Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Ekonomi Dalam Tradisi Ngaben Massal di

Pura Aditya Jaya


Gema Nur Faizin
Universitas Negeri Jakarta
Gemanurfaizin64@gmail.com

Abstrak
Umat Hindu yang begitu memegang teguh warisan leluhurnya yang dibawa dari
Provinsi Bali, yaitu upacara ngaben massal.Pada awalnya pelaksanaan ngaben
massal bertujuan untuk meringankan biaya ngaben karena jika ngaben
dilaksanakan secara individu akan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka peneliti mengangkat sebuah judul
“Pengaruh Ekonomi Dalam Tradisi Ngaben di Pura Aditya Jaya”. Penelitian ini
menggunakan pendekatan doktrinal dan sosiologi. Peneliti menggunakan
pendekatan doktrinal untuk melihat pengaruh upacara ngaben massal dan
pendekatan sosiologi untuk melihat interaksi dan integrasi sosial antar umat
beragama yang ada dalam masyarakat. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa
proses pelaksanaan ngaben massal pada masyarakat Hindu Bali tidak jauh
berbeda dengan ngaben pada umumnya yang dapat dipahami melalui 2 tahapan,
yaitu: tahap persiapan dan tahap pelaksanaan, makna upacara ngaben massal
pada masyarakat Hindu di Pura Aditya Jaya yaitu adanya kesadaran masyarakat
secara filosofis yang dimulai dari makin jelasnya pemahaman masyarakat secara
sastra agama, dari pemahaman ini muncul pemahaman ekonomi, pendidikan,
serta solidaritas sosial diantara umatHindu dan masyarakat di Pura Aditya Jaya.
Dikarenakan peneliti fokus terhadap faktor ekonominya pengaruh upacara ngaben
massal pada masyarakat Hindu terhadap integrasi sosial yaitu meningkatkan
partisipasi terutama untuk umat Hindu,manfaatnya sebagai lapangan kerja baru
dan pariwisata untuk masyarakat non Hindu.

Kata kunci: Umat Hindu, Upacara Ngaben, Ekonomi.

Pendahuluan
Upacara Ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya
dan dilandasi oleh Pitra Rna (hutang jasa kepada leluhur).
Keyakinan ini memotivasi umat Hindu untuk menyelenggarakan.
Upacara kematian yang terkadang tampil sangat meriah. Bagi
sebagian umat Hindu Upacara Ngaben mendapat perhatian yang
sangat istimewa sehingga dilakukan dengan sangat khusyuk
penuh pengabdian bahkan terkadang sangat meriah. Hal ini
terjadi karena pada hakikatnya tidak semua umat Hindu
memahami hakikat pelaksanaan UpacaraNgaben.
Upacara Ngaben Massal dilaksanakan secara bergotong
royong, dimana pembuatan sesajen dibagi sesuai dengan
kapasitas anggota tempek.
Masyarakat Hindu di Desa Solo memiliki persepsi bahwa
Ngaben massal dapat mengurangi beban biaya yang
dibutuhkan pada saat melaksanakan Ngaben, dibandingkan
dengan Ngaben yang dilaksanakan secara pribadi yang
membutuhkan biaya yang begitu banyak. Dikarenakan
Ngaben massal dilakukan secara bersama- sama, semua sawo
dari masing- masing keluarga berkumpul sesuai dengan pasek
untuk melaksanakan Ngaben sehingga dapat mengurangi biaya
yang dibutuhkan untuk melaksanakan pengabenan khususnya
pada keluarga yang kurang mampu.
Dengan adanya Ngaben massal biaya yang dikeluarkan
lebih murah dan pembakaran mayat dapat dilakukan dengan
cepat. Upacara Ngaben massal yang sangat meringankan
masyarakat terutama masyarakat kalangan ekonomi menengah
kebawah. Upacara pembakaran mayat yang tunjukan khususnya
untuk masyarakat kalangan ekonomi menengah kebawah.
Dengan diadakannya Ngaben massal yang dilaksanakan pada
kurun waktu 3 atau 5 tahun sekali, bertujuan agar masyarakat
yang memiliki ekonomi rendah dapat melaksanakan Ngaben
Massal sesuai dengan tradisi umat Hindu.
Berbeda halnya pada beberapa masyarakat di Pura Aditya
Jaya yang menganggap bahwa Ngaben massal sama halnya
dengan Ngaben yang dilakukan secara individu. Hal ini dapat
dilihat dari hasil wawancara dan observasi, bahwa pada Ngaben
massal yang pernah dilakukakan sebelumnya di Desa Solo
yang menghabiskan dana cukup banyak disetiap Sawo atau
mayat yaitu sebanyak 15 Juta per sawo atau lebih dari jumlah
penduduk sebanyak 200 KK. Hal ini menyebabkan adanya
kesenjangan dalam pengabenan Massal yang semestinya, jika di
lihat dari segi sarana pengabenan Massal dan individu, tidak
jauh berbeda dari segi banten yang di butuhkan. Dimana dalam
Ngaben massal juga menggunakan satu banten untuk semua
sekah atau Sawo (mayat). Melihat permasalahan yang terjadi di
lapangan peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Persepsi
Masyarakat Hindu Pada Upacara Ngaben Massal Di Desa Solo,
Kecamatan Angkona Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi
Selatan.
Oleh karena itu, dari berbagai permasalahan yang sudah
dijelaskan. Peneliti tertarik untuk melihat situasi yang berkaitan dengan
pengabenan yang dilakukan Umat Hindu. Mulai dari pengalaman
pemikiran hingga sampai pada pengalaman masyarakat Hindu. Adapun
tujuan dari penelitian ini yaitu, dampak yang ditimbulkan dari
penyederhanaan biaya terhadap hakikat upacara ngaben bagi umat
hindu.
Metodologi
Ditinjau dari sifat dan tujuannya,penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post- positivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian menggunakan data kualitatif hasil wawancara
responden. . Adapun di dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
wawancara bebas terpimpin, yaitu mengadakan wawancara atau tanya
jawab secara bebas, namun dalam melaksanakan wawancara peneliti
membawa pedoman wawancara yang hanya memuat garis-garis besar hal-
hal yang akan dipertanyakan. Wawancara (interview) ditunjukkan kepada
Bapak Dewa selaku Bendahara di Pura Aditya Jaya , Rawamangun Jakarta
Timur.

Hasil Dan Pembahasan


A. Pengertian Ngaben

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah (kremasi) yang


berasal dari umat hindu di Indonesia. Upacara ngaben merupakan ritual
yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan selanjutnya.
Dalam upacara ini jenazah diletakkan seperti posisi orang tidur. Keluarga
yang ditinggalkan pun akan berasumsi bahwa ornag yang meninggal ini
sedang tertidur (Murniti & Mardika, 2021). Dalam upacara ini tidak ada air
mata karena mereka menggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk
sementara waktu dan sedang menjalani reinkarnasi untuk menemukan
peristirahatan terakhir dimoksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah
bebas dari reinkarnasi atau roda kematian. Upacara ngaben ini bisa disebut
juga dengan simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal
(Wirata, 2022).

Asal usul ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal,
kemudian ngabu yang artinya menjadi abu ngapen yang artinya penyucian
dengan api dalam kepercayaan masyarakat Bali dewa Berahwa atau dewa
pencipta yang disebut sebagai dewa api. Maka itu ngaben juga bisa
dianggap sebagai usaha untuk membakar kotoran yaitu berupa jasad kasar
yang pasih melekat pada roh dan mengambalikan roh pada sang pencipta
(Sukawati et al., 2022).

Pada puncak upacara ngaben adalah saat prosesi pembakaran


keseluruhan struktur yaitu lembu atau pihara beserta dengan jenazahnya.
Prosesi ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama untuk
jenazah yan memiliki kasta tertinggi ritual ini dilakukan selama tiga hari
namun untuk keluarga yang kastanya rendah jenazahnya harus dikubur
terlebih dahulu sebelum dilakukannya upacara ngaben.
Ngaben mempunyai unsur agama, makna kebudayaan, dan
makna sosial. Unsur sosial mempengaruhi nilai dan pola-pola interaksi
masyarakat. Berbagai rangkaian prosesi upacara yang diselenggarakan
berpengaruh terhadap pola interaksi sosial masyarakat. Interaksi sosial
dapat menentukan upacara ngaben berhasil maupun gagal, biaya, hingga
nilai upacara (Sudarma, 2016). Pada setiap upacara ngaben memerlukan
partisipasi masyarakat , sebab gotong-royong merupakan sebuah keharusan
pada saat menyelenggaran upacara ngaben. Dalam setiap upacara ngaben
memerlukan keterlibatan masyarakat banjar. Masyarakat banjar yang
mengerjakan segala perlengkapan upacara ngaben diatur oleh lembaga adat.
Penganut Agama Hindu di Pura Aditya Jaya merupakan masyarakat
minoritas ditengah masyarakat. Meskipun begitu faktor lingkungan sosial
dan budaya tidak terlalu menjadi masalah bagi masyarakat Hindu di Pura
Aditya Jaya, sebab masyarakat sangat menghargai dan menghormati
upacara ngaben sebagai kepercayaan dan kegiatan masing-masing agama.

Upacara ngaben pada masyarakat Pura Aditya Jaya biasanya


dilakukan secara sederhana namun biaya yang dikeluarkan sangat banyak.
Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara ngaben dalam
selang waktu yang lama setelah kematian. Berbeda pada masyarakat Hindu
di Bali upacara ngaben diadakan secara massal untuk menghemat biaya
karena mayoritas masyarakat Bali menganut ajaran agama Hindu. Jadi,
pada masyarakat Hindu di Pura Aditya Jaya jasad orang yang sudah
meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu
biayanya menukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu upacara adat
ngaben bisa dilakukan secepatnya.

B. Makna dan tujuan upacara ngaben di desa Tajau Pecah

a) Dengan membakar jenazah maupun simbolnya kemudian


menghanyutkan abu ke air sungai, atau laut memiliki makna untuk
melepas sang Atma (Roh) dari belenggu ke duniawian sehingga dapat
dengan mudah bersatu Tuhan.

b) Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk


mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun
badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalanan Atma ke Sunia Loka bagian

Panca Maha Bhuta yaitu:

i) Pertiwi: unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dan lain-lain.

ii) Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dan lain-lain.

iii) Bayu: unsur udara yang membentuk nafas.

iv) Teja: unsur panas yang membentuk suhu tubuh.


v) Akasa: unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.

c) Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak


keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.

C. Pengertian Ngaben Massal

Ngaben massal adalah upacara yang dilakukan bersama-sama


dengan banyak orang. Upacara ngaben massal ini dilakukan dengan
maksud untuk memproses kembalinya panca mahabutha di alam semesta
dan mengantarkan roh ke alam pitra. Pada masing-masing desa biasanya
ngaben massal mempunyai aturannya masing-masing. Ada yang
melakukan setiap 1 tahun sekali, 3 tahun sekali, ada juga yang dilakukan
setiap 5 tahun sekali. Bagi masyarakat yang kurang mampu ngaben massal
adalah pilihan yang bijaksana, karena biaya dapat diminimaliskan.
Biasanya mereka yang mempunyai keluarga yang meninggal dunia akan
dikubur terlebih dahulu. Pada saat ngaben massal inilah, kuburan itu digali
lagi untuk mengumpulkan sesuatu dari mayat tersebut. Sisa tulang atau
yang lain, akan dikumpulkan dan selanjutnya dibakar.

Menurut Putu Sudarsana, ngaben massal atau ngerit bukan


merupakan bagian dari pengabenan, melainkan hanya termasuk tekhnik
pelaksanaannya saja, karena pelaksanaannya secara massal, namun tidak
terlepas dari etika agama Hindu yaitu dengan pelaksanaan berkelompok.
Bentuk upacara ini sangat sederhana kalau dipandang dari kuantitasnya
dan betul-betul bisa membantu umat hindu yang kurang mampu dibidang
material. Sedangkan tatacara pelaksanaan dari upacara pengabenan ngerit
ini sama seperti pelaksanaan upacara pengabenan yang lainnya yang sesuai
dengan tingkat kuantitas upacara pengabenan.

D. Pengaruh Ekonomi Pada Pengabenan Massal di Masyarakat Pura


Aditya Jaya

Secara umum upacara Ngaben massal dilaksanakan oleh Desa


Adat. Desa adat akan memfasilitasi masyarakat/krama desa yang ingin
mengikuti upacara ngaben mulai dari tempat pelaksanaan, banten, sarana
dan prasarana dalam pelaksanaan upacara ngaben. Masyarakat yang
akan mengikuti ngaben massal ini hanya akan mengumpulkan peturunan
dan melakukan ngayah. Jumlah peturunan yang akan dikumpulkan ke
pihak pengabenan sebelumnya telah disepakti oleh masyarakat yang akan
mengikuti ngaben massal tersebut.
Namun tentunya ngaben atau ngaben massal tidak hanya di lakukan
di desa saja, melainkan masyarakat beragama hindu di kota yang
mengalami kesulitan ekonomi terlebih pasca covid-19. Masyarakat agama
Hindu yang terletak di Pura Aditya Jaya merupakan salah satu
masyarakat yang melaksanakan ngaben massal. Dalam pelaksanaan
ngaben massal tersebut tentu akan membutuhkan dana, pihak Peatapa
akan memungut peturunan kepada masyarakat yang ingin mengikuti
ngaben masaal tersebut. Jumlah peturunan yang dipungut akan sesuai
dengan hasil paruman yang dilakukan sebelumnya. Jumlah peturunan
yang pungut memang agak besar berkisar antara Rp.2.000.000 -
Rp.2.500.000 juta, jumlah tersebut masih terhitung banyak bagi
masyarakat dengan kondisi ekonomi yang sulit.

Beberapa tahun belakangan muncul alternatif pilihan pelaksanaan


upacara Ngaben, Ngaben di Krematorium yaitu sebuah tempat khusus
untuk membakar mayat sehingga menjadi abu. Upacara ngaben di
krematoriun tidak menghilangkan kearifan local budaya Bali. Ngaben di
Krematorium dikenal dengan istilah “Ngaben Aluh” oleh masyarakat
sekitar. Banyak masyarakat mengatakan istilah Ngaben Aluh karena
Pertama, masyarakat tidak direpotkan untuk menyiapkan sarana dan
prasarana ngaben karena semua sarana dan prasarana dipersiapkan oleh
pengurus dari krematorium. Kedua, masyarakat yang tidak punya tempat
tinggal dalam upacara pengabenannya bisa dilakukan di Krematorium
dari acara nyekah sampai nganyut. Ketiga, tidak menghabiskan banyak
biaya untuk melaksanakan upacara ngaben di Krematorium. Hal ini
dibuktikan dari hasil wawancara awal dengan salah satu masyarakat
yang melaksanakan upacara ngaben di Krematorium Yayasan yang
menyatakan bahwa ngaben dikrematorium dikenal dengan istilah
“Ngaben Aluh” karena melaksanakan ngaben dikrematorium dapat
menghebat biaya. Selain itu adanya dresta dimasing-masing desa yang
dialami karena tuntutan kehidupan yang semakin sulit.

Ketika beberapa telah melaksanakan upacara ngaben massal


tetapi polemik peturunan ngaben massal masih menjadi masalah bagi
beberapa masyarakat dengan kondisi ekonomi yang sulit. Meski biaya
ngaben yang dikeluarkan terbilang sedikit tetap saja hal tersebut masih
menjadi beban. Kondisi ekonomi yang sulit tapi dengan tututan wajib
melakukan upacara ngaben.
Pada saat upacara ngaben massal yang dilakukan oleh Pendeta
Pura Aditya Jaya ada beberapa masyarakat yang mengeluh tentang
peturunan upacara ngaben massal tersebut. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan dengan salah satu warga yang ikut dalam pelaksanaan
upacara ngaben massal pada tahun 2018, Bapak Made Aryawan faktor
ekonomi menjadi salah satu kendala yang menyebabkan pembayaran
peturunan ngaben massal di desa menjadi beban, walaupun upacara
ngaben massal merupakan salah satu upacara yang wajib dilakukan umat
Hindu di Bali.

Permasalahan peturunan tersebut tentu akan terus menjadi beban


pada masyarakat dengan kondisi ekonomi kebawah. Dengan adanya
permasalahan tersebut harus ada sistem pemungutan peturunan yang
tidak akan memberatkan masyarakat dengan penghasilan kecil. dimana
setiap kepala keluarga di dadia akan menggumpulkan uang setiap
bulannya. Dengan penerapan sistem tabungan ini akan lebih membantu
krama dadia, yang biasanya dalam pelaksanaan upacara ngaben
peturunan baru akan dilakukan. Hal ini tentu saja akan meringankan
beban krama dadia.

Dengan adanya dana yang terkumpul dari krama dadia dengan


jumlah besar tersebut tentu harus ada pengelolaan keuangan yang baik
agar pelaksanaan upacara ngaben dadia ini bisa terus berjalan.
Pengelolaan keuangan adalah segala bentuk dari suatu kegiatan yang
bersifat administratif yang dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu
perencanaan, penyimpanan, penggunaan, pencatatan serta pengawasan
dan pertanggungjawaban atau pelaporan terhadap siklus dari keluar
masuknya dana/uang dalam sebuah organisasi. Dalam suatu organisasi
baik itu organisasi kecil maupun besar sangat diperlukan adanya sistem
pengelolaan yang baik, sehingga dapat melakukan prediksi dan proyeksi
yang lebih baik di masa depan. Dalam pengelolaan keuangan organisasi
juga sangat memerlukan adanya strategi pengelolaan keuangan yang baik
dan memadai, mengingat keuangan sangat mudah untuk dilakukan
kecurangan oleh berbagai pihak.

Dadia juga merupakan salah satu organisasi keagamaan yang ada


di Pura Aditya Jaya, dadia pasti juga memiliki berbagai bentuk
pengelolaan keuangan. Dalam pengelolaan keuangan yang ada di tingkat
dadia saat ini masih terbilang sederhana. Dalam pengelolaan keuangan
dana peturunan pitra yadnya ini hanya dilakukan oleh pengurus dadia
tanpa adanya pihak ketiga hal tersebut tentu akan menyebabkan rentan
terjadinya kecurangan, pihak dadia melakukan pengelolaan dengan
memberikan pinjaman kepada krama dadia yang membutuhkan uang
dengan bunga pinjaman sebesar 2%.
Kesimpulan

Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran


mayat. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu
disebut Palebon, yang berasal dari lebu yang artinya prathiwi atau tanah.
Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu
ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah.
Namun cara membakar adalah yang paling cepat. Kemudian yang
menjadi tujuan upacara Ngaben adalah agar ragha sasira cepat dapat
kembali kepada asalnya di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat
pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, Ngaben sesungguhnya tidak bisa
ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal segera harus diaben.

Pelaksanaan upacara Ngaben di Bali di suatu daerah tidak sama


dengan daerah lainnya. Karena masing-masing dipengaruhi oleh
lingkungan hidup setempat yang memberikan corak-corak khusus
tertentu. Seperti halnya di Pura Aditya Jaya, masyarakat Bali tidak lagi
mengadakan upacara pembakaran jenazah atau upacara Ngaben
dikarenakan fasilitas atau sarana-sarana yang diperlukan dalam proses
upacara tidak terdapat di Pura Aditya Jaya. Sehingga sebelum waktunya
diadakan upacara Ngaben Massal, jenazah tersebut di kubur terlebih
dahulu sampai pihak keluarga menentukan waktu dan mempersiapkan
segala sesuatunya untuk kembali ke kampung halamannya di Bali untuk
melakukan upacara Ngaben bagi jenazah.

Namun ngaben massal juga belum tentu menjadi solusi bagi masyarakat
Pura Aditya Jaya, sehingga munculah solusi yaitu perturuan yang terkumpul
pengurus dadia tanpa adanya pihak ketiga hal tersebut tentu akan
menyebabkan rentan terjadinya kecurangan, pihak dadia melakukan
pengelolaan dengan memberikan pinjaman kepada krama dadia yang
membutuhkan uang dengan bunga pinjaman sebesar 2%. Dari krama
dadia dengan jumlah besar tersebut tentu harus ada pengelolaan
keuangan yang baik agar pelaksanaan upacara ngaben dadia ini bisa terus
berjalan.
Daftar Pustaka

Anwar, Yesmil dan Adang. 2017. Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: PT Refika
Aditama.
Astuti, Ari. 2016. Ritual Kematian Dalam Agama Hindu Bali Di Desa Tegal Besar
Kecamatan Belitang Kabupaten Oku Timur Sumatera Selatan. (Skripsi S1 Di
Prodi Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran
Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga).
I Putu Eka Perdana, S. H. (2022). Ritual Ngaben Dalam Praktik Keagamaan
Komunitas Hindu Bali Di Lingkungan Batudawa, Mataram. Religion
Culture and State.

Anda mungkin juga menyukai