/DKV/AAA/229024140022
-Kristiano Eugenius Charli Putra/DKV/AAC/229024140101
- Iddo John/DKV/AAC/229024140074
-Andrew Jenssen/DKV/AAA/229024140019
- Vigor Arthur Januar/DKV/AAC/229024140071
-Jovanka Indira Rachel/DKV/AAE/229024140150

-Sabrina Joyceline Saleng/DKV/AAE/229024140149

UNIVERSITAS
Institut Desain & Bisnis Bali
Jalan Tukad Batanghari No.29, Panjer Denpasar, Bali, Indonesia 80225

BAB I

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pluralisme dapat diartikan sebagai kemajemukan atau pluralitas, artinya menerima
keberagaman untuk hidup secara toleran dalam masyarakat yang berbeda suku, golongan,
agama, adat, hingga pandangan hidup.  Adanya pluralitas dikarenakan keberadaan manusia
yang semakin bertambah/ dinamis hingga celah perselisihan timbul . Proses munculnya
pluralitas agama di Indonesia dapat diamati secara empiris historis, pada awalnya hanya
agama Hindu dan Budha yang dipeluk oleh masyarakat di pulau Jawa. Setelah itu timbullah
budaya Animisme dan Dinamisme baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Ketika
penyebaran Islam lewat jalur perdagangan sampai di kepulauan Nusantara, maka proses
perubahan pemelukan (conversi) agama secara bertahap berlangsung.
Kemajemukan (plural) bangsa Indonesia bukanlah persoalan baru, tetapimemang sesuatu
yang sudah ada sejak lama.Istilah ini juga digunakan olehpemerintah Hindia-Belanda untuk
menggambarkan struktur masyarakat Indonesia.Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu ;pertama,majemuk secara horizontal, ditandai oleh kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta kedaerahan. Kedua, secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaanlapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.Struktur
masyarakatmajemuk seperti Indonesia pada dasarnya tidak bisa ditafsirkan sebagai
ancamanbagi kohesivitas sosial.Sebaliknya justru menjadi potensi besar
pembentukanmasyarakat yang demokratis, yang dicirikan terbangunnya civil society atau
masyarakat madani.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pluralitas Keberagamaan di Indonesia
Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat menghindar
dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme).Pluralitas  agama yang hidup di Indonesia,
termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern
umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah. Sejarah wujud
kemerdekaan Indonesia adalah hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang
dimiliki bangsa ini.Dalam prinsip dasar demokrasi, kemajemukan (pluralitas) menjadi sebuah
fenomena kunci, karena berdemokrasi dalam suatu Negara terdapat pada nilai heterogenitas
teritorial, sosial, budaya untuk berada bersama-sama dalam sebuah bangsa demi mencapai
tujuan bersama yang di dalamnya ada hak dan kedudukan yang sama, serta adanya
pengakuan terhadap keberadaan masing-masing elemen.
Pluralitas agama sebenarnya bukan fenomena baru bagi bangsa Indonesia. Selama Orde
Baru saja, secara de jure diakui oleh pemerintah eksistensi lima agama dan bahkan puluhan,
atau bahkan mungkin ratusan aliran kepercayaan. Setiap penduduk Indonesia menghadapi
kenyataan pluralitas agama dalam kehidupan sehari-hari.Bertetangga, bekerja, dan bersekolah
dengan orang yang berlainan agama adalah suatu kenyataan yang dengan mudah ditemui
dalam aktivitas kehidupan keseharian. Pluralitas agama telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari apa artinya menjadi penduduk atau bangsa Indonesia.
Pluralitas agama menyimpan potensi sekaligus bahaya tersendiri.Kemajemukan agama itu
bisa menjadi potensi yang kuat (integrasi), apabila kemajemukan tersebut dihargai dan
diterima dengan bijaksana oleh segenap unsur masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi,
maka akan terbentuk sebuah mozaik kehidupan yang indah dan nyaman untuk dinikmati. Di
sisi lain, kemajemukan itu menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah yang besar
(konflik). Perbedaan-perbedaan ajaran agama, apabila tidak ditanggapi dengan bijaksana,
maka dapat memicu sebuah pertikaian yang mendalam dan meluas.
Kendala yang paling krusial berteologi di zaman sekarang ini adalah bagaimana
mendefenisikan diri diantara berbagai macam agama yang ada atau bagaimana berteologi
dalam konteks agama-agama. Munculnya berbagai konflik dan ketegangan atau bahkan
permusuhan diantara para penganut agama adalah antara lain karena kepenganutan cara
berpikir yang tidak kritis , yang oleh Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “religion’s way
of knowing”. Ciri utama dari “religion’s way of knowing” adalah penetapan standar ganda
dalam menilai agama-agama. Agama yang kita anut biasanya kita ukur melalui parameter
ideal, sementara agama lain kita ukur dengan parameter yang lebih bersifat realistis dan
historis. Yang sering menjadi biang keladi kesalahpahaman antara penganut Islam dan
Kristen adalah penerapan double standard atau standar ganda yang satu terhadap yang lain,
baik kaum Muslimin maupun kaum Nasrani sama-sama mengklaim bahwa hanya
agamanyalah yang memiliki kebenaran sejati dari Tuhan. Sementara agama lain sebaliknya
tidak berasal dari Tuhan, tapi dari konstruksi manusia, atau boleh jadi sama-sama diakui
bersal dari Tuhan namun telah dirusak atau dikonstruksi manusia.
Disamping itu “religion’s way of knowing” bersumber dari penilaian subjektif dari setiap
penganut agama bahwa hanya kitab suci dan agamanya saja yang memiliki empat kriteria
yaitu : 1). Memiliki konsistensi dan mengandung kebenaran tanpa menyimpang sedikitpun
kesalahan, 2). Memiliki kelengkapan dan bersifat final, 3). Merupakan satu-satunya jalan
kebenaran, keselamatan dan pembebasan, dan 4). Sepenuhnya diyakini benar-benar original
berasal dari Tuhan, tanpa ada sedikitpun konstruksi manusia di dalamnya (Sejarah Islam
Abad Modern:321-322).
Dampak yang muncul dari pengklaiman tersebut, secara radikal tentu mudah di tebak,
yaitu munculnya klaim bahwa hanya agama sendiri yang paling benar dan paling sempurna
diantara agama agama yang ada.Disinilah akan terjadi apa yang disebut dengan language
game atau permainan kata dan klaim tersebut sesuai dengan yang sering terjadi. Bila semua
pihak tidak menyadari akan kekurangan dan kelemahan masing masing penganut agama dan
tetap pada pendirian nya secara kaku dan bersifat eksklusif, serta tidak ada keinginan untuk
memahami agama agama lain nya bisa menjadi pluralitas agama akan menimbulkan konflik
dalam kehidupan manusia. Oleh karna itu, untuk menghindari terjadinya hal hal negative dari
pluralitas tersebut, maka umat manusia harus menumbuhkan kesadaran dan keyakinan bahwa
pluralitas keberagamaan merupakan suatu kenyataan yang di kehendaki tuhan.
Pada pluralitas keberagamaan di Indonesia perlu adanya kerukunan antar umat
beragama.Kerukunan merupakan bagian dari spirit agama, yakni seluruh agama
menganjurkan untuk hidup rukun.Selain dari bagian spirit agama, kerukunan juga bagian
persoalan hubungan sosial antara kelompok-kelompok yang berbeda di masyarakat, agar
senantiasa hidup damai dan saling membantu satu dengan yang lainnya.
Nurkholis madjid mengatakan bahwa pluralitas agama yang juga meliputi toleransi
agama, tidak mengakui kebenaran semua agama. Pernyataan ini mengandung kepercayaan
dasar bahwa semua agama mempunyai hak untuk hidup sedangkan konsekuensinya akan
ditanggung oleh pengikutnya, baik secara individual maupun secara kolektif sejalan dengan
pandangan tersebut, Abdurrahman wahid mengatakan bahwa, penerimaan prinsip pluralitas
agama tidak berarti bahwa semua agama adalah sama antar satu dengan yang lain. Secra
teologi, ada perbedaan perbedaan esensial diantara agama agama di dunia ini karena masing
masing mengandung ajaran yang unik.Namun keunikan tersebut harus di control dan di
kaitkan dengan pemberian perlakuan dan kedudukan yang sama di muka hokum dan
pemerintahan bagi semua warga Negara tanpa ada terkecuali. Maka penganut agama apapun
yang menjadi warga Negara dalam sebuah pemerintahan harus di hormati dan di lindungi hak
hak asasi nya, termasuk hak-hak politiknya. Apabila prinsip ini diabaikan, maka akan timbul
kesulitan-kesulitan dalam menyelenggarakan Negara yang masyarakatnya pluralis baik dari
segi agama maupun segi sosialnya.

2. 2 Sikap Terhadap Pluralitas Keberagamaan di Indonesia


Sebagai Negara yang pluralitas, kita sebagai warga Negara yang baik dan berakhlak harus
menyikapi pluralitas yang ada, terutama pada pluralitas keberagamaan, dibawah ini sikap
sikap terhadap pluralisme :
1.    Humanisme sekuler
Humanisme sekuler adalah suatu sistem etika yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai
nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada
akidah-akidah dan ajaran-ajaran agama.
2.    Inklusif
Sikap inklusif lebih terbuka terhadap agama-agama lain di banding dengan sikap
eksklusif.Pandangan inklusif beranggapan bahwa semua agama memang memiliki kebenaran
tetapi kebenaran itu bersumber dari agama yang satu. Agama yang satu ini lah yang
memancarkan dan memberikan kebenaran kepada agama-agama yang lain. Dalam
inklusifisme keunikan dari suatu agama masih dijaga dan dipertahankan. Misalnya, seorang
Kristen inklusiv akanterbuka dengan pandangan kebenaran agama-agama lain, namun ia tetap
yakin bahwa sumber dari kebenaran itu ada di dalam kristus, mereka pada akhirnya akan
menuju pada kebenaran kristus yang ada di dalam ke kristenan.
3.    Pluralis
Bagi seorang pluralis akan memandang semua agama setara, memiliki kebenarannya masing-
masing. Dalam artian bahwa segala sesuatu shahih dan benar pada tempat dan situasinya.
Dalam konteks islam di Indonesia Alm. Abdurrahman Wahid atau Gus dur adalah penganut
paradigma ini, bahkan ketika ia meninggal mantan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
memberi gelar sebagai bapak pluralisme Indonesia.
Sikap keberagaman ditengah masyarakat pluralis yang perlu dikembangkan. Pertama,
menerima orang lain atas dasar hidup berdampingan secara damai. Hal ini diwujudkan
dengan sikap saling menghormati dan toleransi.Kedua, mengembangkan kerjasama sosial
keagamaan melalui beberapa kegiatan yang secara fungsional mendorong pengembangan
kehidupan beragama yang rukun.Ketiga, mencari, mengembangkan dan merumuskan titik
temu agama-agama untuk menjawab problem dan tantangan hidup manusia secara
keseluruhan.Sikap pertama merupakan tahap awal untuk membangun kebersamaan
masyarakat.Sedangkan sikap kedua adalah perwujudan nyata dari kebersamaan tersebut.Dan
sikap yang ketiga merupakan landasan teologis bagi masing-masing umat untuk membangun
masyarakat yang dimana semua individunya dapat hidup bersama dengan semangat persatuan
dan kesatuan umat manusia

Kesimpulan
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan
dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda.Berbeda itu tidak sama dengan
bertentangan. Karena itu, kita seharusnya menghindari pola pikir binaris; in group-out
group, minnâ-minkum, kami-kamu, dan benar-salah, terutama dalam hal
berbangsa.Perbedaan pandangan, pendapat atau keyakinan manusia tidak harus ditakuti dan
dijauhi, melainkan menjadi titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai