Anda di halaman 1dari 14

THE ROLE OF GOVERMENT FOR ECOTOURISM

DEVELOPMENT

Disusun oleh
ECOTOURISM GROUP D :
Athiyah Aldilla, S.Tr.Par
Deborath Merino Otoya
Kezya Oktaviany Kaontole, S.Tr.Par
Yunita Maria Susanti Labuha, S.Pd.,Gr

(Submission Date: 15 Januari 2022)

SEKOLAH TINGGI PARIWISATA TRISAKTI


PROGRAM PASCA SARJANA PARIWISATA
2022
Abstrak

Indonesia memiliki keindahan alam yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke, salah satu
diantaranya yang sangat dikenal oleh masyarakat dunia adalah Bali. Pulau yang dikenal sebagai
pulau dewata ini memiliki pesona yang menjadi daya Tarik wisatawan, mulai dari wisatawan
nusantara hingga mancanegara. Bali menawarkan perpaduan antara keindahan alam dengan
kebudayaan yang tetap dijaga oleh masyarakat. Tak jarang banyak wisatawan mancanegara
menjadikan Bali sebagai rumah kedua yang selalu didatangi saat waktu liburan.

Pariwisata mendatangkan banyak manfaat positif bagi masyarakat setempat juga negara Indonesia
sendiri, namun tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pariwisata pun memiliki dampak negative bagi
lingkungan sekitar dan masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut maka perlu diaplikasikan jenis
kegiatan pariwisata yang lebih bertanggung jawab, yaitu ecotourism atau ekowisata.

Dalam penelitian ini, penulis bermaksud menggunakan metode literature review untuk mengetahui
peranan pemerintah dalam perkembangan ekowisata di Bali serta untuk mengetahui kualitas
Ekowisata di Taman Nasional Bali Barat.
BAB I

Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki potensi wisata untuk dikembangkan menjadi destinasi pariwisata tingkat
dunia. Bangsa Indonesia memiliki keindahan alam, kekayaan budaya nan beragam dan penduduk
yang watak dan moralitasnya mendukung kenyamanan wisatawan berkunjung, dan salah satu
destinasi yang sudah berkembang adalah Bali. Bali merupakan suatu daerah yang memiliki potensi
besar dibidang pariwisata. Pulau bali menjadi sangat dikenal oleh dunia internasional karena
keindahan alamnya, kesenian, berbagai ragam budaya dan tradisi sosial kemasyarakatan.
Tersedianya sarana dan prasarana penunjang seperti hotel, restoran, biro perjalanan dan yang
lainnya, membuat kunjungan wisatawan ke Bali semakin meningkat.
Berdasarkan data dari Ditjen Imigrasi dan Badan PS yang telah diolah kembali oleh Asdep
Litbangjakpar Kemenpar mengenai jumlah kunjungan wisatawan mancanegara menurut pintu
masuk dan kebangsaan di bulan Januari 2017, tercatat adanya pertumbuhan sebesar 17.85%
dibandingkan tahun 2016 melalui pintu masuk Ngurah Rai. Ada berbagai hal positif dan negatif
yang menyelimuti pertumbuhan kepariwisataan Bali saat ini, maka paradigma pengembangan
kepariwisataannya berjalan secara bertahap menuju ‘quality tourism’ yang mengedepankan kualitas
dalam berbagai aspek. Dalam definisi yang dirumuskan oleh Goeth dan Davis yang dikutip Tjiptono
(2012:51) bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dalam memajukan
kualitas kepariwisataan di Bali, salah satu instrument pendukung industri pariwisata yang memiliki
produk, jasa, manusia dan lingkungan yang saling berhubungan adalah bidang Ekowisata yang
semakin banyak digermari oleh wisatawan.
Perjalanan dan wisata menjadi salah satu industri yang berkembang pesat dan sebagai sumber
utama penghasilan untuk negara berkembang, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia meningkat dari
± 6,3 juta wisatawan pada tahun 2009 menjadi ± 8 juta wisatawan pada tahun 2012 (BPS, 2013).
Akan tetapi menurut penilaian World Economic Forum (WEF), indeks daya saing kepariwisataan
Indonesia masih berada di bawah rata-rata indeks dunia dan masih jauh tertinggal dengan negara-
negara kompetitor di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand (Ditjen PDP, 2012).
Penyebab rendahnya indeks daya saing kepariwisataan Indonesia terkait dengan sistem
kepariwisataan itu sendiri, yaitu terkendala pada sisi suplai (product driven), kurangnya pemahaman
terhadap pasar (market driven), berbagai kendala dalam kelembagaan, serta kurangnya dukungan
kebijakan (Asmin, 2018). Adanya objek dan daya tarik wisata di suatu wilayah diharapkan akan
mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat sekitar dalam menghasilkan lapangan
pekerjaan baru.
Dengan adanya lapangan kerja baru, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan hidup
masyarakat. Namun ternyata, tidak hanya dampak positif yang didapatkan dengan adanya objek dan
daya tarik wisata tetapi juga banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Di beberapa wilayah
kawasan wisata banyak yang menjadi kotor akibat perilaku membuang sampah sembarangan,
adanya perilaku pengrusakan sumber daya alam dan lingkungan sehingga muncul bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor, adanya perilaku menyimpang dari normanorma dan nilai-nilai
universal, serta berbagai masalah lainnya. Munculnya dampak negatif dari berbagai aktivitas wisata
mendorong terjadinya perubahan paradigma pariwisata yaitu pariwisata lama yang bersifat massal
(mass tourism) ke pariwisata baru yang cenderung ramah lingkungan, salah satunya adalah
ekowisata.
Ekowisata adalah pariwisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian alam, serta memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Ekowisata merupakan usaha
wisata berkelanjutan baik secara ekonomi maupun dalam aspek lingkungan bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan konservasi. Untuk menjadi usaha wisata yang berkelanjutan, perlu
diciptakan kondisi yang memungkinkan dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk
mengambil keputusan dalam hal mengelola usaha ekowisata, mengatur jumlah wisatawan, serta
mengembangkan usaha ekowisata sesuai dengan visi serta harapan masyarakat bagi masa depan.
Ekowisata mulai dikembangkan sebagai salah satu program yang sekaligus merupakan strategi
konservasi serta diharapkan dapat menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat lokal. Dengan
berkembangnya ekowisata, masyarakat diharapkan mampu memanfaatkan keindahan alam yang
masih utuh, budaya, serta sejarah setempat tanpa merusak atau menjual isinya (WWF-Indonesia,
2009). Istilah ekowisata mulai muncul menjadi isu nasional di Indonesia pertama kali semenjak
diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Nasional oleh Pact-Indonesia dan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) pada Bulan April tahun 1995 di Wisma Kinasih, Bogor (Arida, 2017).
Setelah penyelenggaraan Seminar dan Lokakarya Nasional tahun 1995 tersebut, Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah terus mengembangkan konsep ekowisata di daerah-daerah di Indonesia
salah satunya di Bali. Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang
“Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah” membuat Pemerintah Daerah untuk mulai
mengembangkan ekowisata di daerahnya masing-masing yang saat ini menjadi paradigma baru
dalam kegiatan kepariwisataan di Indonesia (Permendagri No.33 Tahun 2009). Secara garis besar,
ekowisata merupakan pengembangan potensi sumber daya alam, lingkungan, serta keunikan alam
dan budaya yang merupakan salah satu sektor unggulan daerah yang selama ini masih belum
dikembangkan secara optimal. Sehingga sebagai upaya pengembangan ekowisata di daerah dengan
optimal perlu adanya strategi dalam merencanakan, memanfaatkan, mengendalikan, menguatkan
kelembagaan, serta memberdayakan masyarakat dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial,
ekonomi, ekologi, dan melibatkan pemangku kepentingan dalam pengelolaan potensi ekowisata
(Hijriati & Mardiana, 2014). Bali menjadi salah satu daerah tujuan wisata para wisatawan ke
Indonesia. Dengan pengembangan konsep ekowisata di Bali diharapkan mampu menjadi konsep
wisata baru yang dapat meningkatkan minat kunjungan para wisatawan ke Bali. Dengan
peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali serta pengembangan konsep ekowisata di Bali,
diharapkan mampu menjaga kelestarian alam dan budaya lokal Bali serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti mengidentifikasikan beberapa masalah
yang akan dijadikan bahan penelitian selanjutnya:
Belum teridentifikasi peranan pemerintah terhadap perkembangan ekowisata di Denpasar, Bali dan
pemahaman wisatawan terhadap pentingnya Ekowisata di Denpasar, Bali
Pembatasan Masalah
Untuk lebih terfokus pada permasalahan yang akan diuraikan, maka perlu dilakukannya pembatasan
masalah dalam penelitian ini, yaitu:
Objek penelitian yang akan dibahas adalah peran pemerintah yang diterapkan kepada Ekowisata di
Denpasar Bali serta berfokus pada bagaimana penerapan komitmen dan peraturan yang diterapkan
oleh pemerintah terhadap Ekowisata di Denpasar Bali.
Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah yang ada sebelumnya, maka dapat dirumuskan bahwa masalah yang perlu
dikaji adalah:
Bagaimanakah peran pemerintah terhadap perkembangan ekowisata di Denpasar, Bali ?
Bagaimanakah kualitas di Ekowisata di Denpasar, Bali ?
Seberapa besar pengaruh peran pemerintah dalam pengembangan Ekowisata di Denpasar, Bali ?
BAB II

Kajian Teori

Memberi makan fantasi dan tuntutan turis Asia Tenggara adalah bisnis yang mahal. Tujuan wisata
utama seperti Bangkok, Manila, Singapura, Manado Bali, Pulau Komodo, Bali, antara lain.
Beberapa ekosistem alami dimodifikasi secara permanen dengan trotoar, dengan rumput, dengan
bunga dan dengan pohon dan tanaman yang dipilih secara eksklusif dari sudut pandang dekorasi
dan landskap. Perubahan kadang-kadang memperoleh dimensi sedemikian rupa sehingga penduduk
merasa bahwa tempat itu tidak lagi menjadi seperti beberapa hotel dengan kolam besar, pancuran,
dan sauna yang, di antara banyak konsekuensi lainnya, menyerap semua air yang tersedia untuk
kota .

Hambatan ekologis dilintasi setiap hari dan di banyak tujuan di Asia Tenggara, standar internasional
hak asasi manusia dan terhadap flora dan fauna lokal juga dilanggar setiap hari. Kelompok
masyarakat adat adalah yang paling rentan terhadap pariwisata berorientasi pasar ini, karena
merekalah yang kehilangan tanah, sumber daya alam, budaya dan bahkan kapasitas mereka sendiri
untuk swasembada. Rata-rata konsumen enggan mengakui atau mengabaikan begitu saja sisi gelap
pariwisata ini, yang kemajuannya diperkuat baik oleh kepentingan pengusaha maupun aparat
politik. Keduanya, bersama dengan media, memberikan interpretasi yang tidak lengkap tentang
krisis global tanpa mengklaim keterlibatan apa pun dalam hal ini. Jadi tidak ada yang tampak
tertarik untuk benar-benar menyelesaikan biaya eksponensial pariwisata, seperti perubahan iklim
atau hilangnya keanekaragaman hayati dan budaya.

Konsumen pariwisata adalah karakter yang sangat ingin tahu. Secara umum, pengalaman bahwa
Anda tinggal di tempat jangka pendek mendorong Anda untuk melupakan kode etik kebiasaan
Anda dan tidak bertanggung jawab atas apa yang Anda rugikan. Masalah yang timbul dari
ekowisata yang didorong oleh perdagangan saat ini didokumentasikan dengan baik: Konsumen
memiliki gagasan yang menyimpang tentang hak mereka dan hak orang lain: Di Asia Tenggara,
liburan diwajibkan oleh hukum dan dibayar oleh pengusaha; Untuk alasan ini, pelancong cenderung
menganggap mereka lebih sebagai hak daripada hak istimewa.

Namun industri pariwisata di negara-negara seperti pencemar utama Indonesia, Vietnam, Malaysia,
Singapura dan daftarnya, ini menghasilkan polusi dan sampah dalam jumlah besar, dan mengikis
kesehatan dan keamanan pangan tidak hanya komunitas lokal tetapi juga generasi mendatang di
seluruh dunia. dengan mengubah siklus hidrologi dan proses ekosistem secara ireversibel.
Ketidaktahuan konsumen yang disengaja: Sebagian besar wisatawan melihat liburan sebagai
kesempatan untuk menikmati gaya hidup mereka sendiri yang lebih mewah, apakah tingkat
konsumsi barang atau sumber daya mereka berkelanjutan atau tidak. Permintaan besar untuk
perjalanan "murah" ke jenis tujuan ini, di mana mereka mencari pengalaman yang membantu
lingkungan kita: Di era katalog dan penjualan langsung pabrik ini, konsumen terbiasa membayar
minimum untuk semuanya. Dan mengharapkan hal yang sama dari perjalanan. Sikap ini
menimbulkan bahaya serius, karena harga paket liburan jauh lebih rendah daripada biaya riil
pariwisata dan dampaknya terhadap lingkungan. Margin keuntungan 1% yang tersisa untuk
sebagian besar bisnis pariwisata menghilangkan kemungkinan bahwa mereka akan “memberikan
kembali” sebagian dari apa yang mereka ambil dari masyarakat dan ekosistem.

Ketiadaan regulasi yang efektif: Wisatawan yang mencari “pelarian” cenderung menerapkan etika
“Saya bayar, saya berhak”. Sedikit atau tidak adanya kesadaran akan konsekuensi terhadap
lingkungan, ditambah dengan ketidakefektifan badan pengatur terkait seperti entitas lokal dan
negara, menyebabkan penggunaan dan penyalahgunaan sumber daya alam yang menjadikan tempat
tersebut sebagai tujuan populer untuk pariwisata nasional atau internasional.

Kesalahpahaman tentang "ekowisata": Konsumen semakin mencari ekowisata. Tapi hari ini konsep
itu tidak lebih dari sebuah merek di pasar dan memiliki potensi bahaya yang sama. Pada
kenyataannya, ekowisata jauh lebih merusak karena wilayah yang menjadi sasarannya, yang jauh
lebih sensitif secara budaya dan ekologis. Akibatnya, banyak destinasi ekowisata yang bisa hancur
total dalam waktu tidak lebih dari lima belas tahun. Konsumen, sementara itu, tidak tahu apa itu
ekosistem atau komunitas yang layak.

Pariwisata adalah bentuk konsumerisme yang ditandai dan mewakili konsep kecanggihan dan
kemajuan dunia industri. Menariknya, wisatawan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang
menawarkan karakter, skala, dan laju kehidupan yang telah menghilang di masyarakat konsumen.
Selain itu, sikap wisatawan biasanya merusak elemen tempat yang menarik mereka. Ukuran
ekonomi pariwisata global membuat mempengaruhi dan memodifikasi perilaku konsumen menjadi
tugas yang hampir mustahil. Namun, ada kebutuhan mendesak untuk tindakan bersama untuk
mendidik politisi, pemimpin bisnis, konsumen pariwisata, dan media. Pertumbuhan penduduk,
globalisasi dan penyebaran hak-hak konsumen semakin cepat, dan dengan ini ketahanan budaya dan
ekosistem secara proporsional menurun. Pariwisata adalah salah satu penyebab besar erosi
biokultural.

Langkah pertama menuju tindakan yang sepadan adalah memobilisasi pengetahuan yang ada. Biaya
pariwisata telah lama terbukti di tingkat ekosistem. Sangat penting bahwa spektrum penuh
dianalisis dan langkah-langkah di satu sisi tidak menjadi pembenaran untuk gerakan lambat di sisi
lain. Untuk mengatasi masalah siklus pariwisata dalam mencari solusi, masyarakat adat dan
masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bentuk-bentuk konsultasi
sebelumnya tidak memadai, karena tidak mempersoalkan karakteristik asumsi manajerial belahan
bumi utara. Untuk menerapkan strategi yang cermat terhadap perencanaan pariwisata, perlu untuk
mencapai integrasi lengkap dari pengetahuan warisan budaya lokal dan ekosistemnya. Oleh karena
itu, perlu mengadopsi prinsip-prinsip berikut yang dirumuskan oleh ketiga organisasi ini: Tourism
European Ecumenical Network, (dari India) dan ECTWT untuk menerapkan Kode Etik Global
untuk Pariwisata.

 Pengendalian pengembangan pariwisata sesuai dengan kriteria keberlanjutan.


 Penerapan prinsip subsidiaritas sehingga preferensi diberikan kepada peserta lokal dalam
pengambilan keputusan atas lembaga global, supranasional dan terpusat. Kecuali jika
masalah tersebut tidak dapat diselesaikan oleh aktor lokal itu sendiri.
 Partisipasi semua orang yang terlibat, yang mengandaikan kebebasan untuk berpartisipasi.
 Pemberdayaan masyarakat lokal yang terkena dampak, terlibat, berkomitmen, atau peduli
terhadap pengembangan pariwisata.
 Perlindungan struktur pengambilan keputusan kelompok minoritas dan terpinggirkan dan
kemampuan mereka untuk menuntut hak-hak mereka.

Setelah yang disebutkan di atas, jika perubahan yang sesuai dibuat oleh entitas politik dan negara
dan terutama para wisatawan yang ingin berkontribusi dengan cara yang memadai untuk menjaga
lingkungan kita, Anda bahkan dapat mempertimbangkan untuk mengunjungi daerah-daerah yang
belum berkembang, di mana dolar pariwisata dapat membantu ekonomi lokal berkembang. Tujuan
ideal ekowisata adalah untuk meningkatkan dunia melalui perjalanan yang bertanggung jawab;
Meskipun efeknya mungkin tidak sesuai dengan cita-cita Anda, wisatawan dapat menawarkan
manfaat nyata bagi komunitas lokal dan lingkungan. Menyajikan dengan cara ini keuntungan
berikut:

 Ini memiliki dampak minimal terhadap lingkungan.


 Menciptakan kesadaran dan rasa hormat terhadap budaya lokal dan lingkungan.
 Tawarkan pengalaman positif untuk semua orang.
 Mempekerjakan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
 Mendidik pengunjung tentang isu-isu politik, sosial dan lingkungan setempat.
 Uang para wisatawan ditujukan untuk konservasi kawasan.
 Pengunjung mengambil ide-ide baru yang mempengaruhi lingkungan mereka sendiri.

World Travel and Tourism Council (WTTC, 2018) memprediksi industri pariwisata Indonesia
dalam 10 tahun ke depan akan tumbuh sebesar 61%, lebih dari dua kali lipat rata-rata dunia.
Namun, perkembangan ekonomi positif juga membawa dampak negatif. Forum Ekonomi Dunia
menilai dalam Indeks Kinerja Lingkungan 2018 bahwa mengingat ketergantungan negara dan
pariwisata pada sumber daya alam, Indonesia tidak memberikan penekanan yang cukup pada
kelestarian lingkungan. Dengan demikian, WEF (2018) menempatkan Indonesia di peringkat 134
dari 180 peringkat untuk keberlanjutannya. Bali, tujuan wisata paling terkenal di Indonesia dengan
reputasi yang luar biasa, diuntungkan dari pertumbuhan tetapi juga mengalami overtourism (IDEP,
2016).

Citra Bali secara keseluruhan dan alasan untuk mengunjungi pulau ini didasarkan pada kekayaan
budaya dan keunikan alam yang ditawarkan Bali (Wiranatha, Suhanda, Lipman, DeLacy, Buckley,
& Law, 2012). Namun karunia alam dan spiritual ini berada dalam bahaya besar karena
melonjaknya jumlah wisatawan yang mengunjungi pulau kecil dari tahun ke tahun, mencapai
hampir 16 juta pengunjung pada tahun 2018 (disparada, 2019). Mempertimbangkan tingkat
pertumbuhan WTTC yang diprediksi, Bali mungkin harus menghadapi lebih dari 25 juta
pengunjung pada tahun 2028. Saat ini Bali sangat menderita dari dampak negatif pariwisata seperti
konversi lahan pertanian (Lanya, Dibia, Diara, & Suarjaya, 2017), kekurangan air (BLH, 2016) dan
kerusakan lingkungan di darat dan di bawah laut (Colorni, 2018). Dampak pariwisata juga
mempengaruhi filosofi dasar Bali “Tri Hita Karana” yang mengakar kuat dalam budaya, tradisi, dan
gaya hidup Bali. Tri Hita Karana adalah keyakinan bahwa hidup adalah tentang hubungan yang
seimbang dan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, dan
manusia dengan lingkungan dan makhluk lainnya. Pertumbuhan pariwisata yang tidak
berkelanjutan akan berdampak negatif pada filosofi Bali dan cara hidup tradisional masyarakat Bali;
apalagi jika keharmonisan manusia dan lingkungan alam semakin tidak seimbang (Suamba, 2017).

Bali berpotensi menerapkan standar ekowisata di beberapa lokasi wisata utamanya untuk
mengurangi dampak pariwisata massal. Pulau ini menawarkan banyak kegiatan berbasis alam, dan
wisata desa berbasis masyarakat yang dikombinasikan dengan agrowisata telah menjadi semakin
populer dalam beberapa tahun terakhir. Pemanfaatan yang tepat dari taman nasional Bali seperti
Taman Nasional Bali Barat dan kedua situs UNESCO dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pariwisata berkelanjutan.

Namun, belum ada penelitian tentang hubungan pengetahuan ekowisata dan sikap lingkungan dan
dampaknya terhadap niat perilaku ekowisata dan perilaku lingkungan yang sebenarnya telah
diterapkan di Bali hingga saat ini. Untuk meningkatkan kualitas pariwisata di Bali, pemahaman
yang lebih baik tentang niat perilaku wisatawan dan perilaku aktual sangat penting. Sebagaimana
diuraikan, bagian penting dari konteks ini dan proses pengambilan keputusan wisatawan
memainkan tingkat pengetahuan lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis bagaimana pengaruh pengetahuan ekowisata terhadap sikap, niat berperilaku, dan
perilaku aktual wisatawan Bali. Kajian yang digunakan sebagai grand theory Ajzen (1991) “Theory
of Planned Behaviour”. Teori tersebut telah diterapkan dalam berbagai penelitian dan telah terbukti
menjadi konsep yang valid. Menurut Ajzen, niat perilaku (BI) dan perilaku aktual (AB) dipengaruhi
oleh sikap (A), norma subjektif (SN), dan kontrol perilaku yang dirasakan (PBC). Untuk penelitian
ini, Theory of Planned Behavior telah diperluas dengan variabel pengetahuan terkait isu ekowisata
(EK).

Berdasarkan tinjauan literatur dan wawasan yang diperoleh dari karya-karya sebelumnya, kami
mengembangkan tiga hipotesis penelitian utama berikut:

 H1 : Pengetahuan Ekowisata (EK) berpengaruh positif terhadap sikap lingkungan (A).


 H2: Pengetahuan ekowisata (EK) berpengaruh positif terhadap niat perilaku ekowisata (BI).
 H3: Pengetahuan ekowisata (EK) berpengaruh positif terhadap perilaku lingkungan aktual
(AB).

Selanjutnya penelitian ini dimasukkan sebagai hipotesis bahwa masing-masing variabel SN, A, dan
PBC secara individual berpengaruh positif terhadap BI serta PBC dan EI berpengaruh positif
terhadap AB.
BAB III

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif berbasis desktop research
yaitu pengumpulan data dan informasi menggunakan data dari hasil riset dan referensi kepustakaan
mengenai data dan informasi yang terkait dengan penelitian. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik dokumentasi sebagai suatu cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan
data dari berbagai sumber referensi. Dokumen-dokumen dapat di sediakan oleh situs web, data yang
diperoleh dari survey yang telah di lakukan oleh peneliti sebelumnya.
Dengan memilih studi-studi yang berfokus pada ekowisata berbasis masyarakat, khususnya pada
masyarakat di sekitar kawasan taman nasional yang terbit dari tahun 1995 hingga 2022. Kriteria
utama untuk studi inklusi dan eksklusi dalam tinjauan adalah sebagai berikut; Artikel-artikel
tersebut membahas kajian pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di masyarakat sekitar
taman nasional di Indonesia. Pencarian sistematis dilakukan dengan menggunakan kombinasi kata
kunci untuk mengidentifikasi kandidat artikel atau journal. Kata kunci yang digunakan untuk
pencarian literatur antara lain: "Visitor Behavior" DAN "Taman Nasional" DAN "Ekowisata".
Kesesuaian artikel kandidat ini diukur dengan skimming dan mengidentifikasi kata kunci yang
muncul di artikel dan jurnal.

Jenis data berupa data primer yaitu studi literature yang di dapatkan dari berbagai artiken dan jurnal
publikasi serta data sekunder baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif dari jurnal dan
pemberitaan online. Data sekunder adalah data yang mengacu pada informasi yang dikumpulkan
dari sumber yang telah ada. Sumber data sekunder adalah catatan atau dokumentasi perusahaan,
dokumentasi pemerintah atau publikasi pemerintah, analisis industri oleh media, situs web dan
lainnya (Uma Sekaran, 2011). Pengertian dokumentasi menurut Umi Narimawari, Sri Dewi
Anggadini, Lina Ismawati (2010:39), pengumpulan data yang dilakukan dengan menelaah
dokumen-dokumen yang terdapat pada perusahaan. Sedangkan, metode dokumenter menurut
W.Gulo (2010) adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu tertentu.
Studi pustaka perlu dilakukan untuk memperkaya pengetahuan mengenai berbagai konsep yang
akan digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam proses penulisan. Untuk mendukung penelitian
ini penulis membaca dan memahami teori, informasi dan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
yang relevan dengan pembahasan penulisan penelitian ini.
Variable Operasional dalam penelitian ini yaitu perarturan pemerintah, perilaku wisatawan dan
pengembangan ecotourism khususnya di Taman Nasional. Dengan penjelasan serta data-data yang
penulis teliti dengan metode berbasis desktop research maka akan dibahas dan dianalisis dengan
pendekatan deskriptif, yaitu penjabaran mengenai dua variable yang saling terkait dan
penerapannya sesuai dengan peratuan pemerintah yang dihubungkan dengan visitor behaviour.
Dengan adanya batasan masalah, objek penelitian lebih berfokus pada daerah wilayah Bali Barat.
BAB IV

Hasil dan Kesimpulan

Lokus penelitian dalam mini proposal ini adalah Taman Nasional Bali Barat, yang terletak
di bagian barat pulau Bali. Taman nasional ini mempunyai luas 19.002,89 Ha yang terdiri dari
kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan selaus 3.415 ha merupakan salah satu
kawasan konservasi di provinsi Bali. Bali merupakan ikon pariwisata Indonesia, bahkan ada warga
dunia yang lebih mengenal Bali dibandingkan negara Republik Indonesia itu sendiri. Bali
merupakan provinsi di Indonesia yang terdiri atas satu pulau, yaitu Pulau Bali dan beberapa
pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Berdasarkan hasil penelitian kelompok, maka dikembangkan hipotesis bahwa pegetahuan
ekowisata berpengaruh positif terhadap sikap lingkungan, niat perilaku ekowisata, dan terhadap
perilaku lingkungan aktual. Selanjutnya diketahui bahwa belum ada penelitian tentang hubungan
pengetahuan ekowisata dan sikap lingkungan dan dampaknya terhadap niat perilaku ekowisata dan
perilaku lingkungan yang telah diterapkan di Bali saat ini.
Data yang ditemukan dari Bagian Konservasi, Pemanfaatan, dan Kerjasama TNBB
menyebut masalah menonjol adalah sampah pengunjung dan sampah dari laut. Walau bukan taman
nasional laut, dalam kawasan TNBB ada potensi panorama laut yang ramai dikunjungi untuk
snorkeling dan diving. Selain pengendalian sampah, juga hama terumbu karang seperti mahkota
berduri. Buruknya perilaku pengunjung dan kurangnya pengawasan dinilai menjadi masalah serius
dalam pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat, untuk itu diperlukan upaya
yang lebih serius dalam mengkampanyekan edukasi perilaku dan etika pada saat mengunjungi
kawasan ekowisata.
DAFTAR PUSATA

Ecotourism in Indonesia. New ways of traveling responsibly with the planet (23th
November 2019). Di akses dari https://rajaampatbiodiversity.com/es/ecoturismo-en-
indonesia-nuevas-formas-de-viajar-responsables-con-el-planeta/

Embassy of the Republic of Indonesia in Argentina. (June Edition 2017). Persona Indonesia
Magazine, More about Bali. di akses dari
http://equilibriumglobal.com/wp-content/uploads/2017/07/Bolet%C3%ADn-Maravillosa-
Indonesia-2017-edicion-Junio-2017.pdf

Lina Ismawati, S. D. (2010). penulisan karya ilmiah : . Bekasi: Genesis.


W, G. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sustainable Tourism In Indonesia (Bali). Di akses dari


https://www.indonesiaturismo.com/turismo-sostenible/

UNTWO. Di akses dari https://www.unwto.org/es

Xu Jing, Regional Representative for Asia and the Pacific of the World Tourism
Organization (2008). Tourism Development in Asia. di akses dari
http://www.anuarioasiapacifico.es/pdf/2008/economia5.pdf

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behaviour. Organizational Behaviour and Human
Decision Processes, 50, 179-211
https://www.sciencedirect.com/journal/organizational-behavior-and-human-decision-
processes/about/aims-and-scope

Colorni, R. (2018). Tourism and land grabbing in Bali—A research brief. The Transnational
Institute (TNI), Amsterdam
disparda.baliprov.go.id/en/Statistics2/Statistics Tourism Bali 2019, Table 31 and Table 13-
24. Bali Tourism Authority.

Hedlunt, T., Marell, A., & Garling, T. (2012). The mediating effect of value orientation on
the relationship between socio-demographic factors and environmental concern in Swedish
travellers’ vacation choice. Journal of Ecotourism, 11(1), 16-33

Hughes, K. (2013). Measuring the impact of viewing wildlife: Do positive intentions equate
to longterm changes in conservation behaviour? Journal of Sustainable Tourism, 21(1).

Anda mungkin juga menyukai