Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ANTROPOLOGI PARIWISATA BUDAYA

“Pariwisata Dalam Masyarakat Bali dan Peranan Nilai Kearifan Local


Dalam Membangun Ekowisata”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr.Drs. I Wayan Wesna Astara, SH.,M.H.,M.Hum

Oleh:
I KADEK AGUS BUDIARTA
202310122032

PROGAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan pariwisata di Bali telah membawa perubahan baik bagi masyarakat
Bali tersendiri, lingkungan, perekonomian, budaya dan sebagainya, perubahan tersebut ada
yang kearah positif dan juga negatif. Dari sisi positifnya, wisata dapat menambah
pendapatan bagi Bali sendiri maupun bagi masyarakat, dapat menciptakan lapangan kerja
baru, memajukan pembangunan, menciptakan peluang usaha dan banyak lagi dampak
positif lainnya. Sedangkan dampak negatif dari perkembangan wisata ini yaitu, dapat
membawa perubahan bagi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, dimana masyarakat
meniru dan merubah budaya yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Bali menjadi
budaya baru yang dibawa oleh wisatawan, seperti budaya kebarat-baratan. Selain itu
pariwisata juga menimbulkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di
berbagai daerah yang diakibatkan oleh beranekaragam kegiatan pariwisata.
Dengan semakin meningkatnya pariwisata dari waktu ke waktu.. Hal ini
menyebabkan timbulnya jenis wisata yang dinamakan wisata minat khusus (special interest
tourism), sehingga daerah tujuan wisata, jenis daya tarik wisata maupun kegiatan wisata
yang ditawarkan pun semakin beragam, seperti wisata belanja, wisata kuliner, wisata
budaya, wisata agro, wisata bahari, dan ekowisata. Namun sangat disayangkan karena hal
tersebut tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik sehingga wisatawan cenderung
bersikap tidak ramah terhadap lingkungan di daerah tujuan wisata yang mereka kunjungi.
Sikap wisatawan yang tidak ramah terhadap lingkungan pada akhirnya menimbulkan
berbagai dampak negatif.
Kegiatan pariwisata seharusnya justru memberikan kontribusi positif terhadap upaya
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini dikerenakan lingkungan hidup (alam dan
budaya) merupakan bagian yang sangat penting dan memiliki peran signifikan dalam
pengembangan pariwisata, khususnya ekowisata. Dampak pariwisata yang paling
dirasakan oleh masyarakat Bali yang tinggal di suatu kawasan wisata adalah pencemaran
lingkungan, baik pencemaran air, tanah, udara maupun suara. Berbagai dampak tersebut
dapat terjadi karena kurangnya kesadaran wisatawan terhadap lingkungan. Oleh karena itu
diperlukan adanya pengembangan dan pengelolaan kegiatan wisata yang mengutamakan
sikap ramah lingkungan dan kearifan local serta bertanggung jawab terhadap kelestarian
fungsi lingkungan (alam dan budaya) yang menjadi daya tarik wisata dan sekaligus dapat
memberdayakan masyarakat setempat, baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Selain
itu, pariwisata juga berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Dalam
beberapa kasus, pariwisata dapat memberikan peluang ekonomi yang begitu besar, tetapi
juga bisa menyebabkan perubahan sosial budaya yang signifikan.
Oleh karena itu dengan adanya fenomena ini peran Antropologi Pariwisata Budaya
menjadi sangat penting karena lebih memfokuskan perhatian kepada masalah-masalah
sosial-budaya yang terkait dengan kepariwisataan. Dengan fenomena ini juga penulis
terdorong untuk melakukan pengkajian lebih lanjut guna memahami berbagai fenomena
perkembangan pariwisata dalam mayarakat Bali dan peranan kearifan local dalam
membangun ekowisata di Bali.
.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari latar belakang tersebut, diantaranya:
1. Bagaimana perkembangan pariwisata dalam masyarakat bali?
2. Bagaimana pengaruh pariwisata terhadap nilai kearifan local?
3. Bagaimana peranan nilai kearifan local dalam membangun ekowisata?
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bagaimana perkembangan pariwisata dalam masyarakat bali?


Pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu
pendek ke tujuan-tujuan diluar tempat dimana mereka biasa hidup dan bekerja dan juga
kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di suatu tempat tujuan. (A.J Burkat dalam
Damanik, 2006). Menurut Spillane, Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat pengusaha,
pemerintah, dan pemerintah daerah.
Menurut Foster dan Greenwood mengemukakan bahwa perkembangan pariwisata
berlangsung melalui 3 tahap yaitu :
1. Tahap Penemuan (Discovery)
Tahap penemuan ditandai oleh penemuan suatu obyek wisata yang biasanya terjadi
secara kebetulan oleh orang-orang yang memiliki watak petualang seperti penjelajah
atau pecinta alam. Kedatangan mereka ke tempat itu lebih banyak untuk melakukan
kegiatan yang bersifat santai seperti berburu, atau sekadar menyalurkan hasrat kecintaan
mereka terhadap pesona keindahan alam.
2. Tahap munculnya Tanggapan & Inisiatif Lokal (local response)
Tahap munculnya tanggapan atau inisiatif lokal adalah kelanjutan dari tahap penemuan.
Pada tahap ini suatu obyek wisata mulai dikenal berkat promosi yang dilakukan oleh
penemunya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sejalan dengan itu para
wisatawan (baik domestik maupun asing) mulai datang mengunjungi tempat tersebut.
Kedatangan para wisatawan ini memberikan rangsangan bagi penduduk setempat untuk
memberikan respon dalam rangka memperoleh manfaat daripadanya. Mereka kemudian
mendirikan beraneka fasilitas kepariwisataan. Namun keberadaan fasilitas tersebut
umumnya kurang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas karena
kemunculannya bersifat spontan dan swadaya.
3. Tahap Instistusionalisasi (Institusionalized)
Tahap instistusionalisasi merupakan kelanjutan dari tahap munculnya tanggapan dan
inisiatif lokal. Pada tahap ini jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat sehingga
keberadaan fasilitas kepariwisataan juga makin ditingkatkan baik kualitas, kuantitas,
dan keanekaragamannya sehingga mencapai tingkat kemapanan. Jadi pada tahap ini
perkembangan suatu obyek wisata betul-betul mencapai perkembangan yang optimal.
Melihat perkembangan pariwisata di Bali dapat dibagi ke dalam sistem zonasi
dengan menggunakan filosofi Hindu, dimana konsepnya adalah Dewata Nawa Sanga yang
berangkat dari ajaran agama Hindu. Dewata Nawa Sanga sendiri adalah sembilan dewa
yang berada pada sembilan mata angin yang memberikan kekuatan serta corak pada alam
di sekitarnya. Sembilan dewa ini adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Mahesora,
Brahma, Rudra, Mahadewa, Sankara, dan Siwa. Lebih jauh, konsep Dewata Nawa Sanga
yang ada tersebut lalu menurun pada konsep Padma Bhuwana. Konsep ini berkaitan
dengan sembilan dewa yang berada pada sembilan mata angin yang turut serta
mengembangkan pariwisata di Bali.
Implementasinya, memberikan karakter yang berbeda pada masing-masing
kabupaten kota di Bali. Misalnya kalau kita lihat Kabupaten Buleleng, dan Kabupaten
Bangli di sisi utara Bali. Dipengaruhi oleh kekuatan Dewa Wisnu. Kalau kita lihat
pengembangan pariwisata dengan kekuatan Dewa Wisnu, kita bisa kembangkan kawasan
konservasi hutan dan air. Contoh di kawasan tersebut terdapat beberapa daya tarik seperti
danau Batur, danau Tamblingan, pantai Lovina, Munduk atau kawasan perkebunan
cengkeh. Ini perlu dikembangkan apakah sebagai destinasi atau akomodasi dalam
tingkatan desa wisata yang dimana akan memberikan pengalaman tersendiri bagi
wisatawan yang datang ke Bali dan tinggal di kawasan tersebut.
Sementara itu, untuk pengembangan pariwisata zona Timur, bisa dikembangkan
sebagai kawasan spiritual. Zona timur sendiri yang bisa menjadi daya tarik wisata misalnya
Kabupaten Karangasem yaitu Pura Besakih dan ada juga Pura Lempuyang, Tirta Gangga.
Di Kabupaten Karangasem terdapat pura-pura besar sehingga cocok untuk kawasan
spiritual. Di sana wisatawan juga bisa melakukan experience melukis dengan lontar. Zona
selatan, bisa dikembangkan untuk kawasan ekonomi. Daya tarik wisata di zona selatan
berada di Kota Denpasar melalui pantai Sanur. Kemudian, di Kabupaten Badung ada
pantai Kuta, Seminyak dan Canggu. Serta Nusa Dua yang berada di zona selatan selalu
menjadi ajang tempat berkumpulnya pebisnis atau para pejabat.
Sementara itu, zona barat melalui kekuatan Dewa Mahadewa dikhususkan untuk
kawasan pertanian dan perikanan yang terletak di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten
Jembrana. Kabupaten Tabanan sendiri dapat dikembangkan untuk kawasan agro dengan
pertanian teraseringnya, sedangkan Kabupaten Jembrana bisa dikembangkan perikanan
dengan adanya pelabuhan Pengambengan. Untuk zona terakhir yaitu zona tengah akan
dikuatkan untuk mengembangkan kawasan seni dan budaya. Kawasan ini berada di
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung.
Jadi apabila dalam perkembangan pariwisata dalam masyarakat Bali tetap
mengedepankan filosofi Hindu dengan menerapkan konsep-konsep ini maka pariwisata
Bali akan menjadi milik masyarakat Bali dan dapat dilanjutkan ke generasi berikutnya
serta kita semua berharap agar stakeholder yang bergerak di industri pariwisata bisa berniat
dan mengembangkan kekuatan zona yang sudah didesain oleh para dewata.

B. Bagaimana pengaruh pariwisata Bali terhadap nilai kearifan local?


Perkembangan wisata di Bali telah membawa perubahan baik bagi masyarakat Bali
tersendiri, lingkungan, perekonomian, budaya dan sebagainya, perubahan tersebut ada
yang kearah positif dan juga negatif. Dari sisi positifnya, wisata dapat menambah
pendapatan bagi masyarakat Bali sendiri, dapat menciptakan lapangan kerja baru,
memajukan pembangunan, menciptakan peluang usaha dan banyak lagi dampak positif
lainnya. Sedangkan dampak negatif dari perkembangan wisata ini yaitu, dapat membawa
perubahan bagi nilai-nilai kearifan local, dimana masyarakat meniru dan merubah budaya
yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Bali menjadi budaya baru yang dibawa oleh
wisatawan, seperti budaya kebarat-baratan.
Kearifan local adalah suatu sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami
dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman dan pengalaman mereka
dalam berinteraksi dengan lingkungan(P.E. Tjahjojo,2000). Sedangkan menurut Yudie
Apriyanto, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan
dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka, pedoman ini bisa
tergolong dalam jenis kaidah sosial, baik secara tertulis ataupun tidak tertulis. Akan tetapi
yang pasti setiap masyarakat akan mencoba mentaatinya.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar, sebagai mana
mengutip Rohaedi Ayat dalam Kepribadian Budaya Bangsa (1986), adalah sebagai berikut:
1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. Memberi arah pada perkembangan budaya.
Di balik keberhasilan perkembangan pariwisata di Bali tentunya juga menimbulkan
berbagai dampak negatif, seperti terjadinya tekanan tambahan penduduk akibat pendatang
baru dari luar daerah, timbulnya komersialisasi, berkembangnya pola hidup konsumtif,
terganggunya lingkungan, semakin terbatasnya lahan pertanian, pencernaan budaya, dan
terdesaknya masyarakat setempat (Spillane, 1989).
Bagi orang Bali, kearifan lokal mempunyai makna dan fungsi yang sangat luas dalam
kehidupannya yaitu berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, untuk
pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara agama, untuk
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati,
kepercayaan dan pemujaan, selain itu berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan
pantangan.

Masyarakat Bali pada masa lampau, memiliki kearifan lokal yang mengandung
nilai-nilai yang sangat luhur didalam menjalankan sistem kehidupan bermasyarakat.
Namun seperti yang kita lihat pada masa sekarang ini nilai-nilai yang telah diwarisi oleh
nenek moyang atau leluhur kita telah mengalami penggeseran, mengalami kelenturan dan
seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Sebagai contoh, Bentuk-bentuk kearifan
lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat,
hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan
ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.
Kelunturan nilai-nilai tersebut salah satunya merupakan pengaruh dari
perkembangan wisata, disamping juga karna pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan
dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya
masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus masyarakat Bali dewasa ini tidak
lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada kecenderungan untuk
ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut adanya upaya untuk
menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan masyarakat Bali dewasa ini,
sehingga generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya sendiri. Cara efektif yang dapat
dilakukan untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur kepada masyarakat adalah melalui
pendidikan, dan memformat kembali nilai-nilai luhur tersebut menyesuaikannya dengan
kehidupan masa kini untuk modal menghadapi tantangan masa depan.

C. Bagaimana peranan nilai kearifan local dalam membangun ekowisata


Nilai-nilai Kearifan Lokal Kearifan lokal atau local wisdom dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, yang bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat (Sartini, 2004).
Kearifan lokal sesungguhnya merupakan buah dari kecerdasan masyarakat lokal
(local genius) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Local genius merupakan local
identity atau identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai dengan watak dan kemampuannya
sendiri.
Berbagai alternatif bentuk pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan banyak
ditawarkan oleh para ahli, di antaranya adalah bentuk wisata alam atau ekowisata.
Ekowisata merupakan salah satu jenis wisata minat khusus dengan aktivitas perjalanan ke
tempat-tempat dengan daya tarik alam dan bertujuan untuk mengapresiasi lingkungan serta
memberi penghidupan bagi masyarakat sekitar.
Ekowisata merupakan salah satu kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan
dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya,
ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan (Nugroho,2011).
Selain itu Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata minat khusus.
Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari
wisata massal. Perbeda an ini tentu berimplikasi pada kebutuhan pengelolaan yang tepat.
Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan yang menaruh
perhatian terhadap kelestarian lingkungan sumberdaya pariwisata. Pada prinsipnya konsep
pengembangan ekowisata ini sangat sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata
berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat dipandang sebagai pariwisata yang berada
dalam bentuk yang dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di suatu daerah untuk
waktu yang tidak terbatas (Butler, 1993 dalam Wardianto dan Baiquni, 2011).
Disebutkan bahwa sebuah kegiatan wisata dapat dikatakan sebagai ekowisata apabila
memiliki prinsip dan karakteristik sebagai berikut.
1. Tidak merusak lingkungan.
2. Berskala kecil
3. Menyajikan pengalaman langsung yang memuaskan
4. Mengandung unsur pendidikan dan interpretasi
5. Meningkatkan pemahaman antar semua pelaku pariwisata
6. Meningkatkan moral, sikap dan tanggung jawab etis para pelaku pariwisata terhadap
lingkungan alam dan budaya
7. Memberikan keuntungan dan manfaat jangka panjang (konservasi, ekonomi, sosial,
budaya), baik kepada daya tarik wisatanya sendiri, maupun kepada penduduk setempat
dan industri terkait.
UNESCO (2009) menyatakan bahwa terdapat lima prinsip dasar pengembangan
ekowisata, yaitu: pelestarian, pendidikan, pariwisata, perekonomian, dan partisipasi
masyarakat setempat. Dari kelima prinsip tersebut dapat dipahami bahwasanya kegiatan
ekowisata tidak hanya melakukan perjalanan wisata, tetapi dalam pelaksanaan juga
terdapat unsur pelestarian yang dapat menimbulkan kebersihan terhadap lingkungan
sekitar.

Dengan demikian peranan nilai kearifan local merupakan sesuatu yang penting dalam
membangun sebuah ekowisata karena salah satu prinsip pengembangan ekowisata adalah
adanya partisifasi masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang dimilikinya. Hal ini
merupakan peran penting untuk memelihara jati diri masyarakat pemiliknya dan oleh
karena itu perlu terus dijaga dengan meneruskannya kepada anak cucu karena nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya telah sesuai dengan karakter dan kepribadian yang mereka
miliki. Nilai-nilai kearifan local inilah yang berperan dalam membentuk identitas
masyarakat di daerah ekowisata tersebut dan juga mempengaruhi bagaimana mereka
berinteraksi dengan wisatawan dan dunia luar. Meskipun pariwisata telah membawa
perubahan dalam budaya lokal, namun masyarakat harus tetap berusaha menjaga
keseimbangan dengan melestarikan warisan budaya dan kearifan local mereka.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pengkajian data teori dan pembahasan yang telah dilakukan,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkembangan pariwisata dalam masyarakat Bali harus tetap mengedepankan
filosofi Hindu dengan system zonasi sehingga memberikan karakter yang berbeda
pada masing-masing kabupaten kota di Bali. Selain itu ini bertujuan agar pariwisata
Bali tetap menjadi milik masyarakat Bali dan dapat dilanjutkan ke generasi
berikutnya.
2. Dibalik keberhasilan perkembangan pariwisata di Bali tentunya juga menimbulkan
kelunturan nilai-nilai kearifan local sebagai karna pengaruh kemajuan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak
didasarkan atas budaya masyarakat setempat.
3. Peranan nilai kearifan local merupakan suatu hal yang penting dalam membangun
sebuah ekowisata karena salah satu prinsip pengembangan ekowisata adalah adanya
partisifasi masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang dimilikinya.

B. SARAN

1. Bagi pemerintah dan pihak pengelola pariwisata diharapkan dapat mencegah dampak
buruk akibat dari berkembangnya pariwisata, lebih memperhatikan kondisi keamanan
di sekitar obyek wisata serta tetap membangun budaya-budaya lokal daerah sehingga
potensi wisata yang dimiliki dapat ditingkatkan tanpa merubah kondisi budaya lokal
yang ada.
2. Bagi pelaku wisata diharapkan selalu menjaga potensi wisata yang ada baik potensi
fisik maupun non fisik dengan prinsip ramah lingkungan sehingga keunggulan wisata
yang ditawarkan dapat sepenuhnya sesuai dengan potensi obyek wisata asli daerah
sehingga menjadi keunggulan yang dimiliki tempat wisata tersebut.
3. Bagi masyarakat agar selalu menjaga budaya dan nilai-nilai kearifan local yang
dimiliki dalam membangun ekowisata.
DAFTAR PUSTAKA

A.J Burkat dalam Damanik (2006) Perencanaan Ekowisata.


Spillane (1987:21): Pengertian pariwisata. Bandung. Angkasa.Foster dan Greenwood

Tjahjono et all. 2000. Pola Pelestarian Keanekaragaman Hayati Berdasarkan Kearifan Lokal
Masyarakat

Aprianto, Yudie. 2008. Tingkat Partisipasi Warga dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis
Masyarakat. Bogor. IPBButler, 1993 dalam Wardianto dan Baiquni, 2011

Iwan Nugroho. 2011.Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan.Yogyakarta: PUSTAKA


PELAJAR

Mudrikah, A. (2014). Kontribusi sektor pariwisata terhadap GDP Indonesia tahun 2004-2009.
Economic Development Analysis JournalKoentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kembangkan PariwisataBali


Berdasarkan ZonasiKearifan Lokal”

artikel "Pengertian Kearifan Lokal Menurut Para Ahli dan Fungsinya"

Anda mungkin juga menyukai