Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, social,


budaya dan lingkungan. Beberapa dampak dapat dikontrol namun sebagian tidak
dapat dikontrol. Pengelolaan yang baik akan meminimalkan dampak negative dari
kegiatan pariwisata. Upaya menjamin bahwa pariwisata tidak menimbulkan
dampak negative terhadap sumber daya alam dapat dilakukan dengan peningkatan
kualitas kehidupan social masyarakat serta membangun pariwisata berdasarkan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Bali sebagai salah satu pulau di
Indonesia yang memiliki kearifan tradisional dan adat istiadat serta sangat
terkenal dalam bidang pariwisatanya. Seluruh masyarakat Bali sepakat bahwa
pembangunan di Bali didasarkan atas nilai-nilai kearifan local yang telah dikenal
secara universal dalam konsep Tri Hita Karana. Keharmonisan manusia dengan
Tuhan, sesame dengan lingkungan menjadi modal utama berkembangnya
pariwisata di bali. Oleh karena itu, perkembangan pariwisata yang terjadi saat ini
dan yang akan datang tidak membuat keharmonisan hubungan tersebut melemah
bahkan saling tercabut dari akarnya.

Prinsip dasar dari pembangunan yang berkelanjutan adalah keseimbangan


intergenerasi pembangunan akan berkelanjutan apabila pemenuhan kebutuhan saat
ini tidak mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang. Begitu halnya
pembangunan pariwisata harus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Konsep berkelanjutan sering sekali dipertentangkan dengan konsep persaingan
(competitiveness) sehingga dalam sebuah perencanaan pembangunan pariwisata
harus mempertimbangkan hal- hal seperti global environment, competitive
environment dan the big picture. Upaya pemerintah daerah Karangasem dalam
pengembangan Ekowisata di daerah Kubu masih terkesan kurang. Karena
pembangunan infrastruktur pariwisata di Kecamatan Kubu selama ini masih
mengandalkan pesisir pantai Kubu, diantaranya objek wisata menyelam di daerah
Tulamben. Daerah ini djadikan kawasan utama pariwisata di daerah Kubu, sebab

1
potensi yang terkandung dalam kawasan wisata ini menawarkan keindahan bawah
laut dengan keasrian terumbu karang dan spesies ikan yang beraneka ragam.
Sedangkan dalam pengembangan wisata dan potensi daerah Kubu yang
mengandalkan tanaman lontar, pemerintah baru bertindak sebagai distributor
produk olahan kerajinan sederhana dari tanaman lontar untuk dipasarkan atau
diperkenalkan di pameran kesenian daerah yang rutin dilaksanakan menjelang
peringatan hari kemerdekaaan Indonesia. Pemerintah beranggapan, dengan cara
ini masyarakat didaerah Kubu seperti Muntigunung dan Pedahan tergerak untuk
mengolah tanaman lontar menjadi barang kesenian. Akan tetapi, sampai saat ini
upaya tersebut belum mampu mengangkat sektor ekonomi di Kecamatan Kubu,
utamanya di daerah Muntigunung dan Pedahan.

Didalam meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat Kubu terutama


dalam bidang pariwisata, selain melihat potensi yang ada pemerintah juga harus
memperbaiki tatanan sosial masyarakat setempat, budaya, dan mental. Hal
tersebut penting dilakukan, karena bisa menjadi faktor yang berpengaruh dalam
memotivasi masyarakat untuk memperbaiki hidup dari meng-gepeng menjadi
masyarakat Kubu yang kuat dan mandiri. Maka dari itu diperlukan konsep kuat
yang menjadi pondasi dasar didalam pengembangan pariwisata berbentuk
Ekowisata.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan


ekowisata di daerah Kubu Karangasem dalam bidang Parahyangan, Pawongan,
dan Palemahan. Serta masukan atau bahan pertimbangan kepada pihak daya tarik
wisata Desa Kubu dalam terwujudnya pembangunan yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan.

2
BAB II

POKOK MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka pokok


masalah dalam rangkuman ini adalah Bagaimanakah Penerapan Konsep Tri Hita
Karana dalam pengembangan Ekowisata Desa Kubu, Karangasem dalam bidang
Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.

3
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana

Seperti dalam kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dikenal adnya
konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan yang berasal dari
bahasa sansekerta Tri (tiga), Hita (sejahtera), dan Karana (sebab) Konsep
kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut
memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan
lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya
hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam
kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama
manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan Tuhan yang
saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup
menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang,
selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan
hidup dengan menghindari daripada segala tindakan buruk. Hidupnya akan
seimbang, tenteram, dan damai.

Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab


kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara Manusia dengan
Tuhan nya, Manusia dengan alam lingkungannya, dan Manusia dengan
sesamanya. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan
pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan
materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan
yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak. Ketiga penyebab
kesejahteraan/ kebahagiaan yaitu:

a. Parahyangan
Merupakan hubungan yang harmonis manusia dengan Tuhan, dalam hal
manusia diharapkan memiliki kedekatan bathin dengan tuhan, setiap
aktivitas didasari oleh semangat pengabdian pada Tuhan. Manusia

4
menyadari jati dirinya sebagai atman atau makluk spiritual yang harus
selalu berhubungan dengan sumbernya yaitu Tuhan.

b. Pawongan
Ini merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia dengan
manusia, sebagai sesama ciptaan Tuhan yang memiliki hak dan kewajiban
yang sama, dalam hubungan ini diharapkan akan muncul suatu ikatan
paersaudaraan antar sesama manusia yang bersifat universal bebas dari
unsur SARA

c. Palemahan
Ini merupakan konsep hubungan manusia dengan alam, dimana dalam
konsep ini manusia diharapkan memiliki tanggung jawab pada alam dalam
mengelola alam tersebut. Manusia tidak hanya memanfaatkan alam tanpa
memperhatikan kelestarianya

Konsep ini secara nyata telah diterapkan oleh masyarakat Bali khususnya
dalam setiap konteks kehidupan budaya masyarakat keseharian, diantaranya
adalah adanya silakrama( pertemuan keseharian), upacara pemujaan kepada
Tuhan dan juga alam semesta dalam kesehariannya, dimana terbukti dengan
ketekunan masyarakat di Bali, kita masih bisa bertahan sampai sekarang ini.

Instansi atau pengelola pariwisata akan melakukan segala macam cara untuk
mampu bertahan, mengembangkan usahanya ditengah ketatnya persaingan saat ini
tanpa memperdulikan dampak yang akan dihasilkan dalam proses ini nantinya.
Walaupun terkadang usahanya tergolong tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Timbulnya kesembrawutan, pencemaran alam lingkungan yang disebabkan oleh
usahanya, ternodainya kesucian tempat suci dan lainnya merupakan sebuah hasil
yang yang membawa dampak ke depan yang tidak menguntungkan bagi semua
pihak,dan malah akan membawa kerugian untuk masa depannya.
Disinilah Konsep ini memiliki peranan yang sangat vital untuk memberi
kesadaran pada semua pengelola , atau orang yang terjun dibidang ini untuk
memikirkan bagaimana menjaga keseimbangan antara usaha dengan alam

5
lingkungan sekitarnya sehingga akan tercipta sebuah keharmonisan secara usaha
dan budaya yang akan membawa semua bidang berjalan secara stabil.
Memang akan cukup terasa sulit untuk dimengertikan, tetapi konsep Tri Hita
Karana akan memberi bimbingan sangat luas kepada insan pariwisata yang secara
duniawi dan spiritual akan memberi dampak positif untuk menjaga keharmonisan
pariwisata Bali kedepannya. Dengan demikian budaya Bali yang berkonsep Tri
Hita Karana akan tetap bisa menjadi contoh yang positif yang memberikan banyak
manfaat tidak hanya untuk bidang pariwisata tetapi juga untuk alam dan manusia
dengan selalu di landasi rasa syukur ke pada sang pencipta,Tuhan Yang Maha
Esa.
Terdapat banyak daerah dan seni budaya yang masih menerapkan konsep Tri Hita
Karana sebagai bagian dalam mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan
antara Alam,Manusia dan Tuhan yang dapat memberikan manfaat dalam bidang
pariwisata.

3.2 Penerapan Konsep Tri Hita Karana dalam Pengembangan Ekowisata


Kecamatan Kubu, Karangasem

Implementasi konsep THK dalam pengembangan Ekowisata di daerah


Kubu sangat ditentukan oleh cara penanganan ketiga aspek yang terkandung
dalam Tri Hita Karana, mulai dari aspek parahyangan, pawongan, dan
pelemahan. Ketiga aspek ini jika diimplementasikan dalam pengembangan
Ekowisata, akan menjadikan daerah Kubu tidak hanya terkenal dengan konservasi
tanaman lontar, tetapi juga keharmonisan masyarakatnya dalam menjaga nilai
luhur, dan budaya setempat. Sehingga daerah ini menjadi kawasan Ekowisata
yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Adapun implementasi ketiga aspek Tri Hita Karana dalam pengembangan


Ekowisata di daerah Kubu adalah :

6
3.2.1 Parahyangan.

Aspek Parahyangan merupakan salah satu aspek penting dalam Tri Hita
Karana. Aspek ini menyangkut keyakinan dalam beragama masyarakat Bali pada
umumnya. Dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
Parahyangan merupakan menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Implementasinya dapat kita lihat dari masyarakat Kubu dan
masyarakat Bali pada umumnya, yang mengenal upacara Tumpek
Ngatag. Upacara ini mengandung makna bahwa masyarakat setempat
memperingati hari tumbuhan, sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara ini bisa memiliki multifungsi dalam pengembangan Ekowisata. Karena
selain sebagai tradisi penghormatan kepada Tuhan, upacara ini bisa dijadikan
penarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah Kubu. Upacara ini juga
merupakan bentuk aplikasi nilai spiritual ke dalam pelestarian lingkungan.
Salah satu wisata budaya dan keagamaan yang penting di Kecamatan Kubu adalah
Pura Bukit Mangun. Berada di Desa Tianyar, sekitar 12 kilometer dari Ibukota
Kecamatan. Di puncak bukit ini terdapat satu komplek pura yang mana untuk
mencapainya harus menaiki ratusan anak tangga. Dari lokasi ini dapat terlihat
Gunung Agung dan Laut Bali sekaligus yang merupakan kombinasi pemandangan
yang luar biasa. Masyarakat Kubu masih sangat menjaga kesucian tempat ini,
wisatawan yang ingin berkunjungan ke tempat ini harus memakai kamen dan
tidak di perbolehkan wanita yang haid memasuki tempat ini. Dengan cara itu
masyarakat di Desa kubu sudah menerapkan konsep Tri Hita Karana dari segi
asperk Parahyangan yaitu dengan tetap menjaga kesucian tempat
persembahyangan umat hindu khususnya di Pura Bukit Mangun.

3.2.2 Pawongan.

Aspek Pawongan dalam konsep Tri Hita Karana berarti hubungan harmonis
antar sesama manusia, dimana aspek ini terkandung nilai sosial yang
mengharuskan masyarakat setempat untuk saling menghargai, saling menolong,
dan saling menghormati. Dalam kitannya dengan dunia ekowisata,

7
pegejewantahan aspek pawongan dalam pengelolaan pariwisata memposisikan
pranata-pranata social masyarakat local sebagi acuan bagi pola-pola hubungan
baik antar sesama pelaku pariwisata maupun antar pelaku pariwisata dengan
lingkungan social stempat.

Hal ini tidak saja berimplikasi kepadaterciptanya hubungan yang harmonis antar
sesamamanusia sebagai makhluk sosial, tetapi sekaligus jugamerupakan revitalisa
si terhadap tatanan social masyarakat setempat. Aspek ini penting untuk ditumbuh
kembangkan karena keterbukaan, keramahan, dan kesosialan masyarakat daerah
Kubu, merupakan modal utama sebagai daya tarik pengunjung untuk datang
menikmati kawasan Ekowisata yang berbasis tanaman lontar. Bentuk Ekowisata
yang mengedepankan nilai sosial masyarakat Kubu adalah
program Homestay atau lebih dikenal dengan rumah singgah.
Ekowisata Homestay seperti ini, umumnya menawarkan pengunjung menginap di
hotel atau villa. Tetapi, untuk lebih menonjolkan sikap sosial dan budaya
masyarakat Kubu, pengunjung akan menginap di rumah-rumah warga sebelum
atau saat menikmati kawasan Ekowisata di daerah Kubu. Selain Homestay, cermin
hubungan harmonis antar manusia dapat juga dilihat dari budaya Megibung yang
merupakan ciri khas masyarakat Karangasem. Dalam budaya Megibung ini,
pengunjung akan diajak untuk makan bersama penduduk setempat dengan
wadah Nare (nampan/piring yang lebar) dimana dalam satu sela atau satu
kelompok makan berjumlah maksimal 8 orang. Orang-orang yang megibung
harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Makna sosial pada
budaya Megibung ini adalah kebersamaan dalam kesederhanaan, yaitu saling
berbagi makanan antar sesama. Dari budaya ini tercermin hubungan yang
harmonis antar penduduk setempat dengan wisatawan yang akan berkunjung.
Sehingga memperkaya nilai Ekowisatadi daerah Kubu yang akan ditawarkan
dalam dunia pariwisata. Dengan bentuk Ekowisata Homestay dan
tradisi megibung yang seperti ini, masyarakat setempat dihadapkan untuk
mengedepankan sikap sosial. Masyarakat Kubu harus siap berkomunikasi, dan
beinteraksi dengan pengunjung yang datang. Mulai dari etika menyambut
pengunjung, mempersilahkan pengunjung, atau sebagai guide dalam memandu

8
pengunjung menikmati kawasan Ekowisata di daerah Kubu. Dari sinilah
masyarakat harus mempunyai konsep Tri Hita Karana dari segi
aspek Pawongan. Apabila masyarakat Kubu sudah mengimplementasikan
aspek Pawongan dengan baik, maka pengembangan Ekowisata di daerah Kubu
akan berjalan lancar.

3.2.3 Palemahan.

Pengejewantahan aspek palemahan dalam pengelolaan pariwisata


menjungjung tinggi kearifan-kearifan ekologi masyarakat setempat.
Aspek Palemahan dapat diwujudkan dengan penataan ulang (revitalisasi) tanaman
lontar, reboisasi (penanaman kembali), dan penghijauan. Berdasarkan klasifikasi
kawasan revitalisasi, daerah Kubu termasuk ke dalam fungsi revitalisasi kawasan
pegunungan/perbukitan. Hal ini disebabkan daerah ini memang berbukit-bukit
yang sebagian daerahnya cukup gersang akibat letusan gunung Agung tahun 1963
silam. Meskipun demikian, daerah Kubu sangat cocok ditumbuhi tanaman lontar,
hal ini terlihat dari penyebaran tanaman lontar di daerah ini cukup banyak, akan
tetapi belum tersebar secara merata di masing-masing daearah di wilayah Kubu.
Berdasarkan hal tersebut, penataan ulang tanaman lontar ini penting dilakukan,
mengingat potensi daerah ini sebagai sentra ekowisata berbasis tanaman lontar
cukup potensial.
Salah satu kawasan ekowisata yang terdapat di Kubu yaitu Wisata Rumah
Pohon, orang mulai mengenal objek wisata Rumah Pohon di Karangasem pada
awal 2015, pada hal keberadaan Rumah Pohon ini sudah lama dan menjadi tempat
pesanggrahan pribadi bernama Loka Sanggraha, yang diperuntukkan untuk
mendapatkan keheningan, kedamaian di tengah alam pegunungan dan hamparan
pemandangan indah.
Menikmati indahnya alam pegunungan dengan berbagai perpaduan
pemandangan alam tentu akan memberikan pengalaman berbeda dalam
menikmati liburan anda bersama pasangan terkasih. Objek wisata Rumah Pohon
Karangasem sanggup memberikan suguhan spesial bagi anda. Berencana

9
mengeksplorasi kawasan Bali Timur terutama wilayah Kabupaten Karangasem
atur acara tour di Bali.
Objek wisata Rumah Pohon di Batu Dawa Karangasem ini, lokasinya jauh
dari keramaian, karena berada di atas bukit kaki Gunung Agung, dengan
ketenangan dan kedamaian yang disajikan, diharapkan bagi pengunjungnya bisa
merasakan ketenangan pikiran dan tubuh dapat refresh dengan atmosfer yang
benar-benar segar dan jaug dari polusi. Jika anda mau berkunjung ke objek wisata
di Bali ini dan ingin merasakan ketenangan dan kenyamanan lebih, berkunjunglah
pada hari-hari biasa hindari saat liburan ataupun akhir pekan, sehingga anda bisa
lebih leluasa menikmati suasana alam sekitarnya.
Berbagai aktivitas bisa anda lakukan di objek wisata Rumah Pohon
Karangasem, seperti bersantai di atas pohon mengagumi keindahan alam
pegunungan dan sekelilingnya dan juga foto selfie dengan pemandangan indah
Gunung Agung atupun pemandangan lembah, bukit dan pantai. Perlu diingat
tempat ini, kawasan sangat dijaga keindahan, kealamian dan bahkan kesuciannya
untuk itu bagi pengunjung sangat diharapkan untuk selalu menjaga kebersihan
serta etika sopan santun berkunjung. Dari sini masyarakat Kubu sudah
menerapkan konsep Tri Hita Karana gari segi aspek Palemahan yaitu hubungan
manusia dengan alam lingkungannya. Dengan demikian pengembangan Ekosista
di daerah Karangasem Kubu akan berjalan dengan lancer.

10
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penerapan konsep Tri Hita Karana pada pariwisata


budaya Bali adalah sebuah pembelajaran bagi kita dan seluruh
masyarakat,pemerintah dan instansi terkait dalam bidang pariwisata untuk
mengedepankan keseimbangan dan keharmonisan yang bisa memberi
banyak manfaat bagi kelestarian Alam dan Manusia sebagai penghuni
jagad raya ini tanpa melupakan Tuhan sebagai penciptanya,maka dari itu
Tri Hita Karana adalah solusi terbaik yang bisa di terapkan dalam industri
pariwisata dalam melestarikan budaya Bali

4.2 Saran

Saran yang bisa kami sampaikan adalah, supaya semua yang


berhubungan dengan pariwisata di dunia umumnya dan di Bali khususnya
agar bisa menerapkan konsep Tri Hita Karana sebagai bagian dari
pembangunan pariwisata,agar keseimbangan dan keharmonisan bisa
terwujud tanpa ada yang dirugikan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Tri Hita Karana Tourism Award and Accreditations. Denpasar:
Bali Travel Newspaper

12

Anda mungkin juga menyukai