Anda di halaman 1dari 10

Judul Proposal : Pusat Pelestarian Budaya Mejejaitan Upakara di Kota Denpasar

Nama : I Kadek Pandu Wiguna


NIM : 1562121085
Kelas : A2

1. Issue atau Permasalahan


Bali sering sekali dijuluki dengan slogan “Pulau Seribu Pura” atau yang biasa kita dengar
juga dengan sebutan Pulau Dewata. Masyarakat Bali yang mayoritas menganut kepercayaan
Agama Hindu dengan jumlah 3.247.283 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2018).
Agama Hindu di Bali berkonsep dasar Tri Hita Karana yaitu hubungan dengan Tuhan,
hubungan dengan sesama manusaia, dan Hubungan dengan alam atau lingkungan yang terkait
satu sama lain. Pelaksanaan konsep dasar tersebut atau ajaran agama hindu di Bali pada
kenyataan lebih banyak diwarnai dengan jalan bhakti dan karma, yang mana penekananya lebih
ke bentuk ritus atau simbolik. Dalam pelaksanaan ritual tersebut pada umumnya menggunakan
symbol persembahan berupa sarana upacara dalam bentuk banten.
Banten merupakan bentuk dari yadnya yang merupakan persembahan suci tulus ikhlas
kepada tuhan. Pun juga sebagai sarana upakara yang dibuat oleh serati atau pembuat banten
yang diajarkan secara turun-temurun atau disebut juga dengan tradisi/budaya mejejaitan yang
dilaksanakan setiap hari atau menjelang diadakannya upacara keagamaan yang dimana
kegiatan mejejaitan ini menimbulkan hubungan sosial yaitu kegiatan ngayah atau jika
diterjemahkan gotong royong dalam pembuatan banten upakara.
Pada masa kini tradisi mejejaitan bisa dikatakan terancam punah karena disebabkan
masyarakat bali yang terlalu konsumtif membeli banten upakara hal ini menyebabkan ibu
rumah tangga/kaum perempuan dan khususnya generasi milenial buta akan makna filosofis
mejejaitan dan terlalu menyederhanakan dengan membeli yang mengakibatkan kebudayaan itu
sendiri terancam punah. Faktor-faktor penyebab tersebut meliputi; (1) faktor kesibukan
masyarakat, masyarakat kini sudah kompleks dan lengkap bermacam profesi digeluti sehingga
menimbulkan segudang aktifitas yang dimana dapat menyita waktu jika membuat banten, agar
lebih menghemat waktu dan tenaga dengan membeli banten jalan satu-satunya. (2) faktor
pengetahuan masyarakat, masyarakat tidak tahu cara membuat banten yang benar dan sesuai
karena mempunya segenap aktifitas. (3) faktor sosial masyrakat, dimana membeli banten
merupakan hal yang wajar. (4) Faktor Globalisasi, masyarakat lebih memperhatikan budaya-
budaya dan aktivitas-aktivitas global dibandingankan budaya dan aktivitas local.
Permasalahan yang miris jika dilihat adalah melansir dari jawa pos group bali express
(2019) menurut wakil PHDI (Parisada Hindu Dharam Indonesia) menurutnya masyarakat Bali
harus jengah ketika oranag non hindu lebih pintar metanding atau mejejaitan karena maraknya
penjual sarana upakara dari orang non hindu di Bali, hal ini dapat dikatakan masyarakat Bali
yang beragama Hindu sudah tidak tahu cara membuat banten. Permasalahan berikutnya karena
terlalu konsumtif dalam membeli banten menurut Jro Mangku I Wayan Sastra adalah
banyaknya terjadi degradasi budaya ngayah (kerja sukarela digarap bersama-sama) yang
dimana memiliki manfaat bagi umat hindu karena sebagai kegiatan berinteraksi dan sharing
ilmu untuk mempelajari proses pembuatan sarana upakara.
Melihat masalah tersebut yang ada pada saat ini, instansi-instansi keagamaan seperti PHDI
(Parisadha Hindu Dharma Indonesi) dan juga WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia)
menggelar pelatihan-pelatihan mejejaitan pembuatan banten, akan tetapi pelaksanaannya
menggunakan tempat secara menyewa misal seperti Taman Prakerti Buana Beng Gianyar dan
menggunakan gedung-gedung instansi kepemerintahan lainnya, maka diperlukan sebuah
wadah atau fasilitas (bangunan) yang menjadi ikon atau role model yang mendongkrang
kesadaran masyarakat dalam upaya pelestarian mejejaitan upakara yaitu adanya fasilitas “Pusat
Pelestarian Budaya Mejejaitan”. Upaya yang dilakukan adalah pembinaan kepada masyarakat
Bali khususnya penganut Agama Hindu agar kebudayaan mejejaitan yang sudah ada secara
turun-temurun eksistensinya masih tetap ada dan kebudayaan yang selama ini dimiliki tetap
berkelanjutan.
Denpasar menjadi tempat dibangunnya “Pusat Pelestaria Budaya Mejejaitan Upakara”
dikarenakan Denpasar merupakan Ibu Kota Provinsi Bali dimana segala macam aktifitas-
aktifitas yang terjadi disana. Kepadatan penduduk yang tinggi tak luput terjadi di Kota
Denpasar dengan hal tersebut banyak masyarakat kota Denpasar jarang melakukan tradisi
mejejaitan. Karena lokus berada di Kota Denpasar diharapkan daerah-daerah lainnya juga
terpengaruh.

2. Data-data atau informasi-informasi yang menunjang issue atau permasalahan


tersebut
Dalam kajian issue atau permasalahan yang digunakan oleh penulis adalah menanggapi
fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat dan mencari melalui literature-literatur maupun
di internet.
a. Menurut Nyoman Sri Mulyani dalam penelitiannya memaparkan bahwa mental konsumtif
masyarakat Bali khususnya Agama Hindu membeli Banten Upakara mengubah Pola
kehidupan Masyarakat dari Agraris menjadi Industri. Dan menurut Sujana (1999:55) kini
masyarakat Bali semakin ketat dalam memaknai dan mengatur waktu karena kegiatan-
kegiatannya semakin kompleks dan bentuk ngayah dalam desa adat, tidak lagi beberapa
hari, tetapi kini cukup dengan satu atau dua jam saja. Perempuan Bali tidak lagi seluruhnya
gotong-royong membuat sesajen, namun cukup membeli saja dari sekelompok warga yang
ahli banten/sajen.
b. Menurut I Made Yuda Asmara, S.PD.H. seorang akedemis mengatakan Seiring dengan
perkembangan jaman dimana manusia telah masuk dalam era modernisme dimana manusia
menginginkan segala sesuatu lebih cepat dan efisien. isalnya dalam realita sekarang yang
ada disekitar, banyak umat Hindu dalam menjalankan aktivitas keagamaannya cenderung
membeli upakara-upakara (uparengga) yang dipakai unyuk beryadnya, baik itu
sembahyang ataupun upacara lainnya. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar ketika
kebanyakan umat Hindu di Bali malas membuat sendiri karena alasan tertentu seperti :
tidak punya waktu luang, sulitnya mendapatkan bahan-bahan, tidak bisa membuat secara
benar. Hal-hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang lebih menginginkan siap saji
dan tidak ingin susah. Jadi bagaimana upaya yang harus dilakukan supaya hal yang serba
instan dapat dibenahi agar menhasilkan sesuatu yang baik dan benar. Kalau dilihat susetu
yang serba instan bisaanya banyak menimbulkan efek samping seperti : banyak umat yang
tidak tau membuat dan mengetahui makna dari macam-macam upakara yang dipakai dalam
yadnya. Hal inilah yang menjadi perhatian serius untuk masa depan generasi hindu
kedepan. Sehingga perlu dibahas lebih lanjut dalam penyusunan makalah ini yang berjudul
“Mengapa Pewarisan tradisi Pembuat Uparengga Mulai Ditinggalkan”.
c. Menurut luh widyastuti seorang guru SD Negeri 1 Peguyangan mengatakan Setiap
Purnama dan Tilem anak anak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas
diharuskan membawa sebuah canang ke sekolah dengan harapan selain untuk
yadnya juga dapat menegakkan ajaran Hindu di Bali serta mempertebal rasa
keimanan dalam diri siswa. Namun tanyakanlah pada mereka berapa anak yang
membuat sendiri canang yang dibawanya. Hanya segelintir saja, sedangkan sisanya
membeli ! Tidak salah memang, karena dengan membeli atau membuat sendiri
persembahyangan akan tetap berlangsung. Tapi bagaimana dengan kwalitas
keimanan mereka terhadap Tuhan apakah sama antara anak yang membeli ‘canang’
dan anak yang membuat ‘canang’? Bagaimana dengan rasa memiliki mereka
terhadap agamanya sendiri ? dan bagaimana dengan kelestarian budaya Bali ?
d. Dan dalam muatan koran mengatakan masyarakat Bali sendiri misalnya; berbagai sarana
banten tidak lagi berasal dari tanah Bali, pedagang canang sari banyak yang bukan orang
Bali. Separuh lebih bahan-bahan banten didatangkan dari luar Bali seperti Jawa, Sulawesi,
dan Lombok (Bali Post, Ed.179. 3-9 April 2017). Penyebabnya tidak banyak lagi ada
tegalan dan sawah yang bisa ditanami bahan-bahan untuk banten. Begitu para petani
semakin menyusut, karena banyak yang beralih mata pencaharian menjadi guide (pemandu
wisata) dan pelayan restoran atau hotel, peluang ini dialmbil oleh masyarakat luar Bali.
e. Wakil Ketua PHDI Provinsi Bali, Pinandita Drs I Ketut Pasek Swastika mengatakan
masyarakat Hindu seharusnya jengah ketika ada saudara non Hindu justru lebih pintar
matanding Banten dibandingkan yang beragama Hindu sendiri. “Jengah seharusnya,
mereka yang bukan beragama Hindu saja bisa membuat sarana upakara, dan kita yang tahu
betul apa makna Banten justru membeli dari mereka. Malu dong, itu identitas agama kita,
tapi kita sendiri bergantung dengan orang lain untuk menghadap Tuhan,” ujarnya.
f. Menurut penelitian yang dilakukan oleh ayu primayuli memaparkan; Jejaitan sebagai
salah satu komponen penting dalam banten dapat diperoleh melalui sebuah proses
yang dikenal dengan istilah mejejaitan. Salah satu dari lima komponen penting banten,
yaitu patram, berbagai jenis daun inilah yang kemudian dibentuk dan dirangkai
menjadi jejaitan melalui satu aktivitas yang disebut dengan istilah mejejaitan.
Mejejaitan bagi masyarakat Hindu utamanya kaum perempuan merupakan salah satu
kegiatan yang sudah biasa dan sangat melekat pada kehidupan sehari-hari. Habitus
yang terbentuk dalam tradisi ini dimulai ketika seorang anak perempuan terbiasa
melihat orang tua (dalam hal ini ibu atau nenek) melakukan aktivitas tersebut. Secara
tidak langsung anak pada situasi ini akan dibentuk habitusnya melalui tradisi yang
disaksikannya secara ajeg. Aktivitas dalam mejejaitan oleh perempuan Bali tidak
hanya dilakukan untuk melestarikan tradisi, tetapi lebih merujuk kepada proses yang
memang sudah seharusnya dilakukan.

Beberapa fenomen yang terjadi dimasyarakat karena kurangya pelestarian mejejaitan,


sebagai berikut;
1. Penjual Canang dan Banten dari orang non hindu di pasar

Gambar. 1 Penjual Canang Non Hindu di Pasar


Sumber: Google 2019

2. Penjual sarana upakara sanggah crukcuk dan klakat, dimana disini masyarakat tinggal
membeli tanpa membuat dan menjalai tradisi kebudayaannya.

Gambar. 2 Penjual sarana upakara sanggah crukcuk dan klakat


Sumber: Google 2019
3. Penjualan berbagai sarana upakara di lingkungan masyarakat

Gambar. 3 Penjual berbagai sarana upakara di lingkungan masyarakat


Sumber: Google 2019

4. Jasa Pembuatan Banten Upakara baik upakara besar, menengah, dan kecil

Gambar. 4 Jasa Pembuatan Banten Upakara


Sumber: Google 2019
5. Tidak adanya lahan atau lahan perkebunan yang menanam kebutuhan sarana dan
prasana upakara, karena bahan dari mejejaitan sarana upakara berasal dari alam. Sebah
habis nya lahan tegalan dan kepadatan penduduk di perkotaan

Gambar. 5 Kepadatan Penduduk dan Lahan Permukiman


Sumber: Google Maps 2019

Gambar. 6 Statistik Jumlah Kepadatan Penduduk Provinsi Bali


Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2019

6. Permempuan Bali banyak yang bekerja yang memiliki aktifitas yang menyita waktu
jika mejejaitan upakara yaitu sebanyak 1.146.533 pekerja wanita pada tahun 2018.

Gambar. 7 Statistik Pekerja Penduduk Provinsi Bali


Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali 2019
3. Tujuan perencanaan dan perancangan topik tersebut atau pada bagian ini mampu
menggambarkan ide/gagasan awal dari perencanaan dan perancangan tersebut
Tujuan dari adanya “Pusat Pelestarian Budaya Mejejaitan Upakara di Kota Denpasar” adalah;
a. Melestarikan kebudayaan yang telah diajarkan secara turun-temurun.
b. Mempertahankan nilai-nilai luhur dari kegiatan mejejaitan yaitu sebagai saran
yadnya
c. Mengurangi budaya konsumtif masyarakat Bali membeli banten upakara
d. Menyediakan bahan-bahan untuk membuat sarana upakara sebab, bahan-bahan
tersebut datang ke bali di impor dari luar daerah.
e. Membuat sebuah bangunan arsitektur yang menjadi contoh untuk pentingnya
menjaga atau melestarikan budaya yang terancam punah.
f. Menjadikan bangunan arsitektur yang akan di rancang ini menjadi ikon Denpasar
yang menjadi Kota yang aware pada kebudayaan keagamaan.
g. Sebagai tempat interaksinya antara kalangan para orang tua dan anak muda,
sehingga bisa meningkatkan kembali tradisi ngayah.

4. Kelompok fungsi dan fasilitas-fasilitas dari masing-masing kelompok fungsi tersebut


NO. Kelompok Fungsi Fasilitas
1 Pembinaan Bangunan Pelatihan
2 Interaksi Taman Publik
3 interaksi anak-anak Playground
4 Pengelola Bangunan Kantor
5 Bersantai dan kuliner Restoran
6 Menonton Pertunjukan Seni Amphitheatre/auditorium
7 Peyediaan Bahan-bahan upakara Lahan perkebunan kelapa,Bungan pacah
8 Peristirahatan para pekerja kebun Mess atau rumah tinggal
9 Penjualan Bahan Upakara Pop up market/pasar senggol
10 Penelitian Keagamaan Bangunan Penelitian & Perpustakaan
11 Kendaraan Lahan parkir
12 Pameran edukasi publik Gallery
5. Kelompok civitas/pengguna yang menjadi sasaran
Civitas yang ingin disasar adalah ;
a. Kelompok yang ingin disasar adalah Perempuan-perempuan Bali, karena di Bali
perempuan yang erat kaitannya dengan Budaya Mejejaitan.
b. Kelompok para pekerja, Karena para pekerja memiliki waktu yang sangat menyita.
c. Anak-anak, remaja, dan pemuda masyarakat Bali yang akan meneruskan
kebudayaannya.
d. Para Pemangku, Serati/tukang banten, dan Pelaku Keagamaan lainnya.
e. Tourist local maupun luar negeri.

6. Lokus proyek perencanan dan perancangan serta jelaskan karakteristik dari lokus
tersebut dalam menunjang topik

Lokasi yang strategis untuk dibangunnya Pusat Pelestarian Budaya Mejejaitan adalah di
Denpasar Timur, dikarenakan Denpasar merupakan Ibu Kota Provinsi Bali dimana segala
macam aktifitas-aktifitas yang terjadi disana. Kepadatan penduduk yang tinggi tak luput terjadi
di Kota Denpasar dengan hal tersebut banyak masyarakat kota Denpasar jarang melakukan
tradisi mejejaitan. Oleh sebab itu diharapkan fasilitas bangunan ini dapat menyelsaikan
masalah di Kota Denpasar. Lokasi ini masih banyak terdapat ruang yang luas atau tegalan untuk
di tanami bahan upakara dan juga terletak dekat dengan daerah pariwisata yaitu daerah pantai
sanur yang bisa menggaet tourist manca negara.

Gambar. 8 Lokasi Site


Sumber: Google 2019
DAFTAR PUSTAKA

ADEGRANTIKA, P. A. (2019, April 01). Hapus Kebiasaan Serba Beli, WHDI Gelar Pelatihan Banten.
Retrieved from BALI EXPRESS:
https://baliexpress.jawapos.com/read/2019/04/01/128974/hapus-kebiasaan-serba-beli-
whdi-gelar-pelatihan-banten

I Gst. Ayu Agung Cupu Tyasningrum, N. L. (Unknown). Komodifikasi BantenDi Desa Pejaten,
Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, 1-6.

Mahayani, N. W. (Unknown). Perkembangan Modal Melalui Tradisi Mejejaitan Pada Perempuan Bali
Di Desa Budakeling, 1-13.

Mulyani, N. S. (2017). Journal Article. PROSPEK BISNIS BANTEN :


UPAYA MENGURANGI MENTAL KOMSUMTIF DAN KEMISKINAN DI BALI, 64-70.

Rustariyuni, S. D. (2011). ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PEDAGANG CANANG DI PASAR BADUNG ,


144-153.

TRITINTYA, D. (2018, November 1). Remaja Kurang Peduli, Serati Banten Minim Peminat. Retrieved
from baliexpress.jawapos.com:
https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/11/01/101345/remaja-kurang-peduli-serati-
banten-minim-peminat

Anda mungkin juga menyukai