Anda di halaman 1dari 4

MENGUAK KONSEP HARGA DAN LABA DI BALIK TRANSAKSI BANTEN

Bali adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia, Bali memiliki citra yang baik di dunia,
sebagai salah satu destinasi terbaik di dunia Bali memiliki tagline The Last Paradise atau surga
terakhir yang ada di bumi. Selain pemandangan indah alamnya yang dianugerahkan oleh Tuhan, daya
tarik Bali yang mendunia itu bukanlah sekadar alam saja, tetapi ada pada culture-nya. Bali memiliki
budaya yang unik daripada banyak kebudayaan lain yang ada di Indonesia atau bahkan dunia, dan
budaya ini rasanya dapat meng-entertain para pengunjung yang datang dibandingkan dengan budaya
di tempat lain. Sebagai mayoritas pemeluk agama Hindu, Bali sendiri memiliki ciri khas tersendiri
dalam pelaksanaan ritual keagamaannya, dimana kebudayaan Bali adalah akulturasi antara
kebudayaan agama Hindu dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali. Dengan keunikannya tersebut, Bali
memiliki ketertarikan yang luar biasa di mata dunia international.

Terdapat banyak sekali ritual yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam upacara
keagamaannya, dan setiap upacara itu ada tingkatan menurut Hindu. Tingkatan itu dimulai dari Nista
Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala, artinya adalah pelaksanaan ritual dari yang
sederhana, menengah, dan yang utama. Upacara Ngaben adalah salah satu upacara yang menjadi
perhatian di Bali, karena di Indonesia cenderung dalam pelaksanaan upacara kematian tersebut
adalah dengan cara mengubur mayat, tetapi di Bali dengan cara dibakar dengan segala prosesinya,
biasanya perhatian wisatawan akan tertuju pada Bade, Lembu, Singa, dan lain sebagainya yang
merupakan sarana upacara Ngaben di Bali, beberapa sarana tersebut dipercaya menjadi pengantar
roh orang yang sudah meninggal kepada kehidupan setelahnya.

Keseruan dalam prosesi Ngaben ini yang menjadi daya tarik para wisatawan, karena Bade,
Lembu, Singa, dan lain sebagainya itu diarak oleh banyak sekali masyarakat yang terkait dalam
prosesi Ngaben tersebut. Sarana upacara tersebut dihias sedemikian rupa sehingga secara visual itu
megah dan indah untuk dilihat, hal tersebut memiliki nilai estetika dan culture story yang tinggi
hanya dengan melihatnya. Sehingga upacara Ngaben ini menarik perhatian dunia international.
Upacara Ngaben adalah upacara kematian dalam agama Hindu di Bali, Atmadja dan Tuty (2014)
menyatakan bahwa Ngaben termasuk dalam upacara yang besar karena penyelenggaraannya
membutuhkan banyak struktur masyarakat dan kerjasama di dalamnya, diantaranya ada dadia (klen
kecil patrilineal), desa pekraman (komunitas lokal mengurus masalah adat dan agama), dan lain
sebagainya. Terlebih lagi komponen dalam ritual tersebut seperti banten yang cukup banyak
diperlukan, banten sendiri ada komponen penyusunnya seperti buah-buahan, bunga-bungaan, janur,
daun-daunan, dan lain sebagainya.

Terlebih lagi jika yang memiliki upacara kematian tersebut dilaksanakan oleh orang berkasta atau
orang yang memiliki kemampuan financial yang mapan, sudah menjadi fenomena di Bali jika orang-
orang seperti yang disebut itu melaksanakan upacara ngaben dengan tingkatan Utama Mandala atau
tingkat yang paling utama, atau paling tidak hal tersebut sudah menjadi stigma di masyarakat bahwa
orang-orang berkasta, dan berkemampuan financial itu wajib melakukan upacara secara besar-
besaran. Atau paling tidak, beberapa orang merasa harus melaksanakan upacara sebesar itu untuk
penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal.

Kendati demikian, sebenarnya upacara agama Hindu sebenarnya didasarkan pada esensinya,
Atmadja (2018) dalam bukunya mengatakan bahwa agama Hindu tidak mengharuskan umatnya
untuk melakukan upacara secara besar-besaran apalagi sampai "memiskinkan" umatnya. Jadi tidak
ada dari agama Hindu sendiri kepada tuntutan yang mengarah untuk melakukan upacara keagamaan
secara besar-besaran yang memakan biaya yang cukup banyak, dan agama Hindu juga tidak
menyatakan adanya korelasi antara upacara yang besar dengan Surga atau Neraka. Jadi jika melihat
dari fenomena Ngaben di Bali yang memakan banyak biaya bisa dikatakan merupakan improvisasi
dari umat Hindu di Bali.

Bertolak dari pemaparan di atas sebenarnya kita sudah mendapatkan poin bahwa pelaksanaan
Ngaben di Bali tidak seharusnya dilakukan dengan besar-besaran, karena memang tidak ada aturan
yang pasti untuk menuntut umat yang berkasta maupun yang memiliki kemampuan financial yang
bagus untuk melaksanakan upacara Ngaben dengan besar-besaran. Apalagi orang yang tidak
memiliki status sosial tersebut, tidak ada memang kewajiban melaksanakan upacara sebesar itu.
Tetapi kadangkala fenomena ini terjadi berdasarkan kerelaan dari pelaksana itu sendiri yang menurut
penulis rasanya tidak sepatutnya dilakukan jika melihat kondisi financial dan ajaran agama. Upacara
Ngaben ini cukup dilihat berdasarkan esensinya saja, jika dilihat secara sederhana tujuan dari
upacara ini adalah upacara terakhir untuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal dan
pengantaran rohnya kepada kehidupan selanjutnya. Jika pelaksanaan upacara Ngaben ini murni
didasarkan pada hal tersebut dan mengabaikan stigma masyarakat atau bahkan gengsi sendiri,
Ngaben sudah barang tentu tidak dilaksanakan dengan biaya yang "memiskinkan" pelaksananya,
apalagi jika melihat seorang yang mendanai upacara tersebut dengan sampai menjual aset atau
bahkan meminjam dengan jumlah yang teramat banyak.

1. Penelitian ini didasari dari Pelebon atau prosesi pengabenan Raja Denpasar IX Ida Tjokorda
Ngurah Jambe Pemecutan akan dilaksanakan pada Rabu, 21 Juni 2023. Manggala Karya atau
Ketua Panitia Karya Pelebon dr. Anak Agung Ngurah Gde Dharmayuda, M.Kes. menjelaskan,
Bade yang merupakan menara jenazah memiliki tumpang sebelas sekaligus menjadi
tingkatkan yang tertinggi dari upacara pelebon."Tingginya 22 meter dihitung dari kaki Bade
hingga puncak dengan berat 1,5 ton," kata Ngurah Gde Dharmayuda saat menggelar
keterangan pers di Denpasar, Selasa, 20 Juni 2023. Pastinya hal tersebut tidak lepas dari
harga yang dikeluarkan untuk upacara tersebut.

Akuntansi, budaya, dan religiusitas tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang individu.
Hubungan antara budaya
dengan akuntansi sudah berkembang sejak lama karena akuntansi merupakan bentukan dari budaya
yang selalu berkembang . Begitu juga dengan religiusitas atau agama yang dianut oleh individu
memiliki dampak pada
perilakunya terhadap akuntansi dan aktivitas bisnisnya. Nilai agama sangat penting untuk akuntansi
karena agama merupakan penyimpan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan dalam pengambilan keputusan bisnis. Belakangan
ini akuntansi seakan kehilangan pondasi sejarah akibat kekuatan kebenaran liberalisme yang
menyatakan bahwa akuntansi bebas dari realitas kesucian. Kondisi ini menyebabkan akuntansi
banyak mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan agama. Salah satunya dari kalangan Muslim
konservatif yang mengkritik adanya penerapan bunga (riba) karena dianggap dapat mengganggu
tatanan sosial (Khan et al., 2018). Penerapan akuntansi dianggap masih abstrak pada lembaga
keagamaan dan perlu mencari jati diri yang lebih holistik. Demi menjadikan akuntansi lebih

holistik, penerapan konsep dan nilai keagamaan menjadi penting untuk dilakukan. Untuk mencapai
kondisi ideal, agama menjadi sumber inspirasi, pemersatu dan pemberdaya masyarakat.
Kolaborasi agama, budaya, dan akuntansi pada penelitian ini terlihat pada fenomena yang
berkembang, yaitu fenomena usaha jual beli banten. Fenomena menarik ini terjadi pada sebuah
kegiatan budaya
dalam sebuah kelompok etnik keagamaan.
Banten merupakan persembahan suci
melalui media sesajen yang dipersembahkan
dengan bentuk dan jenis tertentu (Atmadja
& Maryati, 2014). Kegiatan budaya ini memiliki dualitas yang cukup menonjol karena
materialitas dan spiritualitas berbaur pada
saat yang sama. Hal yang menjadi perhatian

dalam penelitian ini adalah bahwa individu atau kelompok yang melakukan usaha

jual beli banten bukanlah pengusaha biasa,

melainkan sebuah kelompok etnik yang dipimpin oleh pemuka agama. Seorang pemuka agama
biasanya memiliki jiwa spiritual

yang tinggi, sementara bisnis erat kaitanya

dengan materialitas. Kendati bagaimanapun, tujuan utama dari usaha adalah untuk

memaksimalkan laba (Lamberton, 2015).

Laba sering dijadikan indikator sukses dan

mewakili kinerja perusahaan serta indikator penting dalam kebahagian. Tingkat

laba secara tidak langsung juga dipandang

sebagai indikator utama dalam mengukur

tingkat kesejahteraan. Konsep laba dan pendapatan bisa memiliki


efek yang berbeda pada kebahagiaan karena perbedaan nilai sosial (Lim et al., 2020).
Demi memperoleh laba yang maksimal, manajemen harus melakukan yang terbaik untuk
menghasilkan pendapatan yang tinggi

agar meningkatkan nilai perusahaan.

Salah satu hal yang dilakukan untuk menaikkan laba dengan menaikkan harga

jual produk dan menekan biaya produksi seefisien mungkin. Strategi penetapan harga

merupakan sarana yang digunakan perusahaan untuk mencapai hasil pasar tertentu dengan skenario
tertentu (Hallberg, 2017). Jika semakin tepat penerapan pricing strategy, maka semakin maksimal
return yang

dihasilkan. Penetapan harga premium dan mempertahankan preferensi konsumen yang tinggi akan
memberikan kepuasan tinggi bagi pelanggan (Latif

& Shah, 2021). Faktor kunci pada proses penetapan harga adalah sistem penetapan biaya produk
yang menjadi titik acuan dan sumber informasi mendasar untuk semua

keputusan penetapan harga yang dibuat


oleh perusahaan. Strategi penetapan harga

produk juga dipengaruhi oleh penentu eksternal seperti negosiasi dan pengalaman

komersil. Adapun Nagirikandalage & Binsardi (2017) mengungkapkan bahwa perusahaan


menggunakan perhitungan mark-up

strategy untuk mengoptimalkan standar harga produknya. Begitu juga Smolarski et al.

(2019) yang menyebutkan bahwa distributor memasarkan barang dagang dengan menggunakan
metode mark-up. Beberapa strategi penetapan harga ini bisa diaplikasikan

oleh pemuka agama dalam proses penjualan banten. Pentingnya para pemuka agama mengetahui
cara dalam menentukan harga jual banten dilakukan guna mengetahui konsep laba dari informan,
dikarenakan laba yang akan diperoleh sangat dipengaruhi oleh konsep penentuan harga jual suatu
produk

(Du & Jiang, 2020).

Penelitian ini difokuskan pada keterkaitan

antara budaya, agama, atau religiusitas Hindu dengan akuntansi biaya terutama pada konsep
penetapan harga yang dieksplorasi

dengan metode etnografi. Adapun etnografi

juga digunakan untuk melakukan observasi

yang lebih intensif guna memahami secara


lebih mendalam tentang isu budaya yang
diangkat.

Anda mungkin juga menyukai