Oleh :
I Putu Mariana Adiputra
1191061004
Oleh
I.PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade, dominasi Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di
Indonesia tidak terbantahkan.Wisatawan yang berkunjung pun baik lokal maupun
mancanegara menjadikan Bali sebagai primadona pilihan wisata mereka.Hal ini disebabkan
oleh daya tarik budaya , tradisi dan panorama alam Bali yang sangat indah.Peluang ini tidak
disia – siakan oleh investor investor yang tertarik menanamkan modalnya di Bali. Ini
menjadikan industri pariwisata semakin berkembang dalam hal pembangunan infrastruktur
yang mengakibatkan kepadatan jumlah akomodasi terutama yang ada di Bali selatan. Tak
terhitung jumlah investor yang berkompetisi membangun hotel, villa atau resort di Bali demi
meraup keuntungan ditambah lagi tingkat kunjungan wisatawan yang meningkat dari tahun
ke tahun menyebabkan kepadatan aktivitas yang berdampak pada kemacetan transportasi ,
kriminalitas dan daya dukung lingkungan semakin berkurang.Perkembangan pariwisata Bali
yang mengarah pada pariwisata massal (mass tourism) ternyata juga menimbulkan
permasalahan lain yaitu masalah ketersediaan lahan untuk memenuhi keinginan para investor
tersebut. Banyak lahan mengalami alih fungsi menjadi lahan akomodasi pariwisata seperti
tanah persawahan beralih fungsi menjadi villa .Dengan semakin banyak pembangunan seperti
itu, tidak jarang para investor melakukan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka
dalam meraup keuntungan dari kegiatan pariwisata di Bali seperti melobi dengan segala cara
untuk mendapatkan ijin mendirikan akomodasi pariwisata sehingga tidak tertutup
kemungkinan eksploitasi berlebihan terhadap lahan yang ada dapat merusak lingkungan
sekitarnya. Sebagai contoh, pembangunan villa yang tidak memperhatikan fungsi lahan yang
dibangun ,misalnya untuk jalur hijau/ persawahan mampu mematikan sistem pengairan yang
sudah berjalan sehingga menyebabkan subak di Bali kekurangan air untuk
persawahannya .Dengan kurangnya tata kelola menyebabkan permasalahan tata ruang
menjadi masalah yang serius bagi pemerintah dan masyarakat Bali. Selain masalah
lingkungan yang dimunculkan ,minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan
pariwisata merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Seperti di ketahui
pembangunan infrastruktur pariwisata bersumber pada para investor yang tentu saja
melibatkan uang yang cukup besar dan hasilnya pun juga sebagian besar dinikmati dan
dilarikan oleh investor tersebut ke daerah bisnisnya yang lain dan masyarakat lokal hanya
menjadi penonton dan hanya bisa pasrah dengan keadaan yang semakin sulit.
Bali dengan segala keanekaragaman sosial budaya nya memiliki banyak desa dengan
karakteristik sosial , budaya dan alam lingkungan yang berpotensi dikembangkan menjadi
desa wisata yang menitik beratkan produk wisatanya pada konsep ekowisata berbasis
masyarakat.Salah satu desa wisata tersebut adalah desa wisata Kiadan yang berlokasi di
Pelaga, Kecamatan Petang ,Kabupaten Badung.Desa wisata ini menerapkan konsep
ekowisata dalam aktivitas pariwisata mereka dengan produk wisata alam pedesaan .Seiring
perkembangannya desa wisata Kiadan ini belum banyak dikenal di dunia pariwisata . Ini di
tunjukkan oleh tingkat kunjungan wisatawan masih jauh dari harapan yang sebelumnya di
targetkan hanya 30 wisatawan per hari(hasil observasi,2011).Keadaan seperti ini tentu sangat
ironis bila dibandingkan dengan usaha dan biaya yang dikeluarkan baik oleh pemerintah
daerah dan masyarakat di Kiadan sendiri.Permasalahan seperti ini ini umum dialami desa
wisata yang lainnya.Oleh sebab itu diperlukan pemikiran dan terobosan baru untuk
mendapatkan cara yang terbaik dalam memajukan desa wisata Kiadan pada khususnya dan
desa wisata yang ada di Bali pada umumnya dengan menganalisis kondisi pariwisata daerah
tersebut dan perkembangannya saat ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut , maka dalam hal ini permasalahan yang akan
dikaji dalam laporan ini adalah
III.KONSEP
Pariwisata alternatif didefinisikan sbg bentuk pariwisata yg konsisten dg nilai- nilai alam,
sosial & nilai- nilai masyarakat serta memungkinkan baik masyarakat lokal maupun
wisatawan utk menikmati interaksi yg positif serta bermanfaat serta menikmati pengalaman
secara bersama- sama (Eadington & Smith, 1992: 3).
3.2 Pengertian dan kriteria Desa wisata
Menurut Nurhayati, Wiendu(1993), desa wisata adalahsuatu bentuk integrasi antara atraksi,
akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas, baik berupa karakter
fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan,
yang dikelola dan dikemas secara menarik dan alami dengan pengembangan fasilitas
pendukung wisatanya, dalam suatu tata lingkungan yang harmonis dan pengelolaan
yang baik dan terencana sehingga siap untuk menerima dan menggerakkan
kunjungan wisatawan ke desa tersebut.
serta mampu menggerakkan aktifitas ekonomi pariwisata yang dapat meningkatkan
kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Menurut Ceballos- Lascurian, Hector ( 1993) dalam bukunya berjudul Tourism, Ecotourism
and Protected areas ,Ekowisata (ecotourism)adalah
Environmentally responsible travel and visitation to relatively undisturbed natural areas, in
order to enjoy and appreciate nature ( any accompanying cultural features-both past and
present) that promotes conservation, has low visitor impact and provide dor beneficially
active socio- economic involvement of local populations
Berdasarkan definisi di atas ekowisata adalah kunjungan atau perjalanan wisata yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan tanpa mengganggu alam sekitarnya denga tujuan
untuk menikmati dan menghargai alam yang mengedepankan konservasi alam , memiliki
dampak yang diakibatkan pengunjung rendah, dan adanya keterlibatan masyarakat lokal
secara aktif dan menguntungkan secara sosial ekonomi.
Menurut Cooper dan Wanhill (1993) dalam jurnal yang Patterns and Characteristics of the
Supply of Tourism. In Tourism Principles and Practice, ada 4 komponen yang mendasari
pengembangan suatu destinasi wisata yaitu Attraction, Acsessbility, Amenities, Anchilaries.
Namun dalam perkembangannya di Indonesia , ditambah 1 komponen yaitu Community
Involvement(keterlibatan masyarakat) karena pengembangan pariwisata di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari peran serta masyarakat lokal(Kuliah Geografi Pariwisata Semester 1 :
2011).Untuk yang lebih detailnya kelima komponen tersebut dapat dilihat pada penjelasan
berikut:
Attraction
Adanya daya tarik wisata merupakan modal awal sebuah pengembangan sebuah destinasi.
Daya tarik wisata merupakan alasan utama orang berkunjung ke suatu destinasi. Atraksi
wisata itu bisa berupa segala aktivitas yang unik yang ada pada suatu destinasi.
Accsessibility
Aksessibilitas yang dimaksud adalah kemudahan untuk mencapai suatu destinasi. Salah satu
bentuk aksessibilitas adalah sarana transportasi dan jalan. Dengan adanya suatu daya tarik
uatibaik dan juga sistem transportasi yang baik dan mudah didapat sehingga wisatawan yang
berkunjung tidak kecewa dan berpengaruh terhadap pelayanan.
Amenities
Amenities disini terkaitdengan penyediaan sarana akomodasi bagi wisatawan baik itu
pelayanan penginapan dan makanan serta minuman.Pelayanan ini bisa berbentuk hotel , villa,
homestay dan lain lain . Sedangkan pelayanan makanan dan minuman dapat berupa restoran,
pub, bar, dan lain lain
Anchilaries
Anchilaries di sini maksudnya adalah adanya perlindungan baik secara hukum maupun
kelembagaan terhadap keberadaan daya tarik wisata di suatu tempat yang dilakukan oleh
pemerintah dan bekerja sama dengan stake holder pariwisata yang lain.Salah satu contoh
adalah adanya PHRI sebagai organisasi yang menaungi hotel dan restaurant yang ada di
Indonesia.
Community Involvement
Menurut Doxey ( 1975) Index of irritations terdiri dari dari empat tahapan atau
fase yakni: Euphoria, Apathy, annoyance, dan antagonism. Metode ini lebih mengarah pada
analisis sosial yang mengukur dampak pariwisata dari sisi sosial dalam hal perubahan
perilaku masyarakat lokal terhadap kehadiran pariwisata di daerahnya.Adapun penjelasan
detail dari empat tahapan tersebut sebagai berikut :
(3) Phase berikutnya adalah Phase Annoyance dengan ditandai terjadinya kelesuan pada
pengelolaan destinasi mulai terasa atau dapat dikatakan mendekati titik jenuh. Para pemegang
kebijakan mencari solusi dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur tanpa berusaha
mengurangi jumlah wisatawan yang datang ke destinasi sehingga kedatangan wisatawan
dianggap sudah mengganggu masyarakat local.
(4) Phase yang terakhir dalam analisis Index of Irritation adalah Antagonism dimana
masyarakat local merasa telah terjadi gesekan social secara terbuka akibat kehadiran para
wisatawan dan wisatawan dianggap sebagai penyebab dari segala permasalahan yang terjadi
pada sebuah destinasi. Perencanaan pada destinasi dilakukan dengan melakukan promosi
untuk mengimbangi menurunnya citra destinasi.
Konsep Siklus Hidup Daerah Pariwisata atau yang lebih dikenal dengan Tourism
Area Life Cycle ( TALC) di kemukakan dan dipublikasi pertama kali oleh Richard W. Butler
tahun 1980.Pada tahun 2006 , Butler juga meluncurkan buku tentang konsep Tourism Area
Life Cycle ( TALC) yang berjudul Tourism Area Life Cycle ( TALC) Vol I : Applications
and Modifications yang merupakan edisi tentang aplikasi dari konsep tersebut.Konsep ini
memberikan pandangan mengenai tahapan perkembangan dari suatu destinasi wisata .Adapun
konsep Siklus Hidup Life Cycle (TALC) dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber : Hasil download tanggal 8 Juni 2012 di www. Ibtcl .co.uk/ Hypothetical evolution
of a tourist area ( Butler, 1980)
Dari gambar diatas dan pendapat dari Buttler( 1980) yang dikutip oleh Cooper dan
Jackson (1997) dapat dijelaskan bahwa tahapan perkembangan suatu destinasi wisata terdiri
dari:
1. Tahap exploration, yang berkaitan dengan discovery yaitu tempat sebagai potensi
wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata maupun pemerintah.
Biasanya jumlah pengunjung sedikit, wisatawan tertarik pada daerah yang belum
tercemar dan sepi, lokasinya sulit dicapai namun diminati oleh sejumlah kecil
wisatawan yang justru menjadi berminat karena belum ramai dikunjungi.
2. Tahap involvement yang diikuti local control biasanya oleh masyarakat lokal. Pada
tahap ini ada inisiatif dari masyarakat lokal, objek wisata mulai dipromosikan oleh
wisatawan, jumlah wisatawan meningkat dan infrastruktur mulai dibangun. Interaksi
antara wisatawan dan masyarakat lokal diharapkan lebih intens.
3. Tahap development, dimana pada tahap ini menunjukan adanya peningkatan jumlah
kunjungan wisatawan secara drastis, pengawasan oleh lembaga lokal adakala sulit
membuahkan hasil, ,masuknya sendiri industri pariwisata dari luar dan kepopuleran
kawasan wisata menyebabkan kerusakasn lingkungan alam dan sosial budaya
sehingga diperlukan campur tangan dan kontrol penguasa lokal maupun nasional.
6. Tahap Decline ditandai dengan destinasi wisata tidak mampu berkompetisi dengan
atraksi wisata baru lainnya, jumlah wisatawan yang berkunjung semakin
menurun.Keterlibatan masyarakat yang terlalu dominan,fasilitas pariwisata dapat
dibeli oleh investor dengan harga murah,hotel beralih fungsi sebagai
apartment,kondominium karena hotel menjadi kurang atraktif akibat wisatawan yang
sedikit.Intinya daerah pariwisata tersebut kehilangan fungsinya sebagi tempat wisata
7.Tahap Rejuvenation merupakan kebalikan dari tahapan decline ditandai dengan adanya
tambahan atraksi wisata baru buatan yang mampu menambah daya tarik
wisata,wisatawan yang berkunjung cendrung konstan. Daya saing sudah tidah
menjadi masalah utama karena keunikan daya tarik wisata yang dimiliki. Intinya
Destinasi wisata mampu mempertahankan fungsi dan kualitas sebagi daerah
pariwisata.
V.Metode Penelitian
Dalam paper penelitian ini, data sekunder yang bersumber dari publikasi media
merupakan sumber data utama dalam penelitian yang akan dianalisis. Pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara dan observasi. Selanjutnya data diatas akan dianalisis
menggunakan teknik analisis Index of Irritation (Doxey: 1975) dan konsep Tourism Area
Life Cycle (TALC) ( Buttler:2006) dalam buku Tourism Area Life Cycle Vol 1 : Applications
and Modifications) untuk mengetahui perkembangan suatu destinasi wisata dengan
membandingkan konsep tersebut dengan fakta yang ada di lapangan.
VI.Hasil Pembahasan
Desa wisata kiadan terletak di banjar Kiadan, Desa Pelaga, Kecamatan Petang,
Kabupaten Badung. DesaWisata Kiadan di rancang tahun 2000 sebagai tindak lanjut dari
pencananngan program Ekowisata di daerah tersebut . Kegiatan tersebut mendapat dukungan
Pemerintah Kabupaten Badung dan Yayasan Wisnu, yang merupakan lembagaswadaya
masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan observasi
yang dilakukan, konsep wisata yang ditampilkan dalam ekowisata di Kiadan adalah wisata
alam yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Bentuk wisata yang ditawarkan adalah
wisata trekking menyusuri areal perkebunan dan beberapa tempat menarik, salah satunya air
terjun Nungnung
Ada dua jalur trekking yang ditawarkan, yakni “Jalur Panjang” yang menghabiskan waktu
sekitar tiga jam, dan “Jalur Pendek” yang membutuhkan waktu hanya satu jam saja. Dalam
perjalanan tersebut, wisatawan akan dipandu oleh seorang atau beberapa orang pemandu
yang akan menjelaskan secara mendetail tentang berbagai macam tumbuhan, perdu, semak
dan pohon yang ada di sepanjang perjalanan, lengkap dengan kegunaannya masing-masing.
Masyarakat menawarkan tradisi mereka sendiri sebagai daya tarik dari aktivitas wisata yang
biasa disebut village tours (wisata pedesaan). Wisatawan dapat melihat langsung kegiatan
sehari-hari masyakat lokal. Selain bercocok tanam yang merupakan mata pencaharian asli
warga setempat, wisatawan juga dapat menyaksikan warga dalam pembuatan lawar, makanan
khas Bali. Juga dapat belajar membuat banten atau sesajen yang biasa digunakan warga
setempat untuk persembahyangan. Semua jenis wisata itu terangkum dalam paket wisata
yang telah ditetapkan warga dengan tarif yang telah ditentukan pula.Daya tarik dari Banjar
Kiadan-Pelaga adalah kopi look. Kopi look sendiri dibuat dengan cara merebus bubuk kopi
dengan air dalam sebuah periuk dari tanah liat, di atas tungku yang juga terbuat dari tanah
liat. Untuk memperkuat aroma kopi, kayu bakar yang digunakan tak boleh sembarangan,arus
dari kayu tanaman kopi.Wisatawan yang ingin menikmati ekowisata bisa memanfaatkan
akomodasi penginapan yang disediakan penduduk. Penginapan yang tersedia adalah rumah
penduduk Banjar Kiadan sendiri yang dapat menampung 30 orang sehingga mereka tidak
perlu membangun hotel atau jenis penginapan lain yang memerlukan lahan baru. Setelah itu
wisatawan dapat berjalan-jalan di objek wisata yang terdapat di Banjar Kiadan.(hasil
observasi dan wawancara:2011)
Berbeda dengan jenis pariwisata massal yang menonjolkan kuantitas pengunjung di daerah
wisata, Ekowisata di Kiadan-Pelaga justru membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung.
Tiap satu hari hanya boleh menerima 30 orang. Pembatasan ini bertujuan agar aktivitas
wisata yang berlangsung di daerah tersebut tidak merusak lingkungan dan juga masyarakat
tidak alih profesi dari petani menjadi pekerja pariwisata.(hasil wawancara: 2011)
6.2 Kondisi Pariwisata Di Desa Kiadan ditinjau dari 5 pilar pengembangan destinasi
wisata
Produk ekowisata yang ditawarkan oleh Desa wisata Kiadan sudah sangat jelas adalah yaitu
wisata alam pedesaan dengan aktivitas wisata berupa Trekking dan pengenalan terhadap
salah satu produk unggulan di daerah tersebut yaitu hasil perkebunan kopi berupa kopi Lokk
Aksesibilitas(akses)
Mengenai jalur menuju desa wisata Kiadan itu sendiri sudah sangat bagus karena sarana
jalan sudah di hotmix . Disamping itu jalur menuju Desa wisata Kiadan ini dekat dengan
kawasan wisata Kintamani yang sangat terkenal yang didukung oleh adanya jembatan yang
menhubungkan kedua daerah tersebut, yang konon katanya jembatan ini merupakan yang
tertinggi di Asia , yaitu Jembatan Tukad Bangkung. Disamping itu , jalur pariwisata ini
didukung pula oleh transportasi publik berupa minibus yang melayani jalur Denpasar- Plaga
PP.
Amenities (akomodasi)
Sarana akomodasi yang tersedia di Desa Wisata Kiadan sendiri berupa pemanfaatan rumah
penduduk sebagai penginapan. Rumah penduduk sudah ditata sedemikian rumah sehingga
memenuhi standar hygene dan sanitasi tanpa menghilangkan karakter asli dari rumah
tersebut.Untuk pelayanan makanan dan minuman disediakan di Balai Subak Sari Boga yang
merupakan sebuah wantilan (aula) yang tampak unik karena plafonnya yang terbuat dari bambu
batangan. Hampir semua mebel dan perabotannya pun terbuat dari bambu. Di wantilan tersebut,
wisatawan disuguhi kopi Kiadan yang rasanya begitu khas. Sebelum disuguhkan, kopi itu direbus
dengan kuali yang terbuat dari tanah di tungku dengan bara api yang terukur sedemikian rupa.
Sebagai teman kopi, wisatawan mendapat suguhan penganan yang terbuat dari ketan dan ketela
rambat yang di kukus. Keduanya diurap dengan parutan kelapa dan, bila suka, disirami cairan gula
merah. Disamping itu juga disediakan masakan khas Bali sebagi menu utama
Program Ekowisata yang berkembang di Desa Kiadan mendapat perlindungan dan dukungan
pemerintah Kabupaten Badung dengan penetapan banjar Kiadan sebagai Desa Wisata.Hal ini
ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati Badung Nomor 1928 tahun 2001 tentang Rencana Teknik
Ruang Kawasan Agrowisata di Kecamatan Petang.Disamping dukungan pemerintah , ada pula
dukungan lembaga swadaya masyarakat yakni Yayasan Wisnu yang mendorong pemberdayaan
masyarakat dengan cara membantu masyarakat dalam bentuk pelatihan yang diberikan oleh
Yayasan Wisnu yang meliputi pemetaan atau mapping dan pengenalan potensi daerah
tersebut
Semua komponen masyarakat lokal secara langsung dan tidak langsung ikut ambil
andil dalam pengembangan ekowisata. Masyarakat yang secara langsung mengembangkan
konsep ekowisata adalah pihak pengelola yang terdiri dari koki atau pihak yang menyiapkan
makanan dan minuman untuk wisatawan yaitu sekitar 6 orang. Selain itu ada pula pemandu
wisata atau guide yang murni berasal dari masyarakat Banjar Kiadan sendiri, berjumlah 2
orang. Serta dua orang koordinator yang bertugas sebagai mengatur jalannya kegiatan secara
keseluruhan yang juga berasal dari penduduk lokal.
Pemberdayaan masyarakat lokal juga dilakukan secara tidak langsung. Adanya
wisatawan yang berkunjung di Banjar tersebut membuat masyarakat timbul kesadarannya
terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini disebabkan oleh keinginan masyarakat setempat
untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi wisatawan yang berkunjung.Banyak
keuntungan yang diraup masyarakat Banjar Kiadan melalui pengembangan ekowisata ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan yang diterima masyarakat Banjar
Kiadan secara langsung adalah keuntungan ekonomi. Masyarakat yang memanfaatkan rumah
milik mereka sendiri sebagai akomodasi penginapan bagi wisatawan dapat meraup untung
tanpa membangun akomodasi penginapan. Adapun keuntungan yang diterima masyarakat
secara tidak langsung ialah kebanggaan yang dirasakan karena dapat mengelola potensi
mereka menjadi tempat wisata yang menarik tanpa mengubah lingkungan yang telah ada.
Masyarakat pun dapat mempererat tali persaudaraan antar masyarakat dan menumbuhkan
sikap tanggung jawab terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak hanya itu,
masyarakat menjadi tidak bergantung secara penuh terhadap sektor pariwisata saja. Meski
kunjungan wisatawan menurun sekalipun, masyarakat tetap dapat menjalankan kehidupan
sebagai petani.
VII Kesimpulan
2. Perkembangan pariwisata Di Desa Wisata Kiadan berada pada fase 3 Apathy yang
ditandai dengan adanya perencanaan yang melibatkan 3 pihak yaitu
pemerintah,masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat. Disamping itu
wisatawan yang datang intensitas nya masih kecil dan masih berusaha menemukan
karakateristik produk yang ditawarkan.Dan sedangkan kalau dilihat dari Konsep
Tourism Area Life Cycle (TALC), perkembangan desa wisata Kiadan berada pada
tahapan Involvement .
DAFTAR PUSTAKA
Smith, V.L. & Eadington, W.R. 1992, Tourism Alternatives: Potentials and Problems in the
Development of Tourism, Univeristy of Pennsylvania Press, Philadelphia.
Cooper, C., J. E. Fletcher, D. Gilbert and S. Wanhill. 1993. Patterns and Characteristics
of the Supply of Tourism. In Tourism Principles and Practice.London, Pitman Publishing:
80-93
Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan
Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hal. 2-3
Ceballoss- lancurain, Hector.1996 . Tourism, Ecotourism and Protected areas : the state
of nature based tourism around the world and guidelines for its development. IUCN,
Gland Switzerland, and Cambridge UK.XIV + 301 PP
Cooper, C. And Jackson, S. L. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of The man Case Study. (ed.
Lesly, France) dalam The Earthscan Reader in Sustainable Tourism. UK : Earthscan Publication
Limited.
Butler, Richard ( 2006) , Tourism Area Life Cycle Vol I : Applications and Modification.