Anda di halaman 1dari 6

PERANAN AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN

TRI HITA KARANA

KELOMPOK 2

NAMA :

A. A. Ngurah Agung Aditya Widajaya 1615124005

A. A. Bagus Surya Prasetya 1615124020

I Gede Riska Mahendra 1615124057

Made Hagar Sadewa 1615124062

I Kadek Agus Bawa Purniawan 1615124066

I Gede Putu Gita Bayunayasa 1615124090

POLITEKNIK NEGERI BALI

MANAJEMEN PROYEK KONTRUKSI

2016 / 2017
A. Sejarah Tri Hita Karana

Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu
diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di
Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat
Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat
sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini
berkembang, meluas, dan memasyarakat.

B. Tri Hita Karana

Secara umum Tri Hita Karana berasal dari kata sansekerta yaitu Tri yang berarti tiga,
Hita yang berarti sejahtra, dan Karana yang berarti penyebab. Jadi pengertian Tri Hita Karana
adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Tiga
bagian dari Tri Hita Karana yaitu :

1. Parhyangan (Manusia dengan Tuhan)


2. Palemahan (Manusia dengan alam lingkungan)
3. Pawongan (Manusia dengan sesama)

Adapun unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:

1. Sanghyang Jagatkarana.
2. Bhuana
3. Manusia

C. Penerapan Tri Hita Karana


1. Parhyangan (Manusia dengan Tuhan)

Parhyangan merupakan hubungan Manusia dengan Tuhan, yang menegaskan bahwa kita
harus selalu sujud bakti kepada Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya. Didalam
ajaran Agama Hindu dapat diwujudkan dengan Dewa Yadnya (upacara persembahan suci yang
tulus ikhlas kehadapan para dewa-dewa). Menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan tentu kita
pun harus selalu berada didalam jalan-Nya,menjauhi larangan-Nya dan selalu rajin sembahyang
dengan tujuan mengucap syukur atas segala berkah maupun kesulitan yang sedang kita hadapi
agar diberikan petunjuk dan Tuhan menjadikan kita pribadi yang semakin baik kedepannya.

2. Palemahan (Manusia dengan Lingkungan)

Palemahan merupakan hubungan manusia dengan lingkungan atau alam. Lingkungan


atau alam ini mencangkup tumbuh-tumbuhan, binatang dan hal-hal yang bersifat sekala niskala.
Didalam ajaran agama Hindu dapat diwujudkan dengan Bhuta Yadnya (upacara persembahan
suci yang tulus ikhlas kehadapan unsur-unsur alam). Contoh yang biasa diterapkan yaitu adanya
Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini
dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Selain itu
adanya perayaan Nyepi, yang tentunya sehari tanpa polusi sangat memberikan cukup banyak
oksigen untuk bumi ini dapat bernafas. Akan tetapi dari sudut pandang penulis terkadang masih
ada yang terlupakan, yaitu masih kurangnya kesadaran umat akan kebersihan lingkungan.
Contohnya saja upacara melasti, setelah upacara melasti yang secara umum dilakukan di pantai.
Pantai itupun menjadi kotor karena sehabis sembahyang sarana-sarana untuk sembahyang hanya
ditinggal begitu saja tanpa ada niatan untuk membuangnya ditempat yang semestinya. Selain itu
bekas-bekas tempat makanan pun masih banyak yang buang begitu saja. Ketika sebuah upacara
selesai pasti kita akan menjumpai sampah berserakan. Apakah ini yang disebut Palemahan? tentu
saja tidak. Meski akan ada yang akan membersihkan itu, tentu baiknya kita pupuk dalam diri kita
tentang makna Palemahan itu. Kita yang memakai,kita yang menggunakan dan kitalah yang
membersihkannya. Apalagi adanya Reklamasi Benoa yang bisa dikatakan itu sudah keluar dari
konsep ajaran Tri Hita Karana.

3. Pawongan (Manusia dengan Sesama)

Pawongan merupakan hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam artian bisa


dikatakan pawongan mempunyai makna kita harus bisa menjaga keharmonisan hubungan dengan
keluarga, teman dan masyarakat. Dalam menjaga keharmonisan tentunya jauhkanlah sikap saling
membeda-bedakan berdasarkan derajat, agama ataupun suku. Ingatlah kita semua sama. Sama-
sama mahluk ciptaan Tuhan. Sangat miris jika melihat orang-orang sudah mulai SARA.
Menganggap apa yang diyakini benar dan apa yang diyakini orang lain yang tidak sama adalah
salah. Menurut pendapat kami, Tuhan menciptakan perbedaan didunia ini bukan karena
membeda-bedakan ciptaannya. Tapi agar kita dapat belajar menghargai akan arti perbedaan itu.
Begitu pun dengan Agama kenapa didunia ini ada agama lebih dari satu. Tentu semua itu adalah
hal yang sudah direncanakan Tuhan. Cara menyebutnya berbeda,cara memujanya pun berbeda.
Tapi itulah keindahan yang Tuhan ciptakan. Seperti pelangi yang tidak akan terlihat indah jika
hanya ada satu warna.

D. Peran Agama Dalam Pengembangan Tri Hita Karana Dengan Cara Mewujudkan Ajeg
Bali Melalui Tri Hita Karana.
Beragam pendapat masyarakat Bali terhadap kondisi Bali yang sekarang terjadi akibat
perkembangan arus globalisasi yang begitu pesat. Sebagian beranggapan bahwa globalisasi
merupakan “polusi kebudayaan” yang akan mengikis ke-Bali-an Bali. Dengan adanya pengaruh
globalisasi yang begitu deras hingga konsep “ajeg Bali” muncul di tengah-tengah masyarakat
sebagai respon terhadap perubahan yang muncul di masyarakat berkat kemajuan teknologi.
Istilah “ajeg” merujuk kepada pengertian stabil , tetap, dan konstan. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1976) disebutkan bahwa “ajeg” atau “ajek” (Jawa) bermakna tetap; tidak
berubah. Satu hal yang tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Yang ingin
dipertahanakan oleh masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu yang menjadi nafas
kehidupan masyarakat Bali. Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan
keemasan, namun esensinya harus tetap bertahan.
Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya,
niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan, pendidikan,
pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan,
misalnya, dilakukan “sterilisasi” wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk
melestarikan kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur,
ditanamkan semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg Bali. Di sekolah perlu
dikembangkan program pendidikan yang dapat memberdayakan siswa dalam ikut berpartisipasi
mewujudkan nilai-nilai “Tri hita Karana” dalam hubungannya dengan bagaimana menjaga Bali
sekarang dan kedepan karena mereka nanti sebagai pewaris tanah Bali. Kesadaran itu penting
karena Bali yang identik dengan keindahan, kenyamanan, dan keharmonisan sudah mulai terusik.
Faktanya tanah Bali yang merupakan bagaian dari tanah adat makin banyak berpindah tangan.
Jumlah pendatang (terutama dari Jawa) semakin menjadi ancaman, peluang kerja orang Jawa
cukup banyak sementara masyarakat Bali sibuk dengan banyaknya upacara, orang Jawa
mengambil alih waktu-waktu tersebut di sektor ekonomi.
Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan
dalam ajaran “Tri Hita Karana” yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran.
Ketiga konsep tersebut adalah Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan
(hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam).
Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu dalam tataran
individu ; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri
kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal
semata. Kedua, dalam tataran lingkungan kultural; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang
hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh
luar. Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan
ruang hidup budayanya guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru
melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme
masa lalu maupun godaan dunia modern), non-dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan
kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dalam
ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebuah konsep yang stagnan,
melainkan upaya pembaharuan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali
untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan
hegemoni budaya global.
Tradisi budaya Bali tidak bisa dipisahkan dengan Agama Hindu. Sebelumnya harus
dipisahkan soal “adat keagamaan” dan “adat kebiasaan”. Sayangnya keseluruhan hidup
masyarakat Bali, termasuk adat kebiasaan, merupakan bentuk representasi dari agama Hindu,
sehingga sulit sekali untuk membedakan sakral dan profan. Dalam tari-tarian, dapat dipisahkan
secara jelas terdapat seni tari wali yang sakral dan religius, seni tari Bebali adalah tarian
seremonial, dan seni tari Balih-balihan yang sekuler. Pada praktiknya masyarakat Bali tidak
pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut.
Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari
keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Kalau kita berpikir sederhana, selama ada
canang (sesajen dari janur kelapa berisi bunga dan dupa), nilai-nilai agama hindu yang
merupakan core of the culture, akan tetap bernafas tenang dalam kehidupan manusia Bali.
Kesimpulan

Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam
ajaran “Tri Hita Karana”. Penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana secara sadar, dinamis, dan penuh
dengan komitmen akan terbangun proses hubungan kehidupan yang seimbang dan harmonis
menuju tatanan kehidupan yang Maju, Aman, Damai, dan Sejahtera lahir dan bhatin yang
bermuara pada ajeg Bali.

Saran

Untuk menjaga Bali tetap Ajeg, maju, damai, sejahtrera dan tetap eksis sepanjang zaman
diharapkan adanya komitmen yang kuat dari semua komponen masyarakat Bali dengan
berlandaskan konsep “ Tri Hita Karana” untuk menjaga dan mengajegkan Bali, karena Bali
bukan milik orang yang hidup sekarang di Bali tapi lebih dari semua itu, Bali adalah titipan dari
Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) untuk anak cucu (keturanan) kita kelak
nanti.

Anda mungkin juga menyukai