Anda di halaman 1dari 31

WISATA DESA PANCASILA :

TOLERANSI SOSIAL MASYARAKAT DI DESA BALUN


LAMONGAN

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Penilaian Mata Kuliah
Dimensi Sosial Budaya Pariwisata

Oleh:

Ahmad Mahbub Junaidi


20/467814/PMU/10420

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara multikultural dengan keberagaman agama, ras,
dan kelompok masyarakat (SARA). Sejak berdirinya Negara Indonesia, para
founding fathers sadar terhadap keberagaman bagsa ini, Keberagaman
merupakan kekayaan bangsa yang sangat mahal dan harus diterima, diakui, dan
dihormati (Lubis, 2010). Indonesia di kenal juga sebagai negara yang majemuk
dengan terdapat 6 agama besar yang telah di akui oleh pemerintah serta
kepercayaan berupa animisme dan dinamisme yang masih di pegang teguh oleh
masyarakat. Selain itu, kondisi geografis yang terdiri atas berbagai pulau
membuat lebih dari 1.331 suku dan 652 bahasa adat yang berbeda-beda
mendiami Indonesia (Statistik, 2010).
Keberagaman adalah nilai tertinggi bagi suatu bangsa jika berjalan secara
harmonis, namun jika keberagaman menjadi permusuhan (negasi) tentu akan
berdampak terhadap perpecahan atau disintegrasi sosial yang berujung terhadap
persatuan bangsa (Huda, 2019). Indonesia mengakui dan menjamin kebebasan
beragama, berserikat, dan berkumpul yang tertuang dalam Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 29, akan tetapi tidak ada jaminan terciptanya perdamaian
sosial. Kondisi Indonesia yang majemuk memang sangat rentan dan berpotensi
untuk menciptakan kesalahpahaman dan prasangka negatif yang merupakan
pemicu utama terjadi konflik (Rozi, 2019).
Perbedaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak boleh dihilangkan
karena merupakan salah satu identitas dan aset bangsa (Sholahudin, 2010).
Ironisnya, konflik berlatar belakang suku, agama, ras, antar golongan masih
terjadi dan menelan banyak korban jiwa, kerugian ekonomi, hingga dampak
psikologi dan sosial berupa kerukunan satu sama lain terganggu, contoh kasus
terkait SARA diantaranya : (1) Konflik antar suku di Sampit pada tahun 2001, (2)
Konflik antar agama di Ambon tahun 1999 yang mengakibatkan kerusuhan dan
kerukunan antar umat beragama memanas hingga waktu cukup lama, (3) Konflik
etnis antara pribumi dan Tionghoa yang dipicu krisis moneter saat tumbangnya
era orde lama, (4) Konflik antar golongan dan pemerintah (GAM, RMS, dan
OPM), hingga yang terjadi saat ini (5) Kasus penistaan agama Islam oleh mantan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang sudah diproses oleh pihak
berwajib dan menggerakan umat islam untuk aksi bela Islam 212 tahun 2016.
Konflik atas nama agama sering diasumsikan sebagai pembawa konflik
terbesar. Agama menempati ruang antara perbedaan bawaan dan perolehan,
yaitu agama dapat diwarisi dari generasi penerus ke generasi selanjutnya serta
dapat dikembangkan melalui kepercayaan pribadi (Wekke, 2010). Faktanya
sebagian besar kepercayaan agama diwarisi secara kolektif daripada
dikembangkan secara individual, menjadikan penerimaan agama sebagai
sesuatu yang penting untuk kesejahteraan dan harmoni manusia (Zuan, 2013).
Fenomena konflik atas nama agama berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2019 bahwa tingkat toleransi di Indonesia
sangat memprihatinkan. Intoleransi ditandai dengan konflik horizontal antar etnis,
agama, ras, dan antar kelompok dalam masyarakat dengan kegiatan anarkis,
perusakan rumah ibadah serta pengusiran kelompok agama minoritas (Damanik,
2019). Laporan The Wahid Institute bahwa sepanjang tahun 2019 terdapat 192
kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan 276 tindakan. Wilayah
kekerasan agama lima besar adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
Banten dan Aceh. Oleh karena itu, toleransi antar umat beragama harus selalu di
galakan (Wahid, 2019).
Toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama merupakan sikap atau
tindakan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda atau tidak
dapat diterima oleh mayoritas dalam masyarakat (Nisawa, 2018). Model toleransi
dapat berupa pola yang dikembangkan masyarakat dalam relasi sosial-
keagamaan dengan penerapan sikap sabar, peduli, gotong royong dan
bijaksana. Interpretasi konsep toleransi terdapat dua macam, yaitu interpretasi
toleransi negatif dan interpretasi positif toleransi (Mulkhan dalam Widyawati,
2019). Interpretasi toleransi dapat dimaknai pertama bahwa toleransi hanya
membutuhkan cukup untuk membiarkan dan tidak merugikan orang atau
komunitas lain (Muridjal, 2010). Sedangkan tafsir yang kedua tentang toleransi
dapat diartikan bahwa toleransi tidak sekedar membiarkan atau merugikan orang
lain, tetapi membutuhkan pendampingan dan dukungan untuk keberadaan orang
lain dalam masyarakat. Toleransi dalam kehidupan masyarakat merupakan
kebutuhan dan harus dilestarikan. Adanya toleransi dapat melepaskan
hambatan-hambatan yang terjadi pada kelompok sosial tertentu baik atas nama
agama, suku, rasa tau lainnya. Toleransi dapat membangkitkan semangat
persaudaraan untuk saling melindungi kepentingan pribadi dan kelompok selama
tidak menggangu.
Ditengah hangatnya isu SARA yang terus beredar di Indonesia, terdapat
sebuah desa di Lamongan yang senantiasa hidup rukun dan damai meskipun
desa tersebut terdapat perbedaan agama selama berpuluh-puluh tahun. Di Desa
Balun terdapat tiga agama (Islam-Hindu-Kristen) yang hidup damai dan toleran
sehingga sering disebut dengan istilah “Desa Pancasila”. Julukan Desa
Pancasila sudah tersemat sejak lama berawal ketika Desa Balun ramai
dikunjungi oleh mahasiswa, peneliti, forum komunikasi umat beragama (FKUB),
dll, yang melihat bangunan masjid, gereja dan pura letaknya berdekatan
sehingga menjadi representatif “Bhinneka Tunggal Ika” yang ada di Pancasila.
Selain tercermin dari pendirian rumah ibadah yang letaknya berdampingan,
keharmonisan masyarakat desa terlihat dari berbagai aktivitas sosial dan
keagamaan. Warga Desa Balun memiliki kebiasaan dalam pergaulan, penerapan
tradisi lokal, hingga acara keagamaan. Budaya pluralisme yang terdapat di Desa
Balun berawal ketika Bapak Bati terpilih dan mulai menjabat sebagai kepala desa
tahun 1966. Bapak Bati merupakan tokoh kunci dalam lahirnya pluralisme di
Desa Balun yang dibuktikan dengan kehadiran agama Kristen dan Hindu yang
masuk dan berkembang sejak tahun 1967. Hingga saat ini, kedua agama
tersebut dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan agama Islam yang
merupakan agama asli masyarakat Desa Balun. Pluralisme dan nilai toleransi
yang telah tercipta dan diwariskan dari generasi ke generasi kini telah berubah
menjadi budaya yang terus dilestarikan disertai proses internalisasi nilai-nilai
terhadap kearifan lokal.
Kajian ini ingin mengungkap makna-makna yang terkandung dalam tolerasi
keharmonisan sosial masyarakat antar berbagai pemeluk agama yang ada di
desa. Upaya ini sangat bermanfaat untuk memperoleh pemahaman yang tepat
terkait unsur-unsur kearifan lokal sebagai faktor penentu dalam mewujudkan
budaya damai di tengah kemajemukan agama. Pemahaman tersebut tentunya
bermanfaat bagi wisatawan yang berkunjung sebagai pengalaman dan ilmu baru
sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tulisan ini,
penulis akan membahas bagaimana konstruksi dan model toleransi masyarakat
dengan fokus kerukunan sosial di Desa Balun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian
ini adalah:
A. Bagaimana konstruksi toleransi sosial masyarakat di Desa Balun
Lamongan?
B. Bagaimana model toleransi sosial masyarakat yang ada di Desa Balun
Lamongan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah:
A. Mengetahui konstruksi toleransi sosial masyarakat di Desa Balun
Lamongan.
B. Mengkaji model toleransi sosial masyarakat yang ada di Desa Balun
Lamongan.

1.4 Manfaat Penelitian


A. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya kajian
ilmu pengetahuan terkait toleransi sosial masyarakat. Selain itu, hasil dari
penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya
khususnya yang berminat meneliti terkait pluralisme dan budaya kearifan
lokal.
B. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ide
maupun sarana bagi civitas akademika yang memiliki ketertarikan terhadap
isu-isu berkaitan dengan toleransi dan kemajemukan.

1.5 Metode Penelitian


A. Jenis Penelitian
Penelitian kualitatif merupakan penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Menurut Sugiyono (2009),
penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang berlandaskan pada filsafat
positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel
sumber data dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan dengan
triangulasi, analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekan makna dari pada generalisasi. Proses dan makna
(perspektif subjek) lebih dikedepankan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus pada
penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian
dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian kualitatif
peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan
penjelas, dan berakhir dengan suatu teori. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan
eksploratif secara bersamaan dengan harapan dapat memecahkan
masalah dalam penelitian tentang toleransi sosial masyarakat yang
berlangsung di Desa Balun Lamongan.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan
potensi kerukunan umat beragama yang sudah terjalin di desa, sering
dikunjungi oleh wisatawan (peneliti, mahasiswa, pemerintah, forum
komunikasi masyarakat beragama, masyarakat sipil dll) serta menjawab
dari rumusan permasalahan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
November hingga Desember 2020.
C. Sumber Data
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi dan
wawancara. Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau
pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk kompilasi ataupun dalam
bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui narasumber atau responden.
Responden merupakan orang pilihan untuk dijadikan objek penelitian atau
orang yang dijadikan sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data.
Untuk mendapatkan data primer, maka peneliti mengumpulkan data
dengan cara observasi dan wawancara serta di dukung dengan
pengambilan gambar oleh penulis secara langsung terhadap objek hasil
pengamatan yang ada di lapangan.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan secara
langsung dari sumbernya. Data sekunder mengacu pada informasi yang
dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Sumber data sekunder adalah
catatan atau dokumentasi perusahaan, publikasi pemerintah, analisis oleh
media, situs website, internet dan seterusnya. Untuk mendapatkan data
sekunder, maka peneliti mengumpulkan data melalui situs website, buku,
jurnal, profil desa, dan lain-lain.
D. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti melakukan observasi dan wawancara sebagai bentuk dari
jenis penelitian kualitatif. Teknik ini diperlukan dalam hal pengumpulan data
di lapangan sehingga penelitian ini nantinya diharapkan berjalan dengan
lancar.
a) Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri-ciri yang
spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain. Teknik pengumpulan
data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan
perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang
diamati tidak terlalu besar. Dari segi proses pelaksanaan pengumulan data,
observasi dapat dibedakan menjadi participant observation (observasi
berperan serta) dan non participant observation, selanjutnya dari segi
instrumentasi yang digunakan, maka observasi dapat dibedakan menjadi
observasi terstruktur dan tidak terstruktur. (Sugiyono, 2009).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi non
participant, maka dalam observasi non participant peneliti tidak terlibat dan
hanya sebagai pengamat independen. Peneliti melakukan observasi
terhadap toleransi yang dilakukan oleh anggota masyarakat, adat istiadat
yang ada di desa, serta akulturasi budaya dari tiga agama yang berada di
Desa Balun Lamongan.
b) Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data penelitian. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa interview (wawancara) adalah suatu kejadian atau proses interaksi
antara interviewer (pewawancara) dan sumber informasi atau orang yang
interviewee (diwawancarai) melalui komunikasi secara langsung untuk
mendapatkan sebuah fakta atau informasi. Dapat pula dikatakan bahwa
wawancara merupakan proses komunikasi berupa percakapan face to face
(tatap muka) antara pewawancara dengan summber informasi, dimana
pewawancara bertanya langsung tentang sesuatu objek yang diteliti dan
telah dirancang sebelumnya. (Yusuf, 2014).
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara langsung di Desa
Balun Lamongan dengan sumber informasi dari tokoh masyarakat yang
terdiri dari: Bapak Sutrisno selaku pemuka agama Kristen, Bapak Suwito
pemuka agama Islam serta Adi Wiyono pemuka agama Hindu atau
mewakili, serta warga masyarakat guna mendapatkan informasi secara
langsung berupa fakta pluralisme dengan nilai toleransi yang ada di Balun
serta realitas kondisi sosial masyarakat dalam berkebudayaan dan
menjaga adat istiadat.
c) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
memperoleh informasi dari bermacam-macam sumber tertulis atau
dokumen yang ada pada responden atau tempat, dimana responden
bertempat tinggal atau melakukan kegiatan sehari-harinya. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara
dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan hasil yang lebih kredibel dan
dapat dipercaya (Purnomo, 2015).
Data dokumentasi yang didapat oleh peneliti berasal dari sumber
buku tertulis seperti buku, majalah ilmiah, dokumen-dokumen manajemen
bencana, dokumen upaya kesiapsiagaan serta berbagai dokumen-
dokumen milik Desa Balun Lamongan.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan usaha yang dilakukan penulis dalam
pemilahan data, pengorganisasian data, kemudian pengolahan data. Pola
yang dimiliki data tersebut dicari hingga ditemukan bagian penting dari data
yang kemudian dituliskan dalam buku maupun karya-karya ilmiah.
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2007), mengemukakan
bahwa aktivitas analisis data kualitatif dengan teknik triangulasi dilakukan
secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, hingga
datanya jenuh. Aktivitas tersebut adalah pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Langkah-langkah analisis data
sebagai berikut:
a) Pengumpulan Data
Pengumpulkan data di lokasi penelitian dengan melakukan observasi,
wawancara, dan dokumentasi dengan menentukan strategi pengumpulan
data yang dipandang tepat dan untuk menentukan fokus serta pendalaman
data pada proses pengumpulan data berikutnya.
b) Reduksi Data
Reduksi merupakan proses seleksi, pemfokusan, pengabstrakan,
transformasi data kasar yang ada di lapangan dan diteruskan pada waktu
pengumpulan data, dengan demikian reduksi data dimulai sejak penulis
memfokuskan wilayah penelitian.
c) Penyajian Data
Penyajian data adalah rangkaian organisasi informasi yang
memungkinkan penelitian dilakukan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian
data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dalam penelitian ini
peneliti paparkan dengan teks yang bersifat naratif dan dirancang guna
menggabungkan informasi yang tersusun sehingga mudah dipahami.
d) Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan awal memiliki rangkaian hasil yang bersifat
sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan saat
mengumpulkan data maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan mungkin dapat
menjawab rumusan masalah tetapi mungkin juga tidak karena dalam
penelitian kualitatif rumusan masalah masih bersifat sementara dan akan
berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Siklus analisis interaktif
data ditunjukkan dalam bentuk skema berikut:
Gambar 1.1 Bagan Komponen Analisis Data Model Interaktif
Sumber : disunting penulis, 2020
Implementasi sesuai siklus analisis di atas, yaitu memulai dengan
tahapan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan observasi dan wawancara di Desa Balun, proses dokumentasi
tentunya tidak dapat dipisahkan dari tahapan ini. Tahapan yang dilakukan
selanjutnya berupa pengolahan dan pengerjaan data. Proses ini
diberlakukan reduksi data yaitu suatu proses seleksi dan pemfokusan data
sehingga wilayah penelitian semakin terarah. Selain itu, dari tahapan
pengumpulan data yang telah diolah dapat ditarik suatu penyajian data
yang bersifat ilmiah. Penyajian data dielaborasikan dengan reduksi data
menghasilkan suatu kesimpulan dan dipadankan kembali dengan data
pada waktu awal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Desa Balun


Desa Balun merupakan desa kecil yang terletak di Kabupaten Lamongan
bagian tengah, tepatnya berjarak 6 km dari Kecamatan Turi, dan 4 km dari pusat
pemerintahan Kabupaten Lamongan. Kabupaten Lamongan secara umum terdiri
dari masyarakat homogen, namun ada beberapa desa di Lamongan yang terdiri
dari masyarakat heterogen salah satunya Desa Balun dengan keragaman agama
yang berbeda-beda. Kondisi masyarakat heterogen dengan tiga agama yang
berbeda dalam satu desa akan jarang dijumpai di wilayah Kabupaten Lamongan,
sebab Lamongan termasuk salah satu wilayah dengan sejarah penyebaran Islam
oleh Sunan Drajat. Terbukti masifnya pendidikan dengan basis pondok pesantren
khususnya di daerah pesisir yang ditandai dengan santri dan berkembangnya
pondok pesantren salaf maupun modern di Lamongan (Barir, 2015)
Sejarah Desa Balun erat kaitannya dengan situs makam yang ada di Desa
Balun, makam tersebut merupakan makam Mbah Alun yang dihormati sebagai
leluhur oleh penduduk asli Desa Balun dan sekitarnya. Mbah Alun atau Raden
Sin Arih merupakan Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih,
bergelar Raja Tawang Alun I, lahir pada 1574 M di Lumajang, anak dari Minak
Lumpat yang merupakan keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya).
Mbah Alun belajar mengaji di Kedaton Giri di bawah asuhan Sunan Giri IV
(Sunan Prapen), kemudian kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan Islam
sebelum menjadi Raja Blambangan. Mbah Alun menjadi Raja Blambangan
bergelar Sunan Tawang Alun I pada 1633-1639 M, setelah mengalahkan Mas
Kriyan dan mendapatkan restu dari Panembahan Sidengrono Kedaton Giri.
Selama pemerintahannya, Sunan Tawang Alun I mendapat serangan dari
Mataram sekitar tahun 1636-1639 M sehingga Sunan Tawang Alun I
menyelamatkan diri ke barat (pesisir pantai utara Lamongan).
Sunan Tawang Alun I di tempat persembunyiannya mengajarkan Islam
hinggga ke daerah Bonorowo. Sunan Tawang Alun I wafat pada usia 80 tahun
(1654 M). Sunan Tawang Alun I menyembunyikan identitasnya sebagai seorang
raja, Raden Sin Arih lebih dikenal dengan nama belakang dari gelar Kerajaan
Tawang Alun I sehingga dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden
Alun (Raden Sin Arih) saat ini disebut Mbah Alun. Desa Balun merupakan nama
desa yang diambil dari nama Mbah Alun (Raden Sin Arih), tempat
persembunyian dan wafatnya Mbah Alun.
Desa tempat makam Mbah Alun tersebut, kemudian disebut Desa Mbah
Alun dan kini menjadi Desa Balun di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan.
Pengabdian Mbah Alun terhadap masyarakat setempat dengan mengajarkan
Islam menjadi bagian dari sejarah Desa Balun. Menurut Suwito selaku pemuka
Agama Islam di Balun, menyebutkan bahwa “situs makam Mbah Alun merupakan
makam bersejarah berdirinya Desa Balun dan sebagai seorang yang dimuliakan,
makam Mbah Alun rutin dikunjungi oleh peziarah dari penduduk Desa Balun dan
sekitarnya yang biasa ramai pada Jumat Kliwon”.
2.2 Satu Desa “Tiga Tuhan” : Sejarah Masuknya Tiga Agama di Balun
Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada abad ke-11 M, kisaran
tahun 475 H/1082 M, yang dibuktikan dengan Makam Fatimah binti Maemun di
lereng Gresik (Supriyadi, 2008) Tanda sudah adanya permukiman Islam di Pulau
Jawa pada abad ke-14, yakni ditemukannya batu-batu nisan yang bertarikh 1349
Masehi di Desa Troloyo (Trowulan). Ini membuktikan bahwa pada zaman
pemerintahan Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, sudah ada
kelompok Islam yang hidup bercampur dengan masyarakat di sekelilingnya yang
masih beragama Hindu atau Buddha ataupun penganut kepercayaan animisme-
dinamisme. Kemudian bukti lain keberadaan permukiman Islam di Jawa Timur
pada kisaran abad ke-15 ialah ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim (822
H/1419 M) di kompleks makam Pusponegoro, Gresik (Nasir dalam Ulum, 2019).
Pada abad ke-14 M, Lamongan merupakan wilayah kekuasaan Majapahit.
Kebudayaan Hindu telah menyebar ke seluruh wilayah Lamongan, terutama
wilayah bagian selatan, yakni wilayah Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Bluluk.
Berdasarkan prasasti yang ada, Kerajaan Majapahit membagi wilayah Lamongan
dalam dua wilayah, yakni Bluluk di bagian selatan-barat dan Tenggulunan di
bagian utara-timur yang menjadi jalur perekonomian Kerajaan Wengker-
Majapahit. Sekalipun Bluluk dan Tenggulunan menjadi daerah kekuasaan
Wengker-Majapahit, namun intensitas hubungan dan pengaruh Hindu di
Tenggulunan tidak sekuat di Bluluk. Terbukti pengaruh Islam di wilayah utara
timur Lamongan lebih kuat dibandingkan dengan wilayah selatan-barat (Bapeda
Lamongan dalam Ulum, 2019).
Perkembangan Islam sampai ke Balun bermula saat Mbah Alun atau Mbah
Sin Arih Raja Blambangan (Sunan Tawang Alun I) datang ke wilayah utara
Kabupaten Lamongan, desa yang terdapat makam Mbah Alun tersebut kemudian
dikenal dengan sebutan Desa Mbah Alun, kini disebut Desa Balun (Chambali,
2010). Menurut Suwito, “konon Mbah Alun mengamalkan ajaran Islam, seperti
mengaji dan pengetahuan tentang agama Islam sehingga banyak yang mengikuti
ajaran Mbah Alun dan menjadi agama mayoritas di Desa Balun”.
Suwito menuturkan bahwa “kedatangan Mbah Alun membawa pengaruh
signifikan dan perubahan besar dengan mengajarkan Islam sehingga dapat
diterima masyarakat, Mbah Alun menyesuaikan diri dengan masyarakat
setempat agar dapat diterima dan banyak warga yang mengikutinya, tanpa
menimbulkan konflik”. Masyarakat Desa Balun, sebelum Mbah Alun datang,
menganut aliran kepercayaan yang merupakan kepercayaan orang Jawa
(kearifan lokal) dan pengaruh Kerajaan Majapahit yang kental dengan
kebudayaan Hindu-Buddha.
Menurut Adi Wiyono, seorang pemuka Hindu di Desa Balun, “sekitar tahun
1965 M masyarakat Balun masih ada yang menganut aliran kepercayaan”. Baru
setelah peristiwa G30S/PKI, pemerintah menganjurkan agar pengikut aliran
kepercayaan beralih ke agama yang diakui oleh negara. Sebagian dari mereka
kemudian beralih memeluk Hindu, sebagian lainnya memilih Islam dan Kristen.
Peralihan tersebut merupakan ketertarikan yang sifatnya pribadi atas
agama-agama yang diakui oleh negara. Hindu berkembang secara perlahan-
lahan melakukan peribadatan di rumah para pemuka agama. Hindu yang ada di
Desa Balun, tidak menimbulkan ketegangan di dalam masyarakat, bahkan
perlahan pemeluk Hindu mengalami pertambahan dan mulai berkembang
dengan membangun tempat ibadah sederhana dari tanah desa yang tidak jauh
dari masjid dan gereja. Setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai
pada akhirnya dibangun Pura.
Pada 1967, menurut Sutrisno, seorang pemuka Kristen di Desa Balun
“Kristen masuk ke Desa Balun, dibawa oleh Mbah Bati yang waktu itu menjabat
kepala desa”. Mbah Bati, warga asli Balun yang sebelumnya beragama Islam,
kemudian tertarik mempelajari ajaran Kristen hingga dibaptis di Gereja Kristen
Jawi Wetan Lamongan. Mbah Bati ialah seorang TNI yang ditugaskan di luar
Jawa, kemudian kembali ke Desa Balun pada saat peristiwa G30S/PKI. Mbah
Bati dianggap berjasa mengamankan Desa Balun, kemudian menjadi kepala
desa hingga banyak yang mengikutinya.
Agama Kristen kemudian berkembang karena pada masa itu aliran-aliran
kepercayaan menyesuaikan diri dengan agama-agama yang diakui negara.
Sebagian dari aliran kepercayaan ada yang memilih ke Kristen karena mengikuti
kebaikan dan balas budi kepada Mbah Bati sebagai pemimpin Desa Balun pada
masa itu. Aliran kepercayaan sebagian besar memutuskan memilih Hindu karena
ritual dan ajaran yang tidak jauh berbeda. Ada juga yang mengikuti Islam yang
merupakan agama mayoritas penduduk desa.
Sebelum gereja dibangun, tempat peribadatan sudah ada namun masih
sederhana berada di dekat rumah Mbah Bati. Pemeluk Kristen, kemudian
membangun gereja di tanah yang kebetulan berdekatan dengan masjid.
Pendirian dan pembangunan gereja tidak lepas dari peran masyarakat secara
umum dan pemeluk Kristen serta pemerintah, baik berupa dukungan maupun izin
pembangunan dari pihak agama-agama lain.
Keberadaan Kristen dan pembangunan gereja tidak lantas menimbulkan
konflik. Dalam perkembanganya Kristen di Desa Balun tidak dipermasalahkan
oleh pemeluk agama lain, bahkan justru memberikan warna baru seperti taman
bunga yang menjadi identitas keberagaman. Pemeluk Kristen, memang tidak
sebanyak Islam sebagai agama mayoritas, namun tidak lantas membeda-
bedakan. Demikian juga dengan pemeluk Hindu yang lebih sedikit dibandingkan
Kristen. Seluruh masyarakat desa saling menghormati satu sama lain.
Perjumpaan Islam, Hindu, dan Kristen di Desa Balun merupakan dinamika
kebudayaan yang memuat nilai toleransi pada masyarakat Desa Balun. Sikap
yang saling menghormati pada gilirannya membentuk suatu struktur kebudayaan
pada masyarakat, sehingga kedatangan dan perkembangan agama-agama di
Desa Balun tidak menuai konflik dan diskriminasi. Perkembangan yang terjadi
justru menunjukkan adanya pembentukan suatu ideologi masyarakat multikultural
disebut “Desa Pancasila” yang mencerminkan kerukunan masyarakat. Tradisi
sosial budaya yang toleran dalam masyarakat Balun tidak lepas dari tradisi awal
(tradisi jawa) dan transformasi budaya luar (Islam, Hindu, Kristen). Artinya tradisi
sosial budaya yang ada di Balun terlah bercampur dari ragam budaya yang
masuk, sehingga lambang atau identitas masyarakat. Semisal “sarung” yang
merupakan simbol Islam di Balun menjadi identitas budaya bagi semua agama.
2.3 Budaya Toleransi pada Masyarakat Desa Balun
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan dan tindakan
manusia sebagai produk manusia dalam kehidupan masyarakat
(Koentjaraningrat, 2009). Kebudayaan juga didefinisikan sebagai perilaku nyata
berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan dan norma-norma yang telah menjadi
perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat (Syarbani & Rusdiyanta, 2013)
Menurut Parekh (2000) Kebudayaan merupakan keyakinan dan pandangan yang
dibentuk oleh masyarakat mengenai nilai-nilai yang mengatur kehidupan baik
individu maupun kolektif. Kebudayaan merupakan sebuah sistem nilai-nilai yang
tercipta secara historis atau sebuah sistem keyakinan dan praktik pada manusia
yang memahami, mengatur, dan menstrukturkan kehidupannya baik secara
individu maupun kolektif.
Suatu nilai budaya merupakan konsep-konsep yang ada dalam pikiran dan
penting dalam kehidupan sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman
yang memberi orientasi kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2009). Seperti
halnya nilai toleransi yang memuat makna kerukunan yang diyakini oleh
masyarakat Desa Balun sebagai pedoman dalam kehidupan sosial. Nilai
toleransi pada gilirannya membentuk perilaku (sikap toleransi) sebagai ekspresi
dari pandangan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat yang menjadi norma
dalam kehidupan. Menurut Parekh (2000) kebudayaan dapat diartikulasikan
dalam tiga tingkatan; pada tingkatan paling awal, budaya direfleksikan dalam
bahasa termasuk cara-cara sintaksisnya untuk mendeskripsikan dunia. Hal ini
merupakan ciri umum budaya, ketika individu maupun kelompok menggunakan
bahasa dalam interaksi dan memahami dunia. Pada tingkatan kedua, budaya
direfleksikan dalam bentuk seni maupun sastra. Berikutnya pada tingkatan
ketiga, kebudayaan diartikulasikan sebagai norma-norma yang mengatur
hubungan sosial dan aktivitas dasar manusia dengan memperhatikan struktur
dan tatanan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Sikap masyarakat Desa Balun tentu mengakar dalam aktivitasnya yang
mengatur perilaku sosial (pranata sosial) sebagai suatu struktur kebudayaan.
Artinya, toleransi tersebut memiliki nilai sosial bagi kerukunan masyarakat Desa
Balun dan mengandung komitmen moral, sehingga toleransi dianggap begitu
penting peranan dalam mengikat kerukunan dan tempatnya dalam keragaman
masyarakat Desa Balun.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Konstruksi Toleransi Sosial Masyarakat di Desa Balun


Menurut Berger (1967), proses konstruksi masyarakat terdiri dari tiga
momen, di antaranya melalui eksternalisasi, masyarakat adalah produk manusia;
melalui objektivasi, masyarakat menjadi kenyataan sui generis; melalui
internalisasi, manusia adalah produk masyarakat. Proses konstruksi pada
toleransi masyarakat di Desa Balun dengan kenyataan heterogentitas
masyarakat yang beragam, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang
terbentuk dalam proses terus-menerus. Hal ini dilihat berdasarkan gejala-gejala
sosial maupun aktivitas sehari-hari masyarakat sebagai suatu pengalaman.
Pengalaman yang tersirat dalam aktivitas masyarakat merupakan pengalaman
intersubjektif, dari kesadaran umum ke kesadaran individu.
3.1.1 Internalisasi: Proses Penyerapan atas Nilai-Nilai Toleransi
Internalisasi adalah pengambilan kembali oleh manusia dari realitas
objektif, mengubahnya lagi menjadi struktur kesadaran subjektif (Berger,
1967). Proses internalisasi merupakan suatu pemahaman atas peristiwa
objektif sebagai pengungkapan suatu makna manifestasi dari proses-
proses subjektif orang lain dan menjadi bermakna secara subjektif bagi diri
sendiri (Berger & Luckmann, 1966). Proses internalisasi merupakan upaya
individu menangkap dan menafsirkan pengetahuan objektif melalui
sosialisasi. Pengetahuan yang diserap oleh setiap individu dengan
kapasitas dan imajinasi pemahaman masing-masing.
Dalam proses internalisasi terdapat dua bentuk sosialisasi yaitu
sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi
pertama yang dialami individu pada masa anak-anak. Sedangkan
sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengakibatkan
individu sudah disosialisasikan ke dalam sektor baru dunia objektif
masyarakat. Pandangan tersebut, relevansinya dengan terbentuknya kultur
toleransi kerukunan antarumat beragama masyarakat Desa Balun, bahwa
dalam kenyataan hidup sehari-hari masyarakat terdapat proses kesadaran
yang membentuk sikap alamiah masyarakat. Sikap alamiah yang terbentuk
pada masyarakat Desa Balun, tentunya tidak lepas dari nilai-nilai yang
diwariskan oleh Mbah Alun sebagai sosialisasi primer dan pengaruh Mbah
Bati selaku Kepala Desa Balun pertama sebagai sosialisasi sekunder.
Sosialisasi primer itulah yang menciptakan sikap alamiah pada
masyarakat Desa Balun, sementara sosialisasi sekunder dipengaruhi oleh
peranan Mbah Bati sebagai Kepala Desa Balun pertama dan berjumpanya
ketiga agama berbeda. Nilai-nilai toleransi muncul setelah Mbah Bati
memberikan kebebasan bagi warganya untuk memilih keyakinannya sesuai
dengan agama yang diakui oleh negara. Hal ini menjadi pengakuan atas
perbedaan agama dan bentuk perlakuan setara atas keragaman agama
pada masyarakat Desa Balun. Aliran kepercayaan dan Islam berjumpa
dengan Kristen dan Hindu yang lahir dari masyarakat Desa Balun sendiri.
Proses internalisasi atas nilai-nilai toleransi tersebut tidak terlepas
dari pengaruh kultural yang menjadi warisan budaya masyarakat Desa
Balun. Nilai-nilai toleransi pada gilirannya menjadi suatu tatanan (struktur)
sosial masyarakat Desa Balun. Masyarakat mengimplementasikan
kesadaran atas keragaman dengan sikap saling menghormati dan
menerima perbedaan. Nilai-nilai tersebut diinternalisasikan oleh
masyarakat menjadi bentuk toleransi.
3.1.2 Obyektivasi: Proses Pembentukan Budaya Toleransi
Objektivasi adalah pencapaian oleh produk-produk dari aktivitas
manusia (Berger, 1967). Manusia dalam kehidupannya dihadapkan pada
lingkungan tertentu dengan suatu tatanan budaya dan sosial yang spesifik
yang dihubungkan dengannya melalui perantaraan orang-orang
berpengaruh yang merawatnya (Berger & Luckmann, 1966). Toleransi
kerukunan antarumat bergama sebagai bentuk dari nilai-nilai kebudayaan
masyarakat merupakan tatanan sosial Desa Balun sebagai produk dari
masyarakat yang berlangsung secara terus-menerus, diproduksikan
melalui perantaraan pemuka agama, pemerintah desa, dan masyarakat
yang mewarisi tradisi. Toleransi kerukunan antarumat beragama pada
masyarakat Desa Balun, merupakan bentuk dari nilai-nilai toleransi yang
menjadi suatu tatanan atau struktur sosial masyarakat.
Tatanan sosial tersebut terjadi dalam proses tindakan atau aktivitas
masyarakat yang mengalami proses pembiasaan (habitualisasi), setiap
aktivitas yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola
kuhidupan. Aktivitas yang telah dijadikan kebiasaan, mempertahankan
sifatnya yang bermakna bagi individu. Demikian tatanan sosial masyarakat
Desa Balun merupakan suatu pola kehidupan dari kebiasaan (habitualisasi)
rasa saling menghormati dan menerima perbedaan, pengakuan atas
perbedaan agama dan bentuk perlakuan setara atas keragaman agama,
menjadi sebuah pemahaman toleransi yang memuat makna-makna sosial
dan komitmen moral sebagai tindakan masyarakat.
Proses pembiasaan tersebut mendahului setiap pembentukan atau
pelembagaan (institutionalization), pelembagaan terjadi tipifikasi (proses
identifikasi atau penyusunan konstruksi sosial) dan berlangsung dari
aktivitas-aktivitas yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Tipifikasi
aktivitas yang telah dijadikan kebiasaan itu membentuk lembaga-lembaga
yang merupakan milik bersama. Lembaga-lembaga tersebut selalu
mempunyai sejarah yang menghasilkan mereka, karena fakta
eksistensinya mengendalikan perilaku dengan membuat pola-pola yang
telah didefinisikan.
Pembentukan atau disebut pelembagaan tersebut terjadi melalui
proses pembiasaan dan tipifikasi yang berlangsung dalam aktivitas
masyarakat Desa Balun, dapat dilihat dalam aktivitas maupun kegiatan
keagamaan. Salah satunya, kegiatan kenduri (kenduren) yang merupakan
aktivitas keagamaan umat Muslim dalam doa. Umat Muslim Desa Balun
ketika mengadakan kenduri (kenduren) selalu mengundang para
tetangganya yang menganut agama lain (Kristen dan Hindu). Dengan
demikian, ini memuat suatu nilai-nilai toleransi, menjadi tipifikasi dan masuk
sebagai peranan agama lain dalam kegiatan keagamaan yang
mengandung nilai sosial.
Suatu kumpulan aktivitas yang ditipifikasi secara timbal-balik,
dijadikan kebiasaan oleh masyarakat Desa Balun dan masing-masing
kelompok komunal dalam berbagai peranan. Pembiasaan dan tipifikasi
dalam kehidupan bersama akan menjadi lembaga-lembaga historis, yang
artinya kebiasaan tersebut mengalami historisitas dalam kegiatan
keagamaan masyarakat Desa Balun yang secara turun-temurun dilakukan
hingga memperoleh bentuk atau sifatnya sebagai objektivitas pada
masyarakat.
Masyarakat (society) merupakan perkumpulan kelompok atau
komunitas yang memiliki fungsi bersama. Masyarakat menggambarkan
realitas sui generis yang terbentuk dari interaksi-interaksi dan komunikasi
antarmanusia (Martono, 2011). Proses pelembagaan dilewati melalui
proses pembiasaan sebagai suatu norma sosial yang dikenal, diakui, dan
dihargai, serta ditaati dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Balun.
Selanjutnya, norma-norma tersebut diinternalisasikan oleh masing-masing
individu dalam masyarakat.
Toleransi kerukunan antarumat beragama sebagai pola perilaku
masyarakat Desa Balun merupakan objektivitas yang dibuat dan dibangun
oleh masyarakat. Melalui nilai-nilai toleransi yang diinternalisasikan dalam
aktivitas individu maupun kelompok, kemudian memperoleh sifat
objektifnya sebagai bentuk sikap toleransi. Perilaku dan sikap toleransi
merupakan bentuk objektivasi dari nilai-nilai kebudayaan yang disepakati
bersama dalam suatu masyarakat yang menjadi kebudayaan masyarakat
(Syarbaini & Rusdiyanta, 2013)
Nilai-nilai toleransi dalam masyarakat Desa Balun merupakan
dinamika yang menggerakkan perilaku dan aktivitasnya yang telah
dilembagakan. Pelembagaan tersebut menandai situasi kerukunan pada
keragaman masyarakat, pelembagaan merupakan aktivitas masyarakat
yang diobjektivasi sebagai tindakan sosial. Nilai-nilai toleransi tersebut
tersimpan dalam ingatan masyarakat dan secara sosial diobjektivasi
sebagai suatu perangkat kebenaran yang berlaku umum mengenai
kenyataan hidup (Berger & Luckmann, 1966).
Pengalaman-pengalaman yang tersimpan pada ingatan manusia
kemudian mengendap, artinya tersimpan dalam ingatan sebagai entitas
yang bisa dikenal dan diingat kembali. Pengendapan pengalaman tersebut
merupakan tipifikasi mengenai toleransi kerukunan pada keragaman
masyarakat Desa Balun. Hal ini diperoleh selama sosialisasi berlangsung
sebagai perangkat kebenaran yang berlaku umum dari nilai-nilai toleransi
yang diinternalisasikan dalam kesadaran individu atas struktur sosial yang
diobjektivasi.
Pelembagaan merupakan objektivasi “tingkat pertama”, selanjutnya
objektivasi “tingkat kedua” disebut legitimasi. Legitimasi menghasilkan
makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna
yang telah diberikan kepada proses-proses kelembagaan. Fungsi legitimasi
adalah membuat objektivasi “tingkat pertama” yang sudah dilembagakan
menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif.
Legitimasi menjelaskan tatanan kelembagaan dengan memberikan
penekanan kognitif kepada makna-maknanya yang sudah diobjektivasi.
Sikap alamiah pada masyarakat Desa Balun, merupakan suatu
warisan budaya yang melekat pada kondisi masyarakat. Kondisi tersebut
tentunya memuat nilai-nilai pada masyarakat, kemudian diinternalisasikan
sebagai suatu bentuk toleransi. Nilai-nilai tersebut mengalami historisitas,
menjadi pengalaman-pengalaman yang tersimpan pada ingatan manusia,
kemudian mengendap sebagai kebiasaan masyarakat. Kebiasaan-
kebiasaan masyarakat memperoleh bentuknya dalam perilaku sehari-hari
yang saling menghormati, yang pada gilirannya dilegitimasi sebagai
budaya toleransi.
Tipifikasi aktivitas yang merepresentasikan nilai-nilai toleransi,
kemudian dijadikan kebiasaan masyarakat yang pada gilirannya
membentuk sikap toleransi sebagai struktur sosial masyarakat Desa Balun.
Bentuk toleransi tersebut merupakan aktivitas masyarakat yang
diobjektivasi sebagai tindakan sosial, objektivasi tersebut pada gilirannya
dilegitimasi masyarakat sebagai budaya toleransi. Artinya, nilai-nilai
toleransi tersebut mendapatkan bentuknya sebagai budaya toleransi yang
diekspresikan masyarakat Desa Balun dalam aktivitas sehari-hari maupun
kegiatan keagamaan.
3.1.3 Eksternalisasi: Toleransi Sebagai Bentuk Ekspresi Masyarakat
Eksternalisasi adalah pencurahan manusia yang berkelanjutan ke
dunia untuk menemukan dirinya sendiri, kemudian mengekspresikan
dirinya ke dunia sekitarnya (Berger, 1967). Nilai-nilai yang membentuk
perilaku toleransi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Balun
merupakan ekspresi diri sebagai kenyataan yang dipahami oleh
masyarakat dan memiliki makna bagi masyarakat Desa Balun. Kenyataan
hidup sehari-hari atau kerukunan antarumat beragama pada masyarakat
Desa Balun, merupakan dunia yang berasal dari pikiran dan aktivitas
masyarakat yang dipelihara (Berger & Luckmann, 1966).
Entitas yang membentuk masyarakat dalam imajinasi manusia
adalah produk dari masyarakat sebagai makna yang dieksternalisasikan ke
dalam aktivitas manusia (Berger, 1967) Individu-individu maupun kelompok
pada masyarakat Desa Balun mengekspresikan nilai-nilai toleransi tersebut
dalam interaksi sosial, pada gilirannya membentuk budaya toleransi yang
disepakati bersama. Kenyataan hidup sehari-hari masyarakat Desa Balun,
tampaknya sudah diobjektivasi atau dibentuk oleh sikap alamiah yang
sudah ada melalui warisan sejarah Mbah Alun, lalu diinternalisasikan oleh
masyarakat sebagai nilai-nilai toleransi yang dipengaruhi peran pemuka
agama dan pemerintah desa, pada gilirannya diekspresikan dalam bentuk
perilaku toleransi yang disepakati bersama pada keragaman masyarakat.
Perilaku sebagai ekspresi pengetahuan manusia mampu
mengadakan objektivasi dan memanifestasikan diri dalam produk-produk
aktivitas manusia. Melalui distribusi pengetahuan dalam kehidupan sehari-
hari, dari individu berjumpa dengan pengetahuan yang tersebar dalam
masyarakat, dimiliki secara berbeda oleh individu-individu dengan tipenya
yang berbeda-beda. Baik individu maupun kelompok tersebut dari
pengalaman-pengalaman hidup par excellence atau pengetahuan yang
didapat secara subjektif membentuk objektivasi dan proses eksternalisasi,
yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi serta memungkinkan
bentukan-bentukan sosio-kultural (Berger & Luckmann, 1966).
Baik setiap individu maupun kelompok dapat melakukan ekspresi
masing-masing atas pengetahuan subjektifnya dari pengalaman hidup.
Masing-masing individu atau kelompok masyarakat Desa Balun memiliki
pengalaman dan historis yang berbeda-beda. Ekspresi tersebut terbentuk
secara alamiah dan disosialisasikan dalam aktivitas masyarakat maupun
interaksi sosial, dari proses sosialisasi tersebut masing-masing individu
saling mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga membentuk suatu tatanan
sosial. Toleransi kerukunan sebagai bentuk ekspresi atas nilai-nilai leluhur
pada masyarakat Desa Balun dapat dijumpai melalui simbol-simbol dan
interaksi sosial sebagai bagian dari proses sosial masyarakat.
Simbol-simbol yang merepresentasikan toleransi pada keragaman
masyarakat Desa Balun, dapat dilihat melalui istilah atau sebutan sebagai
“Desa Pancasila” yang tertulis di gapura masuk desa, kemudian bangunan
tempat ibadah masing-masing agama yang berdiri berdampingan, serta
makam Mbah Alun yang melekat dengan tradisi ziarah, merupakan simbol
atas toleransi kerukunan antarumat beragama. Aktivitas masyarakat Desa
Balun dalam kesehariannya berjalan normal seperti halnya masyarakat di
tempat lain yang bersifat homogen. Warga saling berinteraksi
(serawungan) tanpa membeda-bedakan identitas yang melekat pada
masing-masing individu. Warga saling memahami perbedaan yang ada
bukan untuk dibedakan, melainkan untuk saling dihormati.
3.2 Model Toleransi Antara Berbagai Keyakinan di Desa Balun
Model toleransi merupakan pola yang dikembangkan masyarakat dalam
relasi sosial-keagamaan yang memiliki perbedaan keyakinan dan tradisi sosial
keagamaan. Budaya toleransi antar umat beragama terbangun dengan sangat
baik di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Tempat ibadah
megah (Masjid, kuil, dan gereja) dibangun berdampingan. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat beberapa model (pola) yang dibangun oleh masyarakat Balun
dalam hubungan sosial keagamaan antar keberagaman keyakinan. Agar lebih
praktis, hal tersebut diungkapkan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 1: Model Deskripsi Toleransi Beragama Lintas Agama
No Model Toleransi Deskripsi
1 Pluralistik Pejabat Desa Konstruksi pola ini adalah pembagian kekuasaan
dengan merangkul dan memberikan ruang yang sama
bagi semua kelompok di desa, tanpa ada diskriminasi
oleh mayoritas umat Islam terhadap minoritas Hindu-
Kristen. Upaya ini bertujuan untuk menjaga
keharmonisan desa sebagai tanggung jawab
bersama.
2 Multikultural pertemuan Konstruksi pola ini untuk memberi ruang bagi tradisi
(Kenduri) sosial keagamaan secara inklusif tanpa memandang
latar belakang keyakinan. Ritual ini lazim dilakukan
dalam tahapan kehidupan manusia, mulai
mengandung, melahirkan, berizin, menikah, dan
meninggal, dengan mengundang seluruh warga dari
tiga agama (Islam, Hindu, dan Kristen) yang dipimpin
oleh tokoh agama. Misalnya dalam tahlilan (doa
selamat untuk almarhum, bagi umat Islam) tetangga
beragama Kristen ikut membantu dan menghadiri
acara tersebut.
3 Multikultural Keluarga Konstruksi pola ini adalah struktur keluarga "satu
rumah tiga Dewa". Ini adalah satu keluarga dalam satu
rumah tetapi ada pemeluk agama yang berbeda
(Islam, Kristen, dan Hindu). Bangunan keluarga
multikultural yang berasal dari tradisi perkawinan beda
agama yang tidak dilarang tetapi juga tidak dianjurkan
dalam masyarakat Balun. Tradisi pindah agama dalam
keluarga adalah hal biasa dan tidak pernah
bertentangan. Berdasarkan Pak Sutrisno pola ini
didasarkan pada pedoman, “untukmu agamamu,
untuk kami agama kami”. Jadi kami menjalankan
ibadah kami sendiri.
4 Inklusif Dakwah Konstruksi pola ini adalah mengajak manusia untuk
selalu berbuat baik dan mencegah orang berbuat jahat
secara santun dan memahami doktrin-doktrin agama
yang substantif dengan menekankan pada persamaan
daripada perbedaan di antara ketiga agama tersebut,
demikian dakwah ketiganya. agama tidak pernah
menyinggung atau menghujat doktrin agama lain,
semua orang memahami nilai doktrin agama secara
bermakna dengan prinsip “untukku agamaku dan
untukmu agamamu”.
5 Multikultural Makam Pembangunan pola ini agar areal pemakaman desa
menjadi tempat pemakaman seluruh warga tanpa
mempedulikan agamanya.
Sumber : Diolah Pribadi, 2020
Toleransi antar umat beragama terbangun dengan baik dan kuat karena
ada beberapa faktor pendukung yang melatarbelakangi. Hasil penelitian
diperoleh beberapa faktor paradigma bahwa agama bersifat inklusif-substantif.
Menurut Pak Suwito (tokoh agama Islam), konsep non-Yahudi-Muslim bukan
pada wujud fisik orang yang berbeda keyakinan, melainkan pada tingkah laku
masyarakat. Artinya selama non muslim itu baik dan tidak mengganggu muslim
maka tidak boleh mengganggu non muslim (kristen-hindu) bahkan harus
dihormati atau dilindungi. Sebagai penguat, Bapak Sutrisno (tokoh agama
Kristen) “nganut kuwi yowes dadi urusane dewe-dewe, ojo dipeksone agamo
nang wong liyo” (menganut agama itu urusannya sendiri, jangan memaksakan
agama kepada orang lain).
Kedua, kebijakan politik demokrasi inklusif. Kebijakan ini dijalankan dengan
sistem distribusi kekuasaan di antara perangkat keagamaan desa yang berbeda.
Semua kelompok (Islam-Kristen-Hindu) diberi posisi dalam struktur pemerintahan
desa. Konsep ini bertujuan untuk membangun keharmonisan masyarakat,
sehingga menghindari potensi konflik dan jika ada potensi konflik maka pihak
desa dapat memberikan penyuluhan atau dapat mencegahnya terlebih dahulu
(Garden, 2006).
Ketiga adalah hubungan sosial budaya yang inklusif. Hubungan sosial
agama yang terbangun dalam masyarakat Balun sangat mengapresiasi
perbedaan. Misalnya, umat Islam sangat mengapresiasi umat Hindu yang
merayakan Hari Raya Nyepi dengan mengumandangkan Adzan Sholat tanpa
pengeras suara. Pada bulan puasa, umat Hindu mengubah ibadah malam
menjadi ibadah siang hari agar tidak bentrok dengan tadarus Al-Qur'an, umat
Islam mengucapkan selamat ketika hari raya Nyepi dan Natal, umat Hindu dan
Kristen membantu kelancaran ibadah Idul Fitri dan Idul Adha, memberikan
daging kambing pada saat Idul Adha kepada umat Hindu, pandangan tentang
halal-haram atas makanan yang disajikan dalam kegiatan melibatkan komponen
masyarakat (Ritual wiwit, nyapar, megengan dan slametan 7,40,100 & 1000
orang meninggal), pelibatan semua komponen masyarakat dalam peringatan hari
besar nasional (PHBN).
Keempat, tradisi perkawinan beda agama. Praktik kawin beda agama
dalam masyarakat Balun tidak tabu, dan bisa diterima di masyarakat.
Konsekuensi dari praktik ini adalah maraknya pergantian agama (murtad) yang
dianggap wajar. Menurut Pak Suwito, perkawinan beda agama bisa terjalin satu
ikatan kekeluargaan yang menganggap masih “dulur (kerabat)” meski beda
agama. Sehingga tidak mungkin meremehkan, memusuhi, menghina antar
keluarga meski berbeda agama. Kondisi ini menunjukkan bahwa perkawinan
beda agama, walaupun dalam perspektif agama (Islam) masih mubah
(mempertanyakan) atau haram, secara sosiologis menunjukkan bahwa
perkawinan beda agama dapat menjadi katalisator bagi perkembangan toleransi
masyarakat multikultural di Indonesia.
Berikut merupakan gambaran kondisi heterogen yang dialami masyarakat
di Desa Balun Lamongan:
Tabel 2. Tipologi Keluarga Multi Agama di Balun
No Deskripsi
Nenek beragama Hindu, ayah ibu beragama Islam, anak beragama Islam,
anggota keluarga lain beragama Kristen
Nenek beragama Hindu, ayah ibu Islam, anak beragama Islam, paman
1
beragama Kristen
Nenek beragama Hindu, ayah ibu Islam, anak beragama Islam, pakde
2
beragama Kristen
Ayah ibu beragama Islam, anak beragama Islam, anggota keluarga lain
beragama Kristen atau Hindu
Ayah ibu beragama Islam, anak pertama beragama Islam, pakde beragama
1
Kristen
Ayah ibu beragama Islam, anak kedua beragama Islam, paman beragama
2
Hindu
Nenek Beragama Kristen, ayah ibu beragama Islam, anak beragama Islam atau
Hindu
Nenek beragama Kristen, ayah ibu beragama Islam, anak pertama
1
beragama Islam
Nenek beragama Kristen, ayah ibu beragama Islam, anak kedua beragama
2
Hindu
Kakek nenek beragama Kristen, orang tua (ayah ibu) beragama Islam, anak
beragama Islam, anggota keluarga lain beragama Hindu
Kakek nenek beragama Kristen, orang tua (ayah ibu) beragama Islam, anak
1
beragama Islam, bibi-paman beragama Kristen
Kakek nenek beragama Kristen, orang tua (ayah ibu) beragama Islam, anak
2
beragama Islam, satu pakde beragama Hindu
Kakek nenek beragama Kristen, orang tua (ayah ibu) beragama Islam, anak
3
beragama Islam, satu paman beragama Hindu
Sumber : Desa Balun Lamongan, 2020
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
A. Budaya toleransi pada masyarakat Desa Balun dibentuk dari konstruksi
nilai-nilai toleransi yang diinternalisasikan masyarakat sebagai sikap
alamiah, yang mengandung arti dan makna dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Hal-hal itu kemudian mengendap di dalam ingatan melalui
aktivitas dan kegiatan keagamaan yang saling mempertemukan tiga agama
hingga pada akhirnya menjadi kebiasaan perilaku masyarakat dalam
kehidupan keseharian. Kebiasaan masyarakat tersebut merupakan bentuk
toleransi yang mempunyai muatan makna sosial dan tersirat komitmen
moral yang begitu penting perannya dalam kerukunan antarumat beragama
masyarakat Desa Balun.
B. Model (pola) yang dibangun oleh masyarakat di Balun untuk menjaga
tradisi toleransi: Pertama, “Multikultural Kenduri / Ngaturi”, misalnya
merayakan acara daur hidup (Kehamilan, Kelahiran, dan Kematian) serta
mendapatkan rejeki atau momen-momen penting (hari kemerdekaan,
puasa, hajatan) dengan mengadakan hajatan yang dipimpin oleh pemuka
agama dengan ritual doa dengan sesaji makanan dan bisa menjadi hajatan
“berkat (makanan)”, dengan mengundang warga tanpa memandang latar
belakang agama (Islam-Kristen-Hindu). Kedua, dengan memiliki "Keluarga
Multikultural", misalnya, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan
kerabat yang berbeda agama, tinggal serumah sebagai satu keluarga.
Ketiga, "Perangkat Desa Multikultural", misalnya, aparat pemerintah desa
berasal dari semua kelompok agama yang ada (Islam-Kristen-Hindu).
Keempat, Dakwah Inklusif, adalah cara mengajak orang untuk berbuat baik
dan memperingatkan orang agar tidak berbuat jahat secara santun,
bertoleransi, menghormati dan menghargai kelompok budaya dan / atau
agama yang berbeda dengan prinsip mencari kesamaan, dari pada
memperdebatkan perbedaan slogan lakum dinukum waliyaddin dan laa
ikraha fiddin. Kelima, Taman Makam Multikultural, yaitu areal pemakaman
desa ditempatkan di lokasi yang sama tanpa memandang perbedaan
agama. Pembangunan pola ini agar areal pemakaman desa menjadi
tempat pemakaman seluruh warga tanpa mempedulikan agamanya.

4.2 Saran
A. Budaya toleransi dan kerukunan agama yang terjadi di Balun Lamongan
dapat dioptimalkan menjadi desa wisata budaya dengan penguatan
branding “Desa Pancasila”. Hal tersebut sangat baik untuk refleksi
terhadap kondisi negara saat ini bahwa sering terjadi konflik sosial yang
mengatasnamakan suku, agama, ras dan kelompok masyarakat (SARA).
Dengan mengunjungi Desa Balun diharapkan kesadaran dan pemahaman
wisatawan akan kebhinekaan yang ada di Indonesia semakin tinggi dan
mendapatkan wawasan baru untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari.
B. Toleransi yang sudah terjalin di Desa Balun patut untuk dilestarikan, selain
itu desa yang memiliki kasus yang hampir sama dengan Desa Balun dapat
mencontoh dan mempraktikkan untuk kelangsungan kehidupan sosial
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai