Oleh:
I Putu Anand Jonathan Bimantara
Menjaga kelestarian dan keutuhan gumi bali ini perlu adanya sebuah
indiologi yang bisa kita terapakan di seluruh masyarakat bali. Bali yang di kenal
sebagai pulau dewata ini memiliki filosofi yaitu THK (tri hita karna) dan ini sebagai
indiologi masyarakat bali untuk menjaga kelestarian keutuhan dan kebahagian gumi
bali kita.
Tri Hita Karna merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Bali,
warisan nenek moyang (para leluhur) yang berbasis Hinduitis. THK sudah menjadi
pegangan dan pandangan hidup masyarakat Bali sejak dulu kala. , namun belum
diketahui secara pasti kapan dan di mana dimulainya. Data sejarah menunjukkan:
kebudayaan pertanian sudah dikenal di Bali pd tahun caka 522 (Goris, ?), diperkuat
oleh Prasasti Sukawana (caka 800) dan Prasasti Trunyan (caka 813), pada saat itu
subak yang berfalsafah THK sudah dikenal di Bali.
Aspek filosofis THK bersumber pd 4 (empat) pemikiran filsafat, yaitu:
aspek Teosentris, Kosmosentris, Antroposentris, dan Logosentris. Teosentris
merupakan teori pemikiran filsafat bahwa segala sesuatu bersumber dari Tuhan.
Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Antroposentris merupakan
teori pemikiran filsafat bahwa manusia sebagai titik pusatnya, karena manusia
lengkap memiliki tri pramana (sabda, bayu, dan idep) yang merupakan kelebihan
dari makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki kemampuan berpikir.
Pada teori pemikiran filsafat Kosmosentris bahwa alamlah yang
menjadi titik pusat segalanya, sedangkan Logosentris merupakan teori pemikiran
filsafat bahwa istilah atau pernyataan/ungkapan yang menjadi sumbernya. Dalam
hal ini Logosentris menjiwai istilah atau kata harmoni dalam THK yang dijadikan
interpretasi filsafat hidup orang Bali yang senantiasa berproses, berubah, inovatif,
dan konstruktif. Jadi keempat fase pemikiran tersebut diramu menjadi filsafat hidup
THK sebagai suatu konsep harmoni, yang menyangkut keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan (Parhyangan), keseimbbangan hubungan antar sesama
manusia (Pawongan), dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam
lingkungannya (Palemahan). Dalam konsep ini manusialah menjadi titik sentral
sekaligus subjek dalam implementasi THK dalam kehidupan sehari-hari.
memajukan dan mengembangkan gumi bali harus seimbang dengan
adat istiadat yang sudah di wariskan oleh nenek moyang kita ( leluhur gumi bali).
Mengingat bali sebagai pulau dewata dimana masyarkat bali masih memegang erat
sistem religi,maka dalam mengembangkan atau memajukan bali menuju era baru
tidak boleh menenggelamkan adat istiadat yang sudah menjadi ciri khas pulau bali.
Maka mengembangkan pariwisata menjadi ekowisata di bali sangatlah efisien.
Perkembangan pariwisata di Bali yang begitu pesat telah merusak
lingkungan baik fisik maupun sosial. Dampak lingkungannya meliputi alih fungsi
lahan pertanian, lahan tidur, pencemaran air, banjir, abrasi pantai, sampah dan
limbah. Dampak sosialnya adalah makin berkurangnya tradisi gotong-royong di
masyarakat, makin berkurangnya jumlah dan anggota subak, mengurangi
kesakralan simbol-simbol agama Hindu, tanah menjadi mahal, dan meningkatnya
kerawanan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan ekowisata sebagai
bentuk pariwisata Bali di masa depan yang dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan lingkungan di Bali. Pada prinsipnya ekowisata memiliki kepedulian,
komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam, warisan budaya dan
ekonomi masyarakat setempat. Pengembangan ekowisata diharapkan dapat
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan wisatawan dengan kebutuhan daerah yang
dikunjungi serta dapat mempertahankan kedua kebutuhan tersebut sampai ke masa
yang akan datang. Karena itu, pengembangan ekowisata hendaknya berpayung
pada kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh nenek moyang orang Bali yaitu Tri
Hita Karana.
Dua LSM yang aktif mengembangkan ekowisata di Bali yaitu Sua Bali (pendampinan
ekowisata Desa Kemenuh, Kabupaten Gianyar) dan Yayasan Wisnu – mendampingi
pengembangan ekowisata di Desa Tenganan (Karangasem), Banjar Kiadan, Pelaga
(Badung), Desa Ceningan (Klungkung), dan Desa Sibetan (Karangasem).
Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif dari pariwisata massal, yaitu
pengembangan alternatif yang lebih peduli dengan kelestarian lingkungan dan
pariwisata berkelanjutan.
Selama ini, dalam pemilihan perjalanan wisata tidak banyak orang yang memilih
bepergian ke area taman nasional, cagar alam dan tempat lain yang menjadi pusat
keanekaragaman hayati. Dengan kata lain, minimnya jumlah pengunjung yang
mengakses destinasi yang memiliki keanekaragaman hayati, memiliki relevansi
dengan perubahan peradaban post covid-19.
Orang akan mendatangi tempat-tempat yang jarang didatangi orang, yang tidak
berada di tengah kerumunan, lebih mencari kesehatan. Pola perjalanan yang
berubah ke skala kecil (solo traveler dan famili), prediksi akan dominasi segmen
wisatawan dari kalangan milenial, dalam durasi waktu yang singkat dan perjalanan
jarak dekat, menumbuhkan harapan akan perjalanan segmen wisata eco tourist di
kalangan keluarga dan milenial. Ini strategis bagi internalisasi kecintaan terhadap
lingkungan dan budaya di tanah bali
Kiranya kombinasi wisatawan domestik yang terdiri dari unsur milenial dan
wisatawan keluarga dengan pola perjalanan wisata di destinasi ekowisata desa,
akan menjadi awal yang baik bagi tumbuhnya habitus baru dalam peradaban wisata
di Bali.