Anda di halaman 1dari 4

Etika Multikulturalisme di Indonesia Oleh : Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Multikulturalisme atau keberagaman adalah corak otentik Indonesia. Sebagai negara yang berdiri dari sekian banyak kumpulan suku, ras, agama, dan kebudayaan, Indonesia lahir sebagai negara yang menerima perbedaan itu sebagai kekuatan besar pada masa lalu, bersatu padu meninggalkan identitas masing masing untuk kemudian bersatu memerdekakan Indonesia. Oleh para Founding Father kita, konsep keberagaman dikemas dan ditata secara baik sehingga masing masing kelompok mampu menyatukan tekad ditengah perbedaan ritual masing masing untuk mendirikan Negara Indonesia yang berdaulat. Keberagaman menjadi kekuatan utama sekaligus pondasi kokoh mendirikan Republik Indonesia. Namun sayangnya, keberagaman yang dulu menjadi kekuatan bangsa kini banyak dicederai oleh berbagai konflik horizontal antar kelompok di berbagai daerah. Mulai dari isu Agama, Suku, Ras, dan Budaya sering menjadi pemicu konflik di berbagai daerah. Seiring perkembangan jaman dan terus bertambahnya jumlah penduduk, Republik Indonesia seakan kewalahan mengurusi ledakan penduduknya yang pada akhirnya, jumlah penduduk yang sangat banyak itu berpotensi memicu konflik di berbagai tempat. Isu isu rasial, agama, suku, dan budaya menjadi isu yang mudah dikonversi menjadi konflik yang bila tak ditangani dengan baik dan benar bisa mengancam keutuhan Republik. Dalam hal multikulturalisme, Indonesia memang negara dengan ragam kultur yang melimpah. Dalam hal agama saja, setidaknya ada enam agama resmi yang diakui pemerintah dan ratusan aliran kepercayaan yang tersebar di masyarakat. Banyaknya ragam agama dan aliran kepercayaan di Indonesia sangat riskan terjadi konflik antar golongan. Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya kita kerap disuguhi media dengan pemberitaan konflik konflik horizontal yang berakar pada perbedaan keyakinan beragama. Terakhir adalah bentrok massa di Kota Solo yang melibatkan organisasi masyarakat berlatar Islam dengan sekelompok warga yang membuat suasana sempat memanas dan mencekam selama beberapa hari (Kamis - Jumat, 3 4 Mei 2012). Konflik di Kota Solo itu dilatar belakangi gesekan individu yang melebar ke ranah agama dimana sekitar seribuan massa dari ormas islam itu akhirnya menyerbu sekelompok massa dan akhirnya mengakibatkan beberapa orang luka serius (solopos.com). Isu lain yang menyeret agama juga terjadi di Bogor, ketika jamaah GKI Yasmin tak juga bisa menempati tempat ibadahnya karena ditolak oleh sekumpulan massa berlatar Islam. Penolakan yang ditunjukkan massa terlebih memakai cara cara agresif dan brutal yang mengakibatkan jemaah GKI Yasmin semakin ketakutan dan sempat beberapa kali meminta pengawalam polisi ketika hendak beribadah (tribunnews.com). Juga ketika sekelompok Jamaah Ahmadiyah di Bogor tak bisa beribadah dengan tenang karena tempat ibadahnya dibakar massa yang dengan brutal dan membabi buta menganiaya Etika dan Filsafat Komunikasi | Etika Multikulturalisme di Indonesia 1

sekelompok jamaah Ahmadiyah lalu membakar Mesjid yang mereka gunakan sebagai tempat Ibadah (suaramerdeka.com). Juga konflik konflik lain yang berlatar agama yang sering menjadi pemberitaan nasional di berbagai media massa nasional hampir setiap hari mengisi halaman demi halaman media kita. Konflik konflik keagamaan yang semakin sering muncul dan lebih sering membawa panji panji Islam menarik perhatian saya sebagai penulis untuk mencoba mengupas pergumulan konflik agama agama di Indonesia, khususnya Islam. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia ternyata juga membawa pengaruh besar terhadap perkembangan multikulturalisme di Indonesia. Pemikiran pemikiran multikulturalisme sering diungkapkan oleh para pemikir pemikir Islam Inklusif seperti Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, Abdul Munir Mulkhan, dan lainnya sebagai upaya untuk melihat Islam di Indonesia secara lebih realis dan dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai konflik yang membawa nama Islam itu menurut Ribut Karyono merupakan hasil dari Fundamentalisme Islam yang digalakkan dibeberapa kelompok Islam yang ingin memurnikan ajaran Islam dengan sikapnya yang puritan dan Ekstrem1. Juga seperti yang dikatakan E.G. Singgih yang menyebutkan bahwa fundamentalisme menekankan pada sebuah pemahaman yang bulat dan utuh serta tidak takut dianggap ekstrem oleh mereka yang berpikiran lain. Justru cara berpikir ekstrem inilah yang dianggap sebagai bukti ketaatan beragama dan berfungsi untuk membedakan orang yang sungguh sungguh dengan orang yang beragama setengah hati saja2. Istilah fundamentalis sebenarnya sejalan dengan istilah Islam Eksklusif seperti yang dikatakan Dr. Fatimah Husein, yang beranggapan bahwa kalangan Islam eksklusif berpikiran bahwa hanya agamanya yang benar dan yang yang lain salah, dan diikuti oleh pengertian Islam Inklusif yang beranggapan terdapat banyak agama yang kesemuanya mengajarkan nilai baik, tapi Islam yang paling baik3. Pemikiran pemikiran fundamentalis eksklusif inilah yang menyebabkan sering pecah konflik dan ketegangan diantara pemeluk agama di Indonesia, khususnya yang melibatkan Islam. Pada contoh kasus terakhir di Kota Solo seperti yang sudah disebutkan diawal, bentrokan massa pecah selama dua hari berturut turut, melibatkan seribuan massa baik itu dari kalangan ormas islam maupun kelompok warga itu juga dipicu sikap ekstrem anggota ormas yang intoleran terhadap gesekan yang timbul dan terkesan main hakim sendiri. Sebenarnya sampai batas mana pemikiran eksklusif agama dapat berjalan beriringan dengan peraturan publik sehingga menciptakan suasana yang aman, damai, dan tentram bagi seluruh penduduk Republik ? apakah tidak ada upaya untuk mensejahterakan seluruh penduduk Republik dengan latar keberagaman ini dalam payung keindonesiaan ? apakah budaya timur yang menjunjung sopan santun dan etika luhur di Indonesia ini terkikis oleh gerakan fundamentalis yang merebak diberbagai daerah sehingga tak mampu lagi menahan laju konflik sosial yang timbul akibat tak diterimanya konsep keberagaman sekarang ini ? Pertanyaan pertanyaan seputar itu kerap muncul dipikiran saya ketika melihat dinamika konflik keagamaan yang tak kunjung mereda di berbagai tempat di Indonesia.

1 2

Karyono, Ribut. 2003. Fundamentalisme Dalam Kristen Islam. Jogjakarta. Kalika. Hal. 4 Karyono, Ribut. 2003. Hal. x 3 Cholil, Suhadi (ed). 2008. Resonansi Dialog Agama dan Budaya. Jogjakarta. CRCS UGM. Hal. vi

Etika dan Filsafat Komunikasi | Etika Multikulturalisme di Indonesia

Meningkatnya konflik berlatar perbedaan agama menurut saya adalah akibat dari menurunnya pemahaman etik keberagaman dari masyarakat kita, sehingga masyarakat kita, terutama kaum fundamentalis terkungkung oleh konsep keagamaan yang eksklusif dan terkesan tidak mengindahkan agama lain sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Penurunan atau bahkan hilangnya pemahaman etik terhadap konsep multikulturalisme ini salah satu sebabnya adalah proses pendidikan masyarakat yang tak diawasi oleh pemerintah. Sehingga gerakan fundamentalis dapat terinternalisasi dalam diri masyarakat serta tumbuh subur di berbagai daerah, bahkan dengan memanfaatkan institusi pendidkan formal sebagai ajang penyebarluasan ideologi eksklusivisme mereka, entah itu Islam, Nasrani, Katolik, Buddha, Hindu atau Konghucu. Etika dalam konteks ini berperan sebagai nilai luhur yang menjaga nilai nilai kemanusiaan universal agar proses pemahaman keberagaman dapat berlangsung baik tanpa mengurangi substansi penting dari ajaran agama yang diajarkan. Dengan begitu, etika keberagaman akan mengarahkan manusia pada pilihan pilihan yang nilainya mampu diterima secara universal oleh semua pemeluk agama tanpa mencederai salah satu agamapun. Hingga terciptanya kondisi yang kondusif bagi keberlangsungan agama agama dan budaya budaya dalam suatu masyarakat. Namun penanaman etika beragama dan keberagaman juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam prosesnya, penanaman etika multikulturalisme baik itu lewat institusi pendidikan formal maupun informal sering dicurigai sebagai pendangkalan keimanan oleh kelompok agama tertentu karena mentoleransi pemahaman agama lain masuk pada prosesnya. Bila seperti ini terus, upaya perbaikan tentu hanya akan menemui jalan buntu. Pendidikan multikultural disini ialah pendidikan yang memahamkan masyarakat bahwa keberagaman telah ada jauh sebelum Republik ini ada, dan menjadi kekuatan besar yang mendukung berdirinya Republik ini ketika masa awal berdiri, dan menghiasi dinamika perjalanan Republik ini hingga sekarang. Sehingga masyarakat awam dengan istilah keberagaman dan tak takut lagi ketika keberagaman itu menjadi bagian kehidupan mereka karena memang keberagaman tak akan menganggu eksistensi beragama masyarakat. Pendidikan Multikultural menurut Profesor HAR Tilaar tidak bertujuan untuk menghilangkan perbedaan akan tetapi menghilangkan prasangka, menimbulkan dialog, mengenal perbedaan sehingga timbul rasa saling menghargai dan mengapresiasi4. Pendidikan multikulturalisme selayaknya dikomunikasikan secara baik dan tepat karena keanekaragaman latar belakang budaya sering menyebankan perbedaan penerimaan. Seperti yang dikatakan Samovar dalam bukunya bahwa Perbedaan kebudayaan juga menyebabkan perbedaan persepsi suatu kebudayaan dimata kebudayaan lain. Perbedaan pandangan ini sangat kental dipengaruhi oleh tiga hal, kepercayaan, nilai, dan pola kebudayaan5. Tiga hal inilah yang kerap menimbulkan perbedaan persepsi dalam mengartikulasi pemahaman lintas budaya. Budaya dalam konteks ini adalah agama yang menjadi latar belakang masyarakat dalam pembahasan ini. Ditambah lagi bila mengingat konsep multikulturalisme yang sebenarnya sudah tertuang dengan sangat jelas pada Pancasila, yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
4 5

Cholil, Suhadi (ed). 2008. Hal. 4 Samovar, Porter, dan Stefani. 1998. Communication Between Cultures Third Edition. Belmont. Wadsworth. Hal 56 57

Etika dan Filsafat Komunikasi | Etika Multikulturalisme di Indonesia

Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpim Oleh Hikmat Permusyawaratan Perwakilan, serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila secara jelas menuliskan bahwa Republik Indonesia hidup ditengah masyarakat yang multikultural, baik dari segi agama, suku, bahasa, ras, dan budaya, yang maka dari itu disatukan dalam bunyi setiap silanya, baik itu KeMaha Esaan Tuhan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan dan Keadilan Sosial. Maka sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak keberagaman yang sudah ada jauh sebelum kita sebagai individu ini ada (lahir). Namun konsep Multikulturalisme itu bisa berjalan dengan baik ketika masyarakat sudah mampu memahami Etika beragama dan keberagaman yang hidup di Indonesia dengan baik pula. Selagi pemeluk agama masih berkutat pada ritus ritus keagamaan mereka dan tidak mau membuka mata terhadap realitas keberagaman yang ada, maka cukup sulit menumbuhkan pemahaman multikultural pada masyarakat. Padahal seharusnya, dengan mempelajari ajaran agama dengan sungguh sungguh maka akan timbul pemahaman yang baik tentang konsep keberagaman, karena setiap agama sebenarnya diakui sebagai sumber moralitas dan etika sosial yang tinggi sehingga masing masing agama dilihat dari perspektif multikultural sebenarnya sepaham dan mendukung nilai nilai yang tertuang dalam Pancasila6. Dalam hal ini, Masyarakat mesti paham bahwa keberagaman dalam pandangan multikulturalisme adalah unsur terpenting dari kehidupan sosial yang terbuka dan demokratis7. Sehingga etika keberagaman dapat diterima secara sehat dan terbuka sebagai jalan keluar menghadapi permasalahan bangsa terutama yang berkaitan dengan isu agama yang secara terus menerus mencederai rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa. Multikulturalisme adalah penegasan bahwa keberagaman adalah fakta natural kehidupan duniawi yang berakar pada pandangan bahwa keberagaman sebagai hal terpenting dalam kehidupan tersebut. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Pustaka Cholil, Suhadi (ed). 2008. Resonansi Dialog Agama dan Budaya. Jogjakarta. CRCS UGM. Karyono, Ribut. 2003. Fundamentalisme Dalam Kristen Islam. Jogjakarta. Kalika. Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Satu Tuhan Seribu Tasfir. Jogjakarta. Kanisius. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta. Ar Rush Media Samovar, Porter, dan Stefani. 1998. Communication Between Cultures Third Edition. Belmont. Wadsworth. Yaqin, M Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Jogjakarta. Nuansa Aksara

6 7

Cholil, Suhadi (ed). 2008. Hal. 53 Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Satu Tuhan Seribu Tasfir. Jogjakarta. Kanisius.

Etika dan Filsafat Komunikasi | Etika Multikulturalisme di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai