Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH TEORI SOSIAL BUDAYA

FENOMENA NGABEN DI KREMATORIUM BAGI UMAT HINDU


BALI ; ANTARA MODERNISASI BERAGAMA DAN MENJAGA
DRESTA

I Komang Alit Adi Sanjaya


NIM 2124121004

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Drs. I Putu Sudarma, M.Hum.

PROGRAM STUDI MAGISTER BRAHMA WIDYA


PROGRAM PENDIDIKAN PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2022

0
1. JUDUL ARTIKEL : Fenomena Ngaben Di Krematorium Bagi Umat Hindu Bali ;
Antara Modernisasi Beragama dan Menjaga Dresta

2. LATAR BELAKANG
Hindu Bali terkenal dengan budaya religiusnya yang unik dan kompleks. Hampir setiap
hari masyarakat Hindu Bali disibukkan dengan kegiatan beragama (berupacara). Intensitas
pelaksanaan upacara keagamaan di Bali sangatlah tinggi, mulai dari persembahan sehari-
hari, persembahan berkala setiap periode tertentu, upacara perayaan tahapan siklus hidup,
hingga pelaksanaan upacara-upacara besar yang dilaksanakan dalam kurun seratus tahun
sekali. Di antara banyaknya upacara adat-keagamaan yang besar adalah upacara Pitra
Yadnya (Pitana, 2020).
Pitra Yadnya merupakan upacara yang wajib dilaksanakan oleh umat Hindu sebagai
ungkapan rasa wujud cinta bakti kepada leluhur. Pelaksanaan upacara setelah kematian
menurut Agama Hindu di Bali, dapat dilakukan melalui upacara Ngaben atau Pelebon.
Upacara ini merupakan bentuk penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal.
Upacara Ngaben hanya dapat dilakukan satu kali saja terhadap seseorang yang meninggal.
Secara filosofis, adapun tujuan dari pelaksanaan upacara adalah untuk mengembalikan
unsur-unsur jasmani kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang ada di Bhuana Agung
(Wikarman, 2002).
Upacara Ngaben di Bali akhir-akhir ini sering kali terlihat rumit dan menimbulkan
permasalahan sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa ritual ngaben
hanya dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang mampu secara finansial saja. Alasan
utama yakni biaya yang sangat mahal membuat banyak umat Hindu di Bali yang sampai
bertahun-tahun tidak bisa melaksanakan upacara ngaben untuk orang tua atau keluarganya,
padahal Upacara Ngaben merupakan salah satu kewajiban sentana (ahli waris). Atau,
kalau mereka terpaksa membiayai upacara ngaben, maka tidak jarang harus menjual
asetnya yang produktif sehingga berdampak negatif bagi kesejahteraan ekonomi keluarga
tersebut (Saridewi, 2017).
Umat Hindu di Bali sering terbelengu oleh budaya dan tradisi yang cenderung
membangun kemegahan prosesi ritual yang memerlukan biaya sangat tinggi, namun
mengabaikan kemampuan individu yang menyelenggarakan upacara tersebut. Sering
dijumpai dalam masyarakat, untuk dapat menyelenggarakan upacara ngaben individu akan
berhutang maupun menjual harta produktifnya. Hasil Penelitian Sudarsana (2012)
menemukan tidak jarang umat Hindu di Bali memiliki hutang yang cukup besar bahkan
1
sampai menggadaikan atau menjual tanah miliknya untuk bisa membiayai keluarga
melaksanakan upacara ngaben.
Seiring berjalannya waktu, hadirlah gagasan Ngaben Massal yang memberi angin segar
bagi umat Hindu di Bali. Biaya Ngaben yang mulanya ratusan juta rupiah kini dapat
dihemat dan dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Namun upacara
Ngaben secara massal ini masih memiliki kekurangan. Dilihat dari segi waktu
pelaksanaannya, Ngaben Massal biasanya hanya dilaksanakan pada jangka waktu tertentu
saja misalnya beberapa tahun sekali sehingga sawa/mayat harus dikuburkan dalam jangka
waktu yang cukup lama hingga Ngaben Massal diadakan. Selain itu urutan proses Ngaben
Massal yang dilakukan mulai dari mempersiapkan banten serta sarana dan prasarana
lainnya tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Soethama (2011) melalui bukunya yang berjudul “Jangan Mati di Bali” secara
eksplisit mendeskripsikan begitu rumitnya pelaksanaan ritual ngaben di Bali, tidak saja
persoalan biayanya yang mahal, namun ada banyak kasus banjar atau desa adat yang
menolak jenazah warganya sendiri untuk diaben di kuburan desa adat.
Beberapa tahun belakangan kembali muncul gagasan alternatif pilihan pelaksanaan
upacara Ngaben, yakni Ngaben di Krematorium. Krematorium merupakan sebuah tempat
khusus untuk membakar mayat sehingga menjadi abu. Upacara ngaben di krematoriun
diyakini tidak akan menghilangkan tradisi budaya Bali. Masyarakat Bali memberikan
istilah pada Ngaben di Krematorium dengan istilah “Ngaben Aluh”. Alasan masyarakat
mengatakan istilah Ngaben Aluh karena masyarakat tidak direpotkan untuk menyiapkan
sarana dan prasarana ngaben karena semua sarana dan prasarana dipersiapkan oleh
pengurus dari krematorium. Selain itu, masyarakat yang tidak punya tempat tinggal dalam
upacara pengabenannya bisa dilakukan di Krematorium dari acara nyekah sampai nganyut.
Secara finansial, tidak menghabiskan banyak biaya untuk melaksanakan upacara ngaben
di Krematorium. Hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan pada salah satu kerabat
keluarga penulis yang melaksanakan upacara ngaben di salah satu Krematorium yang ada
di Kabupaten Klungkung yang menyatakan bahwa ngaben dikrematorium dapat
menghebat biaya, cepat dan praktis.
Dibandingkan dengan Ngaben Massal, yang juga bernuansa hemat biaya, ngaben
sistem Krematorium ini punya kelebihan antara lain: Pertama, dapat dilaksanakan segera
setelah wafat, kalau Ngaben Massal mesti menunggu jadwal karena bersifat kolektif yang
bisa dilaksanakan 2 hingga 5 tahun sekali. Kedua, lebih praktis karena semua kebutuhan
disiapkan oleh penyelenggara di crematorium sehingga pihak keluarga tidak terlalu
2
disibukkan dengan berbagai keperluan. Ketiga, waktu pelaksanaannya lebih singkat
sehingga tidak banyak mengganggu kegiatan ekonomi/menyita waktu kerja, terutama
masyaraat urban yang memiliki waktu ketat dalam urusan pekerjaan. Keempat, tidak
banyak masyarakat/krama yang terlibat sehingga tidak mengganggu kegiatan ekonomi
mikro masyarakat. Kelima, secara psikologis lebih memberi rasa puas karena mengabukan
jenasah sesuai dengan konsep Ngaben sedangkan Ngaben Massal umumnya membakar
sekah sementara jazad masih terkubur. Keenam, lebih ekonomis karena waktunya lebih
singkat dan massal yang terlibat tidak terlalu banyak. Ketujuh, konflik-konflik adat bisa
ditekan karena tensi kegiatannya tidak terlalu tinggi (Bali Post, 2011).
Fenomena ngaben di krematoriumini sangat menarik untuk kaji, karena tidak saja
menyangkut bagaimana keberadaan ngaben di krematorium dilihat dari perspektif
transformasi masyarakat Bali, namun juga sangat menarik jika dianalisis bagaimana
masyarakat Hindu Bali harus tetap mempertahankan dresta yang diwarisi hingga saat ini
ditengah tuntutan perubahan jaman agraria ke jaman industri yang membutuhkan segala
sesuatu dengan cepat dan mengedepankan prinsip efektif dan efesien.

3. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah yang akan dikaji
lebih lanjut dalam artikel ini adalah Bagaimana eksistensi Ngaben di Krematorium saat ini
di tengah upaya mempertahakankan adat dan tradisi serta gempuran arus globalisasi?
Artikel ini ditulis dengan menitikberatkan pada deskripsi serta interpretasi teoretik.

4. TEORI ANALISIS
Secara sosial-budaya, kemegahan upacara ngaben menjadi salah satu sumber prestise
atau kebanggan bagi keluarga. Tidak jauh berbeda dengan berbagai upacara lainnya,
upacara ngaben telah mengalami distorsi makna, atau paling tidak mempunyai fungsi
berganda, sebagai ajang kontestasi dan kompetisi pengaruh pada suatu komunitas (Pitana,
2020).
Upacara ngaben yang dilaksanakan pada masyarakat Hindu di Bali, mengandung aspek
sosial yang tinggi. Rumitnya rangkaian upacara dan juga banyaknya peralatan upacara
yang dipakai, menyebabkan interaksi sosial di dalam ritual tersebut berlangsung beragam.
Sikap Gotong royong dan kerjasama merupakan kebutuhan mutlak yang tidak bisa
dihilangkan. Untuk mempermudah pelaksanaan upacara, sangat diperlukan kerjasama
antar berbagai komponen di dalam masyarakat. Mengingat aspek kerjasama ini demikian
3
kental dan solidaritas yang mengikutinya bersifat ketat, maka keterikatan antara anggota
masyarakat dengan induk organisasi, dalam hal ini adat atau pakraman, sangat kuat
(Arjawa, 2016).
Menelisik perkembangan sosial di Bali, mulai memunculkan kelompok-kelompok elit
baru yang mengedepankan daya nalar kritis, berorientasi pembaharuan baik dari kalangan
intelektual, pengusaha, pendeta maupun perantauan (masyarakat urban). Kelompok
masyarakat ini mulai melakukan tinjauan ulang, diskusi dan interaksi lain untuk melihat
segala hal negatif dari aspek sosial pelaksanaan upacara ngaben ini sehingga kemudian
melahirkan pemikiran-pemikiran baru terhadap ritual ini, tanpa menyalahi makna ngaben.
Model konflik yang menekankan pada fungsional konflik yang dikemukakan oleh
Lewis Coser, memulai menggarisbawahi tentang konflik struktur. Konflik dalam
pandangannya terjadi dalam kelompok dan kelompok itu merupakan struktur pada
masyarakat. Konflik antar struktur ini mempunyai fungsi positif dan negatif. Konflik
positif apabila mampu mempertahankan identitas kelompoknya. Konflik di sini akan
membantu mengeratkan hubungan antar anggota kelompok, meningkatkan komunikasi,
seperti lebih memahami batas-batas kelompok masing-masing serta memahami kekuatan
relatif kelompok mereka (Ritzer, 2007). Konflik negatif, apabila membentuk kelompok
baru yang memisahkan dari kelompok sebelumnya. Konteks ini, dalam pembahasan
mengenai munculnya ngaben krematorium dalam tulisan ini, harus dimulai dari
pemahaman dan pemaknaan adat di Bali.
Melaksanakan upacara ngaben di krematorium, sempat menimbulkan kontroversi di
masyarakat Bali. Ada pihak yang melakukan penentangan, juga ada menyetujui. Akan
tetapi, semakin hari semakin banyak yang melaksanakan ngaben di krematorium. Hingga
awal tahun 2022 ini, justru untuk melaksanakan kremasi di krematorium, anggota keluarga
duka harus rela mengantre mengingat tingginya minat masyarakat terhadap kehadiran
krematorium ini. Bagaimanapun, fenomena ini memperlihatkan adanya persetujuan secara
tidak langsung dari masyarakat terhadap cara ngaben seperti itu, sekaligus memperlihatkan
adanya pergeseran orientasi masyarakat dalam melaksanakan upacara ngaben.
Upacara Ngaben sesungguhnya harus melihat dasar agama Hindu sebagai agama yang
mudah dilaksanakan, agama yang selalu melihat situasi, kondisi dan keadaan yang
fleksibel (bersifat nutana). Setiap upacara, harusnya sesuai dengan hati nurani dari para
pemeluknya atau atmanastuti. Tidak ada paksaan dan tidak ada sesuatu yang diharuskan.
Sementara itu, besar atau kecilnya suatu persembahan tidaklah menentukan pahala yang
akan didapat dari melaksanakan yadnya khususnya Ngaben. Pahala akan ditentukan dari
4
keikhlasan orang yang melakukan yadnya. Nilai dari sebuah persembahan (yadnya) akan
lebih banyak ditentukan oleh sikap, dan perilaku dari orang yang melaksanakan yadnya itu
sendiri.
Namun permasalahannya banyak masyarakat yang dalam kehidupannya ingin serba
praktis dan instan sehingga menggunakan jasa krematorium agar tidak sibuk dengan
mengundang masyarakat sekitar atau istilah balinya menyame braya dengan biaya ngaben
yang relatif murah dibandingkan dengan ngaben konvensial atau secara pribadi atau
ngaben masal. krematorium dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif, dengan
fungsi ganda, seperti di bawah ini.
1. Memberikan jalan alternatif kepada umat Hindu untuk sesegera mungkin
melaksanakan upacara ngaben bagi anggota keluarganya, manakala di desanya
sedang ada kegiatan adat-keagamaan yang tidak memperbolehkan pelaksanaan
upacara ngaben (misalnya ada sengker desa, karena sedang nyejer terkait
dengan upacara besar atau sedang perbaikan pura);
2. Membantu umat yang ekonominya menengah kebawah, yang tidak mampu
melaksanakan upacara ngaben secara konvensional di desanya sendiri, terkait
dengan besarnya biaya yang dibutuhkan;
3. Memberikan jalan ke luar kepada umat Hindu yang merasa mengalami
permasalahan adat di desanya sebagai akibat kasepekang banjar;
.Hasil penelitian Pitana (2020) dapat dirangkum bahwa pemilihan untuk melaksanakan
ngaben di Krematorium adalah karena salah satu atau beberapa alasan sebagai berikut.
1. Nilai praktis dan efisiensi, karena semua sudah disediakan oleh fihak
krematorium, dan waktu yang diperlukan sangat singkat.
2. Biaya yang terjangkau, yang relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan
melaksanakan ngaben di desa secara konvensional.
3. Kepuasan atas pengalaman sebelumnya, baik pengalaman melaksanakan
ngaben untuk keluarga sendiri, maupun dari teman sebanjar.
4. Sesuai dengan sastra, karena disampaikan bahwa ngaben di Krematorium
Santhayana sudah menggunakan lontar Yama Purwana tatwa dan Yamatatwa
sebagai pedoman, yang disarikan dalam buku Sawa Prakerthi.
5. Banten maupun tata urutan upacara (dudonan) sangat lengkap, walaupun banten
dibuat dalam skala kecil dan yang inti-inti saja. Kelengkapan upacara juga
ditandai dengan adanya iringan gamelan angklung, tari Topeng Sidhakarya,
Tari Rejang, serta dipuput oleh pandita (sulinggih).
5
Hasil penelitian diatas sejalan dengan Disertasi Arjawa (2016), yang menemukan
bahwa ngaben di Krematorium sudah menjadi pilihan bagi manusia Bali-Hindu yang
berpikiran kritis dan berorientasi modernitas. Pelaksanaannya yang praktis berbeda dengan
ngaben konvensional, merupakan pilihan bagi anggota-anggota masyarakat yang
berpikiran kritis, berorientasi pembaharuan dan lebih banyak yang telah bergaul secara
lintas budaya.
Hadirnya crematorium sangat dirasakan oleh masyarakat Hindu di Bali, terutama jika
ada masyarakat yang meninggal yang disinyalemen karena penyakit HIV/AIDS, sehingga
warga banjar dan rumah sakit menyarankan agar jenazah yang bersangkutan dikremasi,
dengan tatacara yang sesuai dengan standar prosedur kesehatan. Hingga saat ini, sangat
minim sekali adanya orang diaben di krematorium karena yang bersangkutan ditolak di
banjarnya, atau karena kasepekang desanya. Namun demikian, lebih ada kesan adanya
‘jarak psikologis’ di antara para perantau yang meninggalkan desa asal dalam waktu lama,
seperti adanya jarak sosial dengan keluarga besarnya di desa, ataupun jarak komunikasi
dengan desa adat, sehingga ada kekhawatiran akan terjadi berbagai hal negatif kalau
melaksanakan upacara ngaben di desa adatnya sendiri (Pitana, 2020).
Masyarakat Bali, sebagaimana masyarakat lainnya di Dunia, selalu mengalami
perubahan, transformasi, sesuai dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya,
ekonomi, dan pergaulan dunia (Wright, 2015). Dalam kasus Bali, transformasi terjadi juga
dalam aspek-aspek pelaksanaan upacara adat-keagamaan, yang mengarah kepada efisiensi
dan kepraktisan. Dalam hal upacara perkawinan, misalnya, Sejalan dengan transformasi
budaya ngaben, hasil penelitian Pradnya (2020) menemukan telah terjadinya
ephemeralization, yang mirip dengan fenomena ngaben dikrematorium. Perubahan
pelaksanaan upacara perkawinan adat Bali yang dilaksanakan di luar pekarangan rumah
tempat tinggal dan banten (sarana upacara) telah dikemas dalam paket upacara keagamaan.
Ini menunjukkan pemikiran yang efisien, mudah dan menyenangkan, karena biaya dapat
dihemat dan waktu dapat disingkat.

Modernisasi dan Transformasi Upacara Ngaben untuk Kembali ke Tradisi


Perubahan kultur masyarakat menuju modernisasi, sudah lama menjadi perdebatan
dalam dunia akademis. Analisis banyak dilakukan melalui pendekatan dikotomis, antara
tradisionalitas dan modernitas, sebagaimana diungkapkan oleh Johnson dalam studinya di
India. Dikatakan: “This question of the dichotomy in contemporary India, that of tradition
and modernity and in particular the change or shift between them, has never been more
6
hotly contested. As social scientists, we are most interested in the questions that surround
this dichotomy” (Johnson, 2004).
Sebagaimana yang disampaikan Johnson di atas, pertanyaan tentang dikotomi di India
kontemporer adalah tentang tradisi dan modernitas, khususnya perubahan atau pergeseran
di antara keduanya.. Ilmuwan sosial sangat tertarik membahas pertanyan-pertanyaan yang
berhubungan dengan dikotomi ini. Dikotomi bukan saja menyangkut tradisionalisme dan
modernisme, namun juga dikotomi antara struktur atau kebudayaan dan individu sebagai
aktor atau agen. Dalam teori Giddens tidak menganut dikotomi antara ‘kebudayaan yang
menentukan perilaku seseorang’ di satu pihak, dengan ‘perilaku individu membentuk
kebudayaan’ di pihak lain. Giddens mengambil jalan tengah, dimana antara aktor dan
struktur adalah suatu dualitas, bukan dualisme. Secara tegas Giddens menyebutkan bahwa
struktur dan aktor individual berinteraksi intensif dalam proses produksi dan reproduksi
institusi dan hubungan-hubungan sosial; perilaku aktor adalah hasil struktur, tetapi aktor
juga menjadi mediasi dalam pembentukan struktur baru (Giddens, 1991).
Teori dasar Strukturasi Giddens ini menemukan wilayah pergulatan dalam fenomena
ngaben di Krematorium. Adanya struktur kebudayaan Bali yang sebelumnya terlihat
kompleks, ketat, kaku, dan mengikat, mendapatkan reaksi aktif dari para pendukung
kebudayaan itu sendiri. Para penggiat, terutama yang berpikiran progresif dan modernis,
melakukan berbagai aksi transformatif, dalam hal ini memproduksi pemikiran dan praksis
baru, bahwa berbagai upacara keagamaan Hindu di Bali bisa disederhanakan tanpa
kehilangan maknanya yang hakiki.
Perkembangan struktur baru sebagai bagian dari evolusi budaya yang menjadi subjek
dari banyak perdebatan baru-baru ini sangat tergantung pada peran yang dimainkan oleh
seleksi alam. Meskipun demikian ada sedikit kesepakatan tentang betapa pentingnya
pemilihan budaya untuk evolusi budaya. Seleksi budaya bisa menjadi faktor utama yang
menjelaskan sifat-sifat suatu budaya yang berkembang (khususnya yang terkait teknologi),
dan menunjukkan bagaimana manusia modern beradaptasi dengan lingkungan yang sangat
berbeda (Henrich, 2001). Menurut pandangan ini, budaya berevolusi secara komulatif,
menciptakan struktur baru dalam masyarakat sebagai akibat dari modifikasi dan
pengayaan (inovasi) yang terus-menerus (Tennie, et al. 2009).
Terbentuknya struktur baru ini, yang seakan ke luar dari struktur lama, dibuktikan
dengan semakin banyaknya aktor yang masuk ke dalam struktur baru, sementara aktor
penganut struktur lama semakin bisa menerima. Semakin tahun semakin banyak aktor
yang ingin melakukan upacara ngaben di Krematorium, sehingga melewati kemampuan
7
daya tampung yang ada. Semakin menguatnya struktur baru juga terindikasi dari
bertumbuhnya krematorium tempat melaksanakan upacara ngaben yang baru, seperti di
Desa Adat Bedha (Tabanan), Desa Adat Bebalang (Bangli), Desa Adat Pundukdawa
(Klungkung), Desa Adat Sulang (Klungkung), Desa Adat Cemagi (Badung), dan Desa
Adat Abianbase (Badung). Beberapa desa adat lain juga sudah mewacanakan untuk
membuat krematorium di desa adatnya sendiri seperti di Desa Adat Kerobokan.
Terbentuknya struktur yang baru ini, dalam kasus ngaben di Krematorium, mempunyai
nilai keunikan yang tidak ditemukan di daerah lain, yang sifatnya paradoksal, yaitu aktor
melakukan transformasi menuju modernisasi yang sekaligus juga memperkuat tradisi.
Sebagaimana disebutkan di atas, argumen utama yang dikedepankan oleh para aktor untuk
melakukan penyederhanaan upacara ngaben adalah lontar yang mengatur upacara
kematian (termasuk ngaben), yaitu Lontar Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa,
dan Yama Tatwa. “Kembali ke Tradisi”, yaitu kembali kepada apa yang diamanatkan oleh
lontar-lontar warisan leluhur tersebut ternyata sulit dibantah oleh aktor yang konservatif.
Semakin jelas bahwa struktur dan tradisi yang ada, di satu sisi menjadi kendala untuk
pergerakan aktor, tetapi di sisi lain struktur menjadi penguat tindakan aktor tersebut
(Pitana, 2020).
Dari fenomena di atas, Teori Giddens mendapatkan penguatan, karena terbukti bahwa
kandungan struktural dari sistem sosial merupakan media sekaligus hasil dari praktik-
praktik yang dilakukan secara perkusi. Struktur tidak selalu merupakan hambatan semata-
mata, melainkan selalu menghambat sekaligus memberdayakan (Giddens, 1984). Manusia
sebagai aktor bukan hanya sekadar penanggung aturan struktur, bukan benda mati yang
harus bergerak sesuai dengan perintah struktur. Manusia sebagai individu atau aktor
mempunyai pemahaman mengenai masyarakatnya, dan bersifat refleksif, serta dengan
refleksifitasnya tersebut aktor bertindak untuk mengubah realitas lingkungannya,
membuat struktur yang baru. Struktur, oleh karenanya, adalah produk sementara dari
tingkah laku sosial yang diproduksi dan direproduksi secara berkala melewati batas ruang
dan rentang waktu yang cukup lama.
Dengan semakin ajegnya struktur baru, maka ngaben di krematorium sudah menjadi
suatu ‘kebiasaan baru, atau sudah menjadi ‘newly-established practice’. Ngaben di
krematorium tidak lagi dipertanyakan, tidak lagi dianggap aneh, tidak lagi dianggap tidak
patut. Bahkan semakin menguatkan diri sebagai alternatif yang sesuai dengan susastra,
sesuai dengan amanat tradisi, sebagaimana tersurat tegas dalam berbagai lontar-lontar.

8
5. SIMPULAN
Artikel ini menyimpulkan bahwa hadirnya gagasan ngaben di crematorium ditengah-
tengah masyarakat Hindu di Bali hingga saat ini mulai semakin diterima oleh masyatakat.
Perubahan paradigma masyarakat Bali yang sedang mengalami transformasi dari ekonomi
agraria ke ekonomi industrial, yang ditandai oleh ketatnya pemanfaatan waktu sehingga
alasan yang paling umum melaksanakan upacara ngaben di Krematorium. Alasan
mengapa masyarakat Hindu di Bali mulai ramai memilih crematorium adalah karena nilai
praktis dan efisiensi, yang jauh lebih praktis dan lebih singkat dibandingkan dengan
melaksanakan upacara ngaben di desa secara konvensional. Biaya yang lebih terjangkau,
dan adanya jarak komunikasi dengan keluarga besar atau desa adat merupakan alasan
penting lainnya..
Fenomena ngaben di Krematorium bisa menjadi aktualisasi teori Strukturasi Giddens,
dimana antara aktor dan struktur bukanlah dualisme, melainkan dualitas, dan struktur baru
terbentuk sebagai akibat dari perilaku berpola dan berulang yang direproduksi secara
konsisten dalam rentang waktu yang lama. Struktur yang ada bukan semata-mata
merupakan pembatas atau kendala bagi aktor untuk bertindak, melainkan juga sekaligus
sebagai penguat dan legitimasi tindakan aktor. Yang cukup unik dalam fenomena ngaben
di Krematorium adalah proses transformasi yang terjadi dalam struktur, yang menuju ke
modernisasi, ditandai dengan efisiensi dan kepraktisan, tetapi sekaligus berbasis dan
menuju kepada tradisi, yaitu susastra lontar warisan leluhur.

6. DAFTAR RUJUKAN
Arjawa, IGPBS. 2010. Pergeseran Pelaksanaan Ritual Ngaben di Bali (Tinjauan
Terhadap Aspek Sosial Ngaben yang Mendorong Munculnya Ngaben
Crematorium). Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga,
Surabaya.
Arjawa, IGPBS. 2016. Ngaben di Krematorium; Fenomena Perubahan Sosial di Bali.
Tabanan: Pustaka Ekspesi
Giddens, A. 1984. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration.
Cambridge: Polity Press.
Giddens, A. 1991. Modernity and Self-Identity: Self and Societyin the Late Modern
Age. Stanford: Stanford University Press.
Henrich, J. 2001. “Cultural transmission and the diffusion of innovations: Adoption
dynamics indicate that biased cultural transmission is the predominate force in
behavioral change”. American Anthropologist. 992–1013
Johnson, K.. 2004. Globalisation and Culture in Contemporary India: Tradition vs
Modernity. Dalam Lan-Hung Nora Chiang et al. The Challenges of
Globalization. Oxford, UK: University Press of America. 119-130.
Pitana, IG. 2020. Modernisasi dan Transformasi Kembali ke Tradisi: Fenomena

9
Ngaben di Krematorium bagi Masyarakat Hindu di Bali. Jurnal Kajian Bali. 10
(2). 351 – 374.
Pradnya, I M. A. S. 2020. “Ephemeralization” dalam Pelaksanaan Upacara Perkawinan
Adat Bali. Jurnal Kajian Bali. 10 (01). 261-282.
Ritzer, George, Goodman, Douglas, J. 2007. Teori Sosiologi Modern (terjemahan),
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Pent. Sigit Jatmiko.
Saridewi, PWR. 2017. Persepsi Umat Hindu Terhadap Keberdaan Krematorium
Santayana Denpasar Bali. Jurnal Penelitian Agama Hindu. 1 (2).
Soetama, G. A. 2011. Jangan Mati di Bali. Jakarta: PT Gramedia.
Sudarsana, I N. 2012. Upacara Ngaben Kremasi di Krematorium Santhayana Denpasar
Utara, Kajian Nilai Pendidikan pada Perubahan Sosial Keagamaan. Thesis.
Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Tennie, C., Call, J., & Tomasello, M. 2009. “Ratcheting up the ratchet: On the
evolution ofcumulative culture. Philosophical Transactions of the Royal
Society, Biological Sciences. 364 (1528). 2405–2415.
Wikarman, INS. 2002. Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama).
Surabaya: Paramita.
Wright, T. 2015. Water, Tourism, and Social Change: A Discussion of Environmental
Perceptions in Bali. Jurnal Kajian Bali. 05 (01). 1 – 22.

10

Anda mungkin juga menyukai