TUGAS Diajukan Untuk Memenuhi Penilaian Mata Kuliah Dimensi Sosial Budaya Pariwisata
Oleh:
Ahmad Mahbub Junaidi
20/467814/PMU/10420
PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2020 I. PENDAHULUAN Pariwisata merupakan kegiatan yang menimbulkan berbagai dampak ekonomi, sosial dan budaya. Desa wisata saat ini dapat dikatakan sebagai suatu fenomena sosial budaya yang sedang berkembang terutama di kawasan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di Kabupaten Sleman muncul paradigma baru untuk mengembangkan pariwisata di dalam desa mereka sendiri dengan melibatkan warga. Tahun 2011 di Sleman terdapat 32 desa wisata yang dibagi menjadi 6 jenis desa wisata, yaitu (1) desa wisata budaya (2) desa wisata pertanian (3) desa wisata kerajinan (4) desa wisata fauna (5) desa wisata merapi (6) desa wisata pendidikan, desa wisata Brayut masuk dalam kategori desa wisata budaya. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi. Data yang disajikan merupakan data kualitatif. Hasil wawancara terdapat dua faktor yaitu: komersialisasi dan menjadi pialang budaya. Dalam penelitian menunjukkan bahwa „Desa Wisata‟ muncul akibat gejala sosial budaya yang berkembang dua dasawarsa terakhir. Desa wisata masih dipertimbangkan sebagai sesuatu „yang diinginkan‟ atau yang „seharusnya‟ ada . Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kekurangan yang ada terkait perspektif dampak ekonomi dari pariwisata. Hal menarik dalam penelitian ini adalah penggunaan isitlah respon ekonomi, bukan dampak ekonomi. Definisi yang dibangun tentang respon ekonomi adalah pola-pola parilaku atau aktivitas tertentu di kalangan sejumlah warga masyarakat yang ditunjukan untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau keuntungan finansial dan material, yang muncul terutama sebagai tanggapan atas tumbuh dan berkembangnya aktivitas kepariwisataan di sekitar mereka. Dari definisi tersebut menggambarkan bawah warga masyarakat dipandang sebagai pelaku (aktor) utama dalam pembangunan pariwisata di Brayut. Long (1977:129) mengenai model economic man, model ini merupakan respon masyarakat terhadap pariwisata berdasarkan hasil pemilihan dan pengambilan keputusan berkenaan dengan perilaku baru dengan sadar dan rasional. Asumsi pertama adalah pelaku berhak menentukan apa yang ingin dilakukan dan hal-hal yang akan diputuskan. Kedua, pelaku mempunyai beberapa kemungkinan dapat memilih semuanya, dapat mengkonseptualisasikan hasil yang dipilihnya dari berbagai kemungkinan. Ketiga, pilihan yang tersedia harus dipahami oleh perilaku serta dilihat sebagai pilihan yang „mutually exclusive‟ namun tetap sebanding (comparable). Keempat beberapa alternatif yang tersedia setidaknya dapat dirangking oleh pelaku atas dasar „some notion preferences’. II. DUSUN BRAYUT SELAYANG PANDANG Dusun Brayut terletak di Kelurahan Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Porvinsi D.I.Yogyakarta”. Brayut berada di lokasi yang strategis karena dilalui jalan raya kabupaten yang melewati dusun, sehingga akses masuk ke Brayut sangat muda. Disebelah selatan dusun Brayut terdapat sebuah SMU Negeri sedangkan sebelah barat terdapat sebuah SMP Negeri. Adanya dua sekolah ini membuat dusun Brayut ramai oleh anak-anak sekolah. Dusun Brayut mempunyai 3 buah rumah joglo terletak dibagian selatan, tengah dan utara desa. Mayoritas warga masyarakat Brayut 50% berprofesi sebagai petani, dan sisanya karyawan swasta, pensiunan, pedagang, dan pegawai negeri sipil. Hasil pertanian yang ada di Brayut adalah padi, jagung, dan palawija. Petani Brayut umumnya adalah orang-orang tua, sedangkan anak-anak mudanya lebih menginginkan menjadi pegawai negeri atau bekerja dikantoran. III. ASAL-MULA DAN PERKEMBANGAN “DESA WISATA BRAYUT” Perubahan dusun Brayut dari sebuah desa pertanian menjadi sebuah desa wisata terjadi melalui proses yang cukup panjang. Gagasan desa wisata dilakukan oleh Budi Utomo pada tahun 1990 dengan tidak sadar melakukan pembelajaran bahasa Indonesia dengan cara rekreasi di desa sambil praktik bahasa Indonesia. Budi Utomo merupakan lulusan Fisipol UGM yang kemudian menjadi dosen di AKINDO dan mengajar di beberapa lembaga pendidikan bahasa Indonesia di Turi, Sleman. Ketika menjadi dosen Budi sering mengajari bahasa Indonesia kepada wisatawan mancanegara, bahkan tidak jarang wisatawan diundang untuk berkunjung ke desa sebagai salah satu cara terbaik untuk mempraktekkan bahasa Indonesia yang telah dipelajari. Budi juga mengajak para turis untuk melakukan kegiatan pertanian dan menginap di Brayut dengan tujuan untuk merasakan suasana desa di Jawa. Dengan cara live in dan mengikuti aktivitas warga maka bahasa Indonesia lebih muda diajarkan ke wisatawan mancanegara. Apa yang dilakukan oleh Budi diketahui oleh pak Sudarmadi ketua Karangtaruna di Brayut, pada akhirnya pak Sudarmadi tertarik dan ikut bergabung. Budi menempatkan beliau di bagian divisi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, mengingat pengalaman pak Sudarmadi yang sudah tidak perlu diragukan lagi. Pada waktu itu warga Brayut sudah bisa menerima kehadiran wisatawan asing yang dibawa Budi, namun masyarakat kurang tertarik terhadap wisata alternatif di Yayasan Ani-Ani (Yayasan yang didirikan oleh Budi). Tahun 2001 pemerintah kabupaten Sleman membentuk forum komunikasi desa wisata dan pak Sudarmadi masuk dalam divisi promosi. Akhirnya mereka mengadakan sebuah acara yang dihadiri langsung oleh kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, dimeriahkan dengan festival kudapan 77 jenis makanan dengan bahan utama ketela pohon (singkong) di rumah joglo desa Brayut. Upaya untuk membuat desa wisata Brayut berkembang maka dibentuklah pengurus desa wisata yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara serta divisi konsumsi. Waktu itu pengurus desa wisata langsung menjalin kerjasama dengan pemilik tour and travel lingkup regional atau nasional guna mendatangkan wisatawan ke desa wisata Brayut. Masyarakat Brayut menggunakan rumah pribadi sebagai homestay dengan tujuan untuk penunjang dan promosi desa wisata, serta menyediakan kudapan (snack) dan kuliner kepada wisatawan. Atraksi wisata yang dikembangkan antara lain: sepatu bathok, egrang, membatik, menangkap ikan, pertanian (membajak, tanam padi), menanam pohon, karawitan, dan tari klasik dll. Gempa di Yogyakarta tahun 2006 membuat jumlah wisatawan yang berkunjung ke dusun Brayut menurun drastis. Jumlah wisatawan kembali naik pada tahun berikutnya ketika datang wisatawan dari Bina Nusantara (Binus) Jakarta untuk menginap beberapa hari, serta 16 orang wisatawan mancanegara dari Wisma Bahasa. Pada tahun 2009-2011 dusun Brayut mendapatkan dana dari PNPM Mandiri yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas desa wisata dan SDM diantaranya: perbaikan homestay, pengadaan fasilitas penunjang atraksi dan akomodasi wisata, pelatihan bahasa Inggris, pelatihan kuliner, pelatihan tata cara menata kamar, dan pelatihan sanitasi. Selain dari PNPM desa wisata Brayut juga mendapatkan dana dari program KKN dari berbagai universitas di Yogyakarta. Perkembangan desa wisata Brayut hingga seperti saat ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan masyarakat. Namun, pengurus merasakan kegaiatan promosi terutama untuk mendatangkan wisatawan belum maksimal. Upaya yang dilakukan pengurus untuk promosi desa wisata diantaranya adalah menyelenggarakan turnamen bola voli secara rutin, promosi menggunakan website untuk wisatawan mancanegara akan tetapi website tersebut jarang diperbaharui isinya, serta bekerjasama dengan tour and travel dan pemerintah. IV. PERKEMBANGAN WISATAWAN DI DUSUN BRAYUT Perkembangan kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun di desa wisata ternyata mengalami peningkatan sangat besar antara “300-500” orang/tahun. Jika diamati kedatangan wisatawan setiap bulannya ternyata sangat bervariasi, dan tidak menunjukkan keteraturan yang cukup jelas. Namun, hal ini bisa disimpulkan kunjungan wisatawan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Faktor lain dapat dilihat dari menigkatnya kesibukan masyarakat dan pengelola wisata di sepanjang tahun serta meningkatnya pendapatan masyarakat yang diperoleh dari para tamu. Motivasi wisatawan datang ke Brayut sangat beragam. Wisatawan yang terdiri atas anak-anak TK atau Play Group datang untuk outbond bersama orang tua, berjalan mengitari desa untuk mengakrabkan hubungan anak-orang tua, memupuk rasa kebersamaan dan bermain bersama. Wisatawan yang terdiri atas anak-anak sekolah umumnya menyukai permainan-permainan seperti berjalan dengan kaki diikat bersama, berjalan bersama menggunakan bakiak besar, atraksi wisata di sawah mulai dari membajak hingga menanam padi. Kegiatan pertanian juga banyak disukai wisatawan mancanegara serta kegiatan kesenian seperti karawitan, membatik dan menari menjadi daya tarik utama berwisata di dusun Brayut. V. “MENJUAL ATRAKSI WISATA” : KOMERSIALISASI BUDAYA Komersialisasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris “to commerce” yang artinya berdagang atau jual beli. Komersialisasi bisa diartikan perdagangan positif dan negatif. Komersialisasi kesenian dan pendidikan dalam konteks pembicaraan ini tidak dimaknai sebagai positif atau negatif, tetapi ada gejala sosial-budaya yang muncul dan memungkinkan komersialisasi tumbuh dalam masyarakat. Jika diperhatikan dari sisi sejarah maka tujuan awal mulanya Budi menggunakan desa Brayut untuk sarana mengajarkan Bahasa Indonesia kepada wisatawan mancanegara, tetapi kegiatan sehari-sehari di desa Brayut melahirkan nilai ekonomi yang bisa dijual. Pada saat itulah terjadi Komersialisasi budaya yaitu proses pengubahan suatu unsur budaya dari sesuatu yang tidak mempunyai nilai guna menjadi suatu komoditas atau sesuatu yang layak dan laku dijual. Terdapat beberapa atraksi wisata desa Brayut yang sebenarnya sudah ada dari dulu dan tidak dimaksudkan untuk dijual ke wisatawan, misalnya belajar karawitan, belajar tari tradisional, belajar membatik, dan atraksi jatilan. A. “Pelatihan Pertanian”: Komersialisasi Kegiatan Bertani di Sawah Kegiatan pertanian yang dilakukan di desa Brayut dianggap hal yang biasa oleh masyarakat, tapi bagi wisatawan kegiatan pertanian dianggap sesuatu yang baru karena mereka belum pernah melihat hal tersebut sebelumnya. Misalnya membajak sawah dengan menggunakan bajak yang ditarik sapi, menanam bibit-bibit padi dilahan yang disiapkan, memanen padi dengan menggunakan ani-ani merupakan hal baru yang layak untuk dinikmati wisatawan. Petani yang dipinjam lahannya, praktik bertani yang dilakukan para wisatawan memberikan beberapa keuntungan, antara lain kegiatan pertanian lebih cepat terselesaikan karena dibantu oleh wisatawan yang berkunjung, menghemat tenaga, para petani mendapat kenalan baru atau relasi baru, serta yang terakhir adalah para petani memperoleh tambahan penghasilan. B. “Genduri”: Komersialisasi Tradisi Genduri atau kenduri dalam bahasa jawa kenduren kadang juga disebut slametan adalah sebuah upacara makan bersama yang diselenggarakan dalam rangka merayakan atau memperingati suatu peristiwa penting. Genduri biasanya dilakukan pada malam hari diikuti oleh para pria yang merupakan tetangga dekat, teman dan sanak saudara lalu mereka duduk bersila diatas tikar, membentuk lingkaran mengelilingi sajen (sajian) berupa nasi tumpeng yang setelah doa dinikmati secara bersama-sama. Genduri menggambarkan aspek kebersamaan terlihat ketika para warga desa Brayut duduk bersama sambil makan dan ngobrol. Bentuk kebersamaan tersebut yang dijual oleh pengelola kepada wisatawan. VI. PENGINAPAN DAN PARKIR : KOMERSIALISASI RUANG A. Penginapan (Homestay): Komersialisasi Kamar Dalam tradisi masyarakat jawa, orang datang ke desa untuk berkunjung kesanak famili yang ada di desa biasanya sekaligus menginap karena terdapat tawaran untuk menginap. Namun, bagi orang yang berkunjung ke desa dan tidak ada keluarga maka akan menginap di rumah kepala desa, karena kepala desa atau lurah mempunyai kewajiban untuk menampung orang asing yang datang tanpa harus membayar bahkan ketika tamu meninggalkan desa tuan rumah tidak jarang memberikan oleh-oleh. Oleh karena itu, Menyewakan kamar untuk tamu merupakan gejala budaya baru dalam masyarakat jawa. Untuk bisa menyewakan sebuah homestay di Brayut, pengurus desa memberikan beberapa persyaratan antara lain kondisi fasilitas yang tersedia, kesiapan pemilik rumah dalam melayani dan memberikan perhatian kepada tamunya, dan yang paling penting adalah kebersihan. Usaha homestay di Brayut menjadi usaha yang menguntungkan untuk masyarakat. Satu malam menginap pengelola desa bisa memperoleh Rp 60.000, dana tersebut tidak sepenuhnya menjadi hak pemilik homestay tetapi beberapa persennya akan diberikan kepada biro perjalanan yang membawa wisatawan ke Brayut dan juga ke kepala desa. Parkir : Komersialisasi Lahan Kendaraan yang digunakan oleh wisatawan ternyata membutuhkan lahan untuk parkir. Agar kendaraan yang di bawa wisatawan tidak menggangu maka harus ada kompensasi atas gangguan yang ditimbulkan, hal inilah yang direspon oleh masyarakat. Kompensasi tersebut diwujudkan menjadi biaya parkir. Dengan demikian menjadi penghasilan baru bagi masyarakat, dan biaya parkir kendaraan ditetapkan oleh pengelolah desa wisata. Adapun tarif sepeda motor Rp. 2.000, mobil Rp. 5.000, dan bus sebesar Rp. 10.000. VII. Menjadi “Pialang Wisata” dan “Pialang Budaya Pengelola desa wisata Brayut menjadi perantara penyedia fasilitas pariwisata dan juga menjadi perantara penyedia atraksi wisata, terutama atraksi budaya seperti kesenian, permainan tradisional, tradisi dan sebagainya. Peran perantara wisata pernah dilakukan oleh pak Sudarmadi ketika jumlah wisatawan yang datang tidak mungkin ditampung di homestay yang ada di Brayut, sampai pada akhirnya pak Sudarmadi menghubungi desa yang mempunya kerjasama dengan Brayut yaitu desa Pentingsari. Hal tersebut dilakukan untuk tidak mengecewakan pelanggan, membiarkan pelanggan mencari sendiri tempat tinggal untuk berwisata serta sebagai layanan prima kepada tamu. Komentar 1 Konsistensi penulis menganai istilah dusun dan desa. Muncul pertanyaan terkait status Brayut merupakan dusun atau desa. 2 Penjelasan berkaitan dengan proses perubahan Brayut dari desa pertanian menjadi desa/dusun wisata serta perubahan masyarakat dari bertani menjadi masyarkat pariwisata apakah terjadi secara permanen atau sebenarnya tidak ada perubahan? Karena bertani menjadi pekerjaan utama pada masyarakat Brayut dan pariwisata merupakan pekerjaan sampingan. 3 Terdapat istilah broker budaya dalam abstrak penulisan. Apakah broker budaya ini sama dengan pialang budaya? Tetapi dalam hasil penelitian tidak dijumpai bagaimana pola prilaku broker budaya. 4 Penyebab atau faktor yang menyebabkan respon-respon ekonomi belum menyebar di seluruh kalangan penduduk di Brayut. 5 Hasil penelitian dapat dilihat dari sisi koneksi dimensi sosial dan budaya. Unsur sosial bisa dilihat bagaimana pola dan prilaku warga masyarakat Brayut dalam merespon ekonomi dan juga bisa dilihat dari awal membangun sebuah desa wisata mulai dari membentuk pengurus desa wisata, menjalin kerja sama dengan beberapa tour and travel. Stratifikasi sosial dilihat dari profesinya. masyarakat di Brayut lebih banyak yang bertani hingga mencapai 50%. Kesuksesan pengembangan desa wisata Brayut tidak lepas dari peran organisasi pengelola, relasi yang dibangun oleh beberapa pihak dimulai dari Budi Utomo yang berperan sebagai pengajar bahasa Indonesia, Sudarmadi yang memiliki pengalaman sebagai ketua Karangtaruna, Asbullah yang memiliki tour and travel, Jogja TV, dosen Askindo, dan putri pertama Sultan Hamengkubuwono X, yaitu Gusti Pembayun. Sehingga dari relasi teresbut terbentuk sebuah jaringan.