Anda di halaman 1dari 35

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori dan Konsep Ekowisata Berbasis Masyarakat

2.1.1 Definisi ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan

lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan

sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan

pendidikan. INECOM dalam Bappeda Kabupaten Bangli (2002) menyebutkan

ekowisata adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di

tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam

yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Lebih lanjut dijelaskan,

ekowisata pada dasarnya memiliki sifat-sifat dan perilaku serupa dengan

pariwisata yang umum dikenal oleh semua orang, seperti memerlukan atraksi atau

obyek pariwisata, memerlukan sarana dan prasarana, serta adanya komponen jasa

pelayanan yang menjadi ciri khas pariwisata.

Ekowisata dimulai ketika dirasakan adanya dampak negatif pada kegiatan

pariwisata konvensional. Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan

dibuktikan oleh para ahli lingkungan tapi juga para budayawan, tokoh masyarakat

dan pelaku bisnis pariwisata itu sendiri.

Dampak berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal

secara tidak terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan

11
12

bisnis yang mulai mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat

setempat. Untuk mengatasinya, ekowisata mulai dijalankan dengan cara

membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah

lingkungan. Proses kunjungan yang sebelumnya memanjakan wisatawan ini,

ternyata dapat mengurangi dampak negatif kepada lingkungan.

Ekowisata Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh

seorang wisatawan ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari

mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya

membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam.

Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan

bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap

linkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi

bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi.

Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah:

1. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung

lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism).

2. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi).

3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata).

4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi).

Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi

masyarakat dan ekonomi).


13

2.1.2 Ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism)

Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata

yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat

setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan

segala keuntungan yang diperoleh.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang

menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan

bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi

potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat

menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat

lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat

ataupun sebagai pengelola.

Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi

masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, dimana penghasilan ekowisata

adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi;

homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap

pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan

akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat

yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa

masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi

ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu

yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari
14

level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non

pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu

kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing.

Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:

1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan

ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi

masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi).

2. Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat

setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana

ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat). Homestay

menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai ekonomi

dan edukasi).

3. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat).

4. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi

tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya untuk

wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

2.1.3 Ekowisata dan konservasi

Menurut Joko Christanto (2014), konservasi adalah upaya yang dilakukan

manusia untuk melestarikan atau melindungi alam. Konservasi (conservation)

adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari

bahasa Inggris conservation, yang artinya pelestarian atau perlindungan.

Sedangkan menurut ilmu lingkungan, konservasi dapat diartikan adalah sebagai

berikut:
15

1. Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi

yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak

menyediakan jasa yang sama tingkatannya;

2. Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan

dan sumber daya alam (fisik);

3. Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimia

atau transformasi fisik;

4. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan;

5. Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola,

sementara keanekaragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan

mempertahankan lingkungan alaminya.

Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai

alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun

tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti

penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang

berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di

dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Namun agar ekowisata tetap

berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat

diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha

ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata

sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan.

Ekowisata dihargai dan dikembangkan sebagai salah satu program usaha

yang sekaligus bisa menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif
16

ekonomi bagi masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat

memanfaatkan keindahan alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat

tanpa merusak atau menjual isinya.

2.1.4 Memahami pemasaran produk ekowisata

Ada dua aspek yang sangat terkait dan perlu dibahas secara bersamaan jika

ingin mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat sebagai satu usaha yang

berhasil. Usaha harus layak secara ekonomi, menghasilkan pendapatan yang

signifikan untuk masyarakat setempat, dan dikelola secara profesional. Kemudian,

usaha tersebut perlu adil, bermanfaat buat masyarakat lokal sebagai mitra utama,

dan mendukung konservasi secara nyata.

Dalam mengembangkan pemasaran, strategi pencitraan (branding) dan

promosi untuk produk ekowisata sangat penting, melalui:

1. Mengikuti kegiatan promosi dan pemasaran berskala internasional

2. Melakukan survei pasar secara berkala untuk mengetahui dinamika pasar

3. Mengidentifikasi target pasar untuk produk ekowisata yang dikembangkan

4. Menyelenggarakan promosi secara khusus (fam trip, media trip, dll.)

5. Membuka dan menjalin hubungan terbuka dengan pihak swasta dan

mendorong adanya kesepakatan antara organisasi masyarakat dengan tour

operator .

2.1.5 Prinsip ekowisata

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin

keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan

kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip
17

pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini

dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly

dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based). The Ecotourism

Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap

alam dan budaya. Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat

dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat

setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat

dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang

digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian

dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan

conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina,

melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam

merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam

pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi

masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga

kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan

termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga


18

keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam

akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin

penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian

budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai

daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan.

Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang

membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu

kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan

belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau

negara bagian atau pemerintah daerah setempat.

Prinsip-prinsip pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan


konservasi

1. Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan


(prinsip konservasi dan partisipasi masyarakat).

Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata

yang “HIJAU dan ADIL” (Green& Fair) untuk kepentingan pembangunan

berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk

menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan

yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama

bagi masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang

dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian


19

dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis,

ekologis dan nilai sejarah yang tinggi.

Kriteria:

1) Prinsip daya dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan

kegiatan wisatawan pada sebuah daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai

dengan batas-batas yang dapat diterima baik dari segi alam maupun sosial-

budaya.

2) Sedapat mungkin menggunakan teknologi ramah lingkungan (listrik tenaga

surya, mikrohidro, biogas, dll).

3) Mendorong terbentuknya ”ecotourism conservancies” atau kawasan ekowisata

sebagai kawasan dengan peruntukan khusus yang pengelolaannya diberikan

kepada organisasi masyarakat yang berkompeten.

2. Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (Prinsip


partisipasi masyarakat).

Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan

ekowisata juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam

menguatkan organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan

menciptakan kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa

contoh di lapangan menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat

dikembangkan melalui kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour

Operator dan organisasi masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam).

Peran organisasi masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah

stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari

pengembangan dan pengelolaan ekowisata.


20

Koordinasi antar stakeholders juga perlu mendapatkan perhatian. Salah

satu model percontohan organisasi pengelolaan ekowisata yang melibatkan semua

stakeholders termasuk, masyarakat, pemerintah daerah, UPT, dan sektor swasta,

adalah ”Rinjani Trek Management Board.” Terbentuknya Forum atau dewan

pembina akan banyak membantu pola pengelolaan yang adil dan efektif terutama

di daerah di mana ekowisata merupakan sumber pendapatan utama bagi

masyarakat setempat.

Kriteria:

1) Dibangun kemitraan antara masyarakat dengan Tour Operator untuk

memasarkan dan mempromosikan produk ekowisata; dan antara lembaga

masyarakat dan Dinas Pariwisata dan UPT

2) Adanya pembagian adil dalam pendapatan dari jasa ekowisata di masyarakat

3) Organisasi masyarakat membuat panduan untuk turis. Selama turis berada di

wilayah masyarakat, turis/tamu mengacu pada etika yang tertulis di dalam

panduan tersebut.

4) Ekowisata memperjuangkan prinsip perlunya usaha melindungi pengetahuan

serta hak atas karya intelektual masyarakat lokal, termasuk: foto, kesenian,

pengetahuan tradisional, musik, dll.

3. Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat).

Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata.

Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana

yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah

keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak
21

memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat

merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi

manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi

sebagai produk ekowisata di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk

belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi

tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu

sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang

lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia.

Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan

pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset terpenting

dalam jasa yang diberikan kepada turis. Demikian juga seorang pemandu lokal

akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari ekowisata, dan sebagai pengelola

juga akan menjaga kelestarian alam dan obyek wisata.

Kriteria:

1) Ekowisata mendorong adanya regulasi yang mengatur standar kelayakan

homestay sesuai dengan kondisi lokasi wisata.

2) Ekowisata mendorong adanya prosedur sertifikasi pemandu sesuai dengan

kondisi lokasi wisata.

3) Ekowisata mendorong ketersediaan homestay.

4) Ekowisata dan tour operator turut mendorong peningkatan pengetahuan dan

keterampilan serta perilaku bagi para pelaku ekowisata terutama masyarakat.

4. Prinsip Edukasi:
22

Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada

wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap

kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal

yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan

nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap

tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan

acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya.

Kriteria:

1) Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan

upaya konservasi.

2) Kegiatan ekowisata selalu beriringan dengan aktivitas meningkatkan

kesadaran masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat tentang perlunya

upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

3) Edukasi tentang budaya setempat dan konservasi untuk para turis/tamu

menjadi bagian dari paket ekowisata.

4) Mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan

konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay &

volunteer).

5. Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja


pengelolaan lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata).

Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying

capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak

negative terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang

perlu dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis;


23

berapa sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi; dll. Zonasi

dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga

nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata.

Kriteria:

1) Kegiatan ekowisata telah memperhitungkan tingkat pemanfaatan ruang dan

kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan melalui pelaksanaan sistem

zonasi dan pengaturan waktu kunjungan.

2) Fasilitas pendukung yang dibangun tidak merusak atau didirikan pada

ekosistem yang sangat unik dan rentan.

3) Rancangan fasilitas umum sedapat mungkin sesuai tradisi lokal, dan

masyarakat lokal terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan.

4) Ada sistem pengolahan sampah di sekitar fasilitas umum.

5) Kegiatan ekowisata medukung program reboisasi untuk menyimbangi

penggunaan kayu bakar untuk dapur dan rumah.

6) Mengembangkan paket-paket wisata yang mengedepankan budaya, seni dan

tradisi lokal.

7) Kegiatan sehari-hari termasuk panen, menanam, mencari ikan/melauk,

berburu dapat dimasukkan ke dalam atraksi lokal untuk memperkenalkan

wisatawan pada cara hidup masyarakat dan mengajak mereka menghargai

pengetahuan dan kearifan lokal.

Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke

waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata

yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural


24

area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava

bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada

dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk

dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.

2.1.6 Pendekatan Pengelolaan Ekowisata

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan

konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang

menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya

menjaga kelangs ungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa

mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International

Union for Conservntion of Nature and Natural Resources (1980), bahwa

konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha

memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang.

Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan ecotour adalah daerah

alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman

Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata

dan Taman Buru. Tetapi kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan

produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat

dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem

sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula

dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap

menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.


25

Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian

lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan

konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem

kehidupan.

2. Melindungi keanekaragaman hayati.

3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan

pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan

dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini

jangan justru dibalik.

Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan

kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan

sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya. Bahkan Eplerwood (1999)

memberikan konsep dalam hal ini:

“Urgent need to generate funding and human resonrces for the


management of protected areas in ways that meet the needs of local rural
populations. (Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur
conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan
dan masyarakat lokal).”

2.1.7 Konsep Pengembangan Ekowisata

Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara

pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan.

Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk

pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun


26

aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan

daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan

keberadaannya.

Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam

dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan.

Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya

dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab

ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam

dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis

wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata

yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi

menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan

pasar.

Menurut Gunn (1993), suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila

secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu :

1. Mempertahankan kelestarian lingkungannya,

2. meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut,

3. menjamin kepuasan pengunjung, dan

4. meningkatkan keterpaduan dan unit pembangunan masyarakat di sekitar

kawasan dan zone pengembangannya.

2.2 Definisi Agrowisata

Menurut Wayan Windia, Made Wirartha, Ketut Suamba, dan Made

Sarjana (2007), menyatakan bahwa secara umum konsep agrowisata


27

mengandung pengertian suatu kegiatan perjalanan atau wisata yang dipadukan

dengan aspek-aspek kegiatan pertanian. Pengertian ini mengacu pada unsur

rekreatif yang memang sudah menjadi ciri kegiatan wisata, unsur pendidikan

dalam kemasan paket wisatanya, serta unsur sosial ekonomi dalam pembangunan

pertanian dan perdesaan. Dari segi substansinya kegiatan agrowisata lebih

menitikberatkan pada upaya menampilkan kegiatan pertanian dan suasana

perdesaan sebagai daya Tarik utama wisatanya tanpa mengabaikan segi

kenyamanan.

Menurut Sumarwoto (1990), pada dasarnya agrowisata merupakan

kegiatan yang berupaya mengembangkan sumberdaya alam suatu daerah yang

memiliki potensi di bidang pertanian untuk dijadikan kawasan wisata. Daerah

perkebunan, sentra penghasil sayuran tertentu dan wilayah perdesaan

berpotensi besar menjadi objek agrowisata. Potensi yang terkandung tersebut

harus dilihat dari segi lingkungan alam, letak geografis, jenis produk, atau

komoditas pertanian yang dihasilkan, serta sarana dan prasarananya.

Menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1996), pengembangan agrowisata

pada hakikatnya merupakan upaya terhadap pemanfaatan potensi atraksi wisata

pertanian. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri

Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi dan Menteri Pertanian No.

KM.47/PW.DOW/MPPT-89 dan No.204/KPTS/HK/050/4/1989 agrowisata

sebagai bagian dari objek wisata, diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang

memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.


28

Menurut Hadi (2012), agrowisata merupakan obyek wisata yang

memanfaatkan usaha pertanian dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan,

pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Agrowisata dapat

dikelompokkan kedalam ekowisata yaitu kegiatan pariwisata yang berwawasan

lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan

sosial, ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.

2.3 Definisi Subak

Menurut Hadi (2002), subak merupakan salah satu kelembagaan

tradisional yang telah terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan

pertanian dan perdesaan di Bali. Karena keunikan dan berbagai karakteristik

lainnya, Subak telah terkenal ke berbagai penjuru dunia khususnya di kalangan

pakar pembangunan pertanian dan perdesaan, maupun ahli-ahli ilmu sosial

(Sosiolog dan Antropolog), serta pemerhati masalah teknis keirigasian.

Subak adalah organisasi petani yang bergerak dalam usaha pengaturan air

irigasi untuk lahan basah (sawah). Karena faktor pengikat utamanya adalah air

irigasi, maka anggota suatu Subak adalah petani pemilik/penggarap sawah yang

dilayani oleh suatu jaringan atau sub-jaringan irigasi tertentu, tidak memandang

dari desa mana anggota tersebut berasal, dengan kata lain pendekatan Subak

adalah pendekatan jaringan irigasi (canal based) dan bukan desa (village based).

Anggota suatu Subak dapat berasal dari berbagai desa, dan seorang petani

dapat menjadi anggota pada beberapa Subak. Secara umum anggota Subak

(Krama Subak) dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu anggota aktif (Krama
29

Pengayah), anggota pasif (Krama Pengampel) dan anggota khusus (Krama

Leluputan) yang dibebaskan dari kewajiban Subak karena memangku jabatan

tertentu. Sebagai suatu organisasi, Subak mempunyai unsur pimpinan yang

disebut dengan Prajuru. Pada Subak yang kecil, struktur organisasinya sangat

sederhana, hanya terdiri dari seorang ketua Subak yang disebut Kelihan Subak

atau Pekaseh, dan anggota Subak. Sedangkan pada Subak-subak yang lebih besar,

prajuru subak umumnya terdiri atas : Pekaseh (Ketua Subak), Petajuh (Wakil

Pekaseh), Penyarikan (Sekretaris), Petengan atau Juru Raksa (Bendahara), Juru

arah atau Kasinoman (Pembawa informasi), dan Saya (Pembantui khusus).

Prajuru Subak umumnya dipilih oleh anggota Subak dalam suatu rapat pemilihan,

untuk masa jabatan tertentu (biasanya 5 tahun). Untuk Juru arah biasanya dijabat

bergilir oleh anggota Subak dengan pergantian setiap bulan (35 hari) atau enam

bulan (210 hari), sedangkan Saya dipilih berdasarkan upacara keagamaan Subak.

Subak-subak yang besar biasanya dibagi atas sub-sub yang disebut dengan

Tempek yang dipimpin seorang Kelihan Tempek. Untuk tujuan-tujuan tertentu,

misalnya koordinasi dalam distribusi air dan atau upacara pada suatu pura,

beberapa Subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu koordinasi yang

disebut Subak Gede. Subak anggota dari suatu Subak Gede umumnya berada

dalam satu daerah irigasi, meskipun ada juga Subak Gede yang Subak anggotanya

memiliki sistem irigasi sendiri-sendiri.

Menurut Pitana (1997), ciri dasar subak adalah: (1) Subak merupakan

organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai

organisasi, Subak memiliki pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (Awig-


30

awig) baik tertulis maupun tidak tertulis; (2) Subak mempunyai suatu sumber air

bersama, dapat berupa bendung di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran

utama suatu sistem irigasi; (3) Subak mempunyai suatu areal persawahan; (4)

Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal; dan (5) Subak

mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (atau pura yang berhubungan dengan

kesubakan, untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan).

2.4 Alih Fungsi Lahan

2.4.1 Definisi alih fungsi lahan

Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau

seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain

yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Misalnya, berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi

lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman.

Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum

menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu

penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada

bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah

menjadi kawasan pemukiman.

Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung

melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai penjual bersifat

monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan

adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik informasi diantara


31

keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada

kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi lahan dengan

bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan

pemerintah sebagai planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara

teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat

rencana tata ruang wilayahnya.

2.4.2 Faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan

Alih fungsi lahan merupakan perubahan untuk penggunaan lain

disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan

meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Alih fungsi lahan

disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar faktor yang menyebabkan

terjadinya alih fungsi lahan digolongkan menjadi 3, yaitu:

1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal atau faktor dari luar merupakan faktor yang disebabkan

oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. (a)

Pertumbuhan perkotaan yang dimaksud adalah semakin padatnya daerah

perkotaan maka akan terjadi ekspansi ke daerah pinggiran ataupun belakang kota.

Pedesaan sebagai daerah belakang kota yang memasok kebutuhan pangan kota

akan mulai terdesak akibat pertumbuhan dan perkembangan kota yang semakin

pesat, sehingga lahan-lahan produktif pertanian desa akan dirubah sebagai lahan

permukiman ataupun industri. (b) Demografi atau kependudukan yang dimaksud


32

disini adalah semakin meningkatnya pertumbuhan dan jumlah penduduk yang

menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan lahan yang akan

digunakan sebagai perumahan. Pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah

satu penyebab menurunnya pertumbuhan produksi padi. (c) Faktor Ekonomi

merupakan faktor semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan di bidang

ekonomi baik itu digunakan sebagai kegiatan pariwisata maupun perdagangan.

Selain itu, tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi juga dapat menyebabkan

terjadinya alih fungsi lahan. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual

asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak

meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan

pada pihak-pihak pemilik modal.

2. Faktor Internal

Faktor dari dalam, faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh

kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. karakteristik

petani yang mencangkup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga,

luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Di zaman

yang semakin modern ini tidak dipungkiri para generasi muda lebih memilih

bekerja di bidang industri dan perkantoran daripada bekerja di bidang pertanian.

Hal ini menyebabkan daerah pedesaan yang bergerak di bidang pertanian

kekurangan tenaga produktif, karena ditinggal ke kota. Selain itu, semakin

meningkatnya biaya operasional dalam pengolahan lahan pertanian juga

menyebabkan para petani mengalami kerugian, sehingga mereka lebih memilih

untuk beralih profesi dan menjual lahan pertaniannya.


33

3. Faktor Kebijakan

Faktor kebijakan berkaitan dengan aspek peraturan (regulasi) yang

dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan

perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi itu sendiri

terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi

objek lahan yang dilarang dikonversi. Selain itu, kurangnya aksi nyata (hanya

wacana semata) dan tidak jelasnya langkah pemerintah dalam meminimalisis alih

fungsi lahan menjadi semakin banyak dan maraknya lahan yang terkonversi.

2.4.4 Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian

Perlu digaris bawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan

pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya

pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan saja.

Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka keputusan

untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan berbagai aspek yang

melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut mengingat lahan yang ada

mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau dari segi jasa (service) yang

dihasilkan maupun beragam fungsi yang melekat di dalamnya. Sehubungan

dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990) merekomendasikan tiga pendekatan

secara bersamaan dalam kasus pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland),

yaitu melalui : (1) regulation; (2) acquisition and management; dan (3) incentive

and charge. Uraian singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Regulation.
34

Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah

aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan

teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan

(zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi.

Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan

melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi

lahan.

Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui

penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di

tingkat kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di

lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.

2. Acquisition and Management.

Melalui pendekatan ini pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan

aturan jual beli lahan serta penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure

system) yang ada guna mendukung upaya kearah mempertahankan keberadaan

lahan pertanian.

3. Incentive and Charges.

Pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas

lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang

mempertahankan keberadaan lahan pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain

yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu,

pengembangan prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung

pengembangan kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.


35

Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan

pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada acuan

pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka perlu

diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut diharapkan

mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan sebelumnya.

Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan

inisiatif masyarakat.

Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan peraturan

yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu, instrumen ekonomi

mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi. Selain dengan menggunakan

Strategi Peraturan Kebijakan diatas strategi pengendalian alih fungsi lahan

pertanian dapat ditempuh juga dengan menggunakan Strategi Partisipasi

Mayarakat.

Pelibatan masyarakat seyogyanya tidak hanya terpaut pada fenomena di

atas, namun mencakup segenap lapisan pemangku kepentingan. Strategi

pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang patut dijadikan pertimbangan

adalah yang bertumpu pada masyarakat (community-based management plan).

Artinya, masyarakat adalah tumpuan dalam bentuk partisipasi dalam pengendalian

alih fungsi lahan pertanian. Pemangku kepentingan (stakeholder) dapat

didefinisikan sebagai individu, masyarakat, atau organisasi yang secara potensial

dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan (Race and Millar, 2006). Dengan

kata lain, pemangku kepentingan mencakup pihak-pihak yang terlibat secara

langsung atau tidak langsung dan memperoleh manfaat atau sebaliknya dari suatu
36

proses pengambilan keputusan. Secara garis besar, para pemangku kepentingan

tersebut dapat diklasifikasikan atas dua kategori (Crosby, 1992), yaitu :

1. Pemangku kepentingan utama (primary stakeholders), yakni kelompok

sosial masyarakat yang terkena dampak baik secara positif (penerima

manfaat/beneficiaries) maupun negatif (di luar kesukarelaan) dari suatu kegiatan.

2. Pemangku kepentingan penunjang (secondary stakeholders), yaitu

berperan sebagai pihak perantara (intermediaries) dalam proses penyampaian

kegiatan. Pemangku kepentingan ini dapat dibedakan atas penyandang dana,

pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi, atau secara gamblang

antara lain terdiri dari pemerintah, lembaga sosial masyarakat (LSM), pihak

swasta, politisi, dan tokoh masyarakat. Sekaligus, pemangku kepentingan

penunjang ini juga berperan sebagai pemangku kepentingan kunci (key

stakeholders) yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting

atas keberlangsungan kegiatan.

Dalam konteks alih fungsi lahan, seirama dengan definisi di atas,

pemangku kepentingan mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan,

yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan

sosialnya, sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan LSM dengan kelompok

institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi,

jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas.

Tanpa eksistensi keempat pilar di atas, sulit rasanya untuk memuluskan

(enforcement) pengimplementasian peraturan-peraturan yang notabene selama ini

muatannya sudah cukup komprehensif dalam pengendalian alih fungsi lahan.


37

Akan tetapi, identifikasi pemangku kepentingan harus dilakukan terlebih dahulu,

yakni menyangkut dengan keberadaan, keterlibatan, peran, dan imbas

pengaruhnya. Metode (tool) untuk mengetahui dan mengidentifikasi partisipasi

masyarakat dalam konteks alih fungsi lahan pertanian ini adalah pemahaman

terhadap eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis).

Maraknya alih fungsi lahan pertanian tidak bisa dipandang sebelah mata.

Semakin sempitnya lahan pertanian akan menyebabkan banyak masalah dalam

jangka pendek ataupun jangka panjang. Implikasi alih fungsi lahan pertanian

terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sangat kompleks. Di mulai dari

semakin mahalnya harga pangan, hilangnya lapangan kerja bagi petani hingga

tingginya angka urbanisasi.

Upaya untuk mengurangi dan memgatasi agar tidak terjadi alih fungsi

lahan pertanian adalah dengan melakukan berbagai macam sosialisasi kepada

masyarakat mengenai pentingnya lahan pertanian kaitannya dengan keberlanjutan

kebutuhan pangan penduduk dan menyakinkan kembali pada publik dan petani

bahwa menjadi petani adalah pekerjaan terhormat dan mulia karena memberi

makan manusia lainnya. Selain itu, dengan adanya penjaminan atau perlindungan

lahan dari pemerintah adalah merupakan solusi yang terbaik untuk keberlanjutan

lahan pertanian.

2.5 Definisi Pendapatan Petani

Pendapatan usahatani merupakan gambaran keberhasilan petani dalam

mereka mengusahakan sumberdaya yang ada. Usahatani yang telah dilakukan

akan memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan dengan penerimaan


38

yang diperoleh. Selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang

diperoleh tersebut merupakan pendapatan dari suatu usahatani yang dijalankan.

Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan

penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu. Penerimaan

yaitu total nilai produk yang dihasilkan yang diperoleh dari hasil perkalian antara

jumlah output yang dihasilkan dengan harga produk tersebut

Menurut Hernanto (1994), pendapatan merupakan suatu bentuk imbalan

untuk jasa pengelolaan yang menggunakan lahan, tenaga kerja, dan modal yang

dimiliki dalam berusahatani. Kesejahteraan petani akan lebih meningkat apabila

pendapatan petani menjadi lebih besar, atau apabila petani dapat menekan biaya

yang dikeluarkan serta diimbangi dengan produksi yang tinggi dan harga yang

baik. Pengaruh harga dan produktivitas yang berubah-ubah mengakibatkan

pendapatan petani yang ikut berubah pula. Harga dan produktivitas merupakan

faktor ketidakpastian dalam kegiatan usahatani (Soekartawi, 1995).

Soekartawi (1995) menyatakan bahwa pendapatan atau keuntungan

merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya produksi. Penerimaan

merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga produk tersebut,

sedangkan biaya produksi merupakan hasil perkalian antara jumlah faktor

produksi dengan harga faktor produksi tersebut. Selanjutnya, Mubyarto (1989)

menyatakan bahwa usahatani dapat diketahui menguntungkan atau tidak secara

ekonomi melalui analisis Return Cost Ratio (R/C rasio). R/C merupakan

perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Usahatani dikatakan

menguntungkan jika penerimaan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan


39

biaya produksi, dimana perbandingan antara penerimaan dan biaya produksi

selalu lebih besar dari satu.

Pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan usahatani dan

pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan

dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh

dari kegiatan usahatani ditambah dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan di

luar usahatani. Pendapatan usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor

(output) dan biaya produksi (input) yang dihitung dalam periode bulan, tahun,

maupun musim tanam. Pendapatan luar usahatani adalah pendapatan yang

diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan di luar usahatani, misalnya

berdagang, mengojek, dan lain-lain.

Menurut Hernanto (1994), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pendapatan usahatani, yaitu: a. Luas usaha, meliputi areal pertanaman, luas

tanaman, luas tanaman rata-rata. b. Tingkat produksi, yang diukur lewat

produktivitas/ha dan indeks pertanaman. c. Pilihan dan kombinasi. d. Intensitas

perusahaan pertanaman. e. Efisiensi tenaga kerja.

Menurut Soekartawi (1995), biaya usahatani adalah semua pengeluaran

yang dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua,

yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya

tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan

biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume

produksi.

2.6 Pertanian Berkelanjutan


40

2.6.1 Konsep dan kriteria pertanian berkelanjutan

World Commission on Environment and Development (Loucks et al., 2000

dalam Budiasa, 2011), mendefinisikan keberlanjutan (sustainability) sebagai

keadaan terpenuhinya kebutuhan generasi sekarang tanpa mengbaikan kebutuhan

generasi yang akan datang.

“(„…it meets the needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs‟).”

Sejak tahun 1987, pembangunan berkelanjutan telah menjadi fokus diskusi

dan perdebatan dunia.

Menurut Dixon & de Los Reyes [Widodo, 1993] dalam Budiasa, 2011,

konsep berkelanjutan (sustainability) muncul akibat adanya kekhawatiran para

pakar ekologi mengenai akibat jangka panjang dari tekanan terhadap daya dukung

alam (natural support system). Konsep ini juga menyatakan adanya saling

keterkaitan alam dan aspek sosial-ekonomi-budaya. Pembangunan berkelanjutan

didefinisikan sebagai pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, dan orientasi

perubahan teknologi dan kelembagaan adalah sedemikian rupa sehingga dapat

menjamin pemenuhan kebutuhan manusia secara berkesinambungan untuk

generasi masa kini dan masa yang akan datang.

“(sustainable development is the management and conservation of the


natural resorce base, and the orientation of technological and institutional
change in such manner as to ensure the attainment and continued
satisfaction of human needs for present and future generations.”

Secara umum, pembangunan berkelanjutan memilki tiga dimensi:

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara spesifik, Widodo (1998) dalam Budiasa

(2011), menguraikan tiga persyaratan pertanian berkelanjutan dalam sistem


41

usahatani: produktivitas tanaman dan hewan, kelayakan sosial-ekonomi, dan

pemeliharaan sumberdaya alam dalam jangka panjang. Keberlanjutan dimaknai

sebagai upaya perbaikan kesejahteraan generasi sekarang sambil memelihara atau

tanpa merusak lingkungan agar tetap mendukung kesehteraan generasi yang akan

datang.

2.6.2 Indikator pertanian berkelanjutan

Pengembangan dan perluasan adopsi praktek pertanian modern selama 30

tahun terakhir telah mendorong peningkatan produksi pertanian. Namun, berbagai

metode, proses, dan teknologi yang menjadikan pertanian lebih produktif

memiliki sejumlah konsekuensi negative (SEARCA, 1995 dalam Budiasa, 2011).

Berbagai dampak negative yang ditimbulkan antara lain: hilangnya

keanekaragaman hayati, erosi tanah, pencemaran yang bersumber dari residu

penggunaan input kimia, peningkatan hutang petani, pemindahan aset dan

penurunan kemampuan petani kecil, hilangnya pengetahuan asli/ lokal, dan

penurunan kualitas hidup perdesaan. Berbagai kritik, khususnya terhadap aplikasi

teknologi “Revolusi Hijau” sevagai representasi tindakan modernisasi pertanian

yang tampak masih konvensional.

2.7 Penelitian Terdahulu

Adapun refrensi dari beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian

ini dapat dilihat sebagai berikut.

1. Penelitian oleh Indrayuni (2016), “Studi Potensi Kawasan Subak Sebagai

Ekowisata di Desa Belimbing Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan”.

Mengembangkan ekowisata di daerah Subak merupakan upaya untuk


42

mengurangi jumlah konversi lahan dan degradasi Subak. Potensi identifikasi

di Subak wilayah desa menunjukkan ada beberapa nilai Subak serta potensi

lingkungan yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.

Pemandangan yang indah dari teras sawah, Tri Hita Karana (THK) berbasis

masyarakat pertanian dan lokal kegiatan sosial berbudaya potensial untuk

objek wisata. Namun, ada kebutuhan untuk mendidik masyarakat dalam

rangka mendukung pelaksanaan ekowisata. Dengan mengembangkan

kawasan subak sebagai ekowisata, diharapkan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat.

2. Penelitian oleh Artawan (2016), penelitian ini bertujuan untuk memahami

strategi subak dalam mengurangi pergantian tanah sawah karena pariwisata di

Subak Umadesa, Lodtunduh Village, Ubud, Gianyar-Bali. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis SWOT, dengan teknik pengumpulan data

observasi, di-depht wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi. Selain itu

teknik penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling, yang

menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dianggap

memungkinkan untuk menyediakan data untuk hasil yang maksimal sesuai

dengan kriteria tujuan penelitian. Hasil penelitian ini setelah melakukan

wawancara dan observasi berdasarkan SWOT analisis matriks adalah

menciptakan kegiatan agro-ekowisata. Bentuk dan jenis kegiatan agro-

ekowisata yang dapat implemend di wilayah Subak Umadesa meliputi:

trekking, kegiatan langsung pertanian seperti membajak, menanam, memanen,

interaksi dengan masyarakat setempat secara langsung, dll. Oleh karena itu
43

sektor pertanian tidak sedang terpinggirkan dengan pengembangan kegiatan di

sektor pariwisata.

3. Penelitian oleh Wardi (2014), “Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap

Lingkungan dan Budaya Subak (Studi Kasus di Kabupaten Tabanan Provinsi

Bali)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pertumbuhan penduduk

Trens selama 10 tahun (2002-2012) di Kabupaten Tabanan, serta dampaknya

terhadap konversi lahan subak serta lainnya perubahan aspek lingkungan dan

budaya subak. Penelitian yang dilakukan melalui tahap pengumpulan data dan

analisis data. Berdasarkan analisis yang dilakukan, terungkap bahwa dalam

10 tahun terakhir (2002-2012) pertumbuhan populasi tercapai 26,10% atau =

2,61% per tahun. Pertumbuhan penduduk tampaknya lebih dari faktor yang

disebabkan oleh migrasi 62,24% (1294 jiwa) (dari perbedaan dalam populasi

yang datang 3293 dengan orang-orang keluar 1999 jiwa), jika dibandingkan

dengan pertumbuhan penduduk secara alami hanya mencapai 37,76% (785

jiwa). Itu pertumbuhan penduduk secara tidak langsung mempengaruhi

terjadinya perubahan lingkungan dan budaya subak. Dalam 10 tahun terakhir

terjadi penyusutan tanah subak seluas 672,89 ha, atau 2,95% dari total luas

lahan sawah pada tahun 2002 (22,842 tarif ha). Masalah lainnya lingkungan

efek, yaitu berkurangnya pasokan air dan kerusakan di beberapa petani irigasi,

polusi dan dampak saluran irigasi penyumbatan oleh plastik sampah dan

degradasi estetika dari lingkungan. Dampak sosial-budaya subak, yang

kecenderungan untuk terjadinya sosial konflik, gangguan dalam ritual dalam

sawah (penyepian carik) dan pengabaian warisan budaya (pura subak) karena
44

terjadinya bidang fungsi menjadi perumahan dan fasilitas pariwisata.

Perlindungan perlu dilakukan dengan budaya lingkungan dan subak melalui

populasi kontrol pertumbuhan dengan kebijakan pemerintah, perumusan

hukum adat subak (awig-awig), dan meningkatkan kesejahteraan petani

melalui pengembangan ekowisata yang berbasis di ekosistem subak.

4. Penelitian oleh Arianta (2015), “Faktor-faktor yang Menghambat Partisispasi

Petani Subak Abian Sari Boga dalam Pengembangan Ekowisata di Banjar

Kiadan, Desa Plaga, Kecamatan Petang)”. Organisasi Pariwisata Dunia

(WTO), mengungkapkan ada beberapa perkembangan baru dalam dunia

pariwisata, yaitu kecenderungan masyarakat global untuk kembali ke alam.

Sehingga minat wisatawan untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat

alami menjadi lebih besar. Tren ini merupakan pemicu bagi pengembangan

pariwisata berbasis pada lingkungan alam. Salah satu desa yang

mengembangkan ekowisata di Bali adalah desa Kiadan, yang terletak di

Kabupaten Badung. Ekowisata di desa ini bersinergi dengan Subak Abian

Kiadan. Masalah yang muncul adalah kurangnya partisipasi anggota subak

dalam pengembangan ekowisata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui faktor-faktor yang menghambat anggota partisipasi Subak dalam

pengembangan ekowisata. Metode analisis faktor digunakan untuk menjawab

tujuan penelitian. Variabel dalam analisis ini mencakup faktor internal dan

faktor eksternal. Analisis faktor menghasilkan empat faktor baru dengan

eigenvalue >1. Keempat faktor ini dapat menjelaskan 65,943% dari total

parameter varians yang mempengaruhi penghambatan partisipasi anggota


45

Subak dalam pengembangan ekowisata. Keempat faktor yang menghambat

partisipasi dalam pengembangan anggota ekowisata Subak, yaitu: (1) faktor

distribusi informasi, komunikasi, manfaat dan perbaikan penghasilan; (2)

faktor lingkungan sosial, pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan manfaat

untuk pertanian; (3) faktor kompatibilitas jenis pekerjaan dan pendapatan

usahatani; dan (4) lokasi ekowisata dan faktor eksklusivitas keterlibatan

petani.

5. Penelitian oleh Susmitha (2016), “Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota

Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Terkait Bangunan Di Ruang Terbuka Hijau

Kota Denpasar”. Penetapan luas keberadaan Ruang terbuka hijau (RTH) di

Kota Denpasar adalah 36,84% dimana sudah melebihi dari ketentuan minimal

proporsi RTH pada wilayah kota yaitu 30% menurut Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. RTH juga sudah ditetapkan sebagai

kawasan lindung yang diatur dalam pasal 37 ayat (1) dan 42 ayat (1) Perda

Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar,

tetapi kenyataan di lapangan penetapan RTH sebagai kawasan lindung belum

sepenuhnya maksimal mengingat pelanggaran pembangunan pada ruang

terbuka hijau masih tetap saja meningkat dari tahun ketahunnya.

Anda mungkin juga menyukai